Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 4/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Anita Natalia Manafe, S.H. yang memberikan kuasa kepada Alvin Lim, S.H., M.Sc, dkk, advokat pada Law Firm LQ Indonesia, untuk selanjutnya disebut Pemohon

Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 ayat 1 huruf (a) KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali. [3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. [3.10.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 5 KUHAP, yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015, bertanggal 22 Maret 2016. Dasar pengujian yang digunakan adalah Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, dan Pasal 28H UUD 1945, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bahwa Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 126/PUU-XIII/2015 berargumentasi Pasal 5 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena adanya penggunaan laporan yang telah dicabut/dibatalkan/tidak berlaku masih digunakan sebagai dasar bagi kepolisian untuk melakukan penyidikan, sedangkan Pemohon dalam perkara a quo berargumentasi Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 karena ketiadaan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ tidak memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dalam memperjuangkan haknya untuk mendapat keadilan. [3.10.3] Bahwa walaupun objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon a quo sama dengan Perkara Nomor 126/PUU-XIII/2015, namun perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda yaitu Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan juga memiliki alasan yang berbeda, yaitu agar penghentian penyelidikan ditambahkan ke dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP. Oleh karena itu, dengan adanya perbedaan sebagaimana telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.10.2] di atas, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan menurut hukum atau tidak maka secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali; [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah penghentian penyelidikan oleh penyelidik apabila tidak ditambahkan sebagai kewenangan penyelidik yang “tidak mengadakan penghentian penyelidikan“ dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa terkait dengan isu konstitusional yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonan a quo tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas yang didalilkan dalam permohonan-permohonan sebelumnya, yaitu Permohonan Nomor 9/PUU-XVII/2019 dan Nomor 53/PUU-XIX/2021. Oleh karena itu, terlebih dahulu Mahkamah perlu menegaskan kembali pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 yang kemudian dikutip atau ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIX/2021, khususnya dalam Paragraf [3.14] yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.14] ……pada tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup bahwa suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Karena belum ditemukan adanya peristiwa pidana maka tidak ada proses yang menindaklanjuti dalam bentuk penegakan hukum (pro justitia) yang di dalamnya dapat melekat kewenangan pada penyidik yang menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang dapat berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang, sehingga esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan yang belum dapat “bekerja” dikarenakan dalam tahap penyelidikan belum ada upaya-upaya paksa yang dapat berakibat adanya bentuk perampasan kemerdekaan baik orang maupun benda/barang. Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak pada tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan. Pertimbangan Mahkamah a quo semakin menegaskan definisi dari Penyelidikan yang diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Oleh karena itu, dengan mencermati arti sesungguhnya dari penyelidikan dapat diperoleh kesimpulan bahwa proses penyelidikan adalah suatu rangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana untuk dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan penyidikan. Dengan demikian, meskipun dalam proses penyelidikan tidak dikenal secara tegas adanya penghentian penyelidikan, namun dengan adanya bagian proses penyelidikan yang memberikan kewenangan kepada penyelidik untuk menentukan serangkaian tindakan penyelidik dapat atau tidaknya ditindaklanjuti dengan proses penyidikan, hal tersebut menunjukkan bahwa penyelidik diberi kewenangan untuk membuat keputusan dapat atau tidaknya penyelidikan tersebut ditingkatkan ke dalam tahap penyidikan. Sehingga, meskipun tidak dicantumkannya penghentian penyelidikan dalam norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, hal tersebut bukan berarti tidak ada kewenangan bagi penyelidik untuk menghentikan penyelidikan. Justru terhadap proses penyelidikan yang tidak memenuhi syarat-syarat normatif dan tidak dilakukan penghentian penyelidikan maka hal tersebut dapat menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. [3.11.2] Bahwa adalah benar Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak mengatur mengenai penghentian penyelidikan, namun apabila kemudian terjadi tindakan penghentian penyelidikan karena peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana ternyata tidak memenuhi unsur-unsur adanya peristiwa pidana, maka hal tersebut tidak serta merta menjadi bertentangan dengan UUD 1945 khususnya kepastian hukum yang adil. Hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 di antaranya adalah menjamin adanya kepastian hukum yang adil, sehingga menurut Mahkamah, penghentian penyelidikan terhadap peristiwa yang bukan merupakan tindak pidana justru memberi kepastian hukum. Hal itu dengan mendasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 khususnya Sub-paragraf [3.13.1] hlm. 22 yang menyatakan: “… Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksudkan pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana. Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut diperlukan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya. Meskipun secara formal tentang penghentian penyelidikan tidak dikenal dalam KUHAP, namun sesungguhnya hal tersebut tidak serta-merta menjadikan laporan atau pengaduan yang telah ditindaklanjuti dengan penyelidikan tersebut tidak dapat dibuka kembali. Hal ini karena secara substansial sepanjang pada perkembangan selanjutnya apabila terhadap laporan atau pengaduan tersebut ditemukan bukti baru maka hal itu dapat menjadi alasan bahwa penyelidikan tersebut dapat dilanjutkan kembali.” Dengan berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut di atas, maka tindakan penghentian penyelidikan oleh penyelidik meskipun tidak secara tegas diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terlebih setiap laporan adanya dugaan tindak pidana setelah dilakukan penyelidikan tidak terdapat cukup bukti untuk ditindaklanjuti ke dalam tahap penyidikan. Demikian pula terhadap proses penyelidikan yang sudah dilakukan penghentian penyelidikan tidak tertutup kemungkinan dapat dilakukan penyelidikan kembali sepanjang terhadap laporan adanya dugaan tindak pidana yang bersangkutan ditemukan alat bukti baru. Dengan demikian, penghentian penyelidikan yang tidak diatur secara khusus ke dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak menghalangi hak konstitusional Pemohon sebagai Pelapor untuk mendapatkan keadilan. Bahwa secara doktriner dan apabila dikaitkan dengan prinsip hukum administrasi negara, in casu meskipun terhadap penghentian penyelidikan tidak dikenal atau tidak diatur di dalam KUHAP, namun hal tersebut tetap memberikan diskresi (asas freies ermerssen) kepada pejabat tata usaha negara dalam hal ini adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), yaitu menggunakan kebijakannya untuk mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundangan dengan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Terlebih, terkait dengan penghentian penyelidikan, Kapolri sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, misalnya telah menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyelidikan. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai legalitas Surat Edaran Kapolri sebagaimana tersebut di atas telah ternyata di dalam Surat Edaran Kapolri tersebut telah mengatur tentang tata cara dan tahapan dalam penghentian penyelidikan. [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat, meskipun norma Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tidak ditambah dengan frasa “tidak mengadakan penghentian penyelidikan” sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon ternyata norma a quo telah memberikan kepastian hukum yang adil sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 3/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Endang Kusnandar, Asyriqin Syarif Wahadi, Kahono Wibowo, Mohamad Abdurrahman, Yusran, Pipit Haryanti, S. EI., dan Rusmanto, yang memberikan kuasa kepada Deny Syahrial Simorangkir, S.H., M.H., dkk., para advokat pada Kantor LBH Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia (LPM RI) untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014

Pasal 18 ayat (2), 18 ayat (6), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 25, Pasal 39 ayat (1), dan Pasal 48 UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas maka dengan bersandar pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 UU MK dimaksud; [3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan halhal sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa UU 6/2014 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) yang menyatukan pengaturan desa dengan pemerintahan daerah. Untuk menguatkan keberadaan desa dan sejalan dengan maksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, perlu diatur dalam undang-undang tersendiri. Adanya pengaturan tersebut akan memberikan landasan yang kuat terhadap keberadaan desa termasuk desa adat karena selama ini kesatuan masyarakat hukum adat menjadi bagian dari wilayah desa, sehingga tidak dapat secara maksimal melaksanakan hak-hak asal usulnya, terutama terkait dengan pelestarian sosial desa adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli. Dengan dipertegasnya keberadaan desa adat maka untuk pengaturan pengangkatan kepala desa dan masa jabatannya ditentukan sendiri oleh masyarakat desa adat. Hal inilah yang membedakan antara penyelenggaraan pemerintahan desa adat dengan penyelenggaraan pemerintahan desa. Walaupun antara desa dan desa adat melakukan tugas yang hampir sama, namun untuk pengaturan mengenai pengangkatan dan masa jabatan kepala desa dilakukan sesuai dengan UU 6/2014 [vide Bab V tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Penjelasan Umum, dan Pasal 109 UU 6/2014]. [3.11.2] Bahwa salah satu tujuan dibentuknya UU 6/2014 adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat desa. Adanya pengakuan dan penghormatan tersebut harus dilandasi oleh asas keberagaman sesuai dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, UU 6/2014 memberikan penekanan yang kuat terhadap keberagaman dengan menyatakan “desa atau yang disebut dengan nama lain”. Oleh karena itu, dalam Pasal 6 UU 6/2014 dinyatakan penyebutan desa atau desa adat dapat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Selanjutnya, dijelaskan dalam Pasal 6 UU 6/2014, adanya pengaturan desa dan desa adat tersebut adalah untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan, duplikasi kelembagaan antara desa dan desa adat dalam 1 (satu) wilayah sehingga dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat desa atau desa adat. [3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 25 UU 6/2014 yang menentukan penyebutan “Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain” telah menimbulkan ketidakpastian sehingga Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mengalami diskriminasi perlakuan akibat adanya penyebutan kepala desa, misalnya dengan sebutan Kuwu atau Petinggi sebagaimana Surat Keputusan Pengangkatannya oleh Bupati. Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan esensi Pasal 25 UU 6/2014 yang pada pokoknya penyebutan kepala desa pada suatu desa tidak harus “kepala desa” tetapi dapat digunakan sebutan lain sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Sebagaimana halnya juga penyebutan desa dapat digunakan dengan penyebutan nama lain. Penggunaan nama lain tersebut diakomodasi dalam UU 6/2014 sejalan dengan amanah dan semangat yang melatarbelakangi perumusan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Hal tersebut juga menjadi dasar pemikiran yang melandasi pembentukan UU 6/2014 bahwa: Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hakhak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. [vide Penjelasan Umum UU 6/2014] Bertolak dari pemikiran tersebut, desa atau yang disebut dengan nama lain tersebut tidak datang secara tiba-tiba tetapi penyebutan tersebut sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka yang kemudian dilestarikan sebagai wujud asas rekognisi terhadap hak asal usul desa. Namun, dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa mempunyai karakteristik yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia sehingga berlaku sepenuhnya UU 6/2014. Sedangkan, untuk Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan kehidupan sosial budaya masyarakat desa. Berkenaan dengan adanya frasa “dengan nama lain”, pilihan demikian menunjukkan fleksibilitas dalam pengaturan yang dalam praktik dapat disesuaikan dengan keberagaman dalam pengelolaan pemerintahan desa di Indonesia. Berkenaan dengan dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang beranggapan bahwa adanya penyebutan lain dari Kepala Desa telah menimbulkan ketidakpastian dan pada faktanya sering kali menimbulkan kesulitan administrasi karena sebutan tersebut harus tertera dalam kop surat maupun stempel, di mana tidak setiap instansi memahami sebutan di luar penyebutan kepala desa yang sudah umum digunakan, menurut Mahkamah, persoalan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari penerapan norma yang mengharuskan kepala desa atau yang disebut dengan nama lain beserta perangkatnya melakukan, misalnya sosialisasi atas sebutan lain dari kepala desa tersebut sesuai dengan Surat Keputusan pengangkatannya. Dengan kata lain, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 25 UU 6/2014. [3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon I sampai dengan Pemohon VI mendalilkan juga ketentuan masa jabatan kepala desa 6 (enam) tahun dalam norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 bertentangan dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) UUD 1945 karena adanya pembatasan masa jabatan tersebut tidak mencukupi bagi kepala desa dalam melaksanakan visi dan misinya sehingga seharusnya menurut Pemohon I sampai dengan Pemohon VI, masa jabatan kepala desa ditentukan sendiri oleh desa sesuai dengan adat istiadat desa. Terhadap dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI a quo, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menjelaskan secara utuh ketentuan mengenai masa jabatan kepala desa dalam UU 6/2014. Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014 menyatakan, “Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan”. Selanjutnya, dalam ayat (2) menyatakan, “Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut”. Sementara itu, terkait dengan Penjelasan kedua ayat tersebut pada alinea pertama menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘terhitung sejak tanggal pelantikan’ adalah seseorang yang telah dilantik sebagai Kepala Desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 (enam) tahun”. Selanjutnya berkenaan dengan Penjelasan alinea kedua, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021, bertanggal 20 September 2021, telah dinyatakan konstitusional bersyarat yang amar putusannya menyatakan sebagai berikut: “Kepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undangundang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode”. Berkaitan dengan uraian di atas, UU 6/2014 telah terang benderang menghendaki masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan apabila terpilih kembali maka yang bersangkutan dapat menduduki jabatannya hingga 3 (tiga) periode atau sama dengan maksimal 18 (delapan belas) tahun baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Hal ini yang membedakannya dengan kepala desa dari Desa Adat di mana masa jabatan kepala desanya tidak mengikuti ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 melainkan berdasarkan ketentuan Pasal 109 UU 6/2014 yang menyatakan, “Susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan Kepala Desa Adat berdasarkan hukum adat ditetapkan dalam peraturan daerah Provinsi”. Dalam hal ini, dijelaskan untuk pengisian jabatan dan masa jabatan Kepala Desa Adat berlaku ketentuan hukum adat di Desa Adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah [vide Penjelasan Umum UU 6/2014]. Oleh karena itu, dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang menginginkan agar masa jabatan kepala desa ditentukan oleh desa itu sendiri justru akan menimbulkan tumpang tindih dengan pengaturan bagi Desa Adat di mana sepanjang memenuhi persyaratan ketentuan Pasal 97 UU 6/2014, desa adat dapat mengatur sendiri masa jabatan kepala desanya yang dapat tidak mengikuti ketentuan periodesasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU 6/2014. Sementara, yang dimohonkan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon VI adalah masa jabatan Kepala Desa yang bukan Desa Adat di mana kepala desanya dipilih secara langsung oleh dan dari penduduk desa yang memenuhi persyaratan sehingga bagi Kepala Desa tersebut berlaku periodesasi sebagaimana ketentuan Pasal 39 UU 6/2014 yang Penjelasan alinea keduanya telah diberikan pemaknaan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUUXIX/2021. Jika hal ini dihilangkan dan diatur sendiri oleh masyarakat desa, justru akan menimbulkan ketidakjelasan perbedaan antara desa dan desa adat. Oleh karenanya, persoalan ketidakcukupan waktu bagi kepala desa dalam menjalankan visi dan misinya selama periode masa jabatan 6 (enam) tahun sebagaimana dalil Pemohon I sampai dengan Pemohon VI bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Terlebih, jika dibandingkan dengan masa jabatan pejabat publik lain yang juga dipilih secara langsung, yakni ditentukan hanya 5 (lima) tahun dan dapat dipilih lagi untuk sekali masa jabatan sehingga jika menjabat 2 (dua) kali masa jabatan menjadi maksimal 10 (sepuluh) tahun. Sementara, masa jabatan Kepala Desa dapat maksimal hingga 18 (delapan belas) tahun sehingga seharusnya Kepala Desa tersebut dapat memaksimalkan pelaksanaan visi dan misinya jika yang bersangkutan terpilih kembali. Dengan demikian, persoalan stabilitas politik yang didalilkan Pemohon I sampai dengan Pemohon VI karena Kepala Desa yang telah menjabat tersebut harus berkompetisi kembali untuk masa jabatan berikutnya sesungguhnya merupakan ekspresi dari kekhawatiran Pemohon I sampai dengan Pemohon VI yang tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 39 ayat (1) UU 6/2014. [3.14] Menimbang bahwa terkait dengan dalil Pemohon VII yang mempersoalkan norma Pasal 48 UU 6/2014 yang menyeragamkan penyebutan Perangkat Desa sehingga bertentangan dengan otonomi desa dan menimbulkan multitafsir sebagaimana dijamin oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (6) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena masyarakat tidak mengenal istilah Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) dan Sekretaris sebagai bagian dari perangkat desa, tetapi lebih mengenal sebutan misalnya Pamong Desa atau Modin, Bayan, Jogoboyo, Ulu-ulu, Lebe, Raksa Bumi, Juru Tulis, Carik, Kebayan, Ladu, Kamituwo, Petengan, Bekel. Oleh karena itu, menurut Pemohon VII dalam proses seleksi Perangkat Desa, banyak calon Perangkat Desa yang tidak mengetahui tugas dan kewajiban atas jabatan yang akan dilamar karena perubahan penyebutan Perangkat Desa yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Berkenaan dengan dalil Pemohon VII a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa esensi Pasal 48 UU a quo yang mengatur khusus mengenai Perangkat Desa yang merupakan unsur staf dengan tugas membantu kepala desa dalam penyusunan kebijakan dan koordinasi yang diwadahi dalam sekretariat desa, dan unsur pendukung tugas “kepala desa” dalam pelaksanaan kebijakan yang diwadahi dalam bentuk pelaksana teknis dan unsur kewilayahan. Oleh karena itu, unsur Perangkat Desa terdiri atas sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, dan pelaksana teknis. Untuk pengangkatan Perangkat Desa, “Kepala Desa” harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan camat yang bertindak atas nama Bupati/Walikota. Namun demikian, dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya sebagai Perangkat Desa bertanggung jawab kepada “Kepala Desa”. Selanjutnya berkenaan dengan persoalan penyebutan Perangkat Desa yang menurut Pemohon VII tidak sesuai dengan kearifan lokal karena diseragamkan, sebagaimana pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.11] di atas, sesungguhnya penyebutan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain didasarkan pada hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia [vide Pasal 1 UU 6/2014]. Bahkan, untuk pengaturan perangkat desa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana yang Pemohon VII dalilkan. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya UU 6/2014 yang menyatakan salah satunya adalah untuk memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, UU 6/2014 tidak melakukan upaya penyeragaman penyebutan. Bahkan, desa dapat menggunakan sebutan lain yang didasarkan pada hak asal usul desa yang sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat desa. Dengan demikian, desa dapat lebih mudah melakukan kewajibannya untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat desa, dan memberikan serta meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa [vide Pasal 67 ayat (2) huruf d dan huruf e UU 6/2014]. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma dalam Pasal 48 UU 6/2014. Sementara itu, berkaitan dengan dalil Pemohon VII mengenai ketidaktahuan calon Perangkat Desa terkait tugas dan kewajiban yang akan dijabat karena adanya penyeragaman penyebutan Perangkat Desa, hal tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak, yang memberikan kuasa kepada Ahmad Irawan S.H., dan Zain Maulana Husein, S.H., M.Kn, advokat pada kantor hukum Ahmad Irawan & Associates, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan mengenai pengaturan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) dalam UUD 1945 sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, maka kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara demokratis. Secara historis, momentum reformasi menjadikan semangat aspirasi rakyat untuk melakukan evaluasi atas Pilkada yang sebelumnya dilaksanakan secara tidak langsung, di mana rakyat memilih wakilnya dalam legislatif di tingkat daerah dan kemudian para legislator yang memiliki hak dan kewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Diskursus mengenai desain penyelenggaraan Pilkada tersebut juga disampaikan pada pembahasan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang mempersiapkan perubahan UUD 1945 tahun 2000. Selanjutnya hasil kesepakatan yang menjadi keputusan MPR dalam perubahan kedua UUD 1945 adalah dengan menggunakan frasa “dipilih secara demokratis” yang merupakan jalan tengah antara pendapat yang menyerukan dipilih secara langsung atau tidak langsung. Terkait dengan pengertian “dipilih secara demokratis” tersebut, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004, bertanggal 22 Maret 2005 sebagai berikut: Bahwa untuk memberi pengertian dipilih secara langsung sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, Mahkamah juga mengaitkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, yang sebagaimana halnya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah hasil perubahan ke dua UUD 1945 Tahun 2000. Pasal 18B ayat (1) berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.” Dengan dirumuskan “dipilih secara demokratis“ maka ketentuan Pilkada juga mempertimbangkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah di daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas. … Bahwa untuk melaksanakan Pasal 18 UUD 1945 diperlukan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang substansinya antara lain memuat ketentuan tentang Pilkada. Dalam hubungan itu, Mahkamah berpendapat bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut adalah kewenangan pembuat undang-undang untuk memilih cara pemilihan langsung atau cara-cara demokratis lainnya. Karena UUD 1945 telah menetapkan Pilkada secara demokratis maka baik pemilihan langsung maupun cara lain tersebut harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan “dipilih secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-II/2004 adalah tidak hanya terbatas pada model pemilihan secara langsung atau tidak langsung, melainkan mencakup juga model pemilihan yang lain dalam rangka menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa sesuai dengan amanat Pasal 18B ayat (1) UUD 1945; [3.11.2] Bahwa selain terkait dengan model pemilihan, konstitusi ternyata tidak secara eksplisit menentukan hal-hal lain terkait dengan Pilkada, seperti berapa lama masa jabatan kepala daerah, kapan waktu penyelenggaraan hingga siapakah badan yang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada. Melalui Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, konstitusi kemudian mendelegasikan kewenangan untuk menentukan lebih lanjut pengaturannya dalam undang-undang yang meliputi seluruh aspek rancang bangun sistem Pilkada yang akan digunakan, mulai dari model pemilihan sampai terkait teknis waktu penyelenggaraannya. Namun demikian, ruang pengaturan yang sangat luas tersebut bukan berarti tanpa batas, kata “demokratis” menjadi arah sekaligus tolok ukur rancang bangun penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam peraturan teknis di bawah UUD. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk mengatur rancang bangun penyelenggaraan Pilkada, selain harus berpedoman pada asas-asas pemilu yang berlaku secara umum, juga harus memperhatikan aspirasi masyarakat di daerah, khususnya mengenai prinsip kontestasi (contestation) dan partisipasi (participation), karena keduanya merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur peningkatan kualitas demokrasi elektoral. Dengan demikian, kualitas demokrasi penyelenggaraan Pilkada serentak nasional akan ditentukan antara lain oleh kontestan (the contesting candidates), baik yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik maupun perseorangan, dan sekaligus oleh partisipasi rakyat atau pemilih secara inklusif, bebas (free) dan jujur (fair); [3.12] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana dimaksud pada Paragraf [3.11] tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membuat para Pemohon tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih secara tetap dan sesuai dengan siklus jadwal pemilihan 5 (lima) tahun sekali, secara khusus Pemohon I harus menunggu lagi selama 2 (dua) tahun karena diundurkannya waktu pemilihan. Terhadap dalil para Pemohon demikian, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa pengaturan norma mengenai Pilkada dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah di luar Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dalam UUD 1945 memiliki beberapa implikasi. Salah satunya adalah perbedaan terkait waktu penyelenggaraan pemilihan, di mana siklus 5 (lima) tahun sekali yang telah ditentukan oleh konstitusi adalah untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 ayat (3) juncto Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, terkait dengan Pilkada, penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang selanjutnya diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; [3.12.2] Bahwa dalam rangka penyesuaian tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional terdapat beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya diundur dan terdapat pula beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya dimajukan. Dalam konteks masa peralihan yang demikian, tidak dapat dihindari dampak adanya penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) dalam Pilkada. Namun demikian, Mahkamah menilai penundaan atas pemenuhan hak warga negara dimaksud tidak berarti menghilangkan hak warga negara tersebut dan telah sesuai dengan konsep pembatasan hak yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sebab, hak warga negara untuk memilih dan dipilih pada hakikatnya merupakan hak yang pemenuhannya dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang. Berkenaan dengan hal tersebut Mahkamah dalam beberapa putusan telah mempertimbangkan terkait konstitusionalitas pembatasan pemenuhan atas hak konstitusional warga negara berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan ukuran yang selalu digunakan oleh Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas pembatasan hak warga negara adalah keseimbangan (balancing) antara pembatasan hak individu warga negara dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Dalam konteks demikian, Mahkamah menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) pada sebagian Pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 adalah masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terlebih, setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti kontestasi Pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, tetap terakomodir hak konstitusionalnya dalam Pilkada serentak tahun 2024 mendatang. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena telah membuat para Pemohon tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih secara tetap dan sesuai dengan siklus jadwal pemilihan 5 (lima) tahun sekali adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena desain penyelenggaraan pemilu yang diatur tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan menurut penalaran yang wajar membuat para Pemohon tidak mendapatkan pemilu yang berkualitas. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif (Anggota DPR, DPD dan DPRD) serta eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019 telah mendorong pembentuk undang-undang untuk mendesain ulang penyelenggaraan pemilu, termasuk pula Pilkada. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemerintah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi [vide Alinea ke-3 Penjelasan Umum UU 1/2015] yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UU 1/2015. Lebih lanjut Pasal 3 ayat (1) UU 1/2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itulah sejak saat itu Pilkada serentak secara nasional beserta segala aspek penyelenggaraannya mulai ditetapkan secara bertahap dari yang awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2027 kemudian berdasarkan UU 10/2016 diubah menjadi bulan November tahun 2024; [3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya terkait dengan desain keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 telah memberikan sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.16] Putusan a quo, sebagai berikut: 1 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; 2 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 3 Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 4 Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; 5 Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; dan 6 Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan model pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Pertimbangan pandangan Mahkamah terhadap penentuan model keserentakan yang dipilih merupakan domain pembentuk Undang-Undang tersebut juga kembali ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah terkait pilihan model keserentakan secara nasional dan lokal sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 November 2021, sebagai berikut: Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi. Dengan demikian, menjadi jelas pendirian Mahkamah bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan untuk menentukan rancang bangun penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk juga penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional sesuai dengan batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan sebagaimana dijelaskan pada Sub-paragraf [3.11.2] di atas; [3.13.3] Bahwa dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak secara nasional, sebenarnya telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020, dan November 2024. Oleh karena itu, sepanjang Pikada serentak tetap dipertahankan, desain penyelenggaraan Pilkada transisi demikian merupakan proses integrasi jadwal penyelenggaraan Pilkada yang waktunya saling terpisah satu sama lain menuju penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional setiap 5 (lima) tahun yang akan dimulai pada tahun 2024 dan seterusnya. Berdasarkan tahapan transisi tersebut, maka desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada tahun 2024 adalah pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu: (i) pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD serta (ii) beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional. Dengan mengacu pada pilihan model keserentakan pemilihan umum sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas, maka pilihan model pemilihan umum serentak yang ditentukan tersebut termasuk dalam kategori pilihan keenam, yaitu “Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”, sehingga pilihan keserentakan tersebut adalah telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena desain penyelenggaraan pemilu yang diatur tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan menurut penalaran yang wajar membuat para Pemohon tidak mendapatkan pemilu yang berkualitas adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon juga mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena dengan adanya pengunduran waktu pemilihan menyebabkan adanya jabatan kepala daerah yang kosong dan diisi oleh penjabat yang tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah. Terhadap dalil para Pemohon demikian, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa pengaturan adanya penjabat gubernur/bupati/walikota untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang pemilihannya ditunda sampai dengan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016. Berdasarkan norma a quo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023, akan diangkat penjabat gubernur/bupati/walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan hasil Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024. Untuk itu telah ditentukan pengisian Penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Penjabat Bupati atau Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama; [3.14.2] Bahwa di era otonomi daerah saat ini, kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah sangat besar dalam mengambil keputusan pemerintahan sehingga kepala daerah memegang peran dan posisi sentral dalam memajukan daerahnya. Kepemimpinan kepala daerah dalam birokrasi memegang peran penting untuk menciptakan governance yang kuat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, keberhasilan suatu pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Dalam doktrin universal hukum ketatanegaraan, pengisian jabatan negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara dan administrasi negara. Tanpa adanya pejabat yang mengisi jabatan, maka fungsi dari jabatan tersebut tidak dapat dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Berbagai instrumen hukum juga telah mengakomodir adanya pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kosong, mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perangkat hukum tersebut juga telah diaplikasikan dalam praktik pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah selama ini. Justru dengan adanya pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik akan tetap terakomodir serta stabilitas politik dan keamanan daerah akan tetap terjaga. Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon terhadap penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah, Mahkamah mempertimbangkan bahwa legitimasi dalam konteks penjabat kepala daerah diturunkan dari amanat atau perintah undang-undang [vide Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016]. Oleh karena itu, meskipun secara terbatas makna legitimasi artinya memperoleh dukungan langsung dari pemilih, namun dalam perspektif yang luas, legitimasi dapat diperoleh dari undang-undang yang dibentuk oleh wakil rakyat yang merupakan representasi rakyat. Dengan demikian, dalam hal untuk mengisi penjabat kepala daerah yang merupakan keniscayaan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk adalah yang memenuhi kualifikasi oleh undang-undang serta kinerjanya dapat dievaluasi oleh pejabat yang berwenang setiap waktu dan bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik, maka Mahkamah berpendapat pengisian penjabat kepala daerah tersebut dapat dibenarkan; [3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena dengan adanya pengunduran waktu pemilihan menyebabkan adanya jabatan kepala daerah yang kosong dan diisi oleh penjabat yang tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena mengakibatkan para Pemohon, dalam hal ini Pemohon II, diperlakukan secara diskriminatif karena nilai dari pilihannya dinilai secara berbeda dengan daerah lainnya yang kepala daerah hasil pemilihan memiliki masa jabatan 5 (lima) tahun, sedangkan pilihannya dalam Pilkada 2020 hanya akan menjabat paling lama 4 (empat) tahun. Terhadap dalil para Pemohon demikian, menurut Mahkamah, adanya perbedaan lamanya masa jabatan kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 bukanlah merupakan bentuk diskriminasi terhadap hasil pilihan para pemilih dalam setiap tahapan atau gelombang penyelenggaraan Pilkada. Mahkamah menilai, pembatasan terhadap masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut adalah dalam kerangka mencapai tujuan yang akan dicapai oleh negara, yaitu penyelenggaraan pemilihan umum serentak secara nasional sebagai desain baru proses pemilihan kepala daerah. Lagipula, pada tataran praktis, masyarakat yang telah menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada tahun 2020 telah mengetahui bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih nantinya akan menjabat sampai dengan tahun 2024 sebagaimana ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon. Pembatasan masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada masa transisi tersebut juga tidak sama sekali mengurangi hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik dan memperoleh kesempatan yang sama pula dalam menikmati perkembangan pembangunan daerahnya. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 karena para Pemohon, khususnya Pemohon II telah diperlakukan diskriminatif adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 telah ternyata memberikan kepastian hukum, tidak diskriminatif dan tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Fentje Eyfert Loway, S.H., M.H., T.R. Silalahi, S.H., M.H., Dra. Renny Ariyanny, S.H., M.H., LL.M., Dra. Martini, S.H., Fahriani Suyuti, S.H., M.H yang dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Abdul Rohman, S.H., dkk yang tergabung dalam kantor hukum RBT Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 11/2021 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.7] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah perlu mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan para Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 17 Maret 2021, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, pokok permohonan, serta petitum. Bahwa Panel Hakim telah menasihatkan kepada para Pemohon untuk mempertimbangkan petitum seperti apa yang tepat bagi permohonan para Pemohon, karena petitum permohonan para Pemohon kontradiktif antara petitum yang satu dengan yang lainnya. Pada satu sisi para Pemohon meminta agar pasal yang diajukan pengujian dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, di sisi lain para Pemohon meminta pula agar pasal yang diajukan pengujiannya tersebut dinyatakan konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat [vide perbaikan permohonan perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, petitum permohonan angka 2, angka 3, angka 4, dan angka 5, hlm. 38-39, serta Risalah Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, tanggal 17 Maret 2022, hlm. 14]. [3.7.2] Bahwa para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 30 Maret 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 7 April 2022. Bahwa setelah dicermati lebih lanjut perbaikan permohonan para Pemohon, di dalam posita, para Pemohon menguraikan mengenai alasan mengapa ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian [vide perbaikan permohonan perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, hlm. 29-30]. Demikian juga dengan petitum permohonan para Pemohon, walaupun telah diberikan nasihat oleh Panel Hakim pada sidang pendahuluan agar mempertimbangkan petitum yang tepat, akan tetapi para Pemohon tetap pada pendiriannya. Dalam hal ini, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar ketentuan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan juga meminta Mahkamah untuk memberikan tafsir terhadap pasal yang diajukan pengujian. Terhadap petitum ini telah dikonfirmasi kembali kepada para Pemohon pada saat sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan, dan para Pemohon melalui kuasanya menyatakan bahwa petitum yang diinginkan para Pemohon adalah Petitum yang tercantum di dalam perbaikan permohon yang dibacakan di dalam Persidangan [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 27/PUU-XX/2022, tanggal 07 April 2022, hlm. 8-9]. Bahwa terhadap petitum sebagaimana yang tercantum di dalam perbaikan permohonan para Pemohon yaitu Petitum angka 2, angka 3, angka 4 dan angka 5, menurut Mahkamah, petitum demikian bersifat kumulatif sehingga permintaan demikian menyebabkan kerancuan dan ketidakjelasan terkait apa sesungguhnya yang diminta oleh para Pemohon. Sebab, di satu sisi para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional), sementara di sisi lain para Pemohon memohon Mahkamah untuk menyatakan Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A UU 11/2021 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (inkonstitusional bersyarat). Berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif, quod non. Oleh karena itu, jika petitum sebagaimana yang dimohonkan para Pemohon dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar akan menimbulkan kerancuan norma sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan para Pemohon menimbulkan ketidakjelasan. Oleh karena itu, Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan a quo. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah kabur. [3.8] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, namun oleh karena permohonan para Pemohon adalah kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 23/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak yang memberikan kuasa kepada Leon Maulana Mirza Pasha, S.H., dkk, advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, maka isu konstitusionalitas yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah ketiadaan pelarangan pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam perjanjian baku bertentangan dengan UUD 1945? Sebelum menjawab isu konstitusionalitas tersebut, Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyebutkan salah satu tujuan didirikannya negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawab dalam urusan perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya. Dalam alur berpikir yang demikian, negara harus berperan secara aktif dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Masyarakat dalam konteks perekonomian, secara sederhana, terdiri atas masyarakat konsumen dan produsen atau pelaku usaha yang sama-sama berhak menikmati dan memperjuangkan hak-haknya masing-masing. Oleh karena itu, peranan aktif yang dilakukan negara adalah dalam rangka menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha sehingga akan mendorong terbentuknya iklim berusaha yang sehat dalam rangka mewujudkan perekonomian yang kokoh sebagai jalan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; [3.10.2] Bahwa upaya negara untuk berperanan secara aktif dalam bidang perekonomian tersebut, salah satunya dilakukan dengan memberikan landasan hukum atas perlindungan konsumen di Indonesia. Perlindungan hukum kepada konsumen ini menjadi hal yang penting mengingat semakin luasnya ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa dalam melintasi batas-batas wilayah suatu negara. Kondisi demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang di mana konsumen berada pada posisi yang lemah karena semakin banyaknya arus informasi yang disebarkan sebagai bagian dari strategi pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Hal ini sangat berpotensi menjadikan konsumen sebagai objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen [vide Penjelasan Umum UU 8/1999]. Di sinilah negara wajib mengambil peran secara aktif dengan menetapkan aturan main yang dapat mendorong perkembangan dunia bisnis sebagai motor perekonomian negara tanpa harus merugikan hak-hak yang dimiliki konsumen. Artinya, fokus perlindungan adalah tetap ditujukan kepada konsumen. Atas dasar kondisi tersebut, negara kemudian melakukan upaya pemberdayaan konsumen dengan memberlakukan UU 8/1999 sebagai undang-undang payung yang diharapkan dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif sekaligus mendorong iklim berusaha yang sehat, jujur dan kompetitif; [3.11] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah ketiadaan pelarangan pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam perjanjian baku bertentangan dengan UUD 1945 sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa aktivitas perekonomian, khususnya yang melibatkan produsen dan konsumen, berkaitan erat dengan sebuah perjanjian, baik secara lisan maupun secara tertulis. Perkembangan dunia bisnis modern kemudian menciptakan bentuk kontrak baru sebagai bagian untuk menstabilkan hubungan pasar yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dikenal dengan perjanjian baku dengan klausula baku di dalamnya. Dalam konteks perlindungan konsumen, bagi para pelaku usaha hal tersebut merupakan cara mencapai tujuan ekonomi yang efisien dan praktis, namun bagi konsumen, perjanjian baku ini semakin melemahkan posisi tawar (bargaining position) konsumen dan rentan terhadap penyalahgunaan yang bersifat kontraktual dalam hubungannya dengan produsen atau pelaku usaha. Oleh karena itu, UU 8/1999 secara tegas melarang penggunaan klausula baku pada setiap perjanjian yang memuat klausul tentang pengalihan tanggung jawab pelaku usaha, mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen, penghilangan atau pengurangan hak konsumen dan lain sebagainya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 UU 8/1999; [3.11.2] Bahwa dalam rezim hukum tentang perikatan, segala bentuk perjanjian harus tunduk pada asas-asas umum perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), seperti asas konsensualisme sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Berdasarkan asas konsesualisme, maka perjanjian telah sah dan memiliki akibat hukum sejak konsesus tercapai antara para pihak mengenai hal pokok (esensialia) dalam perjanjian. Sedangkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka sejatinya setiap orang boleh membuat perjanjian dalam bentuk dan berisi apapun sepanjang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang (hukum), kesusilaan atau ketertiban umum sesuai dengan Pasal 1337 KUH Perdata. Dalam perjanjian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, para pihak akan merumuskan ketentuan mengenai hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. Oleh karenanya, selama masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan perjanjian maka tidak akan menjadi masalah. Masalah baru akan timbul, manakala salah satu pihak gagal menjalankan kewajibannya, dan pihak lain merasa telah dirugikan. Pihak yang merasa telah dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan sesuai dengan forum penyelesaian sengketa yang telah disepakati dalam perjanjian, baik di dalam maupun di luar pengadilan; [3.11.3] Bahwa pilihan forum penyelesaian (choice of forum) dalam suatu perjanjian juga berlandaskan pada kebebasan berkontrak. Artinya, masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan institusi yang akan menyelesaikan permasalahan apabila terjadi sengketa. Keadaan demikian hampir tidak menimbulkan masalah ketika masing-masing pihak memiliki daya tawar yang relatif seimbang. Namun, dalam perjanjian baku, sebagaimana telah dijelaskan di atas, dimungkinkan terjadi ketidakseimbangan posisi tawar antara pelaku usaha dan konsumen. Terhadap hal demikian, secara teoritis ada yang berpandangan bahwa penggunaan klausula baku memang telah menghilangkan adanya forum negosiasi antar pihak yang terlibat dalam sebuah perjanjian. Akan tetapi, ketiadaan forum negosiasi antar pihak tersebut tidak secara serta-merta menghilangkan kebebasan dan kesepakatan para pihak yang menjadi dasar penyusunan sebuah perjanjian, terlebih lagi secara otomatis merugikan pihak konsumen; [3.11.4] Bahwa kebebasan yang diberikan kepada pelaku usaha untuk menentukan forum penyelesaian sengketa dalam perjanjian baku, menurut Mahkamah merupakan konsekuensi logis dari perkembangan bisnis modern di tengah pesatnya pekembangan teknologi dan informasi berbasis digital melalui transaksi digital. Johannes Gunawan dan Bernadette M. Waluyo dalam bukunya berjudul “Perjanjian Baku: Masalah dan Soliusi”, memberikan ciri-ciri transaksi digital yang dilaksanakan melalui internet dan dilakukan dengan menggunakan perjanjian baku digital (digital contracts), yaitu: (i) melampaui batas negara (borderless), (ii) lintas yurisdiksi (multiple jurisdiction), (iii) nir tatap muka (faceless nature); (iv) tanpa kertas (paperless); (v) tanpa tanda tangan manual (digital signatures); serta (vi) tanpa uang kartal (cashless). Penggunaan transaksi digital yang memuat klausula baku tersebut ditujukan untuk mempermudah terjadinya transaksi, justru akan menyulitkan apabila pelaku usaha harus membuat dan menegosiasikan kontrak baru untuk setiap transaksi yang terjadi dengan konsumen, apalagi ketika kedua belah pihak terpisah antara satu negara dengan negara lain. Dengan tawaran yang melampaui batas negara, maka terdapat kemungkinan bahwa transaksi terjadi di antara dua pihak yang berdomisili dan memiliki kewarganegaraan yang berbeda, sehingga harus ditentukan pilihan hukum yang berlaku serta pilihan forum penyelesaian sengketa seandainya terjadi sengketa; [3.11.5] Bahwa selanjutnya ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU 11/2008) yang pada pokoknya telah menentukan bahwa para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum dan menetapkan forum penyelesaian sengketa sesuai dengan kesepakatan para pihak berdasarkan transaksi elektronik internasional yang dibuatnya. Berdasarkan hal tersebut, di manakah letak kebebasan konsumen dalam menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa dalam sebuah perjanjian baku? Menurut Mahkamah, dalam perjanjian baku, konsumen memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian serta kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan membuat perjanjian. Pada saat konsumen telah menyepakati untuk masuk dalam sebuah perjanjian baku, maka konsumen dianggap secara sukarela telah menyepakati keseluruhan isi perjanjian baku tersebut. Kesukarelaan sebagai bagian dari asas kebebasan berkontrak, secara doktriner dipahami, perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en vertrouwen) sehingga menambah rasa percaya para pihak untuk mengikatkan dirinya pada perjanjian itu. Dalam hal ini, jika konsumen menerima dokumen perjanjian, berarti secara sukarela setuju pada isi perjanjian. Dengan demikian, pilihan untuk menentukan forum penyelesaian sengketa yang dipilih dalam sebuah perjanjian baku merupakan bagian dari kebebasan pelaku usaha dalam membuat perjanjian, sedangkan konsumen memiliki kebebasan untuk masuk atau tidak dalam perjanjian baku tersebut. Dalam hal konsumen telah menyepakati masuk dalam sebuah perjanjian baku yang menentukan forum penyelesaian sengketa (pilihan domisili), maka kesepakatan tersebut mengikat kepada para pihak untuk mentaati dan melaksanakannya. Akan tetapi, berdasarkan hukum acara perdata yang berlaku, kesepakatan pilihan domisili tersebut tidak bersifat absolut, melainkan bersifat relatif. Pihak konsumen sebagai penggugat jika menghendaki, dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan (forum penyelesaian sengketa) yang telah disepakati [vide Pasal 118 ayat (4) Herziene Inlandsche Reglement (HIR)/Pasal 142 ayat (4) Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)], atau penggugat juga dapat mengajukan gugatan berdasarkan asas actor sequitor forum rei, yakni diajukan ke pengadilan di tempat mana tergugat bertempat tinggal [vide Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg]. Dengan demikian, penggugat bebas memilih kompetensi relatif berdasarkan domisili pilihan atau berdasarkan tempat tinggal tergugat; [3.11.6] Bahwa setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil yang diuraikan Pemohon dalam permohonannya, Mahkamah menilai permasalahan yang diajukan oleh Pemohon lebih merupakan permasalahan implementasi norma yang dialami oleh Pemohon dalam hubungan Pemohon sebagai konsumen layanan jasa transportasi online yang terikat pada perjanjian baku yang telah ditentukan oleh pelaku usaha (Grab Indonesia). Apabila dikaitkan dalam konteks hukum perlindungan konsumen, menurut Mahkamah, sebagaimana telah dikenal sebagai doktrin let the buyer beware, yang berarti dalam suatu hubungan jual beli, konsumen/pembeli wajib untuk berhati-hati dalam setiap transaksi jual-beli yang dilakukan. Dalam konteks choice of law dan choice of forum, konsumen dapat memilih apakah tunduk pada forum penyelesaian dalam perjanjian baku atau mengajukan gugatan di pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Penyelesaian sengketa konsumen di antara pihak berdasarkan perjanjian biasa maupun perjanjian baku diperbolehkan melakukan pilihan forum secara sukarela sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU 8/1999, sehingga permohonan Pemohon kontradiktif dengan Pasal a quo dan oleh karenanya apabila Mahkamah mengabulkan permohonan Pemohon, justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum; [3.12] Menimbang bahwa terlebih lagi setelah Mahkamah mempelajari dengan saksama petitum yang dimohonkan Pemohon dengan menambah norma “i. menetapkan dan/atau mengatur upaya penyelesaian sengketa konsumen secara sepihak tanpa persetujuan dan kesepakatan konsumen” dalam Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999. Hal demikian menurut Mahkamah, bukanlah merupakan pemaknaan atas suatu norma, karena norma yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa konsumen tidak terdapat dalam norma dasar Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999. Petitum Pemohon tersebut berarti meminta Mahkamah untuk menambahkan norma baru padahal kewenangan Mahkamah adalah menafsirkan atau memaknai norma dalam suatu undang-undang dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi. Sedangkan perubahan norma seperti permohonan Pemohon merupakan kewenangan yang dimiliki oleh pembentuk Undang-Undang. Oleh karena itu, meskipun objek permohonan yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas oleh Pemohon adalah undang-undang, in casu Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 yang merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya, namun keinginan Pemohon agar Mahkamah menambahkan sebuah norma baru dalam rumusan Pasal 18 ayat (1) UU 8/1999 adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.