Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 72/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Prof. Dr. Zainal Arifin Hoesain, S.H., M.H., Fardiaz Muhammad, S.H., dan Resti Fujianti Paujiah, S.H., dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zainudin Paru, S.H., M.H., Anggi Aribowo, S.H., M.H., Ahmar Ihsan Rangkuti, S.H., Ruli Margianto, S.H., Faudjan Muslim, S.H. dan Aristya Kusuma Dewi, S.H., para Advokat yang tergabung dalam Negara Hukum Institute, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 7A ayat (1) UU 7/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 222 UU 7/2017 yang pada pokoknya mengatur mengenai adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021); [3.13] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: Pasal 60 UU MK (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, sebagian dasar pengujian tersebut belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan para Pemohon dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain, yang membedakan karena dalam perkara a quo pada pokoknya para Pemohon setuju dengan pandangan Mahkamah yang menyatakan bahwa presidential threshold merupakan open legal policy, tetapi perlu diberikan batasan besaran angka yang lebih proporsional, rasional, dan implementatif sehingga tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Oleh karenanya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mempersempit (narrowing) pembatasan pelaksanaan open legal policy melalui interval range angka ambang batas, menyeimbangkan penguatan sistem presidensial dan demokrasi/kedaulatan rakyat, serta penentuan interval range angka ambang batas berbasis kajian ilmiah melalui penghitungan indeks Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP), yang mana alasan ini tidak pernah disinggung dalam permohonan-permohonan sebelumnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali; [3.14] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah pengaturan besaran angka Presidential Threshold dalam Pasal 222 UU 7/2017 telah memberikan ketidakadilan kepada para Pemohon dan secara nyata melahirkan kebuntuan hukum dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sehingga inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. [3.15] Menimbang bahwa terhadap persoalan ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden oleh partai dan gabungan partai politik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018 Mahkamah telah memiliki pendirian yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.14]… 1 ... 5 Bahwa, di satu pihak, tidak atau belum terwujudnya penyederhanaan jumlah partai politik secara alamiah sebagaimana diinginkan padahal penyederhanaan jumlah partai politik tersebut merupakan kebutuhan bagi berjalan efektifnya sistem pemerintahan Presidensial, sementara itu, di lain pihak, prinsip multipartai tetap (hendak) dipertahankan dalam sistem kepartaian di Indonesia telah ternyata melahirkan corak pemerintahan yang kerap dijadikan kelakar sinis dengan sebutan “sistem Presidensial rasa Parlementer.” Sebutan yang merujuk pada keadaan yang menggambarkan di mana, karena ada banyak partai, Presiden terpilih ternyata tidak didukung oleh partai yang memperoleh kursi mayoritas di DPR, bahkan dapat terjadi di mana Presiden hanya didukung oleh partai yang memperoleh kursi sangat minoritas di DPR. Keadaan demikian dapat dipastikan menyulitkan Presiden dalam menjalankan pemerintahan, lebih-lebih untuk mewujudkan program-programnya sebagaimana dijanjikan pada saat kampanye. Ini membuat seorang Presiden terpilih (elected President) berada dalam posisi dilematis: apakah ia akan berjalan dengan programnya sendiri dan bertahan dengan ciri sistem Presidensial dengan mengatakan kepada DPR “You represent your constituency, I represent the whole people,” sebagaimana acapkali diteorisasikan sebagai perwujudan legilitimasi langsung Presiden yang diperolehnya dari rakyat, ataukah ia akan berkompromi dengan partai-partai pemilik kursi di DPR agar program pemerintahannya dapat berjalan efektif. Jika alternatif pertama yang ditempuh, pada titik tertentu dapat terjadi kebuntuan pemerintahan yang disebabkan oleh tidak tercapainya titik temu antara Presiden dan DPR dalam penyusunan undang-undang padahal, misalnya, undang-undang tersebut mutlak harus ada bagi pelaksanaan suatu program Presiden. Berbeda halnya dengan praktik di Amerika Serikat di mana kebuntuan dalam pembentukan suatu undang-undang tidak akan terjadi sebab meskipun Presiden Amerika Serikat memiliki hak untuk memveto rancangan undang-undang yang telah disetujui Kongres, namun veto Presiden tersebut dapat digugurkan oleh tercapainya suatu suara mayoritas bersyarat di Kongres. Mekanisme demikian tidak terdapat dalam prosedur pembahasan rancangan Undang-Undang menurut UUD 1945. Setiap rancangan Undang-Undang mempersyaratkan adanya persetujuan bersama DPR dan Presiden. Jika persetujuan bersama dimaksud tidak diperoleh maka rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu [Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945]. Artinya, secara teoretik, terdapat kemungkinan di mana Presiden tidak setuju dengan suatu rancangan undang-undang meskipun seluruh fraksi yang ada di DPR menyetujuinya, sehingga undang-undang dimaksud tidak akan terbentuk. Atau sebaliknya, di mana seorang Presiden sangat berkepentingan akan hadirnya suatu undang-undang karena hal itu merupakan bagian dari janji kampanye yang harus diwujudkannya namun hal itu tidak mendapatkan persetujuan DPR semata-mata karena Presiden tidak memiliki cukup partai pendukung di DPR, akibatnya undang-undang itu pun tidak akan terbentuk. Keadaan demikian dapat pula terjadi dalam hal penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang rancangannya harus diajukan oleh Presiden. Oleh karena itu, jika seorang Presiden terpilih ternyata tidak mendapatkan cukup dukungan suara partai pendukungnya di DPR maka kecenderungan yang terjadi adalah bahwa seorang Presiden terpilih akan menempuh cara yang kedua, yaitu melakukan kompromi-kompromi atau tawar-menawar politik (political bargaining) dengan partai-partai pemilik kursi di DPR. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan memberikan “jatah” menteri kepada partai-partai yang memiliki kursi di DPR sehingga yang terjadi kemudian adalah corak pemerintahan yang serupa dengan pemerintahan koalisi dalam sistem Parlementer. Kompromi-kompromi demikian secara esensial jelas kontradiktif dengan semangat menguatkan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana menjadi desain konstitusional UUD 1945. Seberapa besar pun dukungan atau legitimasi yang diperoleh seorang Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih melalui suara rakyat yang diberikan secara langsung dalam Pemilu, hal itu tidak akan menghilangkan situasi dilematis sebagaimana digambarkan di atas yang pada akhirnya secara rasional-realistis “memaksa” seorang Presiden terpilih untuk melakukan kompromi-kompromi politik yang kemudian melahirkan corak pemerintahan “Presidensial rasa Parlementer” di atas. Keadaan demikian hanya dapat dicegah apabila dibangun suatu mekanisme yang memungkinkan Presiden (dan Wakil Presiden) terpilih memiliki cukup dukungan suara partai-partai politik yang memiliki kursi di DPR. Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu, pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik. Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu melalui pembicaraan intensif dengan partai-partai pengusungnya, misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa belum tentu partai-partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat direduksi. Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih. Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak. Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena setuju dengan program-program yang ditawarkannya maka secara rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan mendukung tercapainya program-program tersebut yang tidak lain adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain, mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum berjalannya fungsi-fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan komunikasi politik; 6 Bahwa, berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada angka 1 sampai dengan angka 5 di atas, terlepas dari fakta bahwa Pemohon tidak membuktikan lebih lanjut dalil permohonannya, sebagaimana telah disinggung pada paragraf [3.7] di atas, Mahkamah tetap akan mempertimbangkan dalil Pemohon sebagai berikut: a. terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu adalah manipulasi dan tarik-menarik kepentingan politik partai-partai pendukung pemerintah, partai-partai oposisi, dan pemerintah dengan merujuk pada adanya sejumlah fraksi di DPR yang walk out pada saat disahkannya pengambilan putusan terkait rancangan Undang-Undang Pemilu yang kemudian menjadi Undang-Undang a quo, Mahkamah berpendapat bahwa pembentukan suatu undang-undang adalah keputusan politik dari suatu proses politik lembaga negara yang oleh Konstitusi diberi kewenangan membentuk undang-undang, dalam hal ini DPR bersama Presiden. Oleh sebab itu Mahkamah tidak berwenang menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama berlangsungnya proses pembentukan suatu undang-undang selama tata cara pembentukan undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan tata cara atau prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945, khususnya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Fakta tentang adanya sejumlah fraksi yang walk out dimaksud tidaklah menyebabkan substansi atau materi muatan suatu undang-undang menjadi inkonstitusional melainkan hanya menunjukkan tingkat penerimaan materi muatan undang-undang yang bersangkutan dalam pengertian bahwa persetujuan terhadap materi muatan undang-undang tersebut tidak diperoleh secara aklamasi; b. … c. terhadap dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan logika keserentakan Pemilu 2019, yaitu bahwa Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan serentak bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Mahkamah Konstitusi dalam putusan sebelumnya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009, dalam pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (UU 42/2008), telah menegaskan bahwa penentuan ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Dalam pertimbangan hukum Putusan a quo, Mahkamah menyatakan antara lain: [3.16.3] Menimbang bahwa dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pembentuk Undang-Undang juga telah menerapkan kebijakan ambang batas untuk pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang memenuhi persyaratan kursi paling sedikit 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 20% (dua puluh persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu Anggota DPR sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kebijakan threshold semacam itu juga telah diterapkan sebagai kebijakan hukum (legal policy) dalam electoral threshold (ET) dengan tujuan untuk mencapai sistem multipartai yang sederhana, kebijakan mana dalam Putusan Nomor 16/PUU-V/2007 bertanggal 23 Oktober 2007, serta kebijakan parliamentary threshold (PT) tentang syarat perolehan suara sebesar 2,5% (dua koma lima per seratus) dari suara sah secara nasional untuk ikut memperebutkan kursi di DPR, dengan Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009, oleh Mahkamah telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan kebijakan yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang sifatnya terbuka; Dengan demikian, Mahkamah sesungguhnya telah menyatakan pendiriannya berkenaan dengan presidential threshold atau persyaratan perolehan suara minimal partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun, pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan tersebut diberikan ketika Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dipisahkan pelaksanaannya dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD di mana Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan setelah selesainya penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sementara itu, dalam perkembangan selanjutnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014, Mahkamah telah menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara serentak. Maka timbul pertanyaan, apakah dengan demikian pertimbangan Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 masih relevan dijadikan sebagai acuan pertimbangan untuk Permohonan a quo di mana UU Pemilu yang dipersoalkan konstitusionalitasnya mengatur bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara serentak? Terhadap pertanyaan ini, Mahkamah berpendapat bahwa pertimbangan Mahkamah sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 adalah tetap relevan dengan penjelasan sebagai berikut: Pertama, pertimbangan hukum mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (yang saat itu diatur dalam Pasal 9 UU 42/2008) sebagai kebijakan pembentuk undang-undang (legal policy) sama sekali tidak dikaitkan dengan keberadaan norma Undang-Undang yang mengatur tentang dipisahkannya penyelenggaraan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD [sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008], yang juga dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya pada saat itu. Kedua, argumentasi teoretik konstitusionalitas persyaratan mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden bukanlah diturunkan dari logika disatukan atau dipisahkannya Pemilu untuk memilih Presiden/Wakil Presiden dengan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD melainkan dari argumentasi teoretik untuk memperkuat sistem Presidensial dalam pengertian mewujudkan sistem dan praktik pemerintahan yang makin mendekati ciri/syarat ideal sistem pemerintahan Presidensial sehingga tercegahnya praktik yang justru menunjukkan ciri-ciri sistem Parlementer. Ketiga, sementara itu, argumentasi sosio-politik konstitusionalitas persyaratan mengenai ambang batas minimum perolehan suara partai politik (atau gabungan partai politik) untuk dapat mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah memperkuat lembaga Kepresidenan sebagai lembaga yang mencerminkan legitimasi sosio-politik representasi masyarakat Indonesia yang berbhinneka; d. … bahwa ketentuan yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu justru bersesuaian dengan gagasan penguatan sistem Presidensial yang menjadi desain konstitusional UUD 1945. Sementara itu, jika yang dimaksud dengan “mengeliminasi evaluasi penyelenggaraan Pemilu” adalah anggapan Pemohon tentang adanya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja DPR dan Presiden-Wakil Presiden yang terpilih dalam Pemilu 2014 dengan asumsi bahwa rakyat akan dihadapkan pada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019 sebagaimana ditegaskan Pemohon dalam Permohonannya, anggapan demikian terlalu prematur sebab belum tentu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2019 adalah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang sama dengan mereka yang berkontestasi dalam Pemilu 2014. Anggapan demikian baru akan terbukti secara post factum. Lagi pula, kalaupun anggapan demikian benar, quod non, hal itu tidaklah serta-merta menjadikan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu menjadi tidak konstitusional; e. terhadap dalil Pemohon bahwa ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bersifat diskriminatif karena memangkas hak Pemohon sebagai partai politik peserta Pemilu untuk mengusulkan ketuanya (in casu Rhoma Irama) sebagai calon Presiden, Mahkamah berpendapat bahwa dalil diskriminasi tidak tepat digunakan dalam hubungan ini karena tidak setiap perbedaan perlakuan serta-merta berarti diskriminasi. Diskriminasi baru dikatakan ada atau terjadi manakala terhadap hal yang sama diperlakukan secara berbeda dan pembedaan itu semata-mata didasari oleh pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif, dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam kasus a quo, perbedaan perlakuan yang dialami Pemohon bukanlah didasarkan pada alasan-alasan yang terkandung dalam pengertian diskriminasi sebagaimana diuraikan di atas melainkan karena Pemohon adalah partai politik baru yang baru akan berkontestasi dalam Pemilu 2019 sedangkan norma yang terkandung dalam Pasal 222 UU Pemilu adalah diberlakukan terhadap partai-partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu dan telah memperoleh dukungan suara tertentu. Bahkan, andaikatapun terhadap partai-partai politik yang telah pernah mengikuti Pemilu itu diberlakukan ketentuan yang berbeda, hal itu juga tidak serta-merta dapat dikatakan sebagai diskriminasi sepanjang pembedaan itu tidak didasari semata-mata oleh alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam pengertian diskriminasi di atas; f. … [3.16] Menimbang bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 7 Juli 2022, Mahkamah telah menegaskan kembali pendiriannya terhadap ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut: [3.16] … Terlebih lagi, setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, pada pokoknya Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional, sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dalam pandangan Mahkamah, pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial, tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional. Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara dan hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi… [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas menurut Mahkamah terhadap ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik, Mahkamah tetap pada pendiriannya yakni hal tersebut merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Adapun adanya perbedaan antara argumentasi dalil para Pemohon a quo dengan permohonan-permohonan sebelumnya yakni yang pada pokoknya menyatakan bahwa ketentuan presidential threshold tersebut perlu diberikan batasan yang lebih proporsional, rasional dan implementatif sehingga tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon, menurut Mahkamah hal tersebut bukanlah menjadi ranah kewenangan Mahkamah untuk menilai kemudian mengubah besaran angka ambang batas. Sebab, hal tersebut pun juga ditegaskan oleh para Pemohon dalam permohonanannya [vide permohonan para Pemohon hlm. 26] merupakan kebijakan terbuka sehingga menjadi kewenangan para pembentuk undang-undang, yakni antara DPR dengan Presiden untuk menentukan lebih lanjut kebutuhan proses legislasi mengenai besaran angka ambang batas tersebut. Oleh karenanya, berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk mempersempit (narrowing) pembatasan pelaksanaan open legal policy melalui interval range angka ambang batas, menyeimbangkan penguatan sistem presidensial dan demokrasi/kedaulatan rakyat, serta penentuan interval range angka ambang batas berbasis kajian ilmiah melalui penghitungan indeks Effective Numbers of Parliamentary Parties (ENPP), pada pokoknya Mahkamah mengapresiasi apapun bentuk kajian ilmiah yang akan digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam menentukan besaran angka ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik dan gabungan partai politik. Namun demikian, hal tersebut bukan ranah kewenangan Mahkamah untuk memutusnya. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 71/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Emir Dhia Isad, S.H., Syukrian Rahmatul’ula, S.H. dan Rahmat Ramdani, S.H. untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Administrasi Kependudukan

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28J ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: Bahwa para Pemohon dalam menguraikan profesinya sebagai pemerhati Hukum Keluarga tidak memberikan bukti yang cukup sehingga dapat menyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujiannya yaitu Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 yang pada pokoknya mengatur mengenai administrasi pencatatan perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pengadilan. Selain itu, anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 yang dianggap sebagai legitimasi atas perkawinan beda agama sehingga menyebabkan para Pemohon merasa resah, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan asumsi yang tidak dapat dibuktikan pula kebenarannya. Adapun terkait dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon III yang menerangkan telah memiliki keturunan sehingga setidak-tidaknya berpotensi anaknya akan tercatat dalam perkawinan beda agama, hal itu tidak dapat dibuktikan oleh Pemohon III karena dalam bukti P-3 berupa KTP Pemohon III masih berstatus belum menikah. Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan oleh berlakunya Penjelasan Pasal a quo. Terlebih lagi, dalam permohonan para Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pengujian. Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 21 Juli 2022, Majelis Hakim Panel telah memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukumnya sehingga Mahkamah dapat meyakini bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Namun dalam perbaikan permohonan, para Pemohon masih belum dapat menguraikan kerugian hak konstitusional yang bersifat khusus atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006; Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya Penjelasan Pasal 35 huruf a UU 23/2006 serta tidak terdapat pula hubungan sebab akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Penjelasan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Heintje Gronstson Mandagie, Hans M Kawengian, dan Soegiharto Santoso, yang memberikan kuasa kepada Dr. Umbu Rauta, S.H., M.Hum, dkk, advokat dan konsultan hukum pada kantor hukum Mustuka Raja Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers

Pasal 28, Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (5) UU Pers dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.15] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: Landasan konstitusional pers di Indonesia adalah berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945 haruslah dijamin. Sejarah pers di Indonesia mencatat Ketetapan MPRS RI Nomor XXXII/MPRS/1966 pada awal Orde Baru merupakan cikal bakal lahirnya ketentuan pengaturan tentang pers. Ketetapan MPRS RI Nomor XXXIII/MPRS/1966 mengatur tentang Pembinaan Pers Indonesia. Selanjutnya dibuatlah Undang-Undang yang mengatur tentang pers yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (selanjutnya disebut UU 11/1966) yang merupakan penjabaran dari Ketetapan MPRS RI Nomor XXXII/MPRS/1966. UU 11/1966 mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 tentang Penambahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, dan kemudian UU 11/1966 diubah dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 (selanjutnya disebut UU 21/1982). Pada saat berlakunya UU 11/1966 dan perubahannya yaitu UU 21/1982, pengendalian kehidupan pers oleh pemerintah tampak dengan adanya beberapa ketentuan, antara lain yaitu: 1) Ketua Dewan Pers adalah Menteri Penerangan [vide Pasal 7 ayat (1) UU 11/1966]; 2) Anggota Dewan Pers terdiri dari wakil organisasi pers, wakil Pemerintah dan wakil masyarakat dalam hal ini ahli-ahli di bidang pers serta ahli-ahli di bidang lain [vide Pasal 6 ayat (2) UU 21/1982]; 3) Setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah [vide Pasal 13 ayat (5) UU 21/1982]; 4) Ancaman pidana dan atau denda bagi yang menyelenggarakan penerbitan pers tanpa SIUPP [vide Pasal 19 ayat (2) UU 21/1982]; Sementara itu, Pasal 4 UU 11/1966 memang menyebutkan bahwa terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan, namun pemerintah saat itu tetap dapat mencabut SIUPP media massa yang artinya juga tindakan pembredelan. Apalagi meskipun ketentuan-ketentuan tentang SIUPP diatur oleh Pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers [vide Pasal 13 ayat (5) UU 21/1982], akan tetapi sesuai dengan ketentuan UU 11/1966 dan UU 21/1982, Dewan Pers sendiri haruslah diketuai oleh Menteri Penerangan yang merupakan wakil dari pemerintah. Adanya reformasi dan bergantinya orde baru di tahun 1998 menjadi momen perubahan kehidupan pers di Indonesia. Terjadi amandemen/perubahan terhadap UUD 1945 sehingga ada pasal lain selain Pasal 28 UUD 1945 yang berkaitan dengan pers yaitu Pasal 28E yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, serta Pasal 28F yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Adanya pasal-pasal UUD 1945 tersebut menambah sekaligus mempertegas jaminan kebebasan pers di Indonesia setelah reformasi. Bersamaan setelah reformasi tahun 1998, lahir pula undang-undang baru mengenai pers yaitu UU 40/1999 yang membawa perubahan politik hukum pers di Indonesia yang semula meletakkan kontrol penuh terhadap pers di tangan pemerintah/eksekutif, berubah menjadi politik hukum jaminan kebebasan pers. UU 40/1999 yang diundangkan pada 23 September 1999 menjadi tonggak lahirnya kemerdekaan dan kebebasan pers di Indonesia. Dalam memorie van toelichting UU Pers disebutkan bahwa tujuan kebebasan pers adalah dalam upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi ke arah yang lebih baik sehingga dapat memperluas hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meningkatkan pendidikan sosial untuk masyarakat, meningkatkan kontrol sosial masyarakat dalam semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan kreatifitas masyarakat dengan peningkatan wawasan melalui informasi yang lebih luas. Dengan demikian, maka kebebasan pers dapat menciptakan masyarakat yang tertib dan adil, yang pada akhirnya akan mempercepat pembangunan kesejahteraan bangsa [vide bukti PK-1 memorie van toelichting UU Pers, hlm. 6-7]. Beberapa ketentuan dalam UU 40/1999 yang mengatur jaminan kebebasan pers yaitu: 1) Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum [vide Pasal 2 UU 40/1999]. 2) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara [vide Pasal 4 ayat (1) UU 40/1999]. 3) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran [vide Pasal 4 ayat (2) UU 40/1999]; 4) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi [vide Pasal 4 ayat (3) UU 40/1999]; 5) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak [vide Pasal 4 ayat (4) UU 40/1999]; 6) Wartawan bebas memilih organisasi wartawan [vide Pasal 7 ayat (1) UU 40/1999]; 7) Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum [vide Pasal 8 UU 40/1999]; 8) Dewan Pers bebas dari intervensi Pemerintah sebagaimana terlihat dari komposisi Dewan Pers yang tidak ada wakil pemerintah [vide Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999]; 9) Pengaturan mandiri (self regulation) dalam penyusunan peraturan di bidang pers dengan memberikan ruang bagi organisasi-organisasi pers dalam menyusun sendiri peraturan-peraturan di bidang pers dengan difasilitasi oleh Dewan Pers yang independen [vide Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999]. Meskipun UU 40/1999 telah menjamin kemerdekaan pers serta penerapan self regulation, namun kini justru muncul kecenderungan pers yang terlalu bebas. Oleh karena itu, Mahkamah perlu mengingatkan kembali bahwa pers tidak cukup hanya berpegang pada prinsip kemerdekaan, kebebasan, dan independensi semata, namun juga mampu menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi secara bertanggung jawab. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah [vide Pasal 5 ayat (1) UU 40/1999]. Selain itu, dalam menjalankan profesinya, wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik [vide Pasal 7 ayat (2) UU 40/1999]. Semangat reformasi pers di Indonesia menghendaki pers mampu bersuara untuk kepentingan rakyat dalam negara hukum yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, bukan pers yang bebas sebebas-bebasnya sebagaimana pers di negara-negara yang menganut paham individualistik-liberalistik. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memeroleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun. Pers nasional juga diharapkan berperan ikut menjagaketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial [vide konsiderans Menimbang UU 40/1999]. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.16.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan fungsi Dewan Pers sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 terutama kata “memfasilitasi” telah menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga menjadikan Dewan Pers memonopoli pembentukan peraturan-peraturan di bidang pers. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional [vide Pasal 15 ayat (1) UU 40/1999]. Tujuan tersebut dicapai antara lain dengan adanya peraturan-peraturan di bidang pers yang menjadi acuan dan standarisasi. Namun demikian, agar tetap menjaga independensi dan kemerdekaan pers maka peraturan di bidang pers disusun sedemikian rupa tanpa ada intervensi dari pemerintah maupun dari Dewan Pers itu sendiri. Dalam hal ini, Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 mengatur bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi, salah satunya, adalah memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Maksud dari “memfasilitasi” adalah menegaskan bahwa Dewan Pers hanya menyelenggarakan tanpa ikut menentukan isi dari peraturan di bidang pers tersebut. Fungsi “memfasilitasi” tersebut menurut Mahkamah telah sejalan dengan semangat independensi dan kemandirian organisasi pers. Latar belakang dan cita-cita pembentukan UU 40/1999 menghendaki kelembagaan, struktur, keanggotaan dan kegiatan Dewan Pers disesuaikan dengan semangat reformasi, serta bersifat independen [vide bukti PK-1 memorie van toelichting UU Pers]. Peran dan fungsi Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers adalah agar masing-masing organisasi pers tidak membentuk peraturan secara sendiri-sendiri sehingga berpotensi bertentangan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya. Dengan adanya fungsi memfasilitasi tersebut maka hak organisasi pers tetap terjamin untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya terhadap substansi peraturan yang akan dibentuk di bidang pers. Selain pertimbangan hukum tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret, Mahkamah menemukan fakta yang terungkap di persidangan terdapat keterangan dari organisasi pers yang terdaftar di dalam Dewan Pers yang menerangkan bahwa Dewan Pers memfasilitasi pembuatan peraturan terkait pers hasil pembahasan bersama dengan melibatkan organisasi pers dalam membentuk peraturan di bidang pers dan tidak pernah memonopoli pembuatan peraturan, apalagi mengambil alih peran organisasi pers sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon [vide Risalah Sidang 11 Januari 2022 mengenai keterangan Pihak Terkait PWI] sebagaimana didukung oleh keterangan Ahli Pihak Terkait Dewan Pers [vide Risalah Sidang 24 Maret 2022 mengenai keterangan Ahli Pihak Terkait Dewan Pers yaitu Rajab Ritonga]. Artinya, Dewan Pers bertindak sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers, dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator). Jikapun benar terdapat peraturan-peraturan pers yang pembentukannya dimonopoli oleh Dewan Pers untuk kepentingan Dewan Pers, atau disusun tidak sesuai dengan fungsi Dewan Pers, sebagaimana didalilkan para Pemohon, hal tersebut adalah persoalan implementasi norma dan bukan persoalan konstitusionalitas norma sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Demikian pula terhadap dalil para Pemohon mengenai pelaksanaan uji kompetensi atau sertifikasi kompetensi, menurut Mahkamah, hal tersebut adalah persoalan konkret yang sudah pula diselesaikan melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 235/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst juncto Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 331/PDT/2019/PT DKI [vide Bukti PT-5, Bukti PT-6, Bukti P.Interv-31, Bukti P.Interv-32, Bukti PK-2b]. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir kata “memfasilitasi” sehingga menjadikan Dewan Pers memonopoli peraturan-peraturan di bidang pers, adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.16.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai Anggota Dewan Pers melalui Keputusan Presiden. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, keanggotaan Dewan Pers yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden tidaklah mengurangi independensi Dewan Pers mengingat proses pemilihan anggota Dewan Pers telah ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999 bahwa Anggota Dewan Pers terdiri dari: 1. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan; 2. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers; 3. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Selanjutnya, penentuan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota [vide Pasal 15 ayat (4) UU 40/1999]. Dengan proses pemilihan yang demikian artinya Anggota Dewan Pers ditentukan sendiri oleh insan pers yang berkecimpung di dunia pers. Keberadaan Keputusan Presiden hanya sebagai pengesahan dan keputusan (beschikking) yang bersifat individual, konkret, dan berlaku satu kali (einmalig) terhadap Anggota Dewan Pers yang terpilih. Artinya, Presiden tidak dapat campur tangan dalam proses penentuan keanggotaan dan ketua Dewan Pers. Adapun petitum para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 dimaknai “Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang demokratis”, justru dapat menimbulkan ketidakseragaman ketika masing-masing organisasi pers melaksanakan pemilihan Anggota Dewan Pers sendiri-sendiri. Jikapun para Pemohon merasa keberatan dengan tidak ditetapkannya dirinya sebagai anggota Dewan Pers melalui Keputusan Presiden maka hal tersebut merupakan persoalan konkret dan bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Apalagi Presiden dalam menerbitkan Keputusan Presiden tersebut hanya bersifat administratif untuk pengesahan Keanggotaan Dewan Pers yang telah dipilih melalui proses sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) UU 40/1999. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon mengenai Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 menimbulkan ketidakjelasan tafsir sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak mendapatkan penetapan sebagai Anggota Dewan Pers, adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15 ayat (5) UU 40/1999 telah ternyata tidak melanggar kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon berdasarkan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.18] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 38/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Tommy Chandra Kurniawan, Daniel Maringantua Warren Haposan Gultom, Mira Sylvania Setianingrum, Lingga Nugraha, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rendy Anggara Puta, S.H., dkk, advokat dan konsultan hukum pada “Law Office RAP & Co”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12.1] bahwa sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo, para Pemohon dalam permohonannya masih mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang telah diberi makna baru oleh Mahkamah, karena pemaknaan demikian menimbulkan permasalahan baru yaitu adanya kekosongan hukum berupa belum diaturnya landasan/dasar hukum bagi tugas-tugas dan/atau tindakan Pengurus PKPU berikut konsekuensi finansial (biaya pengurusan atau imbalan jasa). Terlebih lagi, jika hakim tingkat kasasi mebatalkan putusan PKPU dari pengadilan tingkat pertama. Berkenaan dengan hal tersebut dapat Mahkamah jelaskan bahwa secara universal adanya perubahan sebuah undang-undang atau perubahan norma sebuah undang-undang, baik yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang maupun dilakukan melalui putusan Mahkamah Konstitusi, tidak dapat dilepaskan dari adanya dampak atau konsekuensi yuridis atas perubahan tersebut. Oleh karena itu, diperlukan aturan peralihan atau ketentuan peralihan untuk menjembatani pemberlakuan norma baru tersebut, baik tanpa pengaturan dalam salah satu pasal pada undang-undang yang bersangkutan maupun salah satu pertimbangan hukum apabila perubahan melalui Putusan Mahkamah Kontitusi, akan menimbulkan konsekuensi yuridis yang apabila tidak diberikan ketentuan peralihan dapat berakibat terjadinya kekosongan hukum yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum. [3.12.2] bahwa dalam prespektif perkara a quo sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, terdapat putusan Mahkamah Konstitus berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, yaitu Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 23/PUU-XIX/2022. Putusan tersebut telah memberikan pemaknaan baru terhadap ketentuan norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, yang pada pokoknya “terhadap putusan PKPU yang diajukan upaya hukum kasasi.” Dengan demikian, terhadap putusan PKPU yang semula tidak tersedia upaya hukum apapun menjadi tersedia upaya hukum meskipun secara terbatas. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridis atau Putusan Mahkamah Konstitusi a quo diperlukan pengaturan lebih lanjut hal-hal yang berkenaan dengan diperbolehkan upaya hukum kasasi atas putusan PKPU dimaksud. Hal-hal demikan diantaranya dimohonkan oleh para Permohon dalam perkara ini. Bahwa berkenaan dengan hal tersebut, apabila dicermati dengan seksama, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah terdahulu berkaitan dengan ketentuan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 telah jelas menegaskan posisi upaya hukum kasasi atau putusan PKPU merupakan ketentuan hukum baru yang belum diatur dalam UU 37/2004. Sebagai ketentuan hukum baru, ketentuan mengenai upaya hukum kasasi atas putusan PKPU pun belum diikuti dengan pengaturan yang lengkap mengenai tata laksana upaya hukum kasasi maupun pengaturan berbagai hal yang merupakan konsekuensi yuridis atas upaya hakum kasasi tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan belum diaturnya berbagai konsekuensi dari upaya hukum kasasi dimaksud, Mahkamah telah memberian pertimbangan hukum dalam putusan terdahulu yaitu Paragraf [3.19] Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021, yang selengkapnya menyatakan: “[3.19] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan tidak diterimanya tawaran perdamaian yang diajukan oleh debitor dapat diajukan upaya hukum Kasasi, oleh karena itu sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap pasal-pasal lain yang terdapat dalam UU 37/2004 yang tidak dilakukan pengujian dan terdampak dengan putusan a quo maka pemberlakuannya harus menyesuaikan dengan putusan perkara ini. Demikian halnya, guna mengatur lebih lanjut berkenaan dengan mekanisme pengajuan upaya hukum kasasi sebagaimana dipertimbangkan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tata cara pengajuan upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dimana tawaran perdamaian dari debitor telah ditolak oleh kreditor.” Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, telah jelas dan tegas Mahkamah meminta kepada institusi Mahkamah Agung untuk secepatnya membuat regulasi berkaitan dengan tata cara pengajuan upaya hukum kasasi atau putusan PKPU dimaksud. Sebab, Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili perkara di tingkat kasasi, adalah institusi yang paling mengetahui akan kebutuhan regulasi yang dimaksud. Dengan demikian, pengaturan atau regulasi dimaksud sudah sewajarnya meliputi namun tidak terbatas pada hal-hal antara lain: batas waktu pegurusan; keabsahan perbuatan pegurus sejak pengurus bersangkutan ditunjuk oleh pengadilan hingga jika ada putusan kasasi yang membatalkan putusan pengadilan atas putusan PKPU; penetapan biaya kepengurusan. Meskipun berkenaan dengan biaya kepengurusan a quo secara universal kewenangan penghitungan biayanya tidak dapat dipisahkan dengan kewenangan yang berada di pengadilan, namun Mahkamah meyakini hal tersebut secara komprehensif dapat diatur dengan regulasi yang dibuat oleh Mahkamah Agung. [3.14] Menimbang bahwa para Pemohon memohonkan agar pengaturan mengenai konsekuensi pengajuan kasasi atas putusan PKPU dipersamakan pengaturannya (dalam arti mutatis mutandis) dengan pengaturan konsekuensi kasasi atas putusan pailit [vide Pasal 16 dan Pasal 17 UU 37/2004]. Terhadap hal demikian Mahkamah berpendapat bahwa, dari sisi pembentukan undang-undang, pengaturan mekanisme terkait PKPU dapat dilakukan/dirumuskan oleh pembentuk undang-undang dapat mendelegasikan/menyerahkan kewenangan pengaturan tersebut kepada Mahkamah Agung. Kewenangan Mahkamah Agung untuk mengatur hal-hal tertentu demi kelancaran peradilan dapat dilandaskan pada Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, dalam perkara ini Mahkamah masih berpegangan pada putusan terdahulu yang berpendapat bahwa pengaturan demikian lebih tepat dilakukan oleh Mahkmah Agung sebagai peradilan yang diserah kewenangan mengadili permohonan PKPU di tingkat pertama maupun di tingkat kasasi, dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait yang diserahi kewenangan oleh UU 37/2004 untuk Menyusun/membuat pedoman imbalan jasa bagi pengurus [vide Pasal 234 ayat (5) UU 37/2004]. Namun demikian pengaturan dimaksud harus tetap memperhatikan dan/atau melindungi hak-hak yang melekat pada Pengurus PKPU yang ditunjukan oleh pengadilan untuk mengurus harta debitor yang terkena penundaan kewajiban pembayaran utang. Bahwa dengan adanya penyerahan (pendelegasian) pengaturan lebih lanjut kepada Mahkamah Agung dengan memperhatikan kewenangan kementerian terkait, menurut Mahkamah secara normatif telah meniadakan potensi kerugian konstitusional akibat belum diaturnya konsekuensinya upaya hukum bagi Pengurus PKPU, terutama para Pemohon. Seandainya pun belum ada peraturan atau regulasi yang disusun oleh Mahkamah Agung terkait konsekuensi upaya hukum kasasi atas putusan PKPU, hal demikian menurut Mahkmah tidak serta merta mengakibatkan norma yang dimohonkan pengujian menjadi bertentangan dengan konstitusi. Telebih, Mahkamah Agung dengan kewenangannya sebagai peradilan yang mengadili perkara kasasi sekaligus pengawasan badan peradilan di bawahnya dapat mewujudkan suatu perlindungan hukum kepada Pengurus PKPU melalui putusan kasasi tanpa harus menunggu terbitnya peraturan atau regulasi dimaksud. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut Mahkamah berpendapat telah ternyata hal-hal yang didalilkan ole para Permohon dalam permohonan a quo, telah terserap (terarbsobsi) dalam amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Terlebih, setelah dicermati oleh Mahkamah terdapat banyak hal dalam permohonan ini yang sebenarnya secara substansial telah dipertimbangkan dalam putusan terdahulu, sehingga, sekali lagi, untuk memahami secara komprehensif pertimbangan hukum putusan ini harus dirujuk/dibaca pula pertimbangan hukum Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang telah diberi makna baru oleh Mahkamah Konstitusi tersebut tidak mengakibatkan adanya kepastian hukum serta tidak pula menimbulkan kerugian terkait pengakuan, jaminan, dan perlindungan hukum bagi para Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkmah kedua norma yang dimohonkan pengujian sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XIX/2021 tidak bertentangan dengann Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

E. Ramos Petege dan Yanuarius Mote, yang selanjutnya disebut para Pemohon.

Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (1), Pasal 68A ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2), dan Pasal 76 ayat (3) UU 43/2021

Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 22E ayat (1), Pasla 22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 6 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (1), Pasal 68A ayat (2), Pasal 75 ayat (4), Pasal 76 ayat (2), dan Pasal 76 ayat (3) UU 2/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan para Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa berkaitan dengan pengujian norma Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021, telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021, dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), serta Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) UU 2/2021 telah merugikan Orang Asli Papua karena pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dari unsur Orang Asli Papua bersifat diskriminatif di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang dalam memperoleh kesempatan yang sama. Selain itu, menurut Pemohon, adanya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 6A ayat (4) dan ayat (5) UU 2/2021 dapat menciptakan ketidakpastian hukum sehingga seharusnya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dimaksud dimaknai menjadi “perdasus” dan “perdasi”. Apabila dipelajari secara saksama, berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon a quo pada pokoknya bermuara karena adanya unsur anggota DPRP dan DPRK yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua. Substansi UU 21/2001 belum mengatur ketentuan mengenai adanya anggota DPRK (kabupaten/kota) yang diangkat dari Orang Asli Papua. Dalam rangka melindungi dan meningkatkan harkat dan martabat Orang Asli Papua, UU 2/2021 sebagai perubahan dari UU 21/2001, menambahkan pasal baru terkait dengan komposisi DPRK yang sebelumnya hanya terdiri atas anggota DPRD kabupaten/kota yang dipilih melalui pemilihan umum, diubah menjadi terdiri atas anggota DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum dan yang diangkat dari Orang Asli Papua [vide Penjelasan Umum UU 2/2021]. Dengan demikian, setelah berlakunya UU 2/2021 lembaga perwakilan rakyat daerah di Provinsi Papua, yaitu DPRP di provinsi serta DPRK di kabupaten/kota ditentukan sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP atau anggota DPRK adalah diangkat dari unsur Orang Asli Papua [vide Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UU 2/2021]. Berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2021, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1.1] Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 menurut Pemohon dengan adanya unsur yang diangkat dari Orang Asli Papua dalam lembaga dewan perwakilan rakyat menimbulkan diskriminasi di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang untuk memperoleh kesempatan yang sama. Berkenaan dengan hal ini penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu pertimbangan hukum beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 1 Februari 2010, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.16.3] Bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut serta merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan. Salah satu peran serta masyarakat asli Papua dalam merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan terutama dalam bidang sosial politik adalah menjadi anggota DPRP. Sehubungan dengan hal tersebut, Penjelasan Umum UU 21/2001 secara tegas mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Penjelasan Umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan; [3.16.4] Bahwa UU 21/2001 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat. [3.16.5] Bahwa keanggotaan DPRP yang diangkat dengan kuota ditentukan oleh Pasal 6 ayat (4) UU 21/2001 yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua, adalah bentuk perlakuan khusus yang tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, merupakan kebijakan afirmatif. Perlakuan khusus seperti itu diterapkan juga untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal; Selanjutnya, berkenaan dengan Orang Asli Papua yang diangkat dalam keanggotaan lembaga perwakilan di Papua, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XVIII/2020 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, Mahkamah telah pula memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa dalam Permohonannya, Pemohon mendalilkan, pengangkatan anggota DPRP dan DPRPB yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan tindakan penyimpangan terhadap demokrasi yang telah dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, menegasikan prinsip kedaulatan rakyat, menciptakan diskriminasi, ketidakadilan, dan berpotensi menimbulkan konflik. Berkenaan dengan dalil dimaksud, Mahkamah perlu menjelaskan bahwa kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 yang menyatakan, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan”, apabila diletakkan dalam status otonomi khusus yang diberikan pada Papua (termasuk Papua Barat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang) adalah bagian dari pengakuan negara terhadap bentuk kekhususan daerah ini dalam bingkai NKRI. Pengakuan demikian sesuai dengan Penjelasan Umum UU 21/2001 yang menyatakan: Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat. Merujuk Penjelasan Umum dimaksud, pengisian Anggota DPRP melalui mekanisme “pengangkatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 merupakan bagian dari upaya memberikan peran dan pengakuan yang lebih besar kepada orang asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam perumusan kebijakan di lembaga perwakilan, in casu, DPRP dan DPRPB; Jikalau upaya memberikan peran dan pengakuan lebih besar melalui mekanisme pengangkatan tersebut diubah atau dimaknai “dipilih oleh masyarakat asli Papua”, sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah tidak sejalan dengan semangat otonomi khusus sebagaimana diamanatkan UUD 1945; Berdasarkan kutipan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut di atas pada pokoknya Mahkamah telah menyatakan pendiriannya bahwa pengaturan mengenai anggota DPRP yang diangkat merupakan pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang”. Salah satu bentuk kekhususan dimaksud adalah adanya keberadaan unsur Orang Asli Papua pada DPRP, sebagai salah satu unsur penyelenggara pemerintahan daerah Papua, yang dilakukan berdasarkan sistem kolektif/kolegial bukan melalui pemilihan umum, sebagaimana kelaziman untuk pengisian lembaga perwakilan rakyat. Hal ini menunjukkan sifat khusus yang berbeda dengan provinsi lainnya. Selain itu, adanya norma pengisian anggota DPRP yang diangkat dimaksudkan sebagai salah satu wujud kebijakan afirmatif (affirmative action policy). Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 6A ayat (1) UU 2/2021 yang mengatur bahwa DPRP dan DPRK terdiri atas anggota yang: a. dipilih dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan b. diangkat dari unsur Orang Asli Papua, merupakan suatu bentuk kekhususan Provinsi Papua. Adanya ketentuan anggota DPRP/DPRK yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua justru memberikan kepastian hukum, dukungan dan sekaligus mengakomodasi representasi Orang Asli Papua di lembaga perwakilan pada tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XVIII/2020. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 telah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan "dari unsur Orang Asli Papua" adalah perwakilan masyarakat adat di wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan tidak sedang menjadi anggota partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum mendaftar sebagai calon anggota DPRP atau DPRK. Dalam hal ini, apabila Mahkamah mengikuti petitum Pemohon yang memohon agar pengangkatan anggota DPRP dan DPRK dihapuskan sehingga anggota DPRP dan DPRK hanya berasal dari hasil pemilihan umum, maka hal demikian justru potensial menghilangkan sifat kekhususan Provinsi Papua yang merupakan salah satu bentuk kebijakan afirmatif dan sekaligus berpotensi mengancam keterwakilan Orang Asli Papua di DPRP dan DPRK. Bahkan lebih dari itu, dengan hilangnya unsur Orang Asli Papua yang diangkat sebagaimana yang dimohonkan Pemohon justru akan meniadakan maksud dan politik hukum perubahan UU 2/2021 yang mempertegas keberpihakan pembentuk undang-undang kepada Orang Asli Papua dalam rangka melindungi dan meningkatkan harkat dan martabatnya. Oleh karena itu, dengan adanya kepastian unsur Orang Asli Papua yang diangkat sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP atau anggota DPRK dalam lembaga perwakilan pada tingkat provinsi atau kabupaten/kota, dan dengan masa jabatan yang sama dengan anggota DPRP/DPRK yang dipilih yaitu 5 (lima) tahun akan memberikan keadilan dan kepastian bagi mereka dalam menjalankan peran merumuskan berbagai kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan, terutama dalam bidang sosial politik dan budaya. Oleh karenanya, menurut Mahkamah adanya unsur Orang Asli Papua yang diangkat tersebut merupakan salah satu wujud dari kebijakan afirmatif yang merupakan bentuk perlakuan khusus yang sesuai dan tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. [3.13.1.2] Bahwa dengan telah dinyatakannya ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, dalam batas penalaran yang wajar, oleh karena norma Pasal a quo memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 6A ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, maka menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 6A ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 karena substansinya memiliki kesamaan sehingga tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Oleh karenanya, dalil Pemohon berkaitan dengan Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 6A ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 tidak terdapat adanya pertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. [3.11.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai pengujian norma Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2) UU 2/2021, khususnya terkait dengan pengujian norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021, telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021. Oleh karena pengujian terhadap norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 berkaitan erat dengan norma Pasal 68A ayat (1) yang mengatur mengenai pembentukan badan khusus maka menurut Mahkamah pertimbangan hukum terhadap pengujian norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 juga sekaligus memuat pertimbangan hukum terhadap ketentuan norma Pasal 68A ayat (1) UU 2/2021, yang pada pokoknya menyatakan sebagai berikut: [3.13.5] Bahwa Pemohon mendalilkan norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 dalam hal pembentukan badan khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden menyebabkan ketidakpastian hukum, bertentangan dengan prinsip desentralisasi, pembagian kekuasaan, kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus berdasarkan UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa pembentukan badan khusus bertujuan untuk melakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan pembangunan di wilayah Papua sebagai upaya meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua [vide Pasal 68A ayat (1) dan Penjelasan Umum UU 2/2021]. Badan khusus tersebut terdiri atas seorang ketua dan beberapa orang anggota dengan susunan yaitu: a. Wakil Presiden sebagai ketua; b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sebagai anggota; dan c. 1 (satu) orang perwakilan dari setiap provinsi di Provinsi Papua sebagai anggota. Adanya komposisi perwakilan dari provinsi Papua dapat dipahami sebagai upaya membuka saluran aspirasi terhadap kinerja badan khusus di Papua. Bahkan untuk menjamin independensi atas keterlibatan langsung masyarakat Papua terlihat karena yang dimaksud dengan "perwakilan" dari setiap provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68A ayat (2) huruf c UU 2/2021 adalah mereka yang tidak boleh berasal dari pejabat pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, DPRP, MRP, DPRK, dan anggota partai politik [vide Penjelasan Pasal 68A ayat (2) huruf c UU 2/2021]. Adapun maksud pembentukan badan khusus adalah untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan dan peningkatan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua agar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi khusus [vide konsiderans Menimbang huruf a UU 2/2021]. Oleh karena itu, badan khusus tersebut bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Tanggung jawab langsung kepada Presiden ini sejalan dengan kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan Pasal 4 UUD 1945. Dalam konteks itu, menurut Mahkamah, penunjukkan Wakil Presiden sebagai Ketua “badan khusus” tersebut justru membuktikan perhatian dari pemerintah pusat dalam upaya akselerasi perwujudan otonomi khusus Papua, dengan tetap memerhatikan aspirasi masyarakat Papua. Sebab, komposisi dan susunan “badan khusus” yang dimaksudkan dalam Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 tetap sejalan dengan esensi sistem desentralisasi karena mengakomodasi kepentingan masyarakat Orang Asli Papua dalam bingkai NKRI. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon ihwal norma Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 menimbulkan ketidakpastian hukum, bertentangan dengan prinsip desentralisasi, pembagian kekuasaan, kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus berdasarkan Pasal 18B UUD 1945, adalah tidak beralasan menurut hukum. Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, terhadap permohonan pengujian norma Pasal 68A ayat (1) UU 2/2021 telah ternyata justru memberi dorongan percepatan pembahasan otonomi khusus Papua untuk peningkatan efektifitas dan efisiensi pembangunan di Papua, sehingga perlu dilakukan sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan koordinasi pelaksanaan otonomi khusus agar sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi khusus bagi Papua. Oleh karena itu, tidak terdapat eliminasi prinsip otonomi daerah, serta tidak terdapat pula pertentangan dengan asas desentralisasi dan tugas pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. [3.11.3] Bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon terkait pengujian ketentuan Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, ketentuan a quo telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021, yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.13.6] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 telah mematikan dan mengebiri kewenangan MRP sebagai representatif kultural orang asli Papua dalam memberikan persetujuan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Pemohon, Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021 seharusnya dimaknai “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota hanya dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP”. Selain itu, frasa “tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan” dalam Pasal 76 ayat (3) UU 2/2021 seharusnya dimaknai “wajib dilakukan melalui tahapan daerah persiapan”. Terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) UU 2/2021, Mahkamah menilai bahwa salah satu tujuan dari perubahan dalam UU 2/2021 diarahkan untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah di Papua dengan menggunakan pendekatan penataan daerah yang bottom up dan top down dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan efisiensi [vide Penjelasan Umum UU 2/2021]. Penerapan pendekatan bottom up dan top down oleh pembentuk undang-undang perlu dilihat sebagai bentuk pilihan kebijakan dalam menjaga perpaduan yang seimbang dan proporsional antara peran pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dalam menentukan kebijakan penataan daerah tertentu dengan tetap menjaga kepentingan nasional sebagai negara kesatuan, sepanjang hal tersebut juga tidak mengabaikan perlindungan Orang Asli Papua. Terlebih lagi, pengakuan terhadap satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa sebagai bagian cara untuk mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya diatur dalam undang-undang [vide Pasal 18B UUD 1945]. Adapun terhadap dalil Pemohon yang memohonkan rumusan “hanya dapat” dalam Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021, Mahkamah mempertimbangkan bahwa secara doktriner isi kaedah hukum pada prinsipnya meliputi gebod (suruhan) yaitu kaedah yang berisi suruhan atau kewajiban untuk berbuat sesuatu; verbod (larangan) yaitu kaedah yang berisi larangan melakukan sesuatu; serta mogen (kebolehan) yaitu kaedah yang berisi kebolehan yang artinya sesuatu boleh dilakukan dan boleh tidak dilakukan. Sementara itu, dari sifat kaedah hukum dikenal adanya kaedah imperatif yaitu bersifat memaksa (gebod dan verbod), serta kaedah fakultatif yaitu bersifat kebolehan dan tidak harus dilakukan (mogen). Sementara itu, dalil dan petitum Pemohon yang memohon agar rumusan “dapat” dimaknai menjadi “hanya dapat” dalam Pasal 76 ayat (1), menurut Mahkamah, justru menimbulkan ketidakjelasan makna yang termuat dalam pasal a quo yaitu antara imperatif ataukah fakultatif, karena kata “hanya” adalah bersifat memaksa sedangkan kata “dapat” adalah bersifat kebolehan. Jika menggunakan frasa “hanya dapat” maka rumusan kaedah tersebut menjadi tidak lazim dalam penyusunan kaedah norma (penormaan) peraturan perundang-undangan. Penggunaan kata “dapat” tersebut justru memiliki kejelasan maksud, yakni hendak menyatakan adanya sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada lembaga [vide Lampiran II angka 267 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, selanjutnya disebut UU 12/2011]. Dengan rumusan kata “dapat” bagi MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran daerah, tidak menyebabkan kewenangan MRP sebagaimana diatur dalam UU 2/2021 menjadi terhalangi atau terkurangi. Lebih lanjut, Pemohon juga mempersoalkan frasa “tanpa dilakukan melalui tahapan daerah persiapan” dalam norma Pasal 76 ayat (3) UU 2/2021, menurut Pemohon inkonstitusional jika tidak dimaknai “wajib dilakukan melalui tahapan daerah persiapan”. Dalam kaitan dengan dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu desain usulan atau prakarsa pemekaran Papua menjadi daerah otonom yang ditentukan dalam UU 2/2021, yaitu: (1) pemekaran sebagai usulan pemerintah daerah [vide Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021] dan (2) pemekaran sebagai prakarsa pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) [vide Pasal 76 ayat (2) UU 2/2021]. Jika usulan tersebut berasal dari pemerintah daerah untuk memekarkan provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP. Dalam hal ini, peran daerah terkait dengan pembentukan daerah persiapan tidaklah dihilangkan sama sekali sepanjang usulan pemekaran tersebut dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, karena hal demikian sesuai dengan UU 23/2014. Berkenaan dengan hal tersebut, Mahkamah perlu menegaskan, sekalipun pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota yang berasal dari prakarsa Pemerintah dan DPR dilakukan tanpa melalui tahapan pembentukan daerah persiapan namun tetap harus dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Dalam hal ini, pemekaran daerah harus tetap memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan di masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua [vide Pasal 76 ayat (2) UU 2/2021]. Dengan demikian, pemekaran daerah sekalipun dilakukan atas prakarsa Pemerintah dan DPR tetap dapat menjamin adanya ruang bagi Orang Asli Papua dalam melakukan aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, dan sosial-budaya. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil Pemohon ihwal norma Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 telah mematikan dan mengebiri kewenangan MRP telah ternyata tidak bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 sehingga dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.12] Menimbang bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (2), serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada hakikat/esensinya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47/PUU-XIX/2021 mutatis mutandis berlaku terhadap pertimbangan hukum permohonan a quo. Dengan demikian, berkenaan dengan norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (2), serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 yang dinilai inkonstitusional oleh para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon berkaitan dengan Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 perihal Perdasus dan Perdasi yang dapat diambil alih oleh Pemerintah telah mengabaikan semangat dari pembentukan UU 2/2021 dan menunjukkan pula otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua merupakan hal yang semu karena Pemerintah berkeinginan mengontrol kehidupan rakyat di Provinsi Papua secara sentralistik. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu esensi yang terkait dengan ketentuan pasal a quo yang merupakan bagian dari BAB XXIII tentang KETENTUAN PERALIHAN yang menghendaki agar Perdasus dan Perdasi untuk melaksanakan ketentuan dalam UU 2/2021 harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU 2/2021 diundangkan [vide Pasal 75 ayat (3) UU 2/2021]. Dalam hal, Perdasus dan Perdasi tidak diundangkan setelah melewati jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, yaitu paling lambat 1 (satu) tahun sejak UU 2/2021 diundangkan, pada 19 Juli 2022 maka berlaku ketentuan dalam Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 bahwa Pemerintah dapat mengambil alih pelaksanaan kewenangan yang telah ditentukan dalam Perdasus dan Perdasi. Dilakukannya pengambilalihan tersebut karena mengingat penting dan strategisnya kewenangan yang harus diatur dalam Perdasus dan Perdasi bagi pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Sebagaimana dapat terlihat dari kewenangan yang harus diatur dalam Perdasus yang meliputi: (1) pengaturan tata cara pemberian pertimbangan oleh Gubernur mengenai Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait dengan kepentingan Provinsi Papua [vide Pasal 4 ayat (8) UU 2/2021]; (2) pengaturan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang MRP [vide Pasal 20 ayat (2) UU 2/2021]; (3) pengaturan mengenai sumber-sumber penerimaan provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Papua yang merupakan pembagian Dana Perimbangan bagi hasil sumber daya alam dan penerimaan provinsi dan Kabupaten/kota dalam rangka Otonomi Khusus sektor pertambangan minyak bumi sebesar 70% (tujuh puluh persen) dan dari pertambangan gas alam sebesar 70% (tujuh puluh persen). Di mana pembagiannya harus diatur secara adil, transparan, dan berimbang dengan Perdasus dengan memberikan perhatian khusus pada daerah-daerah yang tertinggal dan Orang Asli Papua [vide Pasal 34 ayat (7) UU 2/2021]; (4) pengaturan mengenai usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam yang dilakukan dengan tetap menghormati hakhak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan [vide Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021]. Sementara itu, untuk materi muatan yang diatur dalam Perdasi meliputi perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua dan tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi, perubahan dan perhitungannya, serta pertanggungjawaban dan pengawasannya [vide Pasal 36 UU 2/2021]. Pada pokoknya, hal-hal yang diatur dalam Perdasus dan Perdasi tersebut merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari diberikannya otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Oleh karena itu, jika tidak terdapat kepastian hukum atas pengaturan lebih lanjut dari UU 2/2021 dalam Perdasus dan Perdasi dalam batas waktu yang telah ditentukan maka Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan amanat Pasal 4 UUD 1945 berkewajiban untuk menentukan lebih lanjut hal yang seharusnya dilakukan dalam pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Papua dalam sistem NKRI. Terlebih lagi, norma yang dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh para Pemohon berkaitan dengan esensi Ketentuan Peralihan yang bertujuan antara lain memberikan kepastian hukum dan menghindari terjadinya kekosongan hukum [vide Lampiran II angka 127 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan]. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan ketentuan peralihan tersebut maka jika dalam batas waktu yang telah ditentukan (paling lambat 1 tahun) Perdasus dan Perdasi tidak diundangkan maka kewenangan yang seharusnya diatur dalam Perdasus dan Perdasi diambil alih oleh Pemerintah untuk segera diatur sehingga kekhususan yang diberikan kepada Provinsi Papua dapat direalisasikan sesuai dengan maksud dan tujuan ditetapkannya Otonomi Khusus dalam UU 21/2001 dan UU 2/2021. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa norma Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 menimbulkan otonomi khusus yang bersifat semu, karena Pemerintah berkeinginan mengontrol kehidupan rakyat di Provinsi Papua secara sentralistik bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, sebagai berikut: a. Bahwa Pasal 75 ayat (4) UU 2/2021 merupakan ketentuan yang mengatur mengenai pengundangan Perdasi dan Perdasus dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak UU 2/2021 diundangkan, jika tidak dilakukan maka Pemerintah dapat mengambil alih pelaksanaan kewenangan tersebut. Hal demikian tidak berkaitan secara langsung dengan para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dan merupakan Orang Asli Papua, pihak yang berkaitan langsung dengan penyusunan Perdasus dan Perdasi adalah MRP, DPRP, DPRK, dan Gubernur. Apalagi dalam permohonannya, para Pemohon hanya menitikberatkan pada ketentuan norma Pasal 75 ayat (4) a quo, yang menurut para Pemohon membuka celah sistem desentralisasi menjadi sistem sentralistik karena adanya pengambilalihan kewenangan oleh Pemerintah Pusat dalam membentuk Perdasus dan Perdasi, namun para Pemohon tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional tersebut baik yang bersifat aktual, spesifik atau bersifat potensial serta adanya hubungan sebabakibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. b. Bahwa Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 adalah ketentuan yang mengatur mengenai pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota di Papua, di mana persetujuan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak hanya diberikan oleh MRP saja melainkan persetujuan bersama-sama dengan DPRP. Dengan demikian, jika para Pemohon mengajukan permohonan pengujian Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 maka para Pemohon harus merupakan anggota MRP atau DPRP, karena yang berhak mengajukan adalah MRP bersama-sama dengan DPRP. Selain itu, para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional tersebut baik yang bersifat aktual, spesifik atau bersifat potensial serta hubungan sebab-akibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. [3.15] Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan pengujian Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan, telah ternyata substansi dari permohonan para Pemohon tersebut juga telah berkenaan dengan kepentingan pemerintah daerah, oleh karena itu pengajuan permohonan pengujian terhadap pasal-pasal a quo tidak dapat hanya diajukan oleh para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia. Terlebih, para Pemohon tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional tersebut baik yang bersifat aktual, spesifik atau setidak-tidaknya potensial serta adanya hubungan sebabakibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon dengan berlakunya norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian. Oleh karenanya terhadap permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 adalah tidak memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan kedudukan hukum sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian pasal-pasal a quo. Bahwa andaipun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, quod non, dalil permohonan para Pemohon mengenai pasal-pasal a quo tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah pada bagian pertimbangan hukum pokok permohonan dalam Paragraf [3.13] dan Sub-paragraf [3.11.3]. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6A ayat (1) huruf b, Pasal 68A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum pula untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 75 ayat (4) serta Pasal 76 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021.