Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 9/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Patuan Siahaan, Tyas Muharto, S.H., dan Poltak Manullang yang dalam hal ini memberika kuasa kepada Kores Tambunan, S.H., M.H., dkk yaitu Advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Kors Tambunan & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 18 huruf c UU 15/2006

Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon pada pokoknya menguraikan anggapan kerugian konstitusional yang dialaminya berkenaan dengan adanya batasan usia maksimal untuk diberhentikan sebagai ketua, wakil ketua, dan anggota BPK. Adapun di dalam permohonannya para Pemohon menggunakan dasar Pasal 13 huruf i UU 15/2006 sebagai syarat usia minimal untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK yaitu, paling rendah berusia 35 (tiga puluh lima) tahun. Kemudian apabila dikaitkan antara Pasal 13 UU 15/2006 yang merupakan syarat untuk dipilh sebagai anggota BPK dan Pasal 18 UU 15/2006 yang merupakan alasan diberhentikannya ketua, wakil ketua, dan anggota BPK, khususnya Pasal 18 huruf c UU 15/2006 di mana para Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya ketentuan mengenai batas usia maksimal untuk diberhentikan, yaitu berusia 67 (enam puluh tujuh) tahun, mengakibatkan para Pemohon tidak dapat mengajukan diri sebagai calon anggota BPK, walaupun telah memenuhi persyaratan batas usia minimum sebagaimana ditentukan oleh Pasal 13 UU 15/2006. Dengan demikian, seandainya batas usia maksimal masa jabatan 67 (enan puluh tujuh) tahun tersebut dihapuskan maka para Pemohon dapat mengajukan diri sebagai calon anggota BPK. Menurut Mahkamah, para Pemohon telah cukup jelas dalam menguraikan ihwal anggapan kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 18 huruf c UU 15/2006. Di samping itu, para Pemohon juga telah dapat menjelaskan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian dimaksud dengan berlakunya norma pasal yang dimohonkan pengujian. Dalam hal ini, sebagaimana diuraikan para pemohon, jika permohonannya dikabulkan kerugian yang bersifat potensial sebagaimana dimaksud oleh para Pemohon tidak akan terjadi. Namun, setelah Mahkamah mencermati permohonan dan bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon, telah ternyata Mahkamah tidak melihat atau menemukan adanya uraian dan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon adalah kandidat yang akan mengajukan diri atau pernah mengajukan diri sebagai calon anggota BPK. Berkenaan dengan uraian dan bukti dimaksud, Mahkamah, in casu Majelis Hakim Panel, dalam Sidang Pendahuluan pada tanggal 7 Februari 2023, dengan agenda memeriksa kelengkapan dan substansi atau materi permohonan, telah memberikan nasihat kepada para Pemohon untuk menambahkan uraian dan bukti yang dapat menunjukkan bahwa mereka telah pernah mengajukan diri mengikuti proses seleksi calon anggota BPK (vide Risalah Sidang Perkara Nomor 9/PUU-XXI/2023, tanggal 7 Februari 2023, hlm. 13 dan 14). Sebagai warga negara yang telah menjalani masa purna tugas yang relatif lama, seandainya para Pemohon berkeinginan menjadi anggota BPK, dalam batas penalaran yang wajar, mereka telah pernah mendaftar atau mengikuti seleksi sebagai calon anggota BPK. Namun demikian, dalam perbaikan permohonan, Mahkamah tidak menemukan uraian dan bukti berkenaan dengan hal dimaksud. Padahal uraian dan bukti penting tersebut setidaknya merupakan pintu masuk bagi para Pemohon untuk mengajukan pengujian norma a quo. Terlebih lagi, jika dibaca secara utuh struktur norma Pasal 18 huruf c UU 15p2006, yang sesungguhnya dirugikan atau setidak-tidaknya potensial dirugikan sehingga memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan pengujian norma a quo adalah perorangan warga negara Indonesia yang ketika permohonan diajukan sedang menjabat sebagai ketua, wakil, atau anggota BPK. Artinya, jika uraian dan bukti dimaksud dapat ditambahkan dalam perbaikan permohonan, setidak-tidaknya, para Pemohon dapat dinilai secara potensial memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. [3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 10/PUU-XXI/2023 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2023 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Andi Redani Suryanata dan dkk, diberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak dan Dixon Sanjaya, S.H., yang merupakan advokat pada kantor hukum Leo & Partners untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 256, Pasal 603, dan Pasal 604 UU 1/2023

Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 1/2023 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menguraikan kedudukan hukumnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4], selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa norma yang diajukan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan ketentuan yang mengatur tentang ketentuan pidana terhadap aksi masyarakat yang dilakukan tanpa pemberitahuan dan ancaman pidana pokok bagi tindak pidana korupsi sebagaimana tertuang dalam Pasal 256, Pasal 603 dan Pasal 604 UU 1/2023. Para Pemohon dalam hal ini berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia dan berstatus sebagai Mahasiswa yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-3 sampai dengan P-22] dan Kartu Tanda Mahasiswa. Para Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak untuk mendapatkan atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya norma Pasal-Pasal a quo; [3.6.2] Bahwa norma Pasal-Pasal a quo terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup, Undang-Undang a quo mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, UU a quo akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Adapun Permohonan para Pemohon diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada 19 Januari 2023, sehingga pada saat Permohonan ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang a quo yang diajukan pengujiannya belum berlaku; [3.6.3] Bahwa mendasarkan pada Putusan Mahkamah yang menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, dalam hal ini, para Pemohon telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Selanjutnya, dikaitkan dengan syarat kedua yaitu adanya anggapan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut dirugikan oleh berlakunya undang-undang dalam hal ini UU 1/2023, menurut Mahkamah, terkait dengan hal a quo secara tegas diperlukan syarat yang bersifat imperatif yaitu anggapan kerugian konstitusional yang dimiliki oleh para Pemohon dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujiannya. Oleh karena itu, apabila hal ini dikaitkan dengan fakta hukum yang ada dalam persidangan, hal yang dialami oleh para Pemohon, telah ternyata hak konstitusional para Pemohon tersebut belum ada kaitannya dengan berlakunya norma undang-undang, in casu UU 1/2023. Dengan kata lain, pasal-pasal yang ada dalam UU 1/2023 yang diajukan pengujian oleh para Pemohon terdapat dalam undang-undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011). Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada para Pemohon. [3.6.4] Bahwa yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual adalah anggapan kerugian konstitusional konkret/riil yang pernah dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan anggapan kerugian konstitusional yang bersifat potensial adalah kerugian yang belum pernah secara konkret/riil dialami, namun suatu saat berpotensi dialami karena disebabkan berlakunya suatu norma undang-undang. Oleh karena itu, baik anggapan kerugian konstitusional yang bersifat aktual maupun potensial keduanya tetap bertumpu pada telah adanya norma undang-undang yang berlaku. Dengan demikian, berdasarkan fakta hukum bahwa UU 1/2023 baru akan berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan [vide Pasal 624 BAB XXXVII Ketentuan Penutup UU 1/2023], pemberlakuan demikian berakibat hukum UU a quo belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga hal demikian tidak terpenuhinya syarat yang kedua untuk terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Dengan demikian, para Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif. [3.6.5] Bahwa berkenaan dengan uraian kedudukan hukum para Pemohon yang mengaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012, Mahkamah telah mempertimbangkan hal yang sama pada Sub-paragraf [3.6.5] dan Sub-paragraf [3.6.6] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XXI/2023, yang telah dikutip pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XXI/2023, yang diucapkan sebelumnya dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023, di antaranya telah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.5] Bahwa terkait dengan pendirian Mahkamah dalam mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan dengan pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Maret 2013, di mana dalam putusan tersebut Mahkamah memberikan kedudukan hukum kepada para Pemohon sekalipun pada saat permohonan perkara yang bersangkutan dilakukan pengujian terhadap pasal-pasal undang-undang yang belum dinyatakan berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Berkenaan dengan hal ini, Mahkamah menegaskan bahwa UU SPPA mempunyai karakter yang sangat berbeda dengan UU 1/2023, di mana UU SPPA adalah undang-undang yang memuat norma yang kemudian dilakukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara yang bersangkutan, berkaitan dengan ancaman pidana bagi para penegak hukum yang sedang melaksanakan tugasnya dalam penegakan hukum, yang tidak diatur dalam norma undang-undang sebelumnya yang berkaitan yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu, sekalipun UU SPPA belum diberlakukan pada saat permohonan perkara yang bersangkutan diajukan, Mahkamah menilai ada keadaan yang mendesak untuk segera diputuskannya terhadap perkara dimaksud, agar tidak ada rasa kekhawatiran atau bahkan ketakutan para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, khususnya dalam mengadili perkara yang melibatkan tersangka/terdakwanya adalah anak. Kekhawatiran demikian dapat terjadi disebabkan proses perkara pidana bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan mungkin saja akan melewati proses pra dan pasca saat dinyatakannya mulai berlaku UU SPPA. Oleh karena itu, sangat mungkin berdampak dikenakannya norma pasal-pasal yang bersangkutan untuk memidanakan para penegak hukum. Dengan demikian, fakta-fakta hukum tersebut dapat memberikan peluang adanya ketidakpastian hukum dalam implementasi norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dalam UU SPPA, apabila norma tersebut dinyatakan konstitusional. Fakta hukum tersebut berbeda dengan karakter UU 1/2023, di mana secara faktual belum diberlakukannya norma-norma yang ada tidak mengakibatkan adanya kekosongan hukum, karena terdapat KUHP yang masih berlaku, sehingga potensi adanya ketidakpastian hukum tidak akan terjadi. Dengan kata lain, apabila norma-norma dalam UU 1/2023 telah dinyatakan berlaku, sama halnya dengan Mahkamah membenarkan berlakunya dua KUHP (yaitu KUHP yang masih berlaku dan KUHP yang akan berlaku) dalam waktu yang bersamaan. Jika hal demikian dibenarkan justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum pidana. [3.6.6] Bahwa di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, adanya pendirian demikian, juga didasarkan pada argumen, bahwa Mahkamah mempunyai alasan lain yaitu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja mengalami penyempurnaan, sepanjang hal tersebut dikaitkan dengan hubungan dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif, yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007. Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum pemohon di Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya, Mahkamah dapat memberikan pertimbangan yang berbeda. Dengan demikian, pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi di atas mutatis mutandis berlaku pada putusan ini. Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Seandainyapun para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, quod non, dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 256, Pasal 603 dan Pasal 604 UU 1/2023 merupakan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan para Pemohon adalah permohonan yang prematur. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut. [3.8] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 117/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Partai Berkarya yang diwakili oleh Muchdi Purwopranjono (Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Parat Berkarya) dan Fauzan Rachmansyah (Sekertaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Parat Berkarya) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rino, S.H., dkk, advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Rino Maulana Iskandar & Co, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 169 huruf n, Penjelsan Pasal 169 huruf n, dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017

Pasal 1 ayat (3), Pasal 7, Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan Pemohon, masalah konstitusional yang harus dijawab Mahkamah, yaitu apakah pengaturan persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak memberikan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dan dilindungi Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan masalah tersebut, pertimbangan hukum Mahkamah akan disandarkan pada ketentuan UUD 1945, terutama norma Pasal 7 UUD 1945. Tidak hanya itu, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 juga berkaitan erat dengan norma persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden, pertimbangan hukum Mahkamah juga akan menyentuh ketentuan norma Pasal 6 UUD 1945, in casu norma Pasal 6 ayat (2) UUD 1945. Kesemua norma Konstitusi tersebut merupakan hasil dari perubahan UUD 1945 yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR). Jamak diketahui, tujuan pokok perubahan UUD 1945 selama reformasi konstitusi 1999-2002, antara lain adalah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi. Apabila diletakkan dalam konteks sistem pemerintahan, sistem atau paham demokrasi yang dipilih oleh pengubah UUD 1945 adalah demokrasi presidensial. [3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 7 UUD 1945 merupakan salah satu norma dalam UUD 1945 yang diubah untuk pertama kalinya dalam agenda reformasi konstitusi tahun 1999. Sebagaimana diketahui, sebelum perubahan, Pasal 7 UUD 1945 menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Secara normatif, Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan tersebut tidak mengatur untuk berapa kali periode seseorang dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden. Bahkan, dengan adanya frasa “sesudahnya dapat dipilih kembali”, membuka atau memberi kesempatan bagi seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tanpa pembatasan periode secara jelas. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, rumusan fleksibel Pasal 7 UUD 1945 inilah yang digunakan sebagai basis atau dasar argumentasi untuk mengangkat Presiden tanpa batasan periode pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Setelah perubahan, norma Pasal 7 UUD 1945 menjadi, “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”. [3.17] Menimbang bahwa sekalipun norma Pasal 7 UUD 1945 berhasil diubah dalam perubahan pertama pada tahun 1999, dinamika ketatanegaraan pada awal era reformasi menunjukkan Pasal 7 UUD 1945 telah terlebih dahulu diubah sebelum perubahan UUD 1945. Karena Pasal 7 UUD 1945 sebelum perubahan dinilai telah membuka celah (loop hole) bagi rezim Orde Baru merekayasa begitu rupa sehingga Soeharto menjadi Presiden lebih dari 32 tahun, Sidang Istimewa MPR 1998, sepakat untuk membatasi periodesasi masa jabatan Presiden dalam produk hukum bernama Ketetapan MPR, yaitu: Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Konsiderans “menimbang” huruf c Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menyatakan, “dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, tidak adanya pembatasan berapa kali Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih kembali untuk memegang jabatannya telah menimbulkan berbagai penafsiran yang merugikan kedaulatan rakyat/kehidupan demokrasi”. Oleh karena itu, anggota MPR bersepakat untuk mengubah substansi Pasal 7 UUD 1945 tanpa menunggu perubahan UUD 1945 sesuai Pasal 37 UUD 1945 menjadi: “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” [vide Pasal 1 Tap MPR No XIII/MPR/1998]. [3.18] Menimbang bahwa ketika tercapai kesepakatan untuk mengubah UUD 1945, MPR mengadopsi substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi salah satu materi perubahan UUD 1945 dalam perubahan pertama tahun 1999. Salah satu alasan mengangkat substansi Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 menjadi substansi konstitusi, yaitu pengaturan di bawah konstitusi dinilai tidak memadai untuk materi yang sangat mendasar seperti pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Sekalipun secara konstruksi terdapat “sedikit perbedaan” antara norma Pasal 1 Tap MPR Nomor XIII/MPR/1998 dengan norma Pasal 7 UUD 1945 hasil perubahan, yaitu dari “Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan” menjadi “Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk sekali masa jabatan”, namun secara substansi kedua norma dimaksud membatasi kesempatan seseorang untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden tidak melebihi dari dua periode masa jabatan. Bahkan, selama pembahasan perubahan Pasal 7 UUD 1945 ditemukan beberapa original intent yang terkait langsung dengan pembatasan dimaksud, misalnya, ihwal dua kali masa jabatan tersebut apakah secara berturut-turut atau tidak berturut-turut. Berkenaan dengan hal tersebut, para pengubah UUD 1945 bersepakat, substansi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksudkan baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut [vide Naskah Komprehensif UUD 1945 Buku IV, Jilid 1, hlm. 477]. Bahkan, apabila diletakan dalam konteks demokrasi presidensial, batasan dua kali berturut-turut dimaksudkan merupakan batasan maksimal seseorang untuk dapat menjadi Presiden atau Wakil Presiden. [3.19] Menimbang bahwa oleh karena Pasal 7 UUD 1945 telah memberikan pembatasan yang jelas ihwal masa jabatan dan periodesasi masa jabatan Presiden atau Wakil Presiden, secara normatif diperlukan pengaturan lain dalam UUD dan ditindaklanjuti dalam peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi untuk mendukung agar pembatasan tersebut terwujud dalam proses pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden, terutama berkenaan dengan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Berkenaan dengan pengaturan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.19.1] Bahwa berkenaan dengan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden secara konstitusional diatur dalam Pasal 6 UUD 1945. Dalam hal ini, norma Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendak sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Karena norma konstitusi tidak mungkin mengatur secara detail persyaratan tersebut, Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 mengatur lebih lanjut dengan menyatakan, “Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. [3.19.2] Bahwa saat ini undang-undang yang mengatur tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah UU 7/2017. Sebagai pengaturan yang mendapat delegasi dari UUD 1945, Pasal 169 UU 7/2017 mengatur persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai berikut: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri; c. suami atau istri calon Presiden dan suami atau istri calon Wakil Presiden adalah Warga Negara Indonesia; d. tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya; e. mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden serta bebas dari penyalahgunaan narkotika; f. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; g. telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara; h. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; i. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; j. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; k. tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD; l. terdaftar sebagai Pemilih; m. memiliki nomor pokok wajib pajak dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi; n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; o. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; p. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun; r. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, s. sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat; t. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk u. organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI; dan v. memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia Selanjutnya, Pasal 227 UU 7/2017 menyatakan pendaftaran bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden melengkapi persyaratan sebagai berikut: kartu tanda penduduk elektronik dan akta kelahiran Warga Negara Indonesia; a. surat keterangan catatan kepolisian dan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. surat keterangan kesehatan dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk oleh KPU; c. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi; d. surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri; e. surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD; f. fotokopi nomor pokok wajib pajak dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir; g. daftar riwayat hidup, profit singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon; h. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; i. surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; j. surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; k. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah; l. surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G.30.S/PKI dari kepolisian; m. surat pernyataan bermeterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan; n. surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak ditetapkansebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu; dan o. surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu. [3.19.3] Bahwa salah satu persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diatur dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 sebagaimana disebutkan di atas adalah, belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama yang diikuti surat pernyataan belum pernah menjabat selama 2 (dua) periode tersebut adalah norma yang dimaksudkan untuk mempertahankan substansi norma Pasal 7 UUD 1945. Bahkan, khusus Penjelasan Pasal 169 huruf n UU 7/2017 juga menegaskan maksud “belum pernah menjabat 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 (lima) tahun juga merupakan penegasan terhadap maksud Pasal 7 UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 merupakan panduan yang harus diikuti oleh penyelenggara pemilihan umum dalam menilai keterpenuhan persyaratan untuk menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden. Selain itu, kedua norma dimaksud adalah untuk menjaga konsistensi dan untuk menghindari degradasi norma Pasal 7 UUD 1945 dimaksud. [3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 119/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

dr. Gede Eka Rusdi Antara, dr. Made Adhi Keswara, dr. Heryani HS Parewasi, M.Kes., Sp.OG., dr. A. Wahyudi Pababbri, Sp. PD., dan Dwi Bagas Andika (mahasiswa), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dan dr. Ardiyanto Panggeso, S.H., M.H., kesemuanya adalah Advokat dan konsultan hukum kesehatan, yang tergabung dalam Firma Hukum VST and Partners, Advocates & Legal Consultants, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dalil-dalil pokok permohonan para Pemohon masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah: 1 Apakah benar kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Konsil Kedokteran Indonesia”; 2 Apakah benar frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi setelah mendapatkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia, serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana”; [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai “Konsil Kedokteran Indonesia”. Alasan para Pemohon, masuknya peran Menteri dalam menetapkan Anggota MKDKI akan menimbulkan ketidakpastian hukum atas struktur serta kedudukan MKDKI terhadap KKI yang akan berpengaruh pada kekuatan hukum keputusannya dengan KKI. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa MKDKI merupakan sebuah lembaga otonom yang independen dari KKI dan bertanggung jawab kepada KKI yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan disiplin profesi dokter dan dokter gigi di Indonesia [vide Pasal 55 dan Pasal 56 UU 29/2004]. MKDKI dibentuk untuk melaksanakan salah satu tugas dari KKI yaitu melakukan proses pembinaan dan penegakan disiplin dokter dan dokter gigi, memastikan apakah standar profesi yang telah dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar, termasuk mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi hingga menentukan sanksi terhadap pelanggaran tersebut [vide Pasal 1 angka 14 UU 29/2004]. Dengan demikian, domain atau yurisdiksi MKDKI adalah penegakan disiplin profesi yakni penegakan atas aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004]. Penegakan disiplin profesi dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI diawali dengan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran disiplin profesi dokter dan dokter gigi. Pemeriksaan tersebut bertujuan untuk mencari kebenaran mengenai ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi dokter atau dokter gigi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh pengadu [vide Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20 Tahun 2014]. Penegakan disiplin dokter dan dokter gigi yang dilakukan oleh MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat (pasien), menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta menjaga kehormatan profesi kedokteran dan kedokteran gigi. Walaupun MKDKI bertanggung jawab kepada KKI, namun agar dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat sebagai penerima layanan, dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan, MKDKI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun atau lembaga lainnya [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (3) UU 29/2004]. Pengaturan demikian dimaksudkan untuk menjaga indepedensi MKDKI. [3.11.2] Bahwa berkenaan hal di atas, sebelum mempertimbangkan lebih jauh ihwal kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004, terlebih dahulu Mahkamah mengutip pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, hlm. 219, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Desember 2016 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVI/2018, hlm. 234-235, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 21 Mei 2019. Dalam Paragraf [3.14] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XIII/2015, Mahkamah menyatakan: [3.14] Menimbang bahwa berbagai upaya hukum telah dilakukan oleh negara dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter dan dokter gigi sebagai pemberi pelayanan telah banyak melakukan pelayanan kesehatan, akan tetapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kedokteran dan kedokteran gigi dirasakan selama ini belum memadai karena masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, sedangkan porsi profesi masih sangat kurang. Oleh karenanya untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak (profesi kedokteran dengan Pemerintah) serta untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan objektif dokter dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Konsil Kedokteran Indonesia merupakan suatu badan independen yang menjalankan fungsi regulator terkait dengan peningkatan kemampuan dokter dan dokter gigi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVI/2018, Mahkamah menyatakan: “… Mahkamah berpendapat bahwa yang perlu dipahami adalah KKI merupakan suatu badan otonom, mandiri nonstruktural dan bersifat independen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU 29/2004 yaitu melakukan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dan melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Adapun wewenangnya adalah menyetujui atau menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi, menerbitkan dan mencabut surat 235 tanda registrasi, mengesahkan standar kompetensi, melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi, mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi, serta melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.” Pertimbangan hukum Mahkamah dalam kedua putusan di atas telah menjelaskan tugas dan fungsi KKI, yaitu sebagai pembuat regulasi dan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Oleh karena itu, apabila KKI selaku pembuat regulasi dan pembina anggota profesi kemudian menetapkan anggota MKDKI sebagaimana dimohonkan oleh para Pemohon (petitum), tentunya akan menimbulkan konflik atau setidak-tidaknya berpotensi terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest). Alasannya, pada satu sisi KKI memiliki tugas membuat regulasi yang berkaitan dengan standar profesi, sementara di sisi lain KKI juga mengangkat anggota MKDKI yang bertugas memastikan standar profesi yang dibuat oleh KKI telah dilaksanakan dengan benar. Tak hanya memastikan hal tersebut, MKDKI pun bertugas mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota profesi. Sehingga, untuk menghindari adanya konflik kepentingan antara tugas dan fungsi KKI dan tidak terjadinya contradictio in terminis jika KKI sekaligus juga mengangkat anggota MKDKI, maka pembentuk undang-undang mengatur bahwa untuk menetapkan anggota MKDKI dilakukan oleh Menteri dengan mempertimbangkan usulan dari organisasi profesi sesuai dengan amanat Pasal 60 UU 29/2004. Terlebih lagi, tidak menutup kemungkinan MKDKI juga akan mengadili dokter yang merangkap sebagai anggota KKI yang masih aktif menjalankan profesinya dalam melayani masyarakat. Dalam desain sistem pemerintahan, ditetapkannya anggota MKDKI oleh menteri atas usul organisasi profesi harus ditempatkan dalam bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaktubkan dalam Konsideran Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan, “Setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD1945”. Oleh karena itu, masing-masing menteri memiliki tugas tanggung jawab dalam urusannya untuk mewujudkan tujuan bernegara. Berkenaan dengan urusan tersebut, menteri yang dimaksudkan dalam Pasal 60 UU 29/2004 adalah menteri yang menyelenggarakan urusan bidang kesehatan. Dengan demikian, secara konstitusional, sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan urusan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari posisi menteri sebagai pembantu presiden. Meski demikian, dalam menetapkan anggota MKDKI, menteri bertindak berdasarkan atas usulan organisasi profesi. Artinya, menteri tidak dapat menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk menetapkan anggota MKDKI secara sepihak selain dari usulan organisasi profesi. Dengan konstruksi penetapan anggota yang demikian akan menciptakan MKDKI sebagai lembaga otonom independen dalam melaksanakan tugasnya sehingga dapat mencegah kemungkinan pengaruh atau intervensi lembaga lain. Selain itu, dengan tidak ditetapkannya anggota MKDKI oleh KKI, hal tersebut dapat dikatakan atau dinilai memberi kepastian hukum yang adil dalam proses penanganan dugaan pelanggaran disiplin. Dalam hal ini, MKDKI dapat mengakomodasi kepentingan masing-masing pihak, terutama memberi kesempatan kepada dokter teradu atau yang diadukan untuk membuktikan apakah telah melanggar disiplin kedokteran atau sebaliknya. Sementara itu, mereka yang merasa dirugikan, in casu pasien, diberikan haknya untuk mengadu. Proses demikian akan menciptakan kepastian hukum yang adil antara keduanya. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon mengenai norma kata “Menteri” dalam Pasal 60 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam norma Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 apabila tidak dimaknai “bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi setelah mendapatkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia, serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana” adalah inkonstitusional, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sehubungan dengan persoalan disiplin profesi, Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.13.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014, hlm. 60, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 20 April 2015, mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.2] Adapun disiplin profesi pada dasarnya adalah etika yang khusus berlaku bagi orang atau kelompok orang tertentu yang melakukan praktik profesi tertentu pula, namun dengan bentuk dan kekuatan sanksi yang lebih tegas dibanding sanksi etika pada umumnya, meskipun tetap lebih “lunak” dibandingkan sanksi hukum. Sanksi yang diancamkan oleh suatu disiplin profesi relatif lebih keras dibandingkan sanksi etika pada umumnya, karena sanksi disiplin berkaitan dengan dapat atau tidaknya pemegang profesi tertentu untuk terus memegang atau menjalankan profesinya. Dalam UU 29/2004 dapat diketahui bahwa arti disiplin profesi adalah “aturan-aturan dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh dokter dan dokter gigi” [vide Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004]. Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum di atas telah jelas bahwa profesi dokter adalah profesi tertentu yang berkait dengan manusia baik tubuh maupun nyawanya, sehingga profesi dokter dituntut untuk melakukan kegiatan praktik kedokteran dengan hati-hati dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sebagaimana Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU 29/2004. Hal tersebut juga dipertegas oleh Mahkamah melalui Putusan yang sama yaitu dalam Paragraf [3.14] yang menyatakan: [3.14] Menimbang bahwa tujuan utama ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan kedokteran umum maupun kedokteran gigi, adalah memuliakan kehidupan manusia. Posisi ilmu pengetahuan kedokteran menjadi istimewa, setidaknya di hadapan hukum, karena ilmu kedokteran dan praktiknya memiliki kaitan yang signifikan dengan kesehatan bahkan kehidupan/keselamatan manusia. Mahkamah sependapat dengan Presiden/Pemerintah yang menyatakan bahwa keistimewaan atau kekhasan profesi dokter dan dokter gigi adalah adanya “pembenaran yang diberikan oleh hukum, yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan”. Keistimewaan tersebut terlihat manakala seseorang yang bukan dokter atau dokter gigi melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia, maka tindakan yang demikian dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, seorang dokter tunduk dan patuh terhadap kode etik dan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran sebagai standar supaya dokter bertindak dengan penuh rasa tanggung jawab dan hati-hati. [3.12.2] Bahwa selanjutnya persoalan yang harus dijawab Mahkamah adalah apakah putusan penegakan disiplin kedokteran kemudian tidak dapat dijadikan rujukan atau dasar mengajukan perkara perdata atau perkara pidana sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Terhadap persoalan tersebut, penting bagi Mahkamah untuk merujuk terlebih dahulu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014, yang menyatakan sebagai berikut: [3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah pertanyaan selanjutnya adalah, apakah suatu tindakan dokter atau dokter gigi yang telah diperiksa dan diputus oleh MKDKI, masih dapat diajukan pelaporannya kepada pihak berwenang dan/atau digugat secara perdata. Dengan merujuk pada pertimbangan hukum yang telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah berpendapat bahwa proses pengadilan baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata selama terkait dengan tindakan profesi kedokteran (baik dokter atau dokter gigi) harus dilakukan dalam lingkup profesi kedokteran. Artinya standar penilaian terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata dilihat dari kacamata Undang-Undang mengenai hukum pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya, melainkan harus didasarkan pada standar disiplin profesi kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Hal demikian terkait dengan keistimewaan profesi dan ilmu kedokteran yang secara hakiki memang lebih dekat dengan risiko yang berakibat kecacatan bahkan hilangnya nyawa seseorang. Meskipun bisa jadi tindakan profesi kedokteran dan tindakan profesi lain sama-sama mengakibatkan atau menimbulkan risiko cacat atau kematian, dan keduanya diatur dalam Undang- Undang yang sama, misalkan KUHP, tetapi tentu harus dibedakan konsekuensi hukumnya bagi dokter atau dokter gigi karena mereka memang diizinkan untuk melakukan tindakan terhadap tubuh manusia, sementara profesi lain tidak demikian adanya. Perbedaan tersebut menurut Mahkamah memberikan dasar yang kuat bagi penegak hukum yaitu kepolisian dan kejaksaan untuk perkara pidana, maupun pengadilan baik pidana maupun perdata, untuk memperlakukan dokter dan dokter gigi secara berbeda. Perbedaan demikian harus dilakukan atau ditunjukkan dengan menjadikan ilmu kedokteran, khususnya yang tertuang dalam peraturan disiplin profesional dokter, sebagai rujukan utama dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan persidangan. [3.19] Menimbang, pertimbangan hukum yang demikian menegaskan pendapat Mahkamah bahwa makna keadilan adalah memperlakukan sama terhadap yang sama dan memperlakukan berbeda terhadap dua hal yang memang berbeda. Konsep keadilan yang demikian merupakan pengetahuan yang bersifat umum (tacit knowledge) yang diyakini Mahkamah telah dimiliki dan disadari oleh semua aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan. Terkait dengan hal tersebut Mahkamah berpendapat bahwa proses pidana dan/atau gugatan perdata yang diatur dalam Pasal 66 ayat (3) Undang- Undang a quo, secara kontekstual tidak memiliki makna lain selain menjadikan ilmu kedokteran, khususnya kode etik dan disiplin profesi kedokteran, sebagai salah satu rujukan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang. Tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan sidang yang menjadikan kode etik dan disiplin profesi kedokteran sebagai salah satu rujukan, antara lain, dengan mendengarkan pendapat atau keahlian dari pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran, ketika aparat penegak hukum melakukan penafsiran terhadap peraturan hukum yang mengatur tindakan dokter atau dokter gigi, serta ketika melakukan penilaian terhadap tindakan dokter atau dokter gigi dimaksud. Dilaksanakannya peradilan yang menjadikan ilmu kedokteran sebagai salah satu rujukan dalam mengadili dokter dan/atau dokter gigi yang diduga melakukan malpraktik, menurut Mahkamah telah membatasi risiko yang harus ditanggung dokter dan/atau dokter gigi dari pelaporan pidana atau gugatan perdata. Artinya dalam proses pengadilan yang demikian akan tertutup kemungkinan dijatuhkannya sanksi pidana dan/atau perdata kepada dokter atau dokter gigi yang tindakan medisnya oleh MKDKI telah dinyatakan sesuai atau tidak melanggar disiplin profesi kedokteran. Adapun ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien. Dalam konteks sebagaimana telah diuraikan oleh Mahkamah dalam rangkaian pertimbangan hukum di atas, ketakutan bahwa dokter dan/atau dokter gigi akan dikenai sanksi pidana dan/atau sanksi perdata jika melakukan tindakan kedokteran yang lebih lanjut menimbulkan praktik defensive medicine di kalangan medis, menurut Mahkamah tidak berdasar dan tidak lagi memiliki relevansi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan berdasar pada pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi di atas, jelas bahwa ketentuan pelaporan secara pidana dan/atau gugatan secara perdata tentu tetap diperlukan untuk melindungi hak-hak pasien dan pemangku kepentingan pada umumnya dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran, atau untuk melindungi hak pasien manakala tindakan dokter atau dokter gigi yang dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran ternyata menimbulkan kerugian pada pasien. Artinya, dokter yang telah diperiksa oleh MKDKI tetap dapat digugat atau dipersoalkan di pengadilan baik perdata maupun pidana. Ketentuan tersebut diberlakukan karena UU 29/2004 bertujuan untuk melindungi masyarakat, baik pasien sebagai pengguna layanan kesehatan maupun dokter dan dokter gigi sebagai pemberi layanan, sehingga norma yang diatur dalam UU 29/2004 tidak hanya memberikan perlindungan terhadap pasien tetapi juga perlindungan hak konstitusional terhadap dokter dan dokter gigi. Jika Mahkamah mengikuti substansi yang dimohonkan oleh para Pemohon, tujuan dari pembentukan UU 29/2004 dan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 tidak akan tercapai. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai Pasal 69 UU 29/2004 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata norma kata “menteri” dalam Pasal 60 dan frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 telah sejalan dengan prinsip negara hukum dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 60 dan Pasal 69 ayat (1) UU 29/2004 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 24/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

E. Ramos Petege, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan

Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.20] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama, telah ternyata permohonan Pemohon substansinya berkaitan dengan keabsahan dan pencatatan perkawinan. Untuk itu, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengutip pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, terkait dengan keabsahan perkawinan sebagai berikut: “[3.12.3] ... Menurut Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J UUD 1945]. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan UUD 1945, menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 serta telah pula dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat; [3.12.4] ... Menurut Mahkamah, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai hubungan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama atau kepercayaannya serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan lahir tersebut merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat, sedangkan sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri. Bahwa ikatan lahir dan batin dalam sebuah perkawinan juga merupakan bentuk pernyataan secara tegas bahwa seorang pria dan seorang wanita ingin membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; [3.12.5] ... Menurut Mahkamah, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, agama menjadi landasan dan negara mempunyai kepentingan dalam hal perkawinan. Agama menjadi landasan bagi komunitas individu yang menjadi wadah kebersamaan pribadi-pribadi dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa serta turut bertanggung jawab terwujudnya kehendak Tuhan Yang Maha Esa untuk meneruskan dan menjamin keberlangsungan hidup manusia. Negara juga berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan. Secara khusus, negara berperan untuk memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara;” Selain pertimbangan hukum putusan di atas, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Mahkamah juga telah mempertimbangkan mengenai pencatatan perkawinan, antara lain sebagai berikut: “[3.12] Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan. Mengenai permasalahan tersebut, Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “... bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Berdasarkan Penjelasan UU 1/1974 di atas nyatalah bahwa (i) pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan; dan (ii) pencatatan merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut, menurut Mahkamah, dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan [vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945]. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis [vide Pasal 28J ayat (2) UUD 1945]. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti otentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak dalam Pasal 55 UU 1/1974 yang mengatur bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta otentik sebagai buktinya;” Berdasarkan pertimbangan hukum kedua putusan di atas, sesungguhnya Mahkamah telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan. Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga atau organisasi keagamaan tersebut. Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, oleh karena dalam hal perkawinan terdapat kepentingan dan tanggungjawab agama dan negara yang saling berkait erat maka melalui kedua putusan di atas Mahkamah telah memberikan landasan kontitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum. [3.21] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempertimbangkan keabsahan dan pencatatan perkawinan sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974, in casu larangan perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama termasuk pencatatannya yang menurut Pemohon sama saja negara memaksakan warga negaranya dengan hanya memperbolehkan perkawinan seagama, padahal menikah adalah hak setiap orang. Sementara itu, di sisi lain masih menurut Pemohon tidak ada tolok ukur dan kesamaan tafsir yang digunakan untuk mengukur larangan dan kebolehan perkawinan beda agama. Terhadap persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.21.1] Bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak yang diakui oleh Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia. Meskipun demikian, hak asasi manusia yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa. Jaminan perlindungan hak asasi manusia secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan hak asasi manusia di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial, dan budaya rakyat di negara masing-masing. Mahkamah telah mempertimbangkan perihal kedudukan dan kekuatan mengikatnya UDHR, yang antara lain menyatakan pada pokoknya Universal Declaration of Human Rights hanya merupakan “statement of ideals” sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (legal binding) secara langsung [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-IV/2006, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 September 2006, hlm. 57]. Dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan dalam perkara ini, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara UDHR dan UUD 1945. Pasal 16 ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit “Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family”. Diterjemahkan bahwa “Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga”. UDHR secara tegas memberi jaminan perlindungan atas hak untuk menikah (right to marry). Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B ayat (1) yang menyebutkan, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Berdasarkan rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada 2 (dua) hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo, yaitu “hak membentuk keluarga” dan “hak melanjutkan keturunan”. Adapun frasa berikutnya menunjukkan bahwa “perkawinan yang sah” merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. Berdasarkan uraian tersebut maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah (right to marry) terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945. Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi maka tanpa mengesampingkan hak asasi yang berlaku universal dalam UDHR, sudah seharusnya Mahkamah menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara. Bahwa meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan, akan tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena, tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah. Dengan menggunakan kaidah hukum “sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban, hukumnya menjadi wajib (ma laa yatiimmu alwajibu illa bihi fahuwa wajib)”, maka perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi. [3.21.2] Bahwa perihal keberadaan negara dalam mengatur perihal perkawinan, Mahkamah pernah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 23 Juli 2018, bahwa berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua. Pertama, beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi dengan pemaksaan bahkan tidak dapat diadili. Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XV/2017, hlm. 532] Adapun perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama. Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan ibadah haji. Peran negara bukanlah dimaksudkan untuk membatasi keyakinan seseorang, melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut. Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974. Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal yang menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan. Adanya pengaturan demikian sejalan pula dengan Pasal 28J UUD 1945 bahwa dalam menjalankan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum. Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, campur tangan negara dalam penyelenggaraan perkawinan tidak sampai menjadi penafsir agama bagi keabsahan perkawinan. Dalam hal ini, negara menindaklanjuti hasil penafsiran embaga atau organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Hasil penafsiran tersebut yang kemudian dituangkan oleh negara dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan, in casu larangan perkawian beda agama tetaplah pemuka agama. Dalam hal ini yang telah disepakati melalui lembaga atau organisasi keagamaan, bukan penafsiran yang dilakukan oleh individu yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam konteks perkara a quo, Mahkamah telah pula mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait MUI dan DDII serta Pihak Terkait Tidak Langsung PAHAM Indonesia, SALIMAH, Yayasan AILA Indonesia, dan Perkumpulan Wanita Islam. Bahkan dalam perkara sebelumnya yang telah diputus melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XII/2014, yang juga menjadi rujukan putusan a quo, Mahkamah juga telah menghadirkan organisasi-organisasi keagamaan untuk menjelaskan keberadaan perkawinan dalam setiap agama. Organisasi yang diundang di antaranya adalah MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) yang pada pokoknya menunjukkan adanya kebebasan bagi setiap agama untuk mengkonsepsikan perkawinan sesuai dengan ajaran agama, sehingga menurut Mahkamah tidak ada pemaksaan negara atas penyelenggaraan perkawinan bagi suatu agama apapun. Dalam hal ini, peran negara adalah menindaklanjuti hasil penafsiran yang disepakati oleh lembaga atau organisasi keagamaan. Terlebih lagi, salah satu sumber hukum dalam pengertian materil adalah ajaran-ajaran agama dan adat istiadat yang masih hidup dalam masyarakat. Dengan demikian, keberadaan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah sesuai dengan esensi Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945 yakni berkaitan dengan kewajiban negara untuk menjamin pelaksanaaan ajaran agama. [3.21.3] Bahwa Perkawinan menurut UU 1/1974 diartikan sebagai ikatan lahir batin yang terjalin antara seorang pria dan seorang wanita yang diikat oleh tali pernikahan dan menjadikan status mereka sebagai suami istri. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa [vide Pasal 1 UU 1/1974]. Ihwal perkawinan, Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan tidak hanya sebatas perkawinan, tetapi lebih dari itu, yakni “perkawinan yang sah”. Adapun perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pada ketentuan Pasal 2 UU 1/1974, pencatatan yang dimaksud ayat (2) haruslah pencatatan yang membawa keabsahan dalam ayat (1). Dengan demikian, UU 1/1974 menghendaki agar perkawinan yang dicatat adalah perkawinan yang sah. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara merupakan kewajiban administratif. Sedangkan perihal sahnya perkawinan, dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) a quo negara justru menyerahkannya kepada agama dan kepercayaan karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya. Kaidah pengaturan dalam norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan kepercayaan. Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaannya tetaplah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut, dan meyakininya sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. [3.21.4] Bahwa untuk tertibnya administrasi dalam pencatatan perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU 23/2006) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya Pasal 35 huruf a dan Penjelasan Pasal 35 huruf a sebagai berikut: Pasal 35 huruf a: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi: a. perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;” Penjelasan Pasal 35 huruf a: “Yang dimaksud dengan “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama”. Pasal 34 UU 23/2006 menegaskan bahwa setiap warga negara yang telah melangsungkan perkawinan sah menurut peraturan perundang-undangan berhak mencatatkan perkawinannya pada kantor catatan sipil bagi pasangan yang beragama non-Islam dan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi pasangan beragama Islam. Jaminan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara juga dapat dilakukan terhadap perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Meskipun dalam penjelasannya dijelaskan yang dimaksud perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama, menurut Mahkamah bukan berarti negara mengakui perkawinan beda agama. Karena negara dalam hal ini mengikuti penafsiran yang telah dilakukan oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang memiliki otoritas mengeluarkan penafsiran. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran maka lembaga atau organisasi keagamaan dari individu tersebut yang berwenang menyelesaikannya. Sebagai sebuah peristiwa kependudukan, kepentingan negara, in casu pemerintah, adalah mencatat sebagaimana mestinya perubahan status kependudukan seseorang sehingga mendapatkan perlindungan, pengakuan, status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan tersebut [vide Konsiderans Menimbang huruf b UU 23/2006], termasuk dalam hal ini pencatatan perkawinan yang dilakukan melalui penetapan oleh pengadilan. Tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal dalam UU 23/2006, menurut Mahkamah bahwa ketentuan tersebut harus dipahami sebagai pengaturan di bidang administratif kependudukan oleh negara karena perihal keabsahan perkawinan adalah tetap harus merujuk pada norma Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yaitu perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pengaturan pelaksanaan pencatatan perkawinan di atas menunjukkan tidak ada persoalan konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan. Justru sebaliknya dengan adanya pengaturan pencatatan perkawinan bagi setiap warga negara yang melangsungkan perkawinan secara sah menunjukkan bahwa negara telah berperan dan berfungsi memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang merupakan tanggungjawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 [vide Pertimbangan Hukum pada Paragraf [3.12] Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010]. [3.22] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mendengarkan secara saksama keterangan para pihak, ahli dan saksi serta mencermati fakta persidangan, Mahkamah tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi ataupun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencataan perkawinan, sehingga tidak terdapat urgensi bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian Mahkamah pada putusan-putusan sebelumnya. Melalui rangkaian pertimbangan hukum di atas Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon mengenai norma Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974 telah ternyata tidak bertentangan dengan prinsip jaminan hak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya, persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, hak untuk hidup dan bebas dari perlakuan diskriminatif, hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28B ayat (1), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.24] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansinya.