Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 40/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Herifuddin Daulay (guru honorer), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

pengujian materiil terhadap seluruh pasal yang terdapat dalam UU 3/2022 kecuali Pasal 3 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k, yaitu ; Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 huruf a , Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pada 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44.

Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian seluruh pasal yang terdapat dalam UU 3/2022 kecuali Pasal 3 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, dan huruf k, yaitu ; Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 huruf a , Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pada 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.5] Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo adalah kewenangan Mahkamah dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.5.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 13 April 2022, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) PMK 2/2021 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, posita, serta petitum permohonan. Bahwa Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk dapat memperjelas permohonan, karena permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian undang-undang secara formil dan materiil dan dengan demikian seharusnya permohonan a quo dapat menguraikan secara jelas tentang kedudukan hukum Pemohon dengan secara khusus membedakan antara kedudukan hukum dalam permohonan pengujian formil dengan pengujian materiil. Begitu pula terhadap bagian alasan permohonan (posita) dan petitum, sehingga permohonan yang diminta pada petitum, baik dalam permohonan formil maupun materiil terdapat alasan dengan jelas pada bagian posita. Selain itu, Panel Hakim menasihatkan agar Pemohon menyesuaikan format dan syarat-syarat Permohonan sesuai dengan UU MK dan PMK 2/2021 [vide Risalah Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 40/PUU XX/2022, tanggal 13 April 2022] [3.5.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 26 April 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 10 Mei 2022. Bahwa setelah mencermati lebih lanjut perbaikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan syarat permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK menyatakan: Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi: a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian; b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci. Terhadap hal tersebut, selanjutnya Pasal 10 ayat (2) huruf b PMK 2/2021 menyatakan: Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: b. uraian yang jelas mengenai: 1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan; 2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan 3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945. 2. Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian formil dan materiil terhadap UU 3/2022, namun Mahkamah menemukan fakta hukum yaitu pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU 3/2022. Sementara itu, pada bagian kedudukan hukum pengujian materiil, Pemohon menguraikan dugaan pertentangan antara norma yang diajukan dengan norma-norma dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian tanpa dapat menguraikan keterkaitannya dengan potensi kerugian Pemohon. Uraian pada bagian kedudukan hukum berisi sejumlah argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon. Oleh karena itu, uraian tersebut tidak dapat menjelaskan adanya keterkaitan norma a quo dengan potensi kerugian Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon, baik kedudukan hukum dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil. 3. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian formil, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai persoalan proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah isu yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam pembentukan UU 3/2022. Hal ini menurut Mahkamah tidak relevan dengan alasan permohonan pengujian formil terhadap UU 3/2022. 4. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian formil, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas mengenai persoalan proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah isu yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam pembentukan UU 3/2022. Hal ini menurut Mahkamah tidak relevan dengan alasan permohonan pengujian formil terhadap UU 3/2022. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita dan petitum, baik terhadap permohonan pengujian formil maupun pengujian materiil. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur). [3.6]Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 42/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Almizan Ulfa, S.E., M.Sc., Santi Lisana, S.E., MBA, Drs. DB Ali Syarief dan Ir. Petir Amri Wirabumu., MM., untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 222 dan Pasal 223 UU Pemilu

Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 194 dan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 dan Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi berikutnya telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut: “[3.6.2] …jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pecalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. [3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki hak kerugian konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.” [3.6.2] Bahwa selanjutnya, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang 96 memiliki hak untuk memilih dalam Pemilu atas berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUU-XX/2022, bertanggal 29 Maret 2022 dan Putusan-Putusan Mahkamah berikutnya telah mempertimbangkan sebagai berikut: “ [3.6.5.2]…, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan pemilu tahun 2019 dimana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam pemilu legislatif tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam pemilu tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, selain para Pemohon tidak memiliki kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017, tidak terdapat hubungan sebab akibat antara norma a quo dengan anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon untuk memilih (right to vote)” [3.6.3] Bahwa berkenaan dengan adanya anggapan kerugian hak konstitusional para Pemohon atas berlakunya norma Pasal 222 UU 7/2017 yang disebabkan oleh ketidakpahaman dan ketidakmengertian para Pemohon akibat kurangnya sosialisasi tentang hasil Pemilu anggota DPR 2014 akan digunakan untuk memenuhi persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden 2019, menurut Mahkamah hal demikian bukanlah merupakan permasalahan konstitusionalitas norma namun lebih merupakan permasalahan implementasi atas norma a quo yang sebagaimana diakui sendiri oleh para Pemohon, seringkali dipengaruhi oleh suasana kebatinan serta dinamika sosial politik yang berkembang dalam masyarakat. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017; [3.6.4] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Sedangkan, dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya; [3.7] Menimbang bahwa terhadap pengujian norma Pasal 223 UU 7/2017, sebelum Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dalam mengajukan permohonan dalam pengujian norma Pasal 223 UU 7/2017 dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.7.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada Kamis, 14 April 2022 dan dalam persidangan tersebut Majelis Panel Hakim sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang di antaranya berkaitan dengan bagian perihal Permohonan, Posita, dan Petitum Permohonan. Selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum acara, para Pemohon diberi waktu 14 (empat belas) hari untuk memperbaiki permohonan a quo (vide risalah Sidang Perkara Nomor 42/PUU-XX/2022 tanggal 14 April 2022). Terhadap nasihat Majelis Hakim Panel tersebut, para Pemohon telah melakukan perbaikan permohonan yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 28 April 2022 yang kemudian pada 9 Mei 2022 dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan; [3.7.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama perbaikan permohonan para Pemohon, telah ternyata para Pemohon dalam bagian perihal Permohonan menyebutkan pengujian Pasal 222 dan Pasal 223 UU 7/2017, kemudian pada uraian kedudukan hukum para Pemohon menguraikan kerugian konstitusional para Pemohon atas berlakunya Pasal 222, Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017, selanjutnya pada bagian alasan pengajuan permohonan (Posita), para Pemohon menyebutkan pokok permasalahan yang dilakukan pengujiannya adalah terhadap Pasal 222 dan Pasal 223 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 7/2017 [vide Perbaikan Permohonan para Pemohon angka 40 halaman 26], namun uraian keseluruhan terkait dengan pengujian Pasal 223 a quo hanya berisikan uraian terkait dengan alasan pengujian terhadap Pasal 223 ayat (1) dan ayat (3) UU 7/2017 saja; [3.7.3] Bahwa selain ketidakkonsistenan sebagaimana dijelaskan di atas, pada bagian Petitum Permohonan angka 3, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 223 sepanjang frasa “sesuai mekanisme internal partai politik yang bersangkutan” dan frasa “sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Para Pemohon tidak menyebutkan secara rinci pada bagian mana (ayat berapa) dari Pasal 223 a quo yang dimintakan pembatalannya, hal demikian menjadikan apa yang dimintakan oleh para Pemohon menjadi tidak jelas dikarenakan ketentuan Pasal 223 a quo terdiri dari 4 (empat) ayat; [3.7.4] Bahwa para Pemohon juga dalam Petitum angka 4 meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 sepanjang frasa “cukup jelas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam permohonan tersebut, para Pemohon tidak menguraikan alasanalasan permohonan untuk membatalkan ketentuan Penjelasan Pasal 223 a quo. Terhadap permohonan para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, fungsi dari Penjelasan adalah sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh, sebagaimana tertuang dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menerangkan bahwa Penjelasan dari suatu pasal atau ayat dalam undang-undang merupakan sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh dan tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksudnya. Dituliskannya frasa “Cukup jelas” dalam Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 karena pembentuk undang-undang menganggap rumusan Pasal 223 a quo sudah cukup jelas atau tidak memerlukan penjelasan lagi baik terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata maupun istilah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 223 a quo. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon yang meminta pembatalan terhadap Penjelasan Pasal 223 UU 7/2017 yang oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dinyatakan telah cukup jelas tanpa disertai dengan argumentasi mengapa frasa tersebut dimintakan bertentangan dengan UUD 1945, hal demikian menurut Mahkamah adalah permohonan yang tidak jelas atau kabur, terlebih lagi terhadap permohonan para Pemohon tersebut Majelis Hakim Panel telah memberikan nasihat namun para Pemohon tetap pada pendiriannya; [3.7.5] Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 223 UU 7/2017 adalah kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan; [3.8] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo dan permohonan para Pemohon sepanjang pengujian konstitusionalitas Pasal 223 adalah kabur atau tidak jelas; [3.9] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sepanjang pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dan permohonan para Pemohon tidak jelas atau kabur sepanjang pengujian Pasal 223 UU 7/2017, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Ir. Mulak Sihotang, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.4.3.2] Menimbang bahwa Pemohon pada pokoknya mengajukan pengujian formil terhadap UU 3/2022, namun pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas hak konstitusional Pemohon yang dirugikan akibat pembentukan UU 3/2022. Pemohon hanya menyebutkan pasal dalam UUD 1945 yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya. Uraian pada bagian kedudukan hukum berisi sejumlah argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon, sehingga uraian tersebut tidak dapat menjelaskan adanya keterkaitan norma a quo dengan aktual atau potensial kerugian Pemohon. [3.7.1] Bahwa Pemohon pada bagian alasan permohonan (posita), Pemohon tidak menguraikan dengan jelas dan terperinci mengenai di mana letak persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap tidak memenuhi persyaratan formil pembentukan UU 3/2022. Pemohon hanya menguraikan mengenai hal-hal yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam proses pembentukan UU 3/2022. Hal itu menurut Mahkamah, tidak relevan untuk dijadikan argumentasi dalam mempersoalkan proses pembentukan UU 3/2022. [3.7.2] Bahwa pemohon pada bagian Petitum angka 2 Pemohon memohonkan pengujian formil UU 3/2022 yang bertentangan dengan UUD 1945, namun dalam Petitum angka 3 permohonannya Pemohon justru memohon agar Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat 21 (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU 3/2022 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tanpa menguraikan sama sekali anggapan kerugian konstitusionalnya karena berlakunya norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (8), Pasal 4, Pasal 5 ayat (4) UU 3/2022. Pada bagian posita, Pemohon juga tidak menguraikan alasan pertentangan norma pasal-pasal a quo dengan UUD 1945. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita, dan petitum. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon tidak jelas (kabur). [3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu, namun oleh karena permohonan Pemohon tidak jelas (kabur) maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 48/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

H Damai Hari Lubis, S.H., M.H., (pengacara dan aktivis organisasi kemanusian) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Arvid Martdwisaktyo, S.H., M. Kn, dkk. yang merupakan advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Aliansi Anak Bangsa, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian aspek formil dalam proses pembentukan UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.4] Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo menjadi kewenangan Mahkamah dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan dalam pengujian formil, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.4.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 9 Mei 2022 yang kemudian disampaikan pokok-pokok perbaikan permohonannya dalam sidang pemeriksaan pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 11 Mei 2022. Bahwa setelah mempelajari secara saksama perbaikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan syarat permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51A ayat (2) UU MK menyatakan: Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi: a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian; b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci. Terhadap hal tersebut, selanjutnya Pasal 10 ayat (2) huruf b PMK 2/2021 menyatakan: Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: b. uraian yang jelas mengenai: 1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan; 2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan 3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945. 2. Pemohon pada bagian kedudukan hukum tidak dapat menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas dalam proses pembentukan UU 3/2022. Uraian pada bagian kedudukan hukum hanya menjelaskan mengenai kerugian Pemohon sebagai advokat yang memiliki hak untuk melakukan kontrol/monitoring atas setiap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Dengan berpindahnya ibu kota negara yang letak geografisnya sangat jauh dari kehidupan masyarakat perkotaan yang modern sangat dimungkinkan sulitnya mengakses informasi. Oleh karenanya segala kebijakan yang akan diambil dalam mengelola pemerintahan nantinya tidak bersifat terbuka. Kerugian demikian menurut Mahkamah tidaklah relevan dijadikan alasan dalam kaitannya dengan proses pembentukan sebuah undang-undang dalam menjelaskan kedudukan hukumnya. Oleh karena uraian tersebut tidak menjelaskan adanya keterkaitan mengenai kerugian pembentukan undang-undang a quo dengan anggapan kerugian Pemohon baik secara aktual maupun potensial. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon. 3. Pada bagian alasan permohonan (posita), Pemohon tidak menguraikan mengenai di mana letak persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah argumentasi yang bersifat umum, yaitu hanya menyebutkan hal-hal yang bersifat pokok tanpa menguraikan secara rinci alasan pertentangannya dengan UUD 1945. Antara lain, misalnya, argumentasi berkenaan dengan pembahasan rancangan UU 3/2022 yang terlalu cepat karena hanya butuh waktu 42 hari, Pemohon di dalam positanya tidak menguraikan lebih lanjut mengenai pada pembahasan tingkat mana yang dianggap cepat dan bagaimana proses yang sudah dilakukan dalam tahapan pembahasan UU 3/2022, sehingga menyimpulkan pembahasan rancangan undang-undang a quo cepat. Kemudian berkenaan dengan argumentasi adanya 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana UU 3/2022 yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang, Pemohon di dalam positanya juga tidak menyebutkan pasal-pasal mana saja dalam UU 3/2022 yang merupakan perintah pendelegasian yang seharusnya dimuat dalam undang-undang. Selain itu, berkenaan dengan argumentasi minimnya partisipasi masyarakat, Pemohon juga tidak menguraikan lebih lanjut mengenai uraian pihak-pihak yang telah didengar pendapatnya sehingga menyimpulkan bahwa pembentukan rancangan undang-undang a quo minim partisipatif, sehingga menurut Mahkamah, posita yang demikian menjadi tidak relevan bagi Mahkamah untuk menilainya. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum dan pokok permohonan. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur). [3.5] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 50/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MERK DAN INDIKASI GEOGRAFIS TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Djunatan Prambudi, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga, S.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016

Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 20/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.3.2] Bahwa dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 26 April 2022 tersebut dihadiri oleh para penerima kuasa yaitu Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga, S.H. tanpa dihadiri oleh pemberi kuasa. Dalam persidangan a quo, Majelis Hakim telah menasihati para penerima kuasa untuk memperbaiki surat kuasa dan permohonannya. Sebab, dalam surat kuasa bertanggal 8 Maret 2022 tersebut pemberi kuasa hanya memberikan kuasa kepada penerima kuasa secara terbatas, yaitu hanya memberikan kewenangan untuk membuat permohonan pengujian, memanggil ahli, dan membuat kesimpulan. Sedangkan, pada bagian pokok permohonan Majelis Hakim telah menasihati untuk dilakukan perbaikan, khususnya pada bagian petitum agar dibuat sesuai dengan posita yaitu terbatas pada frasa yang dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon sehingga tidak terjadi pertentangan antara posita dengan petitum. [vide bukti P-1 dan risalah sidang Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022, tanggal 26 April 2022]; [3.3.3] Bahwa Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan bertanggal 8 Maret 2022 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 9 Mei 2022 berdasarkan Tanda Terima Nomor 42-2/PUU/PAN.MK/AP3, namun tidak menyerahkan perbaikan surat kuasa. Selanjutnya, pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda Perbaikan Permohonan, tanggal 17 Mei 2022, yang juga hanya dihadiri oleh para penerima kuasa tanpa dihadiri pemberi kuasa, Mahkamah telah meminta klarifikasi kepada para penerima kuasa berkenaan dengan perbaikan surat kuasa dimaksud. Dalam persidangan tersebut para penerima kuasa menjelaskan, bahwa permohonan sudah diperbaiki termasuk surat kuasanya sebagaimana nasihat Majelis Hakim pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan tanggal 26 April 2022, namun untuk perbaikan surat kuasanya belum diserahkan kepada Mahkamah. Terhadap hal tersebut, Mahkamah meminta kepada para penerima kuasa untuk membacakan dan menunjukkan perbaikan surat kuasa dimaksud dalam persidangan melalui daring. Selanjutnya, setelah para penerima kuasa menunjukkan perbaikan surat kuasa yang dimaksudkan, setelah dicermati ternyata surat kuasa khusus yang dimaksudkan belum dibubuhi meterai dan belum ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pemberi kuasa maupun penerima kuasa [vide risalah sidang Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022, tanggal 17 Mei 2022]. [3.3.4] Bahwa berdasarkan uraian fakta hukum pada Sub-paragraf [3.3.3] di atas, Mahkamah berpendapat, kehadiran para penerima kuasa pada persidangan di Mahkamah tidak didasarkan pada surat kuasa yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan, khususnya yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) PMK 2/2021. Sebab, surat kuasa yang ditunjukkan dalam persidangan melalui daring pun belum dibubuhi meterai dan tanda tangan para pihak, yaitu pemberi kuasa dan penerima kuasa sebagai syarat sahnya secara formil surat kuasa. Demikian halnya apabila Mahkamah merujuk pada surat kuasa awal yang belum diperbaiki, yaitu surat kuasa bertanggal 8 Maret 2022, sebagaimana fakta hukum yang ada, telah ternyata surat kuasa awal tersebut pemberi kuasa hanya memberikan kuasa secara terbatas kepada para penerima kuasa yaitu hanya memberikan kewenangan untuk membuat permohonan pengujian, memanggil ahli, dan membuat kesimpulan tanpa memberikan kewenangan lainnya, khususnya untuk menghadiri persidangan dan menyampaikan permohonan Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, para penerima kuasa tidak mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam persidangan untuk Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022 a quo. [3.3.5] Bahwa andaipun para penerima kuasa mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam persidangan untuk Perkara Nomor 50/PUU-XX/2022 tersebut, quod non, setelah Mahkamah mencermati petitum permohonan Pemohon ternyata petitum yang disampaikan dalam perbaikan permohonan terdapat kerancuan yaitu bersifat kumulatif yang saling bertentangan, karena pada petitum angka 2, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan pada petitum angka 3 Pemohon memohon agar Mahkamah memaknai frasa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya” dalam Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 secara bersyarat (conditionally constitutional) menjadi “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan melihat merek tersebut sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak memandang merek tersebut secara sebagian-sebagian atau memecahkan merek tersebut secara kata demi kata”. Terhadap petitum tersebut, menurut Mahkamah, pada satu sisi Pemohon memohon agar Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun pada sisi lain memohon kepada Mahkamah untuk memberikan pemaknaan terhadap Pasal 21 ayat (1) UU 20/2016 secara bersyarat (conditionally constitutional). Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan dimaksud, kecuali Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif. [3.4] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, namun oleh karena para penerima kuasa tidak mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan pemberi kuasa dalam persidangan untuk Perkara Nomor 50/PUU- XX/2022 a quo dan seandainyapun surat kuasa memenuhi syarat formil, quod non, telah ternyata permohonan Pemohon tidak jelas (kabur), sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon serta hal- hal lain lebih lanjut.