Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 82/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H., dkk yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Antoni Putra, S.H., M.H., dkk, bertindak secara bersama-sama dan/atau sendiri-sendiri untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian formil atas UU 13/2022

pengujian formil atas UU 13/2022

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil atas UU 13/2022, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan, serta para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian formil, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan provisi dan pokok permohonan para Pemohon. Dalam Provisi [3.9] Menimbang bahwa para Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya mohon menunda keberlakuan UU 13/2022 dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat, oleh karena inkonstitusionalitas proses pembentukan UU 13/2022 baru akan dibuktikan bersama-sama dengan pembuktian pokok perkara, maka kebenaran akan adanya persoalan tata cara pembentukan UU 13/2022 belum dapat dibuktikan, sehingga tidak ada alasan secara hukum untuk menunda pemberlakuan UU 13/2022 dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana permohonan provisi para Pemohon. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum; Dalam Pokok Permohonan [3.10] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses penyusunan UU 13/2022 tidak sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut (dalil atau argumentasi para Pemohon selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara): 1. Bahwa menurut para Pemohon, proses pembentukan UU 13/2022 cacat formil/cacat prosedur karena proses pembentukannya tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan UUD 1945 serta terdapat pelanggaran dalam pembentukan UU 13/2022 yang pada pokoknya sebagai berikut: a. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka akibat putusan Mahkamah; b. Proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa dan Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik; c. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok Kementerian Negara; d. Pembentukan UU 13/2022 (revisi kedua UU 12/2011) adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism. 2. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan pembentukan UU 13/2022 bertentangan dengan UUD 1945. [3.11] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-43, serta 2 (dua) orang ahli, yaitu Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum. dan Bivitri Susanti, S.H., LL.M., yang telah didengarkan keterangannya dalam persidangan pada 17 November 2022, dan menyampaikan satu keterangan tertulis ahli Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM., yang diterima Mahkamah pada 16 November 2022. Selain itu, para Pemohon juga telah menyerahkan kesimpulan bertanggal 21 November 2022 yang diterima Mahkamah pada 22 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara). [3.12] Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam persidangan pada 8 November 2022 dan telah menyampaikan keterangan tertulis yang diterima Mahkamah pada 8 November 2022. Selain itu, DPR juga menyampaikan 1 (satu) keterangan tertulis ahli, yaitu Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.H., S.I.P., M.H., M.Si. dan 1 (satu) keterangan tertulis saksi, yaitu Dr. Aminuddin Kasim, S.H., M.H. yang diterima Mahkamah pada 14 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara). [3.13] Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima keterangan tertulis Presiden pada 6 Oktober 2022 dan 10 Oktober 2022 yang telah didengar dalam persidangan pada 10 Oktober 2022. Untuk mendukung dan membuktikan dalilnya, Presiden telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti PK-1 sampai dengan bukti PK-3, dan mengajukan 1 (satu) orang ahli, yaitu Dr. Ibnu Sina Chandranegara, S.H., M.H., dan 1 (satu) orang saksi, yaitu Dr. Ahmad Redi, S.H., M.H., yang keterangan tertulisnya diterima Mahkamah pada 7 November 2022. Selain itu, Presiden juga telah menyerahkan kesimpulan bertanggal 22 November 2022 yang diterima Mahkamah pada 22 November 2022 (selengkapnya dimuat pada bagian Duduk Perkara). [3.14] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli para Pemohon, DPR, dan Presiden, keterangan saksi DPR dan Presiden, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon dan Presiden, kesimpulan tertulis para Pemohon dan Presiden, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil permohonan para Pemohon. [3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan revisi kedua UU 12/2011 dengan membentuk UU 13/2022 tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka akibat Putusan MK. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 (vide Bukti PK-1) juncto Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 [vide Bukti PK-3], UU 13/2022 termasuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Prioritas Tahun 2022 (Nomor Urut 23). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, UU 13/2022 pembentukannya telah memenuhi tahapan dan proses pembentukan undang-undang karena perencanaan penyusunannya dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Kedua Keputusan DPR tersebut telah menunjukkan bahwa pembentukan UU 13/2022 merupakan salah satu rancangan undang-undang dalam Prolegnas. Terlebih lagi, Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah salah satunya memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR [vide Pasal 105 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 66 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib]. Artinya, rancangan UU 13/2022 telah dibahas di Badan Legislasi DPR adalah sesuai dengan proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD 1945 dan peraturan pelaksanaannya. Di samping itu, berdasarkan keterangan DPR dalam persidangan, diperoleh fakta hukum bahwa pembentukan Undang-Undang a quo adalah dalam rangka menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan bukan menggunakan sistem kumulatif terbuka [vide Keterangan DPR bertanggal 8 November 2022, hlm. 20]. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan proses pembentukan UU 13/2022 tidak memenuhi syarat sebagai rancangan undang-undang kumulatif terbuka adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon a quo, berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 31 Oktober 2022, perihal pengujian formil UU 13/2022 terhadap UUD 1945, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum berkenaan dengan dalil para Pemohon mengenai partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU XX/2022 mengenai permasalahan tersebut, berlaku mutatis mutandis pula untuk pertimbangan hukum di dalam menjawab dalil para Pemohon dalam Perkara a quo. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa serta Pembentuk Undang-Undang melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang undangan yang baik adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa terkait dengan eksistensi Kementerian Negara, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, menyatakan “Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan”. Di samping ketentuan ketentuan tersebut di atas, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, ditegaskan bahwa “Pengaturan mengenai kementerian negara tidak didekati melalui pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi undang-undang ini melakukan pendekatan melalui urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara. Urusan-urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti satu urusan dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu kementerian bisa melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden”. Dalam pembentukan UU 13/2022, Presiden telah menunjuk atau menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan [vide Keterangan DPR bertanggal 8 November 2022, hlm. 53]. Sementara itu, berdasarkan keterangan Pemerintah dalam persidangan, Presiden juga memiliki kewenangan menugaskan menteri untuk mewakili pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahwa pembahasan suatu rancangan undang-undang tetap dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, in casu Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bersama dengan menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang [vide Keterangan Presiden bertanggal 6 Oktober 2022 dan Risalah Sidang Perkara Nomor 82/PUU XX/2022 bertanggal 10 Oktober 2022]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah penugasan terhadap seorang menteri untuk melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden dalam rangka pencapaian tujuan negara, adalah hal yang dapat dibenarkan karena Presiden menggunakan kewenangannya sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang dalam pelaksanaan kewajibannya tersebut dibantu para menteri sesuai dengan dinamika kebutuhannya. Terlebih lagi, berdasarkan fakta hukum di dalam persidangan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bukanlah satu-satunya perwakilan Pemerintah untuk pembahasan Rancangan Undang-Undang a quo melainkan bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, beserta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 13/2022 adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa pembentukan Undang-Undang a quo berangkat dari semangat untuk menyempurnakan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang undangan yang sesuai dengan perkembangan hukum dan untuk menampung kebutuhan masyarakat serta perkembangan dinamika legislasi. Semangat tersebut bersamaan dengan penyusunan kajian teoritis dan praktik empiris terhadap 2 (dua) tema besar, yakni metode omnibus law dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi informasi sehingga tidak bersifat konservatif sebagaimana dilakukan sebelumnya. Dalam praktik pembentukan peraturan perundang undangan terdapat beberapa permasalahan, di antaranya belum diakomodasinya metode penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus law sebagai implikasi dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Menurut Mahkamah, upaya mengakomodasi metode baru tersebut untuk menghindari pembentukan undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang tindih, tidak efektif dan tidak efisien sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Oleh karena itu, sepanjang semangat untuk menciptakan kepastian hukum dimaksud tetap mempertahankan esensi dengan tidak memutuskan mata rantai dari setiap hakikat undang-undang yang dibentuk dengan menggunakan metode omnibus law, maka kekhawatiran para Pemohon berkaitan dengan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah sesuatu yang tidak beralasan karena dalam pembentukannya tetap bersumber dan berlandaskan pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Terlebih lagi, berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, dan tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas substansi atau norma dari Undang-Undang yang bersangkutan, telah ternyata pengaturan metode omnibus law memberikan efek yang positif dalam pembentukan undang-undang dan pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, pengaturan mekanisme partisipasi masyarakat memberikan dampak positif untuk mewujudkan prinsip good governance dalam proses legislasi yang demokratis dan transparan. Hal tersebut sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas, berkaitan dengan hal tersebut telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 jauh lebih luas penerapan asas keterbukaannya dibandingkan dengan UU 12/2011; Berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 13/2022 menjadikan pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat telah ternyata proses pembentukan UU 13/2022 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 13/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 96/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Rudi Hartono Iskandar yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Alamsyah Hanafiah, S.H., M.H, dkk Advokat yang tergabung dalam kantor Hukum Alamsyah Hanafiah, S.H., M.H&Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian KUHAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa pokok permohonan yang didalilkan Pemohon pada esensinya berkenaan dengan tidak diaturnya surat perintah penyidikan sebagai dasar dilakukannya penyidikan dalam Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, persoalan konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah: 1). Apakah pengertian kata “laporan” dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP inkonstitusional apabila tidak dimaknai “disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan” dan 2). Apakah ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP inkonstitusional apabila tidak dimaknai dengan “disertai 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”. Terhadap persoalan konstitusional yang didalilkan Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut. [3.11] Menimbang bahwa berkenaan dengan persoalan konstitusionalitas dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP tentang pengertian kata “laporan” yang menurut Pemohon untuk memberikan kepastian hukum harus dimaknai “satu laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana harus disertai 1 (satu) surat perintah penyidikan”, menurut Mahkamah, norma yang diujikan oleh Pemohon merupakan ketentuan umum dalam KUHAP yang berkaitan dengan batasan pengertian atau definisi dari suatu kata maupun hal-hal yang bersifat umum. Norma yang terdapat dalam bagian ketentuan umum akan mendasari norma-norma berikutnya, sehingga perumusan serta pemaknaan terhadap norma dalam ketentuan umum harus dilakukan secara saksama karena hal tersebut terkait dengan ketentuan norma dasar dari suatu undang-undang serta haruslah bersifat umum. Dengan demikian, jika norma dalam ketentuan umum tersebut akan mengalami perubahan harus dipertimbangkan konsistensinya dengan pasal-pasal berikutnya yang memiliki keterkaitan, sehingga perubahan tersebut tidak menimbulkan kerancuan bagi pasal- pasal yang terkait dengan norma dalam ketentuan umum tersebut; Apabila dikaitkan dengan Permohonan Pemohon yang meminta pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 24 KUHAP dengan menambahkan frasa “satu Laporan Polisi atau Pengaduan yang disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”, menurut Mahkamah, hal demikian akan mempengaruhi struktur batang tubuh KUHAP khususnya pasal-pasal yang berhubungan dengan definisi kata “laporan”, karena jika dirunut ke dalam pasal-pasal berikutnya yang terkait dengan definisi kata “laporan”, maka pemaknaan terhadap Pasal 1 angka 24 KUHAP sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon justru akan menimbulkan kerancuan makna dari norma pasal-pasal berikutnya tersebut. Terlebih lagi, jika dilihat dari maksud pembuat undang-undang merumuskan norma Pasal 1 angka 24 KUHAP serta mencermati pasal-pasal berikutnya yang terkait dengan kata “laporan”, menurut Mahkamah, pengertian kata “laporan” dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP lebih tepat dikaitkan dengan pemberitahuan yang berasal dari setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana [vide Pasal 108 KUHAP]; Adapun untuk dapat memahami proses tahapan sebuah laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP setelah diterima oleh penyelidik/penyidik hingga dapat dinyatakan akan dimulainya suatu penyidikan, menurut Mahkamah tidak dapat dipisahkan dengan persoalan konstitusionalitas yang terdapat pada dalil permohonan sebelumnya. Oleh karena itu, berkaitan dengan hal tersebut penting terlebih dahulu Mahkamah menegaskan kembali pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU- XVII/2019, yang diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 15 April 2019, yang mempertimbangkan pada pokoknya sebagai berikut: [3.13.1] ...Dari beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk terpenuhinya rumusan penyelidikan sebagaimana diuraikan pada ketentuan Pasal 1 angka 5 KUHAP dan Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP tersebut di atas, unsur yang mendasar adalah adanya tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana dan oleh karenanya penyelidik mempunyai wewenang menerima laporan atau pengaduan, mencari keterangan dan barang bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri dari tindakan lain. Lebih lanjut apabila dicermati dari seluruh unsur agar dapat terpenuhinya tindakan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada uraian di atas maka secara sederhana sebenarnya dapat dipahami bahwa serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyelidik yang menjadi batasan ruang lingkup tugas dan kewenangannya adalah terbatas pada tindakan yang dilakukan untuk memastikan bahwa adanya laporan atau pengaduan yang diterima benar-benar memenuhi unsur adanya dugaan tindak pidana. Oleh karenanya yang terjadi sesungguhnya adalah tindakan penyelidik yang berupa tindakan permulaan yang pada dasarnya hanyalah mencari dan mengumpulkan keterangan orang dan barang bukti untuk mendapatkan kesimpulan bahwa suatu peristiwa adalah tindak pidana. Dari batasan tugas dan kewenangan penyelidik tersebut di atas dapat diukur bentangan rangkaian yang menjadi titik batasan kewenangan penyelidik apabila dikaitkan dengan status adanya sebuah peristiwa, apakah sudah mengandung adanya unsur-unsur peristiwa yang dapat dikatakan adanya peristiwa pidana ataukah belum. Batasan-batasan tersebut dipergunakan guna memastikan bahwa sebuah peristiwa adalah peristiwa pidana dan oleh karenanya terhadap peristiwa tersebut sudah dapat dilekatkan adanya tindakan upaya paksa yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan kata lain, apabila oleh penyelidik suatu peristiwa telah dipastikan adalah peristiwa pidana maka proses yang harus dilanjutkan adalah dengan tindakan penyidikan. Namun demikian, apabila yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu ternyata melalui tindakan penyelidikan tersebut tidak dapat ditemukan adanya dugaan peristiwa pidana maka penyelidik dapat menghentikan penyelidikannya.... Lebih lanjut Mahkamah berpendapat tindakan penyelidikan oleh pejabat penyelidik mempunyai maksud dan tujuan mengumpulkan bukti atau bukti yang cukup agar dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan. Oleh karenanya jika diperhatikan dengan saksama, doktrin penyelidikan mempunyai arah untuk mewujudkan bentuk tanggung jawab kepada penyelidik, agar dapat dihindari tindakan penyelidik untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum dengan dampak merendahkan harkat dan martabat manusia, baik sebelum maupun pada saat akan dimulainya penegakan hukum.... Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan a quo, dapat diperoleh kesimpulan bahwa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP kemudian akan ditindaklanjuti oleh penyelidik/penyidik sesuai kewenangannya dengan melakukan kajian awal tentang ada atau tidaknya peristiwa pidana sehingga laporan tersebut memenuhi persyaratan atau tidak untuk ditindaklanjuti ke tahap berikutnya. Jika setelah melalui proses kajian awal ternyata ditemukan bukti-bukti adanya tindak pidana, maka laporan tersebut akan dilanjutkan ke tahap penyidikan, namun jika terhadap suatu laporan tidak ditemukan peristiwa pidana maka penyelidik akan menghentikan penyelidikan. Adapun terhadap satu laporan yang memenuhi unsur adanya tindak pidana maka untuk dapat dilakukannya penyidikan, salah satu syarat yang dibutuhkan adalah adanya surat perintah penyidikan. Dengan demikian, surat perintah penyidikan yang merupakan dasar dimulainya penyidikan dikeluarkan terhadap satu laporan yang telah dilakukan kajian awal dan telah ditemukan bukti adanya tindak pidana dengan tujuan untuk melakukan penyidikan terhadap laporan tersebut; Secara doktriner, meskipun terhadap surat perintah penyidikan tidak dikenal atau tidak diatur dalam KUHAP, namun terdapat diskresi (asas freies ermessen) yang dimiliki oleh pejabat tata usaha negara, dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk menggunakan kebijakannya dalam mengatur hal-hal yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, terkait dengan penyidikan, Kapolri telah menerbitkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Oleh karena itu, tanpa bermaksud menilai legalitas Peraturan Kapolri sebagaimana disebutkan di atas, telah ternyata di dalam Peraturan Kapolri tersebut telah diatur tentang laporan/pengaduan serta surat perintah penyidikan; Melalui penegasan tersebut, maka pemaknaan norma Pasal 1 angka 24 KUHAP sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, menyebabkan adanya contradictio in terminis. Sebab, terhadap satu laporan apabila harus disertai dengan 1 (satu) surat perintah penyidikan, padahal terhadap satu laporan yang disampaikan kepada penyelidik/penyidik masih membutuhkan kajian awal agar dapat ditentukan kelayakannya untuk dapat dilanjutkan ke tahap penyidikan yang kemudian pelaksanaannya membutuhkan adanya surat perintah penyidikan, bahkan bisa jadi diperlukan tindakan penyelidikan terlebih dahulu. Dengan demikian, memberikan pemaknaan terhadap definisi kata “laporan” sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelapor ataupun terlapor karena pemaknaan demikian dapat ditafsirkan hilangnya proses kajian awal maupun tahapan penyelidikan guna mengumpulkan bukti-bukti awal yang menentukan apakah laporan tersebut mengandung suatu tindakan pidana atau tidak. Dengan memaksakan setiap laporan sudah harus disertai surat perintah penyidikan, maka sama halnya dengan membiarkan tindakan penegak hukum untuk melakukan upaya-upaya paksa (pro justitia) dalam menindaklanjuti setiap laporan yang belum tentu ada kebenaran tindak pidananya. Sehingga, hal tersebut akan berdampak terlanggarnya harkat dan martabat manusia yang sesungguhnya harus dilindungi dari perampasan akan hak asasinya; Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 1 angka 24 KUHAP menjadi “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada Pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana” yang dimaknai “satu Laporan Polisi atau Pengaduan yang disertai dengan 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan” adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.12] Menimbang bahwa selanjutnya berkaitan dengan dalil Pemohon yang berpendapat ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “disertai 1 (satu) Surat Perintah Penyidikan”. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa Pemohon dalam permohonannya baik pada bagian Perihal Permohonan, Kedudukan Hukum, dan Alasan-Alasan Permohonan (Posita) menyebutkan pengujian norma yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya adalah pengujian terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, sedangkan pada angka 3 bagian Petitum Permohonan, Pemohon meminta pemaknaan terhadap Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP. Dengan demikian, terdapat adanya ketidakkonsistenan terhadap permohonan pengujian norma yang diajukan oleh Pemohon, hal tersebut menimbulkan ketidakjelasan apakah Pemohon meminta pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP secara keseluruhan, karena Pasal 7 ayat (1) KUHAP terdiri dari huruf a sampai dengan huruf j, ataukah Pemohon meminta pemaknaan hanya terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP. Namun demikian, dengan mencermati keterangan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon serta hal-hal yang terungkap dalam persidangan, Mahkamah dapat memahami apa sesungguhnya yang diinginkan oleh Pemohon; Dalam kaitan ini, ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP merupakan bagian dari BAB IV tentang Penyidik dan Penuntut Umum khususnya bagian kesatu tentang penyelidik dan penyidik. Pada bagian kesatu tersebut mengatur tentang siapakah yang dimaksud penyelidik, penyidik, dan penyidik pembantu serta apa tugas, kewenangan, dan kewajibannya masing-masing jabatan tersebut. Adapun ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP mengatur tentang wewenang yang dimiliki oleh penyidik karena kewajibannya yang meliputi menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, mengadakan penghentian penyidikan, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab [vide Pasal 7 ayat (1) KUHAP]; [3.12.2] Bahwa surat perintah penyidikan sebagaimana yang dipermasalahkan oleh Pemohon karena tidak diatur dalam KUHAP, pada pelaksanaannya dikeluarkan oleh atasan penyidik yang ditujukan kepada penyidik ataupun penyidik pembantu yang namanya disebutkan dalam surat perintah penyidikan tersebut setelah adanya kesimpulan dari hasil pemeriksaan terhadap suatu laporan bahwa telah terjadi tindak pidana. Surat perintah penyidikan yang sekurang-kurangnya memuat dasar penyidikan, identitas petugas tim penyidik, jenis perkara yang disidik, waktu mulainya penyidikan, dan identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah [vide Pasal 8 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana selanjutnya disebut Perkap 14/2012] dibutuhkan sebagai syarat administrasi penyidikan yang merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan penyidikan [vide Pasal 10 Perkap 14/2012]. Selanjutnya, surat perintah penyidikan merupakan dasar untuk diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang merupakan pemberitahuan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 yang diucapkan pada sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2017]. Keberadaan surat perintah penyidikan lebih memudahkan penyidik untuk melakukan penyelidikan, pengiriman SPDP, upaya paksa, pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut umum, penyerahan tersangka dan barang bukti ataupun penghentian penyidikan. Dengan demikian, terbitnya surat perintah penyidikan telah memberikan perlindungan dan jaminan penegakkan hak-hak konstitusional bagi terlapor, pelapor, penyidik, dan penuntut umum; Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, telah ternyata surat perintah penyidikan merupakan surat yang dikeluarkan untuk kebutuhan teknis administrasi khususnya terkait dimulainya suatu penyidikan, dan sebagai alat pengaman untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh penyidik. Oleh karena itu, dasar hukum dari terbitnya surat perintah penyidikan apabila Pemohon ingin memaknainya, lebih tepat apabila dikaitkan dengan norma yang mengatur perihal penyidikan, khususnya proses dimulainya suatu penyidikan, bukan terhadap norma yang terkait dengan wewenang dari penyidik, karena esensi dari terbitnya surat perintah penyidikan lebih kepada kebutuhan teknis administrasi bagi pelaksanaan wewenang dari penyidik itu sendiri khususnya pada saat akan dimulainya penyidikan; [3.12.3] Bahwa selanjutnya setelah Mahkamah mencermati permohonan Pemohon, telah ternyata pokok permasalahan yang dihadapi Pemohon adalah lamanya waktu pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik sejak ditetapkannya perkara Pemohon memenuhi unsur tindak pidana hingga penetapan Pemohon sebagai Tersangka. Hal mana membuat Pemohon merasa tidak adanya jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil akibat terkatung-katungnya nasib Pemohon dalam waktu kurang lebih selama lima tahun. Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah, hal demikian bukanlah persoalan konstitusionalitas norma Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP, namun merupakan permasalahan implementasi dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana. Oleh karena itu, sepanjang dalam pemeriksaan suatu perkara yang didasarkan pada adanya laporan kemudian berkembang menjadi beberapa perkara dikarenakan sifat dari perkaranya yang melibatkan pihak yang banyak dan terkait dengan tindak pidana lain yang mempunyai kualifikasi yang berbeda-beda, maka hal demikian memungkinkan pemeriksaan perkara memerlukan waktu yang lama dan bertambahnya perkara lebih dari satu perkara. Dengan demikian, dibutuhkan penyidikan tersendiri terhadap dugaan adanya tindak pidana baru tersebut, dan demi memberikan jaminan dan perlindungan hukum serta tertib administrasi pemerintahan yang baik, perlu diterbitkannya surat perintah penyidikan baru untuk mengakomodir segala tindakan administrasi bagi penyidik untuk melaksanakan kewenangannya; Bahwa meskipun terhadap proses penyidikan a quo disediakan mekanisme kontrol salah satunya melalui lembaga praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf a KUHAP sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang diucapkan pada sidang pleno yang terbuka untuk umum pada 28 April 2015 dan juga upaya hukum praperadilan sebagaimana yang juga telah dilakukan Pemohon, namun tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon, Mahkamah penting untuk menegaskan, sekalipun dalam setiap laporan adanya peristiwa pidana, aparat penegak hukum dibenarkan melakukan pengembangan penyidikan sehingga dimungkinkan laporan dimaksud dapat menghasilkan beberapa tindak pidana, maka melalui Putusan a quo diminta kepada aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik untuk tidak menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan proses penyidikan secara proporsional dan profesional. Sehingga, proses penegakkan hukum pidana benar-benar dijalankan dengan penuh kehati-hatian, oleh karenanya pelanggaran atas hak asasi manusia dapat dihindari, baik untuk pelapor, terlapor dan kepentingan umum; Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon yang memohon pemaknaan terhadap norma Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP menjadi “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. Menerima Laporan atau Pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana disertai [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) huruf a KUHAP telah ternyata memberikan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan serta memberikan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, oleh karena itu tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.15] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Yang Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) KETETAPAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 104/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Sandi Ebenezer Situngkir, S.H., M.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l dan Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002

Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 2/2002 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional, in casu hak konstitusional Pemohon, sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, pada pokoknya Pemohon telah menjelaskan kedudukan hukumnya sebagai berikut: 1. Bahwa norma undang-undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo adalah norma Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002, yang rumusannya adalah sebagai berikut: Pasal 15 ayat (2) huruf k UU 2/2002: “Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.” Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 2/2002: “Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.” Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk: a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.” Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002: “Keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari unsur- unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat.” 2. Bahwa Pemohon menerangkan memiliki hak konstitusional sebagaimana diatur dalam norma Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1), serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945; 3. Bahwa Pemohon merupakan perseorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai advokat [vide bukti P-1, bukti P-2, dan bukti P-3]; 4. Bahwa dalam menguraikan ada tidaknya anggapan kerugian hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian, Pemohon menyampaikan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon tidak mendapatkan jaminan rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan karena berlakunya norma Pasal 15 ayat (2) huruf k dan Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 2/2002 yang tidak memberikan batasan yang jelas mengenai pengertian kewenangan dan tindakan lain. Sehingga, dapat menyebabkan adanya tindakan yang sewenang-wenang dan tidak terukur dari anggota kepolisian dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Terlebih lagi, norma Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002 memberikan keleluasaan bagi anggota kepolisian ketika melaksanakan tugas dan wewenangnya yang dapat bertindak menurut penafsiran atau penilaiannya sendiri tanpa parameter menurut undang-undang sehingga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon; b. Bahwa norma Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002 tidak memberikan kewenangan kepada Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengawasi kinerja dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sebagaimana kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial. Sebab, Kompolnas hanya memberikan saran dan masukan kepada Presiden sehingga menyebabkan hak konstitusional Pemohon secara potensial terlanggar; c. Bahwa norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 telah membatasi hak Pemohon untuk menjadi komisioner Kompolnas karena Pemohon bukanlah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Dalam Negeri, serta bukan juga sebagai pakar kepolisian atau pimpinan tokoh masyarakat; d. Bahwa Pemohon sebagai pihak yang juga tergabung dalam Tim Advokasi Penegak Hukum dan Keadilan (TAMPAK), yang melakukan advokasi terhadap terbunuhnya Brigadir Jhosua Hutabarat juga dirugikan karena tidak terdapat pengaturan mengenai pengawasan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam UU 2/2002. [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama penjelasan Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas serta kualifikasi dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas, menurut Mahkamah, Pemohon adalah benar sebagai perseorangan warga negara Indonesia, yang dalam hal ini berprofesi sebagai advokat. Selain itu, Pemohon juga telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya yang menurut Pemohon dianggap telah dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian sebagaimana dijamin dalam norma Pasal 28D ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28G ayat (1) serta Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, terkait dengan uraian kerugian hak konstitusional Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa berkaitan dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon untuk dapat mengajukan permohonan harus dikaitkan dengan keterpenuhan syarat- syarat sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.4] di atas. Oleh karena itu, dalam beracara di Mahkamah Konstitusi harus ditentukan apakah Pemohon memiliki kepentingan nyata yang terdampak dengan berlakunya suatu norma dalam undang-undang yang secara hukum harus dilindungi sehingga dapat diajukan di depan pengadilan, in casu permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, tidak semua orang mempunyai hak untuk dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, hanya pihak yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya untuk dapat menjadi pemohon. Hal ini sesuai dengan adagium: ada kepentingan, ada gugatan (point d’interet point d’action). Kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan hukum yang berkenaan dengan hak konstitusionalnya atas berlakunya norma suatu undang-undang yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945 yang dirumuskan dalam bentuk anggapan kerugian hak konstitusional. Merujuk beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah telah menetapkan beberapa syarat kerugian konstitusional yang bersifat kumulatif untuk dapat diberikan kedudukan hukum bagi pemohon [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007]. Artinya, dengan tidak terpenuhi salah satu syarat tersebut maka tidak terpenuhi pula kerugian konstitusional Pemohon. Dengan demikian, Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang harus menguraikan secara jelas serta membuktikan tentang kualifikasi dan keterpenuhan seluruh syarat kedudukan hukum Pemohon sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.3] dan Paragraf [3.4] di atas. [3.6.2] Bahwa anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon pada dasarnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian sesuai dengan norma pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, yaitu: a. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, dan Pasal 18 ayat (1) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan tindakan yang sewenang-wenang dan tidak terukur oleh anggota kepolisian pada saat menjalankan tugasnya sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon; b. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 38 ayat (2) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, tidak memberikan kewenangan kepada Kompolnas untuk mengawasi kinerja dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sehingga berpotensi menghilangkan hak konstitusional Pemohon; c. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon akibat berlakunya norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 yang menurut Pemohon, telah membatasi hak Pemohon untuk menjadi komisioner Kompolnas karena syarat yang ditentukan dalam pasal a quo tidak mengakomodir Pemohon, baik selaku perseorangan warga negara Indonesia maupun advokat. [3.6.3] Bahwa berdasarkan ketiga bagian tersebut, maka anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon pada huruf a dan huruf b di atas adalah bersifat potensial, sedangkan pada huruf c adalah bersifat aktual. Terhadap anggapan kerugian konstitusional Pemohon yang bersifat potensial, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menjelaskan secara spesifik bentuk kerugian yang secara potensial akan diderita atau dialami oleh Pemohon. Dalam hal ini, Pemohon tidak mengajukan bukti atau setidak-tidaknya memberikan argumentasi mengenai bentuk atau tindakan sewenang-wenang seperti apa yang dilakukan oleh anggota kepolisian serta kerugian seperti apa pula yang akan dialami oleh Pemohon berkaitan dengan tidak adanya kewenangan Kompolnas untuk mengawasi dan memeriksa pelanggaran anggota kepolisian sebagaimana yang dijelaskan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terhadap anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang bersifat potensial yang harus dibuktikan adanya kepentingan yang dirugikan berkenaan dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian, Mahkamah tidak menemukan fakta hukum dimaksud. Sehingga, berdasarkan penalaran yang wajar, anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut belum dapat dipastikan akan terjadi. Ikhwal bentuk kerugian hak konstitusional sebagaimana dimaksud pada huruf c, yaitu syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan secara spesifik anggapan kerugian hak konstitusonal yang dialami, baik sebagai perseorangan maupun sebagai advokat. Mahkamah juga tidak menemukan argumentasi Pemohon yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa syarat untuk menjadi komisioner Kompolnas yang berasal dari unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat telah menimbulkan kerugian yang spesifik dan aktual terhadap hak konstitusional Pemohon sebagai perseorangan warga negara maupun dalam profesinya sebagai advokat. Sebab, anggapan kerugian hak konstitusional yang didalilkan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya berkenaan dengan berlakunya norma Pasal 39 ayat (2) UU 2/2002 tidak dijelaskan kriteria unsur masyarakat seperti apa yang dimaksud oleh Pemohon, sehingga tidak diketahui apakah Pemohon memenuhi kriteria unsur masyarakat yang dimaksudkan oleh Pemohon. [3.6.4] Bahwa terkait dengan hal tersebut di atas, Panel Hakim telah menyampaikan dalam Persidangan Pendahuluan agar Pemohon memperbaiki uraian argumentasi dalam menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh Pemohon akibat berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya yang bersifat spesifik, baik aktual atau setidak-tidaknya potensial. Selain itu, Panel Hakim juga telah memberikan saran perbaikan untuk melengkapi uraian mengenai kedudukan hukum dengan mencantumkan peristiwa konkret yang dialami oleh Pemohon, misalnya pernah dilaporkan terkait dengan pasal yang sedang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya untuk kemudian dikorelasikan secara causal verband dengan hak konstitusional Pemohon yang dianggap telah dirugikan [vide Risalah Sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 7 November 2022, hlm. 9, hlm. 16, dan hlm. 17]. Namun demikian, hingga lewatnya tenggat waktu penyampaian perbaikan permohonan, Pemohon tidak menyampaikan perbaikan dimaksud. Bahkan, dalam persidangan pendahuluan dengan agenda menyampaikan perbaikan permohonan dan pengesahan alat bukti pada tanggal 21 November 2022, Pemohon juga tidak menghadiri sidang tersebut tanpa alasan yang sah atau tanpa pemberitahuan yang disampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (4) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang maka yang menjadi dasar pemeriksaan perkara a quo adalah permohonan Pemohon bertanggal 12 Oktober 2022 yang telah diterima Mahkamah pada tanggal 13 Oktober 2022. [3.7] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. [3.8] Menimbang bahwa walaupun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon maka pokok permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan. [3.9] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan oleh Mahkamah karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Rega Felix (Advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 196 UU 36/2009

Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 196 UU 36/2009 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa kesehatan adalah hak setiap orang karena kesehatan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia. Tanpa kesehatan yang baik setiap manusia akan sulit melaksanakan aktivitasnya sehari-hari. Hal ini sejalan dengan maksud Pasal 1 UU 36/2009 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pada umumnya, dalam keseharian tubuh manusia akan merasakan kondisi sehat dan sakit, apabila dirasakan kondisinya kurang sehat atau sakit maka mengkonsumsi obat merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk mengurangi rasa sakit maupun menghilangkan suatu penyakit di dalam tubuh. Dalam hal pengawasan obat, negara telah menunjuk Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan yang beredar di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun obat dan makanan tersebut terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisonal, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan. Selain dari segi pengawasan peredaran obat dan makanan, pertanggungjawaban pelaku usaha sebagai pihak yang bertanggung jawab atas suatu produk juga sangat dibutuhkan. Pertanggungjawaban pelaku usaha tersebut telah diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dalam Pasal 19 ayat (1) menyatakan, “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, negara melakukan berbagai upaya untuk terus memberikan perlindungan dan pengawasan terhadap obat dan makanan yang beredar di masyarakat, demikian pula mengenai perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya agar kesehatan sebagai bagian dari hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan dapat diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. Hal ini artinya, bahwa jika terjadi gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian sosial-ekonomi yang besar bagi negara, dan terhadap setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti peningkatan investasi bagi pembangunan negara [vide bagian Konsiderans Menimbang huruf b dan huruf c UU 36/2009]. [3.10.2] Bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis [vide Pasal 3 UU 36/2009], UU 36/2009 juga mengatur upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular atau kejadian luar biasa [vide Pasal 156 UU 36/2009]. Sementara itu, berkaitan dengan pengertian kejadian luar biasa adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa penyakit yang merebak dan dapat berkembang menjadi wabah penyakit. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004, telah diatur dalam peraturan pelaksana dari undang-undang kesehatan sebelumnya mengenai status kejadian luar biasa yang ditentukan sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91 tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan tersebut, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal, peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya, peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 (dua) kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya, dan jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 (dua) kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018) menyatakan dengan tegas bahwa, “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara”. [3.11] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan ketentuan pemidanaan dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 sangat ringan sehingga tidak memiliki efek jera, padahal perbuatan pidana tersebut menurut Pemohon termasuk kategori extraordinary crime. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa berkenaan dengan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extraordinary crime telah ditentukan pengaturannya, misalnya, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU 26/2000). Pasal 7 UU a quo menyatakan pada pokoknya pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibatasi pada dua bentuk yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 8 UU 26/2000 menyatakan bahwa: “Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok; b. mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain”. Sementara, ketentuan Pasal 9 UU 26/2000 menyatakan bahwa: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan; g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah di,akui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. penghilangan orang secara paksa; atau j. kejahatan apartheid”. Selain ketentuan UU 26/2000 di atas, dalam perkembangannya terdapat kejahatan lain yang dikategorikan sebagai extraordinary crime sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 30/2002) yang mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Sebab, korupsi di Indonesia dipandang sudah meluas dan sistematis melanggar hak-hak ekonomi masyarakat sehingga diperlukan cara-cara yang luar biasa pula untuk pemberantasannya. Selain korupsi, berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999) terorisme juga merupakan kejahatan luar biasa dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak yang paling dasar, yaitu hak hidup. Terlebih lagi, karena dilakukan secara terencana, sistematis dan terorganisir sebagai kejahatan transboundary yang melibatkan jaringan internasional. Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa bukan hanya karena membunuh manusia semata tetapi juga menghancurkan seluruh fasilitas publik, memperburuk ekonomi dan mengganggu stabilitas keamanan nasional. Sementara itu, dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 196 UU 36/2009 yang dikaitkan dengan kasus konkret jenis penyakit yang belum lama ini ditimbulkan oleh karena penyalahgunaan zat dalam obat untuk dimasukkan dalam kategori kejadian luar biasa, Mahkamah berpendapat ada perbedaan yang prinsipil antara pengertian kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dengan kejadian luar biasa. Dengan demikian, apabila yang dimaksud Pemohon adalah menyamakan kejahatan luar biasa dengan kejadian luar biasa, maka apabila dikaitkan dengan kejadian konkret yang didalilkan oleh Pemohon sehingga hal tersebut tidak dapat serta merta dikategorikan sebagai extraordinary crime. Terlebih lagi, UU 6/2018 telah mengatur mengenai jenis kedaruratan kesehatan dan mekanisme penanggulangannya, contohnya memasukkan kategori bioterorisme yang berkaitan erat dengan tindakan terorisme yang termasuk dalam kejahatan luar biasa. Namun demikian, terhadap persoalan yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan berkenaan dengan kejadian luar biasa tersebut. Di samping itu, terhadap kasus konkret tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilainya, ternyata Pemerintah telah melakukan upaya antara lain, melakukan penarikan terhadap semua obat sirup di masyakarat, menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan juga telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak, yang ditujukan kepada seluruh dinas kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan organisasi profesi, sehingga persoalan tersebut secara perlahan mulai teratasi dan diobati. Namun demikian, terlepas dari kasus konkret tersebut, Mahkamah melalui Putusan a quo perlu menegaskan agar pemerintah harus terus meningkatkan pengawasan terhadap siapapun yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dalam mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat tanpa memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang telah ditetapkan [vide Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009]. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, oleh karena undang-undang telah menentukan kategori kejahatan yang dapat dinyatakan sebagai extraordinary crime maka apabila dalam perkembangannya kejadian luar biasa yang berkaitan dengan kesehatan jika akan diperluas cakupannya sebagai kejahatan luar biasa sebagaimana dalil Pemohon, terhadap hal demikian dapat saja dilakukan sepanjang telah melalui proses kajian atau penelitian yang mendalam dengan melibatkan seluruh stakeholders terkait. Sebab, hal demikian merupakan ranah kebijakan pembuat undang-undang untuk menentukannya. Dengan demikian, Mahkamah tidak dapat dengan serta merta menambahkan jenis tindak pidana/kejahatan termasuk dalam hal ini, kejahatan farmasi untuk dimasukkan dalam kategori extraordinary crime. [3.11.2] Bahwa selanjutnya Pemohon dalam mendalilkan konstitusionalitas norma Pasal 196 UU 36/2009 juga mengaitkan dengan ringannya ketentuan pidana yang diatur sehingga tidak menimbulkan efek jera. Oleh karenanya, Pemohon memohon agar ketentuan pidana dalam norma Pasal a quo diperberat menjadi “dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Terhadap persoalan tersebut, menurut Mahkamah penting dipahami secara doktriner bahwa perumusan ketentuan tindak pidana dalam suatu undang-undang setidak-tidaknya memuat rumusan tentang: (1) subjek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm); (2) perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik berupa dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan (3) ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut. Sedangkan, perumusan ancaman pidana dalam Buku I KUHP mengacu pada norma pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, yaitu: Pasal 10 Pidana terdiri atas: a. pidana pokok: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan. b. pidana tambahan 1. pencabutan hak-hak tertentu; 2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim. Adapun perbedaan antara hukuman pokok dan hukuman tambahan, adalah hukuman pokok terlepas dari hukuman lain, berarti dapat dijatuhkan kepada terhukum secara mandiri. Hukuman tambahan hanya merupakan tambahan pada hukuman pokok, sehingga tidak dapat dijatuhkan tanpa ada hukuman pokok (tidak mandiri). Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Penjatuhan hukuman tambahan itu biasanya bersifat fakultatif dan hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan. Menurut KUHP, ketentuan pengancaman pidana dideskripsikan sebagai berikut: 1. Pidana Mati, aturan pemidanaanya yaitu sebagai pidana pokok yang terberat yang diancamkan kepada tindak pidana yang sangat berat selalu disertai dengan alternatif pidana sumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun; 2. Pidana Penjara: a. Lamanya dapat seumur hidup atau selama waktu tertentu (Minimal umum 1 hari, maksimal umum 15 tahun); b. Boleh 20 tahun berturut-turut, jika ada alternatif pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama waktu tertentu dan ada pembarengan, pengulangan, atau kejahatan yang dilakukan oleh pejabat (Pasal 52); c. Tidak boleh melebihi 20 tahun; d. Dapat ditambah pidana tambahan e. Masa percobaan Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama 3 tahun dan pelanggaran lainnya 2 tahun; f. Masa percobaan dimulai saat keputusan hakim berkekuatan hukum tetap. 3. Pidana Kurungan: a. Lamanya minimal umum 1 hari maksimal umum 1 tahun; b. Jika ada pembarengan, pengulangan, atau dilakukan oleh pejabat maka maksimal 1 tahun 4 bulan; 4. Pidana Denda: a. Minimal umum Rp 3,75 b. Jika tidak dibayar diganti kurungan pengganti (kurungan pengganti minimal 1 hari maksimal 6 bulan. Tapi jika ada perbarengan, pengulangan, atau dilakukan pejabat maka maksimal 8 bulan) Bahwa lebih lanjut, antara ”perbuatan yang dilarang” (strafbaar) dan “ancaman pidana” (strafmaat) mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Dilihat dari hakikatnya, perbuatan pidana adalah perbuatan yang tercela (tercela karena dilarang oleh undang-undang dan bukan sebaliknya), sedangkan pidana merupakan konkretisasi dari celaan. Bahkan ”larangan” terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru ”timbul” karena adanya ancaman penjatuhan pidana yang ditujukan pada “setiap orang” (sebelumnya disebut barangsiapa) yang melakukan perbuatan tersebut. Dalam kaitan ini, norma pokok (primer) yang diberikan pengancamannya dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 adalah norma Pasal 98 UU 36/2009 yang pada pokoknya menentukan bahwa, “Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau” [vide Pasal 98 ayat (1) UU 36/2009]. UU a quo melarang setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat karena segala ihwal mengenai perbuatan tersebut harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang telah ditetapkan [vide Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU 36/2009]. Terhadap norma pokok dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo jika dilanggar diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) [vide Pasal 196 UU 36/2009]. Berkenaan dengan ancaman pidana dalam norma Pasal 196 UU 36/2009 yang dipandang ringan oleh Pemohon, Makamah menegaskan bahwa hal tersebut berkaitan dengan strafmaat yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan kualifikasi delik pidana. Sehingga tidak mungkin kualifikasi delik pidana dimaksud diserahkan ke pembuat undang-undang, sedangkan ancaman pidananya diserahkan ke Mahkamah. Sebab, ancaman pidana merupakan refleksi dari kualitas perbuatan pelaku tindak pidana yang menjadi parameter untuk menjatuhkan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. Oleh karenanya, hal demikian seharusnya menjadi kewenangan pembuat undang-undang. Sementara itu, berhubungan dengan jenis ancaman pidana, menurut Mahkamah haruslah diawali dengan kajian-kajian dan penelitian yang komprehensif sehingga tidak boleh melanggar hak asasi manusia, sebagaimana hal ini juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016, Paragraf [3.12] hlm. 441442, bahwa: “…Benar pula bahwa Mahkamah melalui putusannya telah berkali-kali menyatakan suatu norma undang-undang konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) ataupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) yang mempersyaratkan pemaknaan tertentu terhadap suatu norma undang-undang untuk dapat dikatakan konstitusional, yang artinya jika persyaratan itu tidak terpenuhi maka norma undang-undang dimaksud adalah inkonstitusional. Namun, ketika menyangkut norma hukum pidana, Mahkamah dituntut untuk tidak boleh memasuki wilayah kebijakan pidana atau politik hukum pidana (criminal policy). Pengujian undang-undang yang pada pokoknya berisikan permohonan kriminalisasi maupun dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu tidak dapat dilakukan oleh Mahkamah karena hal itu merupakan salah satu bentuk pembatasan hak dan kebebasan seseorang di mana pembatasan demikian, sesuai dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, adalah kewenangan eksklusif pembentuk undang-undang. Hal ini penting ditegaskan sebab sepanjang berkenaan dengan kebijakan pidana atau politik hukum pidana, hal itu adalah sepenuhnya berada dalam wilayah kewenangan pembentuk undang-undang. Berbeda dengan bidang hukum lainnya, hukum pidana dengan sanksinya yang keras yang dapat mencakup perampasan kemerdekaan seseorang, bahkan nyawa seseorang, maka legitimasi negara untuk merumuskan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana serta jenis sanksi yang diancamkan terhadap perbuatan itu dikonstruksikan harus dating dari persetujuan rakyat, yang dalam hal ini mewujud pada organ negara pembentuk undang-undang (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden yang keduanya dipilih langsung oleh rakyat), bukan melalui putusan hakim atau pengadilan. Hanya dengan undang-undanglah hak dan kebebasan seseorang dapat dibatasi. Sejalan dengan dasar pemikiran ini, Pasal 15 dan Lampiran II, C.3. angka 117 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa materi muatan mengenai pidana hanya dapat dimuat dalam produk perundangundangan yang harus mendapatkan persetujuan wakil rakyat di Lembaga perwakilan, yaitu DPR atau DPRD, seperti Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Sedangkan Mahkamah berada dalam posisi menguji apakah pembatasan yang dilakukan dengan undang-undang itu telah sesuai dengan Konstitusi atau justru melampaui batas-batas yang ditentukan dalam Konstitusi. Oleh karena itu, sepanjang berkenaan dengan hukum pidana, selama ini permohonan yang diajukan justru memohon agar dilakukan dekriminalisasi terhadap suatu perbuatan yang diatur dalam undang-undang karena dinilai bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara sehingga harus dapat diuji konstitusionalitasnya. Sebab, kewenangan pengujian undang-undang memang ditujukan untuk menjaga agar hak dan kebebasan konstitusional warga negara yang dijamin oleh Konstitusi tidak dilanggar oleh kebijakan kriminalisasi yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, meskipun secara konstitusional memiliki kewenangan menetapkan kebijakan kriminalisasi, pembentuk undang-undang pun harus sangat berhati-hati. Pembentuk undang-undang harus benar-benar memperhatikan bukan hanya perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia tetapi juga perkembangan dunia. Simposium Pembaruan Hukum Nasional yang dilakukan di Semarang pada bulan Agustus 1980, untuk menunjuk sebuah referensi, merekomendasikan bahwa untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum, yaitu: a. apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban; b. apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai; c. apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya; d. apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat…” Bahwa selain itu, Pemohon mendalilkan adanya kekhawatiran dan rasa takut yang luar biasa terhadap kejadian yang menimpa anak-anak sebagai korban. Menurut Mahkamah, hal tersebut tidaklah harus diatasi dengan memberatkan sanksi pidananya, karena sanksi pidana adalah sanksi terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium), sehingga penting pula bagi Mahkamah untuk mengingatkan bahwa kasus-kasus epidemi penyakit karena adanya dugaan penyalahgunaan bahan kimia pada produk farmasi yang dimungkinkan akan terus berpotensi untuk muncul. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi secara berkala terhadap regulasi dan implementasi izin edar dan pengawasan atas produk-produk kimia dalam makanan, minuman, dan sediaan farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga masyarakat merasa aman pada saat menggunakan produk tersebut. [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 196 UU 36/2009 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan perlidungan rasa takut dan hak untuk hidup sebagaimana dijamin oleh Pasal 28A, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 107/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Karminah (Ibu Rumah tangga), dalam hal ini memberi kuasa kepada Pho Iwan Salomo, SH., adalah Advokat pada LBH JATI RAGA, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 79 UU MA

Alinea ke-4 Pembukaan, Sila ke-5 PANCASILA dalam Alinea ke-4 Pembukaan, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 79 UU MA dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 79 UU 14/1985 multitafsir karena memberi wewenang yang tidak terbatas kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturannya sendiri, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa pada umumnya undang-undang tidak mengatur secara rinci atau detail sehingga membutuhkan peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah. Perintah pengaturan lebih lanjut tersebut bertujuan agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang bersangkutan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, termasuk dalam hal ini hal-hal lain yang tidak atau belum diatur secara detail dalam undang-undang yang bersangkutan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dimaksud. [3.11.2] Bahwa dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) telah ditentukan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Selanjutnya, dalam Pasal 8 UU 12/2011 juga telah ditentukan jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU 12/2011, salah satunya peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung yang diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan [vide Pasal 8 UU 12/2011] yang juga menjadi peraturan lebih lanjut dari UU 14/1985 sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.11.1] tersebut di atas. [3.11.3] Bahwa Mahkamah Agung sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia memiliki wewenang untuk menentukan bagaimana undangundang dapat dijalankan agar tercipta keadilan bagi masyarakat Indonesia dan juga dapat menyerap aspirasi masyarakat pencari keadilan. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada Pasal 79 UU 14/1985 yang menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini, maka di dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Agung diberikan wewenang mengambil inisiatif untuk menetapkan peraturan tertulis yang bersifat mengatur, khususnya dalam hal-hal yang menyangkut peran dan pelaksanaan peradilan agar tidak terjadi kekurangan atau kekosongan hukum sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 79 UU 14/1985 menyatakan bahwa, "apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi”. Berdasarkan UU a quo Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam UU 14/1985. Dengan kata lain, Pasal 79 UU 14/1985 merupakan dasar untuk mejalankan salah satu fungsi Mahkamah Agung yakni fungsi mengatur di mana Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Dengan demikian, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif diberikan kewenangan yang bersifat atributif untuk membentuk suatu peraturan pelaksanaan, dengan salah satu cara menyerap aspirasi dari lembaga pengadilan yang ada di bawahnya terkait dengan hal-hal teknis peradilan yang perlu diatur dalam peraturan di lingkungan Mahkamah Agung. Dengan demikian, peraturan di lingkungan Mahkamah Agung tersebut mengikat para pihak yang hendak beracara di pengadilan. [3.11.4] Bahwa permohonan Pemohon yang memohon kepada Mahkamah di dalam petitumnya agar Mahkamah menyatakan Pasal 79 UU 14/1985 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai peraturan mengenai Penundaan Eksekusi, dikarenakan kasus yang dihadapi oleh Pemohon di Pengadilan Agama Semarang berujung pada penundaan eksekusi yang menurut Pemohon penundaan eksekusi tersebut dikeluarkan dengan mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 79 UU 14/1985, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tersebut tidaklah tepat. Sebab, jika Pasal 79 UU 14/1985 dimaknai sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon maka justru hal tersebut akan mempersempit makna dari Pasal a quo dan akan terjadi kekosongan hukum terhadap pengaturan untuk hal-hal lainnya selain eksekusi. Dengan demikian, Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya tidak memiliki acuan atau petunjuk lagi dalam mengadili suatu perkara jika aturannya belum diatur dalam suatu peraturan pelaksana. Selain itu, Pasal 79 UU 14/1985 merupakan dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk membuat peraturan lebih lanjut yakni peraturan Mahkamah Agung dan peraturan-peraturan lainnya yang menyangkut fungsi peradilan yang belum diatur dalam undang-undang, sehingga Mahkamah Agung dalam menjalankan fungsi peradilannya tidak menemukan kebuntuan atau ketidakpastian hukum dalam mengambil suatu keputusan untuk para pencari keadilan. Apalagi Peraturan Mahkamah Agung tidaklah hanya mengatur masalah eksekusi saja seperti yang dialami oleh Pemohon, melainkan juga mengatur hal-hal teknis beracara lainnya. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan tersebut menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.12] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 yang memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang termasuk peraturan Mahkamah Agung sendiri adalah tidak objektif, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa terhadap dalil Pemohon terkait dengan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004, Mahkamah telah mempertimbangkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 2 Februari 2010, yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.8] Menimbang bahwa Bab IX UUD 1945 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur kewenangan Mahkamah Agung dalam Pasal 24A dan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C. Adapun pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji dalam permohonan a quo materinya adalah pemuatan kembali atau pengulangan materi kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 dan materi yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan tersebut (Vide Pasal 55 UU 24/2003); [3.9] Menimbang bahwa apabila Mahkamah menguji materi pasal-pasal yang dimohonkan dalam permohonan a quo, maka secara tidak langsung Mahkamah akan pula menguji materi yang terdapat dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945, yang berarti Mahkamah akan menguji konstitusionalitas dari materi UUD 1945. Adapun dipilihnya pasal-pasal lain dari UUD 1945 untuk menjadi dasar batu uji dalam permohonan pengujian materiil yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian bukan menjadi kewenangan Mahkamah karena keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945 adalah pilihan dari pembuat UUD 1945 dan Mahkamah tidak mempunyai kewenangan untuk menilai pilihan pembuat UUD 1945 tersebut; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan kutipan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-VII/2009 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah oleh karena esensi permohonan a quo sama dengan permohonan yang telah diputus tersebut, maka pertimbangan putusan Mahkamah tersebut menjadi mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum putusan perkara a quo. Adapun dalil Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 yang memberi wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang termasuk peraturan Mahkamah Agung sendiri adalah tidak objektif dan bertentangan dengan asas nemo judex in causa sua, sehingga Pemohon dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah agar pengujian peraturan Mahkamah Agung diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo merupakan asumsi Pemohon belaka yang dihubungkan dengan perkara konkret yang sedang dihadapi oleh Pemohon di Pengadilan Agama Semarang yang kebenarannya bukan menjadi kewenangan MK untuk menilainya. Terlebih lagi, berdasarkan Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945 Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah memiliki kewenangannya masing-masing. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 79 UU 14/1985 dan Pasal 31 ayat (1) UU 5/2004 tidak bersifat multitafsir dan telah menjamin kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.