Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 1/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H.

Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b UU KUHP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

[3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujiannya oleh Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana pencemaran nama baik dan tentang pidana pemberian keterangan yang tidak sebenarnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan huruf b UU 1/2023. Pemohon dalam hal ini berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3]. Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya norma Pasal-Pasal a quo; [3.6.2] Bahwa norma Pasal-Pasal a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, UU a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun permohonan Pemohon diajukan pada tanggal 19 Desember 2022 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 Januari 2023, sehingga pada saat permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Undang-Undang a quo yang diajukan pengujiannya belum berlaku; [3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh Pemohon, telah ternyata hak konstitusional Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”. Berkaitan dengan itu, Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada Pemohon. [3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan, yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian berakibat hukum UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusonal sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif. [3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana dalam putusan tersebut Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana. [3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pendirian demikian, juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda. [3.6.7] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Namun demikian, seandainyapun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan huruf b UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan yang prematur. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut. [3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Herifuddin Daulay (guru honorer)

Pasal 169 huruf n, Pasal 222, Pasal 227 huruf i

Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 36 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), apakah terhadap norma a quo dapat dimohonkan pengujiannya kembali. Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah membaca secara saksama materi permohonan Pemohon dan dibandingkan dengan semua permohonan yang pernah menguji inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017, permohonan a quo menggunakan beberapa dasar pengujian berbeda, yaitu dengan menggunakan dasar pengujian Pasal 4 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 36 UUD 1945. Dengan demikian, tanpa harus memeriksa lebih jauh alasan-alasan yang berbeda dengan semua permohonan sebelumnya, adanya beberapa dasar pengujian tersebut telah terang dan cukup bagi Mahkamah untuk menyatakan permohonan Pemohon dapat diajukan kembali. [3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan menilai konstitusionalitas Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017. [3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh permohonan Pemohon, perlu Mahkamah kemukakan, setelah mempelajari secara saksama dalil permohonan Pemohon yang pada pokoknya telah diuraikan dalam Paragraf [3.7], dari semua dalil tersebut hanya dalil angka 2 yang memiliki ketersambungan atau benang merah dengan petitum Pemohon. Oleh karena itu, Mahkamah akan memulai terlebih dahulu mempertimbangkan dalil yang termaktub pada angka 2 tersebut dikaitkan dengan petitum Pemohon. Pertimbangan hukum Mahkamah didasarkan pada kelompok isu dari ketiga norma yang dimohonkan tersebut sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa berkenaan dengan syarat pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden, in casu syarat sebagaimana termaktub dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 telah pernah diputus oleh Mahkamah. Berkenaan dengan kedua norma tersebut, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, dalam Sub-paragraf [3.19.3] mempertimbangkan sebagai berikut: [3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud. Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan Pemohon dalam permohonan a quo pada intinya tidak jauh berbeda dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan Mahkamah tidak atau belum memiliki alasan hukum yang kuat untuk mengubah pendiriannya. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 mutatis mutandis berlaku menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo. Artinya, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 adalah konstitusional. (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XXI/2023, hlm. 47-48, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 Februari 2023); [3.12.2] Bahwa isu kedua adalah berkenaan dengan norma Pasal 222 UU 7/2017. Sampai sejauh ini, norma dimaksud pernah diuji konstitusionalitasnya sebanyak 27 (dua puluh tujuh) permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dari kesemua putusan tersebut, terdapat 5 (lima) putusan yang amar putusannya menyatakan menolak permohonan Pemohon, sedangkan putusan-putusan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima. Oleh karena isu konstitusional yang dimohonkan dalam permohonan a quo pada intinya tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya berkenaan dengan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Merujuk semua putusan tersebut, pada intinya Mahkamah berpendirian bahwa ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah konstitusional. Oleh karena itu, pertimbangan hukum dalam putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan norma Pasal 222 UU 7/2017 mutatis mutandis berlaku pula menjadi pertimbangan hukum dalam putusan a quo. [3.12.3] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon yang menyatakan norma Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa selain pokok permohonan sebagaimana dipertimbangkan dalam Paragraf [3.12] di atas, Pemohon juga mengajukan dalil-dali lain. Oleh karena dalil-dalil tersebut tidak jelas dan tidak memiliki ketersambungan (benang merah) dengan bagian petitum, Mahkamah menganggap tidak terdapat relevansinya untuk mempertimbangkan dalil-dalil dimaksud. Begitu pula dengan provisi Pemohon yang meminta Mahkamah “menyatakan Kaidah Hukum tunduk pada Kaidah Bahasa Indonesia”, menurut Mahkamah petitum berkaitan dengan provisi demikian adalah tidak jelas atau bersifat kabur sehingga harus dikesampingkan; [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas terhadap pengujian Pasal 169 huruf n, Pasal 227 huruf i, dan Pasal 222 UU 7/2017 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 2/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Drs. Edi Damansyah, M.Si (Bupati Kutai Kartanegara), yang memberikan kuasa kepada Muhammad Nursal, S.H., Advokat & Konsultan Hukum di Kantor Hukum Nursam & Partner, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016

Pasal 28D ayat (1) dan (3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.13] Menimbang bahwa berkaitan dengan masalah konstitusionalitas yang dipersoalkan Pemohon pada pokoknya adalah mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 secara bersyarat sebagaimana yang termaktub dalam Petitum Permohonan Pemohon. Terhadap permohonan tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 secara bersyarat yang pada pokoknya menjelaskan Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara memiliki hak konstitusional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 untuk mencalonkan kembali sebagai Bupati sebagaimana yang telah ditentukan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yaitu: “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: n belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;” Menurut Pemohon, kata “menjabat” dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 belum memenuhi perlindungan hak atas kepastian hukum Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena tidak jelas kepada pejabat siapa ditujukan pembatasan periodisasi masa menjabat Bupati dimaksud, 48 apakah hanya ditujukan bagi Bupati yang menjabat secara definitif ataukah sekaligus dengan yang pernah menjabat sebagai pejabat sementara; [3.13.2] Bahwa berkaitan dengan hal tersebut, sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa berkaitan dengan persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah, Mahkamah dalam putusannya, antara lain Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 17 November 2009, telah berpendirian dalam pertimbangan hukumnya yang pada pokoknya sebagai berikut: ’’[3.18] Menimbang bahwa yang menjadi persoalan ialah bagaimana jika masa jabatan periode pertama tidak penuh karena Pemohon menggantikan Pejabat Bupati/Walikota yang berhenti tetap, misalnya Pemohon II menjabat Bupati Karimun periode pertama selama kurang dari satu tahun (kurang dari separuh masa jabatan), sedangkan Pihak Terkait I menjabat Walikota Surabaya selama dua tahun sembilan bulan atau lebih dari separuh masa jabatan. Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak; Mahkamah menilai tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih masa jabatan. Oleh sebab itu berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”; [3.13.3] Menimbang bahwa selain itu berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, Mahkamah juga telah berpendirian dalam pertimbangan hukum Putusan tersebut antara lain: “Dengan memahami secara saksama pertimbangan hukum di atas, substansi yang berkaitan dengan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah telah dipertimbangkan sedemikian rupa untuk memberikan kepastian hukum. Artinya, norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 yang menyatakan, “Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, harus dimaknai sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 dimaksud. [3.17.3] Bahwa berdasarkan pemaknaan tersebut, khususnya pertimbangan yang menyatakan, “Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga persoalan permohonan para Pemohon yang memohon agar frasa sebagaimana dimaksudkan dalam Petitum para Pemohon yang menyatakan, “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat sebagai Gubernur, Bupati, Walikota dan/atau menjadi Pejabat Gubernur, Bupati, Walikota” telah dijawab secara tegas dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat tidak terdapat masalah konstitusionalitas dalam norma yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo”. Berdasarkan pertimbangan putusan-putusan di atas, khususnya pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang menyatakan “masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari setengah masa jabatan” yang dikuatkan kembali dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUUXVIII/2020 yang menyatakan, “…setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat Kepala Daerah atau sebagai Pejabat Kepala Daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan”, sehingga Permohonan Pemohon yang menghendaki agar kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif”, dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum Putusan tersebut. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum dan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Dengan demikian, kata “menjabat” adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ”masa jabatan yang telah dijalani” tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun pejabat sementara, sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, kata “menjabat” dalam frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 adalah tidak bertentangan dengan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; tidak bertentangan dengan prinsip setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana termaktub pula dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945; dan tidak bertentangan dengan hak dan kebebasan setiap orang untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dalam permohonan a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Fernando M. Manullang, Dina Listiorini, Eriko Fakri Ginting, dan Sultan Fadillah Effendi dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, dkk, kesemuanya adalah advokat/pengacara dan penasihat hukum di kantor hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum para Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden serta tindak pidana penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara sebagaimana tertuang dalam Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan norma tersebut, para Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3, bukti P-4, bukti P-5, dan bukti P-7]. Para Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya Pasal-Pasal a quo, sehingga para Pemohon menyatakan tidak diperlukannya pasal yang mengatur secara tersendiri terkait penghinaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, maupun Lembaga Negara; [3.6.2] Bahwa norma Pasal-Pasal a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, Undang-Undang a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun Permohonan para Pemohon diajukan pada tanggal 9 Januari 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 12 Januari 2023, sehingga pada saat Permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, Undang-Undang a quo yang diajukan pengujiannya belum berlaku; [3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini, para Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh para Pemohon, telah ternyata hak konstitusional para Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh para Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”. Berkaitan dengan itu, berdasarkan Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, “Undang-Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan”. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada para Pemohon; [3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian berakibat hukum UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, para Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif; [3.6.5] Bahwa di samping fakta hukum tersebut di atas, para Pemohon juga tidak memberikan bukti yang cukup dalam menjelaskan kedudukan hukumnya yang menurut para Pemohon hak konstitusionalnya dianggap dirugikan, baik bersifat aktual maupun potensial yang terjadi atau akan terjadi kepada para Pemohon dalam menjalankan aktivitas yang terkait dengan pekerjaannya dan dianggap dapat terancam dengan berlakunya pasal yang diajukan pengujiannya. Bahkan, jika anggapan kerugian konstitusional para Pemohon tersebut dikaitkan dengan KUHP yang saat ini masih berlaku, para Pemohon pun tidak memberikan bukti yang cukup tentang aktivitas para Pemohon yang dapat diancam dengan KUHP khususnya pasal yang terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, karena sesungguhnya KUHP yang berlaku saat ini pun dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal-pasal KUHP yang masih berlaku, masih mengatur bentuk perlindungan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah, maupun Lembaga Negara dari penghinaan dan pencemaran nama baik, sebagaimana perlindungan terhadap hak-hak warga negara; [3.6.6] Bahwa berkenaan dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023 yang diucapkan sebelumnya dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, di antaranya telah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana dalam putusan tersebut Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana. [3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pendirian demikian, juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda. Dengan demikian, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023 di atas mutatis mutandis berlaku pada putusan ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena terkait ketentuan Pasal 218 ayat (1), Pasal 219, Pasal 240 ayat (1), dan Pasal 241 ayat (1) UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga terhadap hal demikian Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan yang prematur. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut. [3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 8/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Trijono Hardjono, Muhammad Afif Syairozi, Salyo Kinasih Bumi, Abdul Ghofur, S.H., Hendrikus Rara Lunggi, Frederikus Patu, dan Muhammad Fajar Ar Rozi untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 7 ayat (1) huruf b, Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011

Pasal 12, Pasal 22 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 22A, Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 27 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 30 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU PPP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: Bahwa para Pemohon dalam menguraikan sebagai relawan jaringan Program Demokrasi Musyawarah Indonesia, menguraikan telah membentuk sejumlah lembaga alat perjuangan sesuai dengan kebutuhan wilayah dan bidang garapan. Meskipun telah memberikan beberapa bukti [vide bukti P-1A, bukti P-1B, dan bukti P-1C], bukti tersebut tidak cukup menyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian, yaitu berkenaan dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011. Selain itu, para Pemohon tidak menguraikan secara jelas ihwal anggapan hak konstitusional para Pemohon yang dirugikan akibat berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011. Dalam hal ini, para Pemohon hanya menerangkan sebagai warga negara Indonesia merupakan relawan jaringan Program Demokrasi Musyawarah Indonesia telah merasakan “kemandegan” negara di seluruh sektor ekonomi dan perdagangan karena tidak adanya pengendalian dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pada berbagai bidang pembangunan. Sebagaimana diterangkan para Pemohon, hal demikian terjadi akibat norma Konstitusi yang tidak sesuai dengan Pancasila secara sistemik, struktural, dan konsepsional konstitusional. Seluruh uraian kerugian hak konstitusional yang diuraikan tersebut sesungguhnya bukanlah merupakan uraian ihwal anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, serta Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian UndangUndang (PMK 2/2021), melainkan hanya uraian mengenai frasa-frasa berupa kepentingan, kehendak, dan harapan. Para Pemohon juga tidak dapat menjelaskan keterkaitan Penjelasan pasal-pasal a quo secara aktual atau setidak-tidaknya potensial dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah para Pemohon tidak mampu menguraikan secara spesifik, aktual, maupun potensial hak konstitusionalnya yang menurut anggapan para Pemohon dirugikan atau dalam batas penalaran yang wajar setidak-tidaknya potensial dirugikan oleh berlakunya Penjelasan Pasal-Pasal a quo. Bahwa terkait dengan hal di atas, dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada tanggal 24 Januari 2023, Majelis Hakim Panel telah memberi nasihat kepada para Pemohon agar memperbaiki uraian kedudukan hukumnya sehingga Mahkamah dapat meyakini bahwa para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan [vide Risalah Sidang tanggal 24 Januari 2023]. Namun dalam perbaikan permohonan, para Pemohon masih belum mampu menguraikan kerugian hak konstitusional yang bersifat aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Artinya, para Pemohon tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang dialaminya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011; Bahwa selain itu, jika dibaca permohonan para Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, Kedudukan Hukum Pemohon, Pokok Permohonan, Kesimpulan, dan Petitum. Terhadap Perbaikan Permohonan a quo dimaksud pada dasarnya Mahkamah dapat memahami telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021. Namun, setelah Mahkamah memeriksa secara saksama pada bagian alasan-alasan permohonan (posita), para Pemohon sama sekali tidak menguraikan argumentasi mengenai pertentangan antara Penjelasan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Dalam hal ini, para Pemohon lebih fokus menguraikan masalah kekosongan hukum berkenaan dengan kewenangan pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR). Terlebih lagi, para Pemohon tidak menguraikan argumentasi konstitusional yang cukup mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian. Selanjutnya permintaan para Pemohon sebagaimana termaktub dalam petitum adalah tidak jelas atau setidak-tidaknya tidak sesuai dengan kelaziman petitum pengujian undang-undang. Dalam hal ini, sekalipun telah dinasihati Majelis Panel, masih ditemukan petitum “kosong”, yaitu Petitum Angka 2 dan Angka 3, serta Petitum Angka 5, “Menyatakan bahwa Tap MPRS/MPR materi muatan Pasal 6 Ketetapan MPR.RI Nomor I/MPR Tahun 2003 yang bersifat regelling, meski dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, masih berlaku sepanjang nyata-nyata belum dicabut oleh Ketetapan MPR.RI yang lain”. Begitu pula dengan Petitum Angka 6, “Menyatakan selebihnya atas implikasi yuridis pernyataan materi muatan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, menjadi ranah Legislative Review”. Kesemua petitum itu adalah tidak lazim. Secara formal, petitum-petitum yang demikian bukanlah rumusan petitum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d PMK 2/2021. Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak mengalami kerugian hak konstitusional baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Penjelasan Pasal 18 huruf b UU 12/2011. Selain itu, tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya Penjelasan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainya pun para Pemohon memiliki kedudukan hukum, quod non, permohonan para Pemohon adalah tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi persyaratan formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021; [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.