Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 75/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Muhayati, Een Sunarsih, Dewiyah, Kurniyah, dan Sumini, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Wilopo Husodo, S.H., M. Risvan W. Putra, SH, Angga Perwira Sukmawinata, S.H., Rizkyanto Nugroho, S.H., dan Robby Firmansyah, S.H., masing-masing adalah advokat pada Kantor Hukum Husodo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003

Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan dalil-dalil permohonan para Pemohon terdapat 4 isu konstitusional yang dipermasalahkan yakni 1) adanya kerancuan hukum dan tumpang tindih antara istilah atau definisi Pengusaha dan Pemberi Kerja; 2) adanya pembatasan hubungan kerja dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 yang menimbulkan ketidakadilan hukum; 3) ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 menimbulkan diskriminasi; dan 4) ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 menyebabkan hak- hak bagi pekerja yang bekerja kepada selain pengusaha menjadi terabaikan dan tidak diakui oleh undang-undang. Setelah dicermati secara saksama keempat isu tersebut karena saling berkaitan satu sama lain maka dapat dikerucutkan menjadi 2 masalah konstitusional yaitu: 1. Apakah benar norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 mengandung persoalan tumpang tindih atau kerancuan hukum sehingga tidak memberikan kepastian hukum? 2. Apakah benar norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 menimbulkan diskriminasi sehingga tidak memberikan jaminan perlindungan hak-hak pekerja rumahan? [3.13] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permasalahan konstitusionalitas yang dipersoalkan para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: Bahwa apabila mendasarkan pada UUD 1945 telah ditentukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan [vide Pasal 27 ayat (2) UUD 1945]. Pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dimaksud akan terpenuhi apabila mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja [vide Pasal 28D ayat (2) UUD 1945]. Dalam kaitan ini, UU 13/2003 dibentuk dengan maksud untuk mengejawantahkan UUD 1945 dengan meningkatkan kualitas tenaga kerja, meningkatkan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya yang sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar bagi pekerja/buruh, menjamin adanya kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Sebagai salah satu UU yang dibentuk dalam era reformasi, UU 13/2003 menggantikan Undang-Undang sebelumnya (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan beserta perubahan-perubahannya), yang dipandang belum mengakomodasi kebutuhan pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana hal tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 13/2003 bahwa “beberapa peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan yang berlaku selama ini, termasuk sebagian yang merupakan produk kolonial, menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dalam pelayanan penempatan tenaga kerja dan sistem hubungan industrial yang menonjolkan perbedaan kedudukan dan kepentingan sehingga dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masa kini dan tuntutan masa yang akan datang”. Pembentukan UU 13/2003 juga dilakukan dengan maksud untuk mewujudkan jaminan perlindungan terhadap hak dasar bagi pekerja/buruh yang sejalan dengan konvensi International Labour Organization (ILO) yang mengatur mengenai penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja. Konvensi tersebut jika dikelompokkan terdiri dari 4 (empat) hal yaitu: a) Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98); b) Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111); c) Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan d) Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182), sehingga penguatan pengaturan hak-hak dasar pekerja/buruh telah sejalan dengan perkembangan instrumen hukum Internasional yang dimaksudkan untuk menjamin kesempatan serta perlakuan yang non diskriminatif atas dasar apapun dalam rangka mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh, termasuk keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha [vide Penjelasan Umum UU 13/2003]. [3.14] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan definisi hubungan kerja sebagaimana diatur dalam pada Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 telah menimbulkan kerancuan hukum yang berakibat tidak adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha karena dianggap berada di luar hubungan kerja sehingga menurut para Pemohon Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja/buruh, berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”, dan “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja/buruh”. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.1.1] Bahwa Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 merupakan bagian dari Bab I tentang Ketentuan Umum yang memuat tentang batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan, dan hal-hal lain yang bersifat umum yang menjadi dasar bagi berlakunya pasal-pasal berikutnya. Pentingnya diatur ketentuan umum dalam suatu peraturan perundang-undangan dimaksudkan salah satunya untuk memperjelas batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan tersebut sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda [vide angka 98 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah apabila para Pemohon mempersoalkan tentang batasan pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum yang dijadikan dasar/pijakan bagi pasal-pasal berikutnya dalam UU a quo, harus memiliki argumentasi yang kuat yang dapat membuktikan adanya kerancuan hukum dalam Pasal 1 angka 15 UU 13/2003. Sebab, batasan pengertian atau definisi yang ada dalam ketentuan umum sebuah undang-undang menjadi rujukan pasal-pasal lain dalam undang-undang tersebut, termasuk juga rujukan jika akan dibentuk peraturan pelaksananya. [3.14.1.2] Bahwa menurut Mahkamah ketentuan Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 yang menyatakan “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah” yang juga terbukti sangat terkait erat dengan Pasal 50 yang menyatakan “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”, yang juga dimohonkan oleh para Pemohon, telah memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang dimaksud hubungan kerja, apa dan siapa subjek dan objek hukumnya serta unsur apa saja yang wajib ada dalam sebuah perjanjian kerja. Dalam kaitan ini, Mahkamah dapat memahami adanya kekhawatiran dari para Pemohon sebagai akibat adanya norma a quo yang seolah-olah telah membatasi pihak yang dapat dilibatkan dalam sebuah hubungan kerja sehingga mengakibatkan para Pemohon tidak memiliki hak yang sama seperti halnya pekerja atau buruh yang melakukan hubungan kerja dengan pengusaha dengan perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam UU a quo. Namun, kekhawatiran dimaksud tidaklah tepat untuk dihilangkan hanya dengan cara menyisipkan frasa “pemberi kerja” dalam norma Pasal 1 angka 15 UU 13/2003. Selain itu, menurut Mahkamah Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 memang dikonstruksikan untuk mengatur perihal hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang mengacu pada perjanjian kerja yang pada prinsipnya dibuat secara tertulis, namun dimungkinkan secara lisan dengan melihat kondisi masyarakat yang beragam [vide Pasal 51 dan Penjelasan UU 13/2003]. Di dalam perjanjian kerja tersebut memuat hak dan kewajiban keduanya. UU 13/2003 telah mengatur secara detail tentang ketentuan apa saja yang harus ada dalam sebuah perjanjian kerja yakni bahwa dalam perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha, nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh, jabatan atau jenis pekerjaan, tempat pekerjaan, besarnya upah dan cara pembayarannya, syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh, mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja, tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja [vide Pasal 54 ayat (1) UU 13/2003]. Berkenaan dengan unsur besarnya upah dan cara pembayarannya serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh dalam perjanjian kerja merupakan materi muatan yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku [vide Pasal 54 ayat (2) UU 13/2003]. [3.14.1.3] Bahwa ketentuan perjanjian kerja dalam UU 13/2003 dilakukan oleh pengusaha baik perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan dengan pekerja/buruh yang melahirkan hubungan kerja antara para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 UU 13/2003. Dalam kaitan ini, apabila mengikuti petitum para Pemohon yang menghendaki adanya perjanjian kerja juga antara pemberi kerja dan pekerja rumahan maka hal tersebut sesungguhnya tidak dilarang sepanjang para pihak saling bersepakat mengikatkan dirinya dalam perjanjian berdasarkan asas-asas kebebasan berkontrak [vide Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata]. Namun, kehendak para Pemohon tersebut tidak harus dilakukan dengan cara mengubah konstruksi norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003. Sebab, jika hal tersebut dikabulkan justru akan berdampak pada semakin tidak terakomodirnya kebutuhan mendapatkan pekerjaan dan kebutuhan akan tenaga kerja. Di mana, secara faktual ketersediaan tenaga kerja dengan kebutuhan pekerjaan yang disediakan masih belum seimbang. Selain itu, apabila pengertian pengusaha dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 dimaknai seperti yang dimohonkan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah hal tersebut justru akan merugikan pekerja/buruh khususnya yang telah membuat perjanjian kerja dengan pengusaha dan terikat dalam hubungan kerja. Karena, pemberi kerja yang memberikan pekerjaan kepada pekerja rumahan tersebut belum tentu merupakan pengusaha yang memiliki perusahaan sehingga hal tersebut akan berimbas pada tidak dapat terlaksananya perjanjian kerja, khususnya antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang dalam hal ini diwakili oleh pengusaha sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6 UU 13/2003. Terlebih lagi, meskipun Mahkamah tidak menemukan bukti formal yang membuktikan bahwa para Pemohon telah mengikatkan dirinya dalam sebuah perjanjian kerja dengan pemberi kerja yang selama ini telah memberikan pekerjaan kepada para Pemohon, namun demikian para Pemohon seharusnya juga memiliki hak-hak yang sama dengan pekerja/buruh yang bekerja kepada pengusaha yang memiliki perusahaan. Adanya fakta bahwa untuk membuat perjanjian kerja diperlukan syarat khusus tertentu tidak dapat ditafsirkan bahwa hal tersebut menimbulkan perlakuan tidak adil bagi para Pemohon sehingga dianggap telah menghilangkan hak konstitusonal para Pemohon, justru dengan adanya syarat khusus atau ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut pada akhirnya bertujuan untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum bagi para pekerja/buruh. Sedangkan untuk perlindungan pekerja rumahan seperti para Pemohon, yang memeroleh pekerjaan dari pemberi kerja, di mana pemberi kerja tersebut belum tentu adalah penguasa, tetapi pengusaha sudah pasti adalah pemberi kerja yang memiliki hubungan kerja dengan pekerja/buruh sebagaimana maksud UU 13/2003 maka menurut Mahkamah terhadap hal demikian diperlukan pengaturan khusus yang lebih spesifik. Tidak dapat dengan cara menyisipkan frasa “pemberi kerja” dalam memaknai ketentuan umum Pasal 1 angka 15 UU 13/2003. Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 telah menimbulkan kerancuan hukum yang berakibat tidak adanya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum, menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha karena dianggap berada di luar hubungan kerja sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 tidak terbukti adanya sehingga dalil a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.14.2] Bahwa para Pemohon selanjutnya mendalilkan definisi Hubungan Kerja pada Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 telah menimbulkan diskriminasi hukum dan tidak ada persamaan kedudukan hukum bagi pekerja yang tidak bekerja pada pengusaha oleh karena hubungan tersebut dianggap tidak memenuhi kriteria sebagai suatu hubungan kerja dan telah menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja bagi pekerja yang telah bekerja kepada selain pengusaha serta hilangnya hak atas penghidupan yang layak karena hubungan hukum pekerja tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai hubungan kerja sehingga menurut para Pemohon Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja/buruh, berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”, serta “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja/buruh”. Terhadap dalil para Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.2.1] Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.13] UU 13/2003 memiliki tujuan antara lain untuk memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada para pekerja/buruh dalam hal memperoleh pekerjaan, kesejahteran dan penghidupan yang layak, yang wajib dilaksanakan dengan tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik dan menyesuaikan dengan minat dan kemampuan pekerja/buruh termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang disabilitas dengan memberikan tanggung jawab bagi pengusaha agar dapat memberikan hak dan kewajiban kepada pekerja/buruh dengan juga tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Lebih lanjut, UU 13/2003 juga dalam Konsideran Menimbang huruf d telah mempertimbangkan yang pada pokoknya menyatakan bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Selain itu, dalam Bab III UU 13/2003 tentang Kesempatan dan Perlakuan yang Sama, Pasal 5 UU a quo menyatakan, “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan” dan Pasal 6 UU a quo menyatakan “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”. Dalam konteks kasus yang dialami oleh para Pemohon, in casu sebagai pekerja rumahan yang tidak didasarkan pada perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam UU 13/2003 karena pemberi kerjanya adalah bukan pengusaha sehingga para Pemohon beranggapan dirinya tidak memiliki hak yang sama dengan pekerja/buruh yang bekerja dengan pengusaha, menurut Mahkamah anggapan tersebut tidak benar adanya karena pekerja rumahan seperti yang saat ini dilakukan oleh para Pemohon memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan. Perbedaan karakteristik tersebut secara jelas terlihat misalnya mulai dari tempat kerja, waktu kerja, kepada siapa mereka bekerja, upah, dan juga sarana bekerja. Oleh karenanya, memberlakukan hal yang berbeda terhadap hal yang memang berbeda bukanlah diskriminasi karena diskriminasi adalah memberlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Dengan demikian, Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 tidak mengandung perlakuan diskriminatif sebab pembatasan yang terdapat dalam pasal a quo berlaku untuk setiap orang pekerja/buruh sebagaimana yang dimaksud dalam UU 13/2003. Dengan menyisipkan frasa “pemberi kerja” dalam Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 sebagaimana petitum para Pemohon justru dapat menyebabkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum karena mengubah substansi pokok dalam UU 13/2003. [3.14.2.2] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan pasal a quo telah menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja bagi pekerja yang telah bekerja kepada selain pengusaha serta hilangnya hak atas penghidupan yang layak karena hubungan hukum pekerja tersebut tidak memenuhi kriteria sebagai hubungan kerja. Berkenaan dengan dalil a quo, sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.14.1.2] bahwa Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 memang dikonstruksikan untuk mengatur perihal hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh/pekerja yang mengacu pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis yang di dalamnya memuat hak dan kewajiban keduanya. Pengusaha dimaksud adalah pemberi kerja namun pemberi kerja tidak selalu adalah pengusaha. Hubungan kerja demikian hanya dilakukan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Dalam kasus yang dialami oleh para Pemohon sebagai pekerja rumahan tidak terdapat hubungan kerja dengan pengusaha karena pekerjaan yang dilakukannya diperoleh dari pemberi kerja atau perantara yang tidak terikat dengan perjanjian kerja dan mendapatkan pekerjaan hanya dengan perintah lisan. Dalam kaitan dengan hak para pemohon sebagai pekerja rumahan berdasarkan Keterangan Tambahan Presiden hlm. 2-3 tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas dan legalitas telah ternyata terdapat berbagai peraturan perundangan yang telah memberikan perlindungan kepada pekerja rumahan, antara lain, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2013 tentang Perluasan Kesempatan Kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. Meskipun demikian menurut Mahkamah, hal yang dialami oleh para Pemohon, in casu pekerja rumahan tentunya menjadi bagian yang harus diperhatikan oleh Pemerintah, in casu kementerian yang menangani urusan ketenagakerjaan agar dapat segera membuat aturan yang bersifat khusus atau lebih spesifik bagi pekerja rumahan sehingga hak para pekerja rumahan dapat diatur di dalamnya. Aturan tersebut dapat diwujudkan melalui kewenangan mengatur oleh menteri yang menangani urusan ketenagakerjaan atau melalui peraturan daerah sehingga hak-hak pekerja rumahan dapat terlindungi secara baik dan kesejahteraan para pekerja rumahan juga dapat terjaga sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Pengaturan demikian, disebabkan pekerja rumahan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerja formil. Terlebih lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 13/2003 bahwa pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah, sehingga tugas dan tanggung jawab negara terhadap para pekerja rumahan dapat dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Hal tersebut seyogyanya segera dilakukan sebagai upaya dari negara yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan kepada para pekerja rumahan sebagai bagian dari kebijakan strategis dalam upaya memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah telah ternyata ketentuan norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan diskriminasi, ketidaksamaan kedudukan hukum, dan tidak menyebabkan hilangnya hak-hak dasar pekerja atas penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU 13/2003 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 86/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1946 TENTANG PERATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Robiyanto yang dalam hal ini memberi kuasa kepada Jhon Asron Purba, S.H., Yusty Riana P, S.H., dan Nani Idaroyani Purba, S.H., kesemuanya adalah advokat yang tergabung pada Kantor Hukum Jhon Asron Purba dan Rekan (JAP) untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP

pembukaan alinea keempat kalimat terakhir, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 pada Alinea Keempat, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan karena jangka waktu daluwarsa penuntutan selama 18 (delapan belas) tahun adalah jangka waktu yang tidak cukup dalam menangkap dan mengungkap tindak pidana terhadap tersangka yang berstatus dalam pencarian orang. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan selengkapnya, sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menyatakan “kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun” adalah norma yang mengatur mengenai pambatasan jangka waktu penuntutan yang berkaitan erat dengan hak negara dalam melakukan penuntutan terhadap suatu hal yang dilarang atau ius puniendi yaitu pembatasan jangka waktu terhadap hak negara dalam melakukan proses penuntutan kepada tersangka atau terdakwa tindak pidana atau yang lebih dikenal sebagai pembatasan hak negara dalam menjatuhkan pidana. Oleh karenanya, daluwarsa (kedaluwarsa) masa penuntutan merupakan salah satu perwujudan dari prinsip due process of law dalam rangka memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum sebagai salah satu karakteristik dari sebuah negara hukum yang konstitusional. Selain itu, kehadiran ketentuan Pasal a quo, merupakan salah satu bentuk perlindungan oleh peraturan perundang-undangan, in casu KUHP yang bertujuan menciptakan perlindungan kepada pelaku dan korban tindak pidana dari kekuasaan negara (penuntutan) yang apabila tidak diberlakukan norma a quo dapat menjadi tanpa batas. Bahwa tersangka atau terdakwa pada dasarnya ditempatkan pada posisi sebagai subyek hukum yang tidak bersalah sampai adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahannya dapat dibuktikan dan putusan dimaksud memiliki kekuatan hukum tetap, atau sering dipahami sebagai asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Oleh karena itu, esensi dari asas dimaksud, terlepas tersangka atau terdakwa yang telah disangkakan atau didakwakan telah melakukan tindak pidana dan sepanjang belum terbukti kesalahannya, penting bagi negara tetap mengutamakan adanya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasinya. Demikian halnya dengan pihak yang dirugikan akibat adanya peristiwa pidana tersebut yaitu korban tindak pidana, tidak kalah pentingnya juga untuk tetap diberi perlindungan hukum, atas kerugian yang dideritanya. Terlebih, korban tindak pidana sesungguhnya bukan hanya korban langsung semata, akan tetapi juga masyarakat luas, karena masyarakat mengalami gangguan ketentraman dan keamanan dalam menikmati kehidupannya di tengah masyarakat. Hal demikian sebenarnya sebagai wujud implementasi riil dan sejalan dengan amanat konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada warga negaranya tanpa terkecuali, yaitu tersangka/terdakwa, korban tindak pidana dan masyarakat sebagai representasi dari kepentingan umum. [3.12.2] Bahwa dalam perspektif implementasi perlindungan kepastian dan keadilan hukum, daluwarsa penuntutan pidana juga merupakan bagian esensial yang diperlukan dalam rangka mewujudkan kepastian dan keadilan hukum. Daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP ditegaskan bahwa masa penuntutan pidana bagi pelaku tindak pidana dibatasi dengan batas waktu yang lamanya tergantung dari kualifikasi atau jenis tindak pidananya dan berat/ringan ancaman pidananya (strafmaat). Adapun ketentuan Pasal 78 KUHP, selengkapnya menyatakan sebagai berikut: (1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: 1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; 2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; 3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; 4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. (2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga. Dengan mendasarkan pada ketentuan norma Pasal 78 KUHP tersebut maka apabila dicermati isu yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan masa penghitungan daluwarsa untuk tindak pidana yang terkait dengan ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP. Berkaitan dengan dalil yang dipersoalkan oleh Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat masa daluwarsa penuntutan tindak pidana secara universal memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung terciptanya kepastian dan keadilan hukum, bukan hanya bagi tersangka atau terdakwa tetapi juga bagi korban dan/atau keluarga korban serta masyarakat pada umumnya. Penegasan tersebut dimaksudkan agar kewenangan negara dalam melakukan penuntutan atas pelaku tindak pidana dimaksud hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu atau dibatasi dengan jangka waktu yang tanpa batas. Secara doktrinal, daluwarsa memberikan kepastian dan keadilan hukum kepada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana, agar tersangka atau terdakwa tidak selamanya terganggu ketentraman hidupnya tanpa adanya batas waktu dari ancaman penuntutan oleh negara yang mewakili kepentingan umum. Tersangka/terdakwa yang berada dalam masa tunggu untuk dilakukan penuntutan pidana, sesungguhnya tidak semata-mata karena melarikan diri untuk menghindari tuntutan pidana, akan tetapi juga karena proses hukum yang dialaminya mengalami kendala di dalam proses penyidikan ataupun penuntutan. Dengan demikian, bagi tersangka/terdakwa yang berada dalam masa penantian untuk dilakukan proses penuntutan tersebut merupakan masa menjalani ‘hukuman’ tersendiri, baik secara moral (stigma) dan kadang secara fisik juga, sebab tidak sedikit tersangka/terdakwa hak-haknya sebagian telah dilakukan upaya paksa (pro justitia) oleh aparat penegak hukum, baik dalam bentuk perampasan kemerdekaan badan maupun harta benda, misalnya penetapan tersangka, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan tindakan pencegahan untuk tidak boleh bepergian ke luar negeri. [3.12.3] Bahwa pada dasarnya penuntutan pidana adalah sebuah kewenangan negara dalam mewakili kepentingan umum yang diaktualisasikan melalui suatu bentuk tindakan hukum yang lebih dikenal dengan proses penegakan hukum dalam mengungkap suatu peristiwa pidana. Oleh karena itu, aparat penegak hukum di dalam mengungkap adanya peristiwa pidana harus melakukan tahapan-tahapan, di antaranya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang kesemua tahapan tersebut masing-masing mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda. Terlebih, terhadap peristiwa pidana yang mempunyai dimensi pembuktian rumit dan melibatkan banyak pihak, baik tersangka/terdakwa maupun saksi-saksi. Dengan demikian, hakikat daluwarsa di samping dapat memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi tersangka/terdakwa, sebagimana telah dipertimbangkan di atas, daluwarsa penuntutan pidana juga merupakan salah satu bentuk kepastian hukum bagi korban tindak pidana dan masyarakat umum. Sebab, dengan adanya masa daluwarsa dapat dijadikan acuan waktu bagi korban tindak pidana untuk mengambil langkah-langkah konstitusional di dalam mendapatkan kepastian hukum dan keadilan. Bahwa pada dasarnya penuntutan pidana adalah sebuah kewenangan negara yang diaktualisasikan melalui suatu bentuk tindakan hukum yang lebih dikenal dengan proses penegakan hukum dalam mengungkap sebuah tindak pidana, yang memerlukan proses pembuktian dengan didasarkan pada alat-alat bukti [vide Pasal 184 KUHAP] yang valid, baik cara perolehan alat-alat bukti dimaksud, maupun keterangan-keterangan para saksi dan tersangka/terdakwa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang dipersyaratkan oleh ketentuan undang-undang. Oleh karena itu, peniadaan jangka waktu daluwarsa penuntutan pidana sebagaimana dimohonkan dalam permohonan a quo, di mana masa daluwarsa berlaku “seumur hidup” pelaku tindak pidana bagi pelaku pidana yang diancam pidana mati atau seumur hidup. Menurut Mahkamah, hal tersebut dapat berakibat negara, in casu aparat penegak hukum akan menemui kesulitan dalam mengumpulkan alat bukti yang valid, baik di dalam mengumpulkan fakta-fakta hukum yang harus digali dari keterangan saksi-saksi dan tersangka/terdakwa serta barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan. Sebab, dalam kurun waktu yang lama dan tanpa batas waktu daluwarsa sangat dimungkinkan telah terjadi penggantian aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik). Hal ini berdampak adanya kajian dan penilaian atas hasil penyelidikan dan penyidikan suatu perkara harus dimulai dari awal oleh penyidik baru dengan mendasarkan alat bukti yang dimungkinkan sudah tidak valid lagi. Bahwa secara konkret tidak validnya alat bukti suatu tindak pidana yang disebabkan karena penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang dilakukan telah berlangsung lama dari peristiwa pidananya dapat berupa barang bukti yang berkaitan dengan tindak pidananya telah rusak, para saksi telah lupa mengingat peristiwa yang dilihat, dialami dan dirasakan, karena faktor usia atau adanya gangguan kesehatan lainnya atau bahkan ada saksi yang sudah meninggal dunia. Demikian halnya dengan keterangan tersangka/terdakwa yang juga berpotensi tidak ingat lagi dengan pasti akan perbuatan pidana yang dilakukan. Dengan demikian, oleh karena persesuaian alat bukti, baik keterangan saksi, tersangka/terdakwa dan keberadaan barang bukti yang menjadi bagian dari alat bukti merupakan syarat yang fundamental dan sebagai kunci keberhasilan hakim yang mengadili perkara pidana untuk mendapatkan fakta-fakta hukum dalam proses pembuktian di persidangan guna memperoleh kepastian hukum dalam menjatuhkan putusan yang adil. Dengan demikian, pembuktian suatu perkara pidana yang didasarkan pada alat-alat bukti yang diragukan validitasnya, hal tersebut justru akan menghasilkan fakta-fakta hukum yang tidak sesuai lagi dengan peristiwa pidana yang sebenarnya, sehingga hal tersebut akan menghasilkan putusan hakim yang tidak objektif dan tidak mencerminkan kepastian hukum dan mencederai rasa keadilan. [3.12.4] Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat argumentasi berkenaan dengan masa daluwarsa penuntutan pidana dengan tenggang waktu yang lamanya disesuaikan dengan berat/ringannya ancaman pidana (strafmaat), sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP masih tetap relevan untuk diberlakukan. Dengan demikian, pendirian Mahkamah a quo sekaligus sebagai bentuk penegasan, bahwa Mahkamah tidak dapat menerima dalil Pemohon yang memohon agar daluwarsa penuntutan pidana dalam ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP diberlakukan hingga “seumur hidup” pelaku tindak pidana. Sebab, dengan pembatasan waktu daluwarsa penuntutan pidana maksimal 18 tahun untuk pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup saja, hal tersebut sudah menimbulkan persoalan berkenaan dengan validitas alat-alat bukti di dalam mengungkap adanya tindak pidana, sebagaimana telah dipertimbangkan pada pertimbangan hukum di atas. Terlebih lagi, apabila masa daluwarsa penuntutan pidana diberlakukan lebih lama dari yang sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 78 KUHP, termasuk dalam hal ini ketentuan norma Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, yaitu masa daluwarsa “seumur hidup” bagi pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, sebagaimana yang didalikan Pemohon. Oleh karena itu, jika dalil Pemohon diikuti, hal tersebut jelas semakin berpotensi menciptakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, bagi tersangka/terdakwa, korban dan masyarakat pada umumnya. Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat berkaitan dengan masa daluwarsa yang ada saat ini, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP adalah konstitusional. Namun demikian, apabila berkenaan dengan masa tenggang waktu daluwarsa tersebut akan dilakukan perubahan tentang lama tenggang waktunya, maka takaran rasa keadilan menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang yang merupakan representasi dari politik hukum negara dalam merepresentasikan kehendak rakyat yang menjadi bagian dari criminal policy yang secara konsisten menjadi pendirian Mahkamah selama ini. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan jangka waktu daluwarsa dimaksud, sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan rasa keadilan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak melampaui wewenang dan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UUD 1945. Namun demikian, oleh karena jangka waktu daluwarsa masa penuntutan pidana juga melekat hak konstitusional yang merupakan hak fundamental dari korban dan/atau keluarga korban dari pelaku tindak pidana yang juga harus diberikan perlindungan hukum atas kerugian yang dialaminya, oleh karena itu di dalam menentukan masa tenggang waktu daluwarsa dimaksud jika akan dilakukan perubahan maka harus juga mempertimbangkan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana. [3.13] Menimbang bahwa dengan tetap relevan memberlakukan daluwarsa masa penuntutan dalam Pasal 78 KUHP, dan ketentuan norma dimaksud dinyatakan konstitusional, maka permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana dengan adanya rasa ketidakadilan bagi korban peristiwa pidana yang secara riil tersangka/terdakwanya ditemukan baik yang kemudian diajukan dalam persidangan pengadilan maupun tidak dilakukan penyidikan/penuntutan dengan alasan telah melewati masa tenggang waktu daluwarsa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 78 KUHP. Terhadap hal yang demikian, Mahkamah berpendapat, penerapan ketentuan norma Pasal 78 KUHP tidak berarti menghilangkan hak korban dan/atau keluarga korban untuk memperoleh pertanggungjawaban dari pelaku tindak pidana yang terhindarkan dari tuntutan pidana karena diuntungkan dengan berlakunya ketentuan norma Pasal 78 KUHP. Bentuk pertanggungan jawab dimaksud sesungguhnya bisa ditempuh oleh korban tindak pidana dengan tuntutan ganti rugi dengan penggabungan bersama-sama dengan tuntutan pidana [vide Pasal 98 ayat (1) KUHAP]. Namun, oleh karena terhadap perkara pidana yang bersangkutan telah dinyatakan tidak dapat dilakukan penuntutan pidana karena telah daluwarsa, dan oleh karenanya hak untuk menggabungkan tuntutan ganti rugi telah tertutup, maka bagi korban pelaku tindak pidana sebenarnya masih dapat menempuh cara dengan mengajukan gugatan secara keperdataan. Namun, oleh karena tuntutan secara keperdataan demikian diperlukan biaya yang tidak murah/ringan, maka melalui putusan a quo Mahkamah menegaskan dalam rangka memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil terkait pertanggungjawaban ini, pada waktu yang akan datang dapat dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang untuk diatur kewajiban negara dalam memberikan pertanggungjawabannya tersebut berupa kompensasi yang sesuai terhadap korban dan/atau keluarga korban. Sehingga, dengan demikian negara dapat menciptakan kesetimpalan dan keadilan yang berujung pada terciptanya rasa aman, dan damai serta menumbuhkan rasa percaya terhadap kinerja negara dalam upaya penegakan hukum pidana. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai daluwarsa masa penuntutan tindak pidana sebagaimana Pembukaan UUD 1945 pada Alinea keempat, serta ketentuan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 terhadap Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, sehingga dengan demikian dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 105/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Teguh Boediyana, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha, Irfan Arif, dalam hal ini diwakili oleh Hermawanto, S.H., M.H., dkk., kesemuanya adalah Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Hermawanto & Rekan, yang selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014

Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat diajukan kembali. Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Bahwa pengujian norma Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Februari 2017, dengan amar putusan menyatakan Pasal 36E ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu harus memenuhi syarat yang ada dalam Penjelasan Pasal 36E ayat (1) perihal ”keadaan mendesak”. Dalam perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 36C ayat (1), Pasal 36C ayat (3), Pasal 36D ayat (1), dan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 terhadap Pembukaan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, meskipun terdapat pasal yang diujikan sama yakni Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014, namun permohonan a quo juga menguji Pasal 36E ayat (2) dan Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014. Selain itu, terdapat dasar pengujian baru dalam permohonan a quo yang tidak terdapat dalam perkara Nomor 129/PUU-XIII/2015, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali. [3.12] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo secara formal dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan para Pemohon dengan terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sesuai dengan esensi Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, negara bertanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk melalui penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan dengan mengamankan dan menjamin pemanfaatan dan pelestarian hewan untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, serta ketahanan pangan dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 [vide Konsiderans Menimbang huruf a UU 41/2014]. UUD 1945 juga menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan kesejahteraan hidup serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat [vide Pasal 28H ayat (1) UUD 1945]. [3.12.2] Bahwa sudah menjadi tugas negara untuk memastikan kebutuhan pangan yang sehat bagi masyarakat dapat senantiasa terjaga dan terpenuhi. Konstitusi khususnya Paragraf Kedua Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan perkataan lain, konstitusi telah mengamanatkan agar Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat termasuk memiliki kedaulatan atas ketahanan pangan. Kedaulatan dan ketahanan pangan tidak hanya penting bagi negara dan rakyat Indonesia, tetapi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kemandirian negara. Meskipun demikian, Hal tersebut bukan pula menjadikan Indonesia tidak boleh menjadi negara pengimpor atas kebutuhan pangannya. Importasi dapat saja dilakukan secara insidentil guna menunjang stabilitas pangan nasional dan sepanjang tidak menghilangkan kedaulatan Indonesia atas pangan dan ditujukan semata-mata untuk memenuhi ketahanan pangan nasional agar kebutuhan rakyat atas pangan terpenuhi sesuai dengan standar kesehatan pangan dan pelaksanaannya sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Ketentuan perihal impor pangan telah diatur dalam Undang-Undang tentang Pangan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri [vide Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU 18/2012)]. [3.12.3] Bahwa Mahkamah memahami dengan terbukanya arus importasi pangan, in casu produk hewan ternak, maka akan berdampak pada persaingan harga produk hewan ternak tersebut yang dapat melemahkan posisi pengusaha ternak lokal dalam menjalankan usahanya. Sementara itu di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen mendapatkan keuntungan dengan tersedianya produk hewan yang murah dari importasi sebagai imbas persaingan harga produk hewan ternak tersebut. Apalagi ketika kebutuhan masyarakat atas produk hewan ternak tengah mengalami peningkatan permintaan (demand) yang signifikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan dan kehati-hatian bagi negara dalam menentukan kebijakan impor produk hewan ternak agar sejalan dengan falsafah perekonomian yang diamanatkan UUD 1945 yaitu diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional [vide Pasal 33 ayat (4) UUD 1945] serta dalam rangka penguatan prinsip berdikari dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah sudah seharusnya menetapkan kebijakan dan peraturan impor pangan yang tidak berdampak negatif dan kontra produktif terhadap keberlanjutan usaha ternak, kesejahteraan peternak, serta pelaku usaha pangan mikro dan kecil. Importasi produk hewan ternak dilakukan secara ketat, hati-hati, dan mengedepankan kepentingan peternak/petani di seluruh pelosok tanah air dan kepentingan nasional. Aspek standar kesehatan juga harus diperhatikan oleh seluruh stakeholder dalam penyediaan produk hewan ternak di masyarakat. Setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu pangan [vide Pasal 93 UU 18/2012]. [3.12.4] Bahwa berkenaan dengan perihal syarat pemasukan (importasi) produk hewan telah diputus Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang pada pokoknya mempertimbangkan bahwa prinsip kehati hatian dan keamanan maksimal adalah mutlak diterapkan oleh Indonesia dalam melaksanakan pemasukan barang apapun dari luar ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, pemasukan produk hewan ke dalam wilayah NKRI khususnya melalui sistem zona haruslah dipandang sebagai solusi sementara yang hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 telah menentukan mengenai maksud “keadaan tertentu” tersebut, yaitu keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan/atau produk hewan. Syarat tersebut yang menurut Mahkamah harus diterapkan dalam memasukkan produk hewan ke dalam wilayah NKRI. Dengan demikian, prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal merupakan pedoman penting dalam penyediaan produk hewan ternak di masyarakat. [3.13] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014, yang menurut para Pemohon telah mengakibatkan impor daging maupun produk hewan dari negara lain yang tidak bebas penyakit sehingga merugikan para Pemohon sebagai peternak. [3.13.1] Bahwa bertalian dengan dalil para Pemohon, setelah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, menurut Mahkamah, persoalan pokok yang menjadi alasan permohonan para Pemohon dalam permohonannya adalah karena berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dalam hal tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan (PP 4/2016). Menurut para Pemohon, ketentuan PP 4/2016 telah dijadikan dasar untuk melakukan importasi daging maupun produk hewan dari negara yang tidak bebas penyakit secara terus menerus, padahal negara tidak dalam status darurat bencana dan tidak ada kebutuhan mendesak. Bahkan menurut para Pemohon, penyalahgunaan PP 4/2016 untuk terus-menerus melakukan impor produk hewan/daging sapi/kerbau dari negara-negara yang tidak bebas penyakit menular mengakibatkan terjadinya wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) di Indonesia, sehingga merugikan para Pemohon sebagai peternak. Terhadap dalil para Pemohon demikian, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan persoalan yang berkaitan dengan penerapan norma, in casu pelaksanaan norma dalam UU 41/2014, dan bukan persoalan konstitusionalitas norma. Seandainya pun terdapat persoalan legalitas dan penerapan PP 4/2016 hal tersebut juga bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Dengan demikian, pokok dalil para Pemohon berkaitan dengan berlakunya PP 4/2016 sebagai pelaksanaan Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) UU 41/2014 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13.2] Bahwa terhadap dalil permohonan para Pemohon mengenai pemasukan (importasi) ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara, Mahkamah pernah pula menjatuhkan putusan yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 7 Februari 2017, dengan amar putusan menyatakan Pasal 36E ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat yaitu harus memenuhi syarat yang ada dalam Penjelasan Pasal 36E ayat (1) perihal ”keadaan mendesak”, dengan pertimbangan hukum antara lain: [3.12] ... bilamana jumlah produksi daging dalam negeri tidak memenuhi kebutuhan nasional secara keseluruhan, maka jalan yang harus ditempuh adalah melakukan pemasukan (impor) dari negara lain baik berdasarkan sistem country based (dari negara tertentu) maupun dengan sistem zona (dari zona tertentu dalam suatu negara). Menurut Mahkamah, hal ini merupakan pelaksanaan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan konsumsi pangan masyarakat, khususnya ketersediaan produk hewan. Secara umum, sosial yang merupakan kewajiban negara untuk berusaha semaksimal mungkin agar tidak ada warga negara yang terhalangi aksesnya akan terpenuhinya kebutuhan hidupnya. Namun demikan, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak boleh mengingkari hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari segala jenis penyakit menular yang masuk ke wilayah NKRI melalui kegiatan perdagangan internasional, dalam hal ini impor produk hewan. Hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera dalam lingkungan yang sehat ini dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Oleh karena itu, untuk menghindari masuknya penyakit mulut dan kuku, setiap impor produk hewan yang dibutuhkan haruslah memiliki sertifikat bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) dari otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner Indonesia. Di lingkungan internasional, prinsip kehati-hatian dalam impor tersebut juga terwujud dalam kesepakatan dan ketentuan World Trade Organization (WTO), yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO berhak untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan di wilayah negaranya dengan menerapkan persyaratan teknis kesehatan hewan dan kesehatan tumbuhan sejalan dengan perjanjian SPS (Sanitary and Phytosanitary). Prinsip yang terkandung dalam SPS adalah harmonisasi (keselarasan), ekuivalensi (kesetaraan), dan transparansi (keterbukaan). Prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal mutlak diterapkan oleh negara dalam melaksanakan pemasukan barang apapun dari luar ke dalam wilayah NKRI. Oleh karena itu, pemasukan produk hewan ke dalam wilayah NKRI khususnya melalui sistem zona haruslah dipandang sebagai solusi sementara yang hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Bahwa Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 menyatakan, “Dalam hal tertentu, dengan tetap memerhatikan kepentingan nasional, dapat dilakukan pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak dan/atau Produk Hewan.” Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 kemudian menyatakan, “Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan Ternak dan/atau Produk Hewan.” Syarat inilah yang mutlak harus diterapkan dalam penggunaan sistem zona ketika negara memasukan Produk Hewan ke dalam wilayah NKRI, sehingga secara a contrario harus dimaknai bahwa tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pemasukan Produk Hewan dari zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona ke dalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional. [3.13] Menimbang bahwa, walaupun UU 41/2014 telah menganut sistem zona dengan syarat-syarat yang begitu ketat, namun khususnya terhadap pemasukan Produk Hewan dari zona dalam suatu negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014, haruslah dilaksanakan dengan berlandaskan prinsip kehati-hatian, sehingga Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 yang merumuskan “zona dalam suatu negara” haruslah dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), yaitu sepanjang sesuai dengan pertimbangan Mahkamah pada paragraf [3.12] di atas. [3.13.3] Bahwa dengan mendasarkan pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015 di atas, dan oleh karena isu inkonstitusionalitas terhadap norma pasal yang dimohonkan pengujian para Pemohon beserta argumentasi atau dalil yang dijadikan dasar permohonan para Pemohon secara substansial adalah sama, meskipun dengan dasar pengujian yang berbeda, namun pada hakikatnya mempunyai esensi yang sama maka pertimbangan hukum dalam putusan tersebut menjadi pertimbangan hukum pula untuk perkara a quo berkenaan dengan Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014. Oleh karena itu, dalil permohonan a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.13.4] Bahwa meskipun demikian, Mahkamah perlu mengingatkan kembali perihal kedaulatan negara atas ketahanan pangan bagi masyarakat sebagaimana uraian pertimbangan hukum Mahkamah pada Paragraf [3.12]. Dalam kaitan ini, tata kelola dan tata niaga produk ternak perlu dijaga baik kuantitas maupun kualitasnya. Dari segi kuantitas, pemerintah bersama peternak dan pelaku usaha peternakan seyogyanya berupaya secara terencana dan terprogram untuk meningkatkan produk ternak dalam negeri dalam rangka memperkuat kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Menurut Mahkamah, aspek kuantitas produk ternak perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memastikan ketersediaan produk ternak dalam negeri dalam jumlah yang cukup, juga untuk memberdayakan peternak dalam negeri, dan untuk menegaskan tentang pentingnya keberpihakan negara/pemerintah kepada peternak dalam negeri. Keberpihakan negara/pemerintah dimaksud, penting diupayakan dan diselenggarakan untuk mendorong dan menciptakan tata kelola dan tata niaga produk ternak dalam negeri agar tumbuh subur, budi daya ternak menjadi lebih bergairah, inovasi di bidang peternakan akan lebih maju baik melalui metode intensifikasi maupun ekstensifikasi produk ternak, ketergantungan pada subtitusi impor semakin rendah, iklim usaha ternak menjadi lebih kondusif, dan kesejahteraan peternak semakin meningkat. Dari segi kualitas, produk ternak yang dihasilkan hendaknya memenuhi standar kesehatan yang maksimal agar terhindar dari wabah penyakit yang dapat merugikan semua pihak. Kedua hal tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah bersama-sama dengan peternak dan pengusaha di bidang peternakan untuk saling bekerja sama menjalankan ikhtiar dan prosedur yang memenuhi standar kesehatan ternak, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan keamanan maksimal. Demikian pula meningkatkan aspek pengawasan, baik secara internal pemerintah maupun secara eksternal oleh lembaga DPR, terhadap pelaksanaan kebijakan impor yang diterapkan oleh negara agar tidak merugikan kepentingan nasional khususnya kesehatan lingkungan dan masyarakat. Dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat terhadap dalil para Pemohon berkenaan dengan inkontitusionalitas norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa terhadap petitum alternatif para Pemohon, yaitu petitum angka 3, yang memohon kepada Mahkamah agar frasa “dalam hal tertentu” dalam Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 dimaknai “keadaan mendesak akibat bencana sebagaimana undang undang penanggulangan bencana”, menurut Mahkamah, pemaknaan demikian justru akan mempersempit frasa “dalam hal tertentu” dalam Pasal a quo. Selain akan menutup kemungkinan terjadinya keadaan mendesak lain, pemaknaan para Pemohon tersebut, juga akan menutup ruang diskresi pemerintah apabila terjadi kondisi darurat yang disebabkan hal-hal lain yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Keadaan demikian justru menghambat prinsip kehati-hatian sebagaimana pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 129/PUU-XIII/2015. Selain itu, jika pemasukan ternak dan/atau produk hewan dari suatu negara atau zona dalam suatu negara hanya dapat dilakukan ketika keadaan mendesak akibat bencana saja sebagaimana kehendak petitum para Pemohon, maka hal tersebut justru akan berpotensi menyulitkan konsumen untuk mendapatkan produk hewan ketika stoknya berkurang dan persediaan produk hewan dalam negeri terbatas yang akan mengakibatkan harga tidak terkendali. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, selain dalil para Pemohon berkenaan dengan inkontitusionalitas norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 tidak beralasan menurut hukum, Mahkamah berpendapat petitum para Pemohon pada angka 3 apabila dikabulkan justru menjadi kontraproduktif, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian, dan menimbulkan ketidakpastian hukum. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 36E ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal 36E ayat (1) UU 41/2014 telah ternyata tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum, tidak melanggar hak untuk hidup dan sejahtera, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, serta tidak melanggar prinsip demokrasi ekonomi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.17] Menimbang bahwa hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 109/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H. (Dosen pada Universitas Presiden), untuk selanjutnya disebut Pemohon.

Pasal Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1)

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Perlindungan Saksi dan Korban dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan dalil-dalil Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Bahwa Indonesia sebagai negara hukum sangat menjunjung tinggi hak-hak warga negaranya, hal ini sebagaimana tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.” Tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan tersebut haruslah dimaknai sebagai perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa kecuali, termasuk kepada para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Bahwa salah satu pihak dalam proses peradilan pidana yang secara khusus perlu diberikan perlindungan adalah saksi dan korban sebagaimana termuat dalam UU 31/2014. Hal ini didasarkan pada mendesaknya kebutuhan peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan bagi saksi dan korban dalam memberikan keterangan pada proses peradilan pidana. Kebutuhan ini dilandasi oleh kenyataan banyaknya kasus yang tidak dapat diungkap dan tidak selesai karena saksi dan korbannya tidak bersedia memberikan kesaksian kepada penegak hukum akibat ancaman dari pihak tertentu [vide Konsiderans Menimbang huruf a dan Penjelasan Umum UU 31/2014]. Oleh karenanya perlu ada pengaturan yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban yang pada hakikatnya bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi, korban, pelapor maupun saksi yang terlibat tindak pidana, dalam memberikan keterangan pada semua tahap proses peradilan pidana sehingga kebenaran material akan tercapai dan keadilan bagi masyarakat dapat terwujud. Terlebih lagi, perlindungan bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana belum diatur secara khusus. Sebab, Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dari kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan terhadap saksi dan korban diatur dalam undang-undang tersendiri [vide Penjelasan Umum UU 31/2014]. Perlindungan demikian, sejalan dengan esensi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Bahwa berdasarkan uraian di atas telah jelas UU 31/2014 merupakan ketentuan perundang-undangan yang bersifat lex specialis, hal ini tampak pada judul undang-undang itu sendiri yakni “Perlindungan Saksi dan Korban” yang artinya ketentuan perundang-undangan tersebut spesifik mengatur hal-hal yang terkait dengan syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan bagi saksi dan/atau korban yang sebelumnya terbagi-bagi dalam beberapa peraturan. Hal ini pun ditegaskan pula dalam Pasal 2 UU 31/2014 bahwa “Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahapan proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan”. Terkait dengan norma a quo, sama sekali tidak diubah meskipun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU 13/2006) diubah dengan UU 31/2014. Oleh karena itu, nomenklatur utama yang disebutkan dalam ketentuan umum UU a quo sesuai dengan judul UU adalah “saksi” dan “korban”. Saksi dimaksud adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri [vide Pasal 1 angka 1 UU 31/2014 juncto Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP]. Berkenaan dengan pengertian saksi ini, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 8 Agustus 2011 Paragraf [3.13] menyatakan: [3.13] Menimbang bahwa mengenai pengertian “saksi” sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, berdasarkan penafsiran menurut bahasa (gramatikal) dan memperhatikan kaitannya dengan pasal-pasal lain dalam KUHAP, adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri, dan dia alami sendiri. Secara ringkas, Mahkamah menilai yang dimaksud saksi oleh KUHAP tersebut adalah hanya orang yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri peristiwa yang disangkakan atau didakwakan; Menurut Mahkamah, pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP saja. Pengertian saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP memberikan pembatasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya karena frasa “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan/tindak pidana yang dapat diajukan sebagai saksi yang menguntungkan. Padahal, konteks pembuktian sangkaan atau dakwaan bukan hanya untuk membuktikan apakah tersangka atau terdakwa melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana tertentu; melainkan meliputi juga pembuktian bahwa suatu perbuatan/tindak pidana adalah benar-benar terjadi. Dalam kontekspembuktian apakah suatu perbuatan/tindak pidana benar-benar terjadi; dan pembuktian apakah tersangka atau terdakwa benar-benar melakukan atau terlibat perbuatan/tindak pidana dimaksud, peran saksi alibi menjadi penting, meskipun ia tidak mendengar sendiri, ia tidak meIihat sendiri, dan ia tidak mengalami sendiri adanya perbuatan/tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa; Perumusan saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP tidak meliputi pengertian saksi alibi, dan secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan (a de charge) bagi tersangka atau terdakwa, antara lain, saksi yang kesaksiannya dibutuhkan untuk mengklarifikasi kesaksian saksi-saksi sebelumnya; Oleh karena itu, menurut Mahkamah, arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses; Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Mahkamah telah menyatakan dalam amar Putusan a quo pemaknaan ”saksi” dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP yang pada pokoknya termasuk orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian korban dalam UU 31/2014 adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana [vide Pasal 1 angka 2 UU 31/2014]. Sistematika pengaturan pengertian/definisi dalam UU 31/2014 tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan bahwa “ketentuan umum” berisi: a) batasan pengertian atau definisi; b) singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau c) hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab [vide angka 98 Lampiran II UU 12/2011]. Oleh karena fokus pengaturan UU 13/2006 adalah pada saksi dan korban sehingga dalam pengaturan UU a quo tidak terdapat pengaturan berkenaan dengan perlindungan terhadap “ahli”. Adanya pengaturan mengenai “ahli” baru muncul dalam perubahan UU 13/2006 yaitu UU 31/2014. Dengan merujuk pada Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU 31/2014, “Yang dimaksud dengan “ahli” adalah orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” [vide Penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU 31/2014]. Bahwa selanjutnya keterangan ahli merupakan salah satu di antara alat bukti yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli adalah salah satu alat bukti yang sah. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Keterangan Ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa ahli adalah orang yang memiliki “keahlian khusus” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP di atas, apabila dicermati, KUHAP tidak mengatur secara khusus mengenai apa syarat didengarkannya sebagai keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang dijelaskan dalam KUHAP adalah orang yang memiliki “keahlian khusus” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus tersebut dalam hal ini dapat ditafsirkan berkaitan dengan kemampuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan terhadap suatu objek tertentu yang diketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya dalam rangka membantu proses peradilan pidana. [3.11] Menimbang bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil pokok Pemohon yang menyatakan Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dengan dalil yang pada pokoknya Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 merupakan norma yang tidak pasti, tidak adil, dan diskriminatif. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menyatakan, “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik” adalah norma yang mengatur mengenai perlindungan bagi saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor untuk tidak dituntut secara hukum (pidana maupun perdata) sepanjang informasi/kesaksian tersebut diberikan dengan iktikad baik yakni dengan tidak memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat. Hal demikian menjadi penting diberikan berkenaan dengan peran dan posisi mereka dalam proses peradilan pidana, yakni berkontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu. Saksi misalnya, memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi yang hanya akan fair jika saksi tidak dalam kondisi ketakutan atas keberlanjutan hidupnya, sehingga kewajiban tersebut harus diimbangi pula dengan kewajiban dari sistem peradilan pidana untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi saksi untuk dapat memberikan keterangannya secara bebas dan tanpa intimidasi. Adapun terkait dengan korban, kesuksesan dalam pengungkapan dan penuntutan kejahatan seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence), dan perdagangan orang ditentukan oleh korban yang akan memberikan keterangan di pengadilan yang tidak jarang akan dihadapkan dengan pelaku sehingga memerlukan prosedur khusus yang memberikan perlindungan bagi korban dalam kerangka asas peradilan yang terbuka. Begitu pula dengan saksi pelaku, yang merupakan tersangka, terdakwa, atau terpidana yang mau bekerjasama dengan penegak hukum dan memiliki iktikad baik untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama, tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila terbukti bersalah, tetapi keterangannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan, sehingga diperlukan suatu jaminan perlindungan agar mereka dapat memberikan keterangan secara lengkap dan jelas [vide Pasal 10 ayat (2) UU 31/2014]. Bahkan, terhadap saksi pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan berupa pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara saksi pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; pemisahan pemberkasan antara berkas saksi pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya [vide Pasal 10A UU 31/2014]. Terlebih lagi, saksi yang menjadi pelaku tindak pidana dapat mengundurkan diri atau menolak untuk menjadi saksi dalam perkara yang sama di persidangan [vide Pasal 168 huruf c KUHAP]. Perlakuan demikian apabila dikaitkan dengan hukum acara pidana menghendaki adanya keseimbangan antara kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat serta negara, karena pada dasarnya dalam hukum pidana, individu dan/atau masyarakat berhadapan langsung dengan negara. Hubungan ini menempatkan individu dan/atau masyarakat dalam hal ini baik saksi, korban, maupun saksi pelaku pada posisi yang lebih lemah. Artinya, di satu sisi, saksi yang tidak memberikan keterangan yang sebenarnya akan diancam dengan sumpah palsu, namun di sisi lain saksi yang memberikan keterangan yang sebenarnya berpotensi terancam keselamatan jiwanya oleh pelaku tindak pidana atau pihak lain. Oleh karenanya, UU 31/2014 memberikan perhatian lebih berupa perlindungan yang diperlukan agar proses peradilan pidana dapat berjalan tanpa ada hambatan. Sekalipun UU 31/2014 menitikberatkan pengaturannya pada saksi dan korban, namun juga sebagai bagian dari upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, UU a quo juga perlu memberikan perlindungan kepada pelapor, sehingga terhadap pelapor pun tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya dengan iktikad baik. Pengaturan mengenai pemberian perlindungan hukum ini juga dimaksudkan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam mengungkap tindak pidana, sehingga perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum. Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu [vide Pasal 10 ayat (1) dan Penjelasan Umum UU 13/2006]. Berkenaan dengan pengaturan mengenai perlindungan bagi pelapor ini mendapatkan penegasan dalam perubahan UU 13/2006 dengan memberikan batasan pengertian atau definisi pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi [vide Pasal 1 angka 4 UU 31/2014]. Oleh karena itu, pengertian pelapor pada hakikatnya tidak berbeda dengan pemaknaan saksi. [3.11.2] Bahwa kedudukan korban tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP, kecuali terhadap korban yang juga berkedudukan sebagai saksi, sehingga ketentuan dan jaminan perlindungan diberikan kepada korban yang juga menjadi saksi dalam setiap proses peradilan pidana. Berbeda dengan KUHAP, UU 31/2014 mengatur perlindungan terhadap saksi dan/atau korban, baik itu terhadap korban yang juga menjadi saksi, korban yang tidak menjadi saksi dan juga anggota keluarganya. Adapun terkait saksi pelaku dan pelapor, meskipun tidak juga diatur secara eksplisit dalam KUHAP namun dalam praktiknya, istilah tersebut telah muncul dan dikenal dalam praktik Hukum Acara Pidana. Sehingga secara umum, baik koban, saksi pelaku, dan/atau pelapor dapat berkedudukan juga sebagai saksi. Bahwa berkaitan dengan eksistensi saksi, Mahkamah dalam pertimbangan hukum Sub-Paragraf [3.16.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 61/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum pada tanggal 30 November 2022 menyatakan: [3.16.2] … Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri [vide Pasal 1 angka 26 KUHAP]. Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu [vide Pasal 1 angka 27 KUHAP]. Oleh karena itu, apabila dicermati secara saksama dari terminologi pengertian tentang saksi dan keterangan saksi tersebut dapat dimaknai saksi adalah subjek hukum atau pihak yang keberadaannya diperlukan untuk memberi keterangan atas adanya suatu tindak pidana yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pemberian keterangan seseorang sebagai saksi dalam semua tingkatan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan, dan peradilan) sesungguhnya secara limitatif dalam perspektif memberi kejelasan atas adanya tindak pidana yang disaksikan oleh saksi yang bersangkutan. Lebih lanjut, berkaitan dengan saksi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 8 Agustus 2011, telah memberikan pemaknaan saksi yang lebih luas dalam perspektif saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa (saksi a de charge) dan saksi yang memberatkan tersangka atau terdakwa (saksi a charge), Mahkamah berpendirian pada pokoknya, saksi tidak hanya yang mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas adanya peristiwa pidana, akan tetapi menjadi kewajiban penyidik sejak tingkat pemeriksaan penyidikan untuk mengakomodir saksi-saksi yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa sepanjang dapat membantu meringankan kesalahan tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, sejak di tingkat penyidikan saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa meskipun tidak mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas peristiwa pidana yang bersangkutan, namun apabila sepanjang yang didengar, dilihat dan dirasakan dapat memberikan keuntungan bagi tersangka atau terdakwa, maka keterangannya dapat dikategorikan sebagai keterangan saksi..”. Berdasarkan pertimbangan tersebut, keberadaan saksi dalam kaitan memberikan keterangan adalah dalam rangka memberikan kejelasan atas adanya tindak pidana yang diketahui oleh saksi yang bersangkutan (berdasarkan fakta). Sehingga dalam hal ini, saksi wajib untuk memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Dengan kata lain, keterangan saksi harus dilandasi pada semangat untuk mengungkap kebenaran materiil dalam setiap proses peradilan pidana sehingga dalam proses pemeriksaan dapat diungkap perbuatan nyata yang dilakukan terdakwa dan derajat kesalahan terdakwa. Seorang saksi dapat dijatuhi hukuman apabila saksi tersebut terbukti menolak menjadi seorang saksi suatu perkara yang melibatkan dirinya dan/atau memberikan keterangan palsu atau menambah unsur-unsur kebohongan di dalam kesaksiannya di persidangan [vide Pasal 224 ayat (1) dan Pasal 242 butir 1 dan butir 2 KUHP]. Dalam posisi tersebut, perlindungan kepada saksi pada semua tahap proses peradilan sangatlah diperlukan, baik terkait fisik, psikis, maupun perlindungan dari adanya tuntutan hukum sehingga saksi dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang diketahuinya dengan rasa aman tanpa adanya tekanan dari pihak manapun [vide Pasal 4 UU 31/2014]. [3.11.3] Bahwa berbeda dengan saksi, definisi ahli sendiri tidak dijelaskan secara khusus dalam KUHAP, begitu pula dalam UU 31/2014. Namun demikian, Pasal 1 butir 28 KUHAP menyatakan, “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa ahli ialah seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Oleh karena itu, seseorang dapat dikatakan sebagai ahli setidak-tidaknya harus memenuhi berbagai kriteria. Namun berdasarkan pengertian ahli sebagaimana disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, tidak mengatur secara khusus mengenai apa syarat didengarkannya sebagai keterangan ahli dalam pemeriksaan di pengadilan. Adapun yang dijelaskan dalam KUHAP adalah selama ia memiliki “keahlian khusus” tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana dan diajukan oleh pihak-pihak tertentu, maka keterangannya bisa didengar untuk kepentingan pemeriksaan. Keahlian khusus tersebut dalam hal ini dapat ditafsirkan berkaitan dengan kemampuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan terhadap suatu objek tertentu yang diketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya dalam rangka membantu proses peradilan pidana. Dengan demikian, tidak terdapat kriteria yang jelas mengenai siapa yang dapat disebut sebagai ahli. KUHAP hanya menyatakan terdapat keahlian khusus yang berarti terkait dengan kemampuan akan pengetahuan yang secara spesifik dimiliki karena pendidikan atau pengalaman kerjanya. Karena ahli pada dasarnya dibutuhkan dalam setiap proses persidangan tidak terkecuali perkara pidana untuk membuat terang suatu peristiwa hukum tertentu. Untuk itu, ahli setidak-tidaknya harus memiliki kriteria atau validitas antara lain: (1) berpendidikan dan memiliki pengalaman yang spesifik dengan bidang yang telah digeluti; (2) terdapat bukti formal mengenai keahlian yang dimiliki; (3) terdapat rekam jejak yang baik terkait dengan integritasnya dalam menyampaikan keahliannya. Hal demikian menjadi penting agar keterangan yang disampaikan ahli berasal dari ahli yang berkompeten, objektif, dan tidak memihak (independen) serta memiliki integritas yang tinggi sehingga keterangan yang disampaikan tersebut tidak dapat dipengaruhi oleh pihak yang memintanya sebagai ahli ataupun dipengaruhi oleh pihak lainnya dan dapat dipertanggungjawabkan selain kepada bangsa dan negara, juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan pertimbangan itulah, ahli diberikan kebebasan untuk berpendapat sesuai dengan keahliannya namun tidak dalam konteks menyampaikan fakta, sehingga keterangan ahli tidak ada relevansinya dengan keterdesakan atau perasaan terancam seperti halnya yang dirasakan atau dialami oleh saksi, korban, atau pelapor. Bahwa sebagai alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan ahli memiliki nilai pembuktian yang bebas atau tidak mengikat hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim. Dalam hal ini, keterangan ahli berfungsi menjadi alat bantu yang positif dan konstruktif bagi hakim untuk menemukan kebenaran dan hakim bebas memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan keterangan ahli tersebut. Sehingga apabila hakim merasa keterangan ahli bertentangan dengan keyakinannya maka ia dapat tidak mempertimbangkan keterangan ahli tersebut. [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, setelah Mahkamah mencermati petitum Pemohon berkenaan dengan perlindungan saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor yang diatur dalam norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 di mana Pemohon memohon kepada Mahkamah agar dimasukkan pula perlindungan ahli, dengan cara menyisipkan perlindungan untuk ahli agar ahli tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas keterangan yang diberikan dengan iktikad baik ke dalam Pasal a quo. Terhadap petitum tersebut, setelah Mahkamah mencermati secara saksama esensi Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 yang diubah dengan UU 31/2014 justru materi muatannya adalah dalam rangka menegaskan perlindungan saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor agar tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik, sebagaimana maksud dibentuknya UU 31/2014. Penegasan dimaksud dimaktubkan dalam Pasal 10 ayat (2) UU 31/2014 yang menyatakan “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap saksi, korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Oleh karena itu, apabila norma Pasal 10 UU a quo diubah dengan menyisipkan kata “ahli” sebagaimana petitum Pemohon maka hal tersebut justru akan merusak sistematika dan substansi pokok dalam norma Pasal a quo yang berkaitan dengan pasal-pasal lainnya dalam UU 31/2014. Bahwa lebih lanjut, berkenaan dengan petitum yang dimohonkan oleh Pemohon sesungguhnya telah diakomodasi dalam perubahan UU 13/2006 sejalan dengan maksud Konsiderans Menimbang huruf b UU 31/2014 yang menyatakan “untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli”, di mana maksud tersebut kemudian dijelaskan dalam Penjelasan Umum UU 31/2014 yang menyatakan: “Keberadaan Saksi dan Korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. Oleh karena itu, terhadap Saksi dan Korban diberikan Perlindungan pada semua tahap proses peradilan pidana. Ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam Undang- Undang ini diperluas selaras dengan perkembangan hukum di masyarakat. Selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku (justice collaborator), Pelapor (whistle-blower), dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana, sehingga terhadap mereka perlu diberikan Perlindungan. Tindak pidana tertentu tersebut di atas yakni tindak pidana pelanggaraan hak asasi. Artinya, esensi pokok UU 31/2014 sekalipun telah diubah adalah tetap pada keberadaan perlindungan saksi dan korban yang merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada proses peradilan pidana. Adanya pengaturan penambahan unsur di luar saksi dan korban, yaitu dengan memasukkan ahli pada pokoknya hanya dikaitkan dengan upaya pengungkapan tindak pidana yang bersifat khusus, yakni tindak pidana transnasional yang terorganisir. Oleh karena itu, dalam perubahan UU 13/2006 terdapat perluasan subyek yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), namun perluasan tersebut hanya terkait dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan pengungkapan tindak pidana transnasional yang terorganisir, termasuk pihak dimaksud adalah ahli berdasarkan Keputusan LPSK. Hal ini sejalan dengan maksud pengaturan dalam Pasal 5 ayat (3) UU 31/2014 yang menyatakan. “Selain kepada Saksi dan/atau Korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada Saksi Pelaku, Pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana. Tindak pidana dalam kasus tertentu dimaksud dijelaskan antara lain, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya [vide Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 31/2014]. Dengan demikian, telah terang bahwa pengaturan dalam Pasal 10 UU 31/2014 merupakan pengaturan yang bersifat umum untuk memberikan perlindungan kepada saksi, korban, saksi pelaku dan/atau korban dalam tindak pidana apapun, sedangkan perlunya diberikan perlindungan terhadap ahli oleh LPSK berdasarkan Keputusan LPSK hanya untuk tindak pidana tertentu dalam rangka memberikan perlindungan kepada ahli untuk dapat bebas berpendapat sesuai dengan keahlian dan keyakinan yang dimilikinya terhadap suatu perkara sehingga membuat suatu perkara pidana tertentu menjadi terang dan jelas. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan Pemohon karena beranggapan tidak adanya perlindungan terhadap dirinya tatkala menjadi ahli. Pada prinsipnya sebagai negara hukum, prinsip due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak. Konstitusi telah menegaskan bahwa siapapun warga negara Indonesia dilindungi dari rasa aman dan diberikan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi [vide Pasal 28G ayat (2) UUD 1945]. Dalam kaitan ini, tugas negara memberikan perlindungan terhadap semua pihak yang terkait dalam proses peradilan pidana, termasuk ahli, namun dengan syarat, tata cara, dan pengaturan yang berbeda. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil-dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridisnya, dalil Pemohon mengenai Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 31/2014 juga harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 115/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN TAMBRAUW DI PROVINSI PAPUA BARAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Hermus Indou, S.IP., M.H., Yustus Dowansiba, Norman Tambunan, S.E., Bons Sanz Rumbruren, S.Sos yang memberikan kuasa kepada Emilianus Jimmy Ell, S.H., M.H., dkk., yang tergabung dalam kantor Advokat dan Konsultan Hukum “Jimmy Ell, S.H., M.H. & Rekan”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013

Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU 14/2013 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 yakni mengenai cakupan dan batas wilayah Kabupaten Tambrauw setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 yang menurut Pemohon bertentangan secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon dengan alasan-alasan sebagaimana terurai pada Paragraf [3.7]. Ihwal permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa berkenaan dengan pembentukan Kabupaten Tambrauw berdasarkan UU 56/2008, Kabupaten Tambrauw merupakan pemekaran dari Kabupaten Sorong yang terdiri dari 6 (enam) distrik, yaitu: Distrik Fef, Distrik Miyah, Distrik Yembun, Distrik Kwoor, Distrik Sausapor, dan Distrik Abun dengan batas-batasnya seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang a quo. Tujuan pemekaran Kabupaten Sorong untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru yakni Kabupaten Tambrauw merupakan wujud aspirasi masyarakat yang telah dituangkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sorong Nomor 03.A/KPTS/DPRD/SRG/2004 tanggal 14 September 2004 tentang Persetujuan Pemekaran/Pembentukan dan Penetapan Kedudukan Pusat Pemerintahan Untuk Kabupaten Tambrauw di Wilayah Pemerintahan Kabupaten Sorong, Surat Bupati Sorong Nomor 146.1/235 tanggal 14 Mei 2007 perihal Pengusulan Pemekaran Kabupaten Tambrauw, Surat Ketua DPRD Kabupaten Sorong Nomor 130/54/2007 tanggal 8 Februari 2007 perihal Penyampaian Keputusan DPRD Kabupaten Sorong tentang Pemekaran Kabupaten Tambrauw, Rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Daerah Papua Barat Nomor 160/101/DPRD/PB/2007 tanggal 11 Mei 2007 tentang Persetujuan Pembentukan Kabupaten Tambrauw, Keputusan Pimpinan DPR Provinsi Daerah Papua Barat Nomor 05 Tahun 2007 tanggal 4 Juni 2007 tentang Pemekaran/Pembentukan Kabupaten Tambrauw sebagai Daerah Pemekaran, Keputusan Gubernur Papua Barat Nomor 78 Tahun 2007 tanggal 6 Juni 2007 tentang Kesanggupan Penyediaan Dana Bagi Kabupaten Tambrauw Sebagai Daerah Pemekaran, Surat Gubernur Papua Barat Nomor 130/412/GPB/2007 tanggal 8 Juni 2007 perihal Usul Pembentukan Kabupaten Tambrauw, Surat Gubernur Papua Barat Nomor 125/770/GPB/2007 tanggal 5 September 2007 perihal Usul Pembentukan Kabupaten Tambrauw, Surat Bupati Sorong Nomor 135/189/2008 tanggal 26 Februari 2008 perihal Penegasan Ibukota Calon Kabupaten Tambrauw, Surat Bupati Sorong Nomor X/135/01 tanggal 31 Maret 2008 perihal Cakupan Wilayah dan Ibukota Kabupaten Tambrauw, Surat Gubernur Papua Barat Nomor 125/294/GPB/2008 tanggal 11 April 2008 perihal Peninjauan kembali Penetapan Ibukota Pemekaran Kabupaten Tambrauw, dan Surat Gubernur Papua Barat Nomor 125/524/GPB/2008 tanggal 16 Juni 2008 perihal Pemekaran Kabupaten Tambrauw dan Kabupaten Maibrat [vide Penjelasan Umum UU 56/2008]. Bahwa selanjutnya terhadap UU 56/2008 khususnya pengaturan mengenai cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 wilayah Kabupaten Tambrauw dilakukan perubahan dengan memasukkan 5 (lima) distrik yaitu Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, masing-masing dari Kabupaten Manokwari, dan Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong, menjadi cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw. Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 sekaligus untuk mewujudkan kepastian hukum, tertib administrasi, dan meningkatkan efektifitas dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Kabupaten Sorong, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Tambrauw, disahkan UU 14/2013. Sebagai perubahan atas UU 56/2008, dalam Pasal 3 ayat (1) UU 14/2013 menyatakan cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw terdiri dari atas 11 (sebelas) distrik, yaitu: Distrik Fef, Distrik Miyah, Distrik Yembun, Distrik Kwoor, Distrik Sausapor, Distrik Abun, Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, Distrik Mubrani, dan Distrik Moraid. Berkenaan dengan dengan batas wilayah Kabupaten Tambrauw dicantumkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013. [3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan batas wilayah Kabupaten Tambrauw sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 dimaksud, Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XI/2013 telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut: [3.13] Menimbang, bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2013 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5416] menyatakan, “Kabupaten Tambrauw berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan sebagian wilayah Kabupaten Manokwari yang terdiri atas cakupan wilayah: a. Distrik Fef b. Distrik Miyah; c. Distrik Yembun; d. Distrik Kwoor; e. Distrik Sausapor; f. Distrik Abun; g. Distrik Amberbaken; h. Distrik Kebar; i. Distrik Senopi; j. Distrik Mubrani; dan k. Distrik Moraid”. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tambrauw yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tersebut, berhubung dimasukkannya lima distrik baru yang sebelumnya tidak termasuk cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 juga ikut berubah; [3.14] Menimbang, bahwa maksud permohonan para Pemohon dalam permohonan a quo adalah supaya Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani yang berasal dari Kabupaten Manokwari dikeluarkan lagi dari cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, dan dibentuk kabupaten baru yakni Kabupaten Manokwari Barat; [3.15] Menimbang Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik; Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. Kemudian Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 menegaskan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Menurut Mahkamah, suatu wilayah dalam hal ini distrik masuk menjadi cakupan wilayah atau tidaknya dalam suatu provinsi, kabupaten/kota tertentu sangat tergantung pada efektivitas dan efisiensi secara objektif dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk pembangunan daerah dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Hal tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009, tanggal 25 Januari 2010; [3.16] Menimbang bahwa menurut Mahkamah dari ketentuan pasal-pasal UUD 1945 yang dikutip di atas, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang menggunakan frasa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas ...”, bukan menggunakan frasa, “terdiri atas” menegaskan bahwa wilayah atau distrik-distrik yang oleh para Pemohon dimohonkan untuk dinyatakan tidak termasuk cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw sebagaimana yang tertera dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat tetap merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, apakah termasuk wilayah Kabupaten Tambrauw atau wilayah kabupaten lainnya. Pengutamaan serta pengedepanan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pemilik wilayah dapat dipahami dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang telah dikutip di atas; Bahwa masih berkenaan dengan norma yang sama dalam UU 14/2013 a quo, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XII/2014 pun telah mempertimbangkan antara lain sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan a quo dan bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.11.1] Menimbang bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4940), menyatakan, “Kabupaten Tambrauw berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan sebagian wilayah Kabupaten Manokwari yang terdiri atas cakupan wilayah: a. Distrik Fef; b. Distrik Miyah; c. Distrik Yembun; d. Distrik Kwoor; e. Distrik Sausapor; f. Distrik Abun;” dengan batas-batas sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU tersebut. Kemudian Maurits Major, dan kawankawan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas atas kedua pasal tersebut dengan permohonan yang diregistrasi di Mahkamah dengan Nomor 127/PUU-VII/2009 yang diputuskan Mahkamah pada tanggal 25 Januari 2010; Dalam amar Putusan Mahkamah tersebut, yang mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian, antara lain, “Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di 49 Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4940) bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak memasukkan Disktrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani, masing-masing dari Kabupaten Manokwari, dan Distrik Moraid dari Kabupaten Sorong menjadi cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw, sehingga cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw seluruhnya meliputi, Distrik Fef, Distrik Miyah, Distrik Yembun, Distrik Kwoor, Distrik Sausapor, Distrik Abun, Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, Distrik Mubrani, dan Distrik Moraid; Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4940) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak disesuaikan dengan amar putusan ini”; [3.11.2] Menimbang bahwa untuk menindaklanjuti putusan Mahkamah tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5416), yang antara lain, dapat dibaca dalam konsiderans (menimbang) huruf a yang menyatakan, “bahwa untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 127/PUU-VII/2009, tanggal 25 Januari 2010 perlu dilakukan perubahan terhadap UndangUndang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat”; [3.11.3] Menimbang bahwa Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5416), menyatakan, “Kabupaten Tambrauw berasal dari sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan sebagian wilayah Kabupaten Manokwari yang terdiri atas cakupan wilayah: a. Distrik Fef; b. Distrik Miyah; c. Distrik Yembun; d. Distrik Kwoor; 50 e. Distrik Sausapor; f. Distrik Abun; g. Distrik Amberbaken; h. Distrik Kebar; i. Distrik Senopi; j. Distrik Mubrani; dan k. Distrik Moraid.” Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tambrauw yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU 56/2008 tersebut, berhubung dimasukkannya lima distrik yang sebelumnya tidak termasuk cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw di dalam Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 tersebut juga ikut berubah; [3.11.4] Menimbang bahwa maksud permohonan para Pemohon adalah supaya Distrik Moraid, yang semula dalam wilayah Kabupaten Sorong, kemudian atas permohonan Maurits Major dan kawan-kawan yang dikabulkan oleh Mahkamah dalam putusan Nomor 127/PUU-VII/2009 tersebut, sehingga Distrik Moraid dimasukkan dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw. Sekarang atas permohonan para Pemohon (bukan Maurits Major dan kawan-kawan) memohon agar Distrik Moraid tersebut dikembalikan menjadi cakupan wilayah Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat; [3.11.5] Menimbang Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menentukan bahwa negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiaptiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. Kemudian Pasal 37 ayat (5) UUD 1945 menegaskan, “Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Menurut Mahkamah, suatu wilayah dalam hal ini distrik masuk menjadi cakupan wilayah atau tidak masuknya dalam suatu provinsi, kabupaten/kota tertentu sangat tergantung pada efektivitas dan efisiensi secara objektif dalam menjalankan fungsi pemerintahan untuk pembangunan daerah dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Hal tersebut telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 tersebut; [3.11.6] Menimbang bahwa menurut Mahkamah berdasarkan ketentuan pasalpasal UUD 1945 yang dikutip di atas, khususnya Pasal 18 ayat (1) yang menggunakan frasa, “Negara Kesatuan Republik Indonesia di bagi atas...”, bukan menggunakan frasa, “terdiri atas”, menegaskan bahwa wilayah atau Distrik Moraid yang oleh para Pemohon dimohonkan untuk dinyatakan tidak termasuk wilayah Kabupaten Tambrauw, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) UU 14/2003 dan dikembalikan atau dimasukkan kembali sebagai cakupan wilayah Kabupaten Sorong, tetaplah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, apakah dimasukkan ke wilayah Kabupaten Tambrauw atau wilayah Kabupaten Sorong, atau wilayah kabupaten lainnya. Bahwa selain putusan yang berkenaan dengan batas Kabupaten Tambrauw tersebut, berkenaan dengan batas wilayah administrasi, Mahkamah telah beberapa kali menyatakan pendiriannya ihwal batas wilayah. Di antara putusan Mahkamah yang terbaru, yaitu sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 13 Maret 2019, pada Sub-paragraf [3.11.1] pertimbangan hukum menyatakan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa hak-hak konstitusional Pemohon I yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UUD 1945, bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Mahkamah telah menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012, bertanggal 21 Februari 2013, dengan amar “Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”, yang dalam pertimbangan Mahkamah pada Paragraf [3.13.1] menyatakan antara lain: [3.13.1] Bahwa sebagai negara kesatuan maka seluruh wilayah Indonesia adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Adapun maksud kata “dibagi” dalam pasal tersebut adalah untuk menekankan yang ada lebih dahulu adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun pembagian itu mengindikasikan wilayah provinsi/kabupaten/kota tidak lain adalah wilayah kesatuan Republik Indonesia yang untuk hal-hal tertentu kewenangannya dilimpahkan kepada provinsi/kabupaten/kota untuk mengaturnya. Bahwa UUD 1945 dengan sengaja mengambil kata “dibagi” karena untuk menghindari kata “terdiri dari” atau “terdiri atas”. Tujuannya adalah untuk menghindari konstruksi hukum bahwa wilayah provinsi/kabupaten/kota eksistensinya mendahului dari eksistensi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, wilayah provinsi/kabupaten/kota adalah wilayah administrasi semata dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berbeda dengan negara federal; Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menjadi kewenangan sepenuhnya dari pembentuk Undang-Undang untuk membagi wilayah termasuk menetapkan batas-batas wilayahnya…”; Berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-X/2012 tersebut, batas wilayah administrasi menjadi kewenangan sepenuhnya pembentuk undang-undang untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk menetapkan batas-batas daerahnya. Pembagian daerah dimaksud tercermin pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679, selanjutnya disebut UU Pemda) yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi dilakukan penataan daerah yang terdiri atas pembentukan daerah dan penyesuaian daerah. Adapun pembentukan daerah dimaksud berupa pemekaran daerah dan penggabungan daerah [vide Pasal 31 dan Pasal 32 UU Pemda]. Dengan demikian, dalam konteks pemekaran dan penggabungan serta pembentukan dan penentuan batas daerah dalam NKRI merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan-putusan di atas, telah jelas permasalahan Pemohon a quo dikaitkan dengan cakupan wilayah dan batas wilayah administrasi menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang untuk membagi dan menentukan wilayah termasuk batas-batas daerahnya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan a quo mengenai Pasal 3 ayat (1) UU 14/2013 dimaknai bahwa Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi dan Distrik Mubrani tidak berada dan tidak masuk dalam cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw tetapi masuk dalam cakupan wilayah Kabupaten Manokwari serta penyesuaian batas-batasnya dalam Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 sebagaimana tercantum dalam petitum Pemohon Mahkamah tetap pada pendirian sebagaimana tertuang dalam putusan-putusan sebelumnya, terutama dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XI/2013 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XII/2014. [3.14] Menimbang bahwa selain pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, penting bagi Mahkamah menegaskan perihal dalil-dalil yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan dalam perkara a quo antara lain disebabkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009 didasarkan pada tindakan manipulasi data dan fakta-fakta atau rekayasa, sebagaimana didalilkan Pemohon dilakukan oleh para Pemohon dalam Perkara Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009. Dugaan manipulasi yang didalilkan Pemohon, menurut Mahkamah, semua alat bukti maupun keterangan saksi telah diperiksa dan diadili dalam sidang pleno yang dinyatakan terbuka untuk umum sesuai dengan ketentuan hukum acara pengujian undang-undang. Sementara itu, berkaitan dengan kondisi faktual yang didalilkan Pemohon, seperti pemerintahan daerah Kabupaten Manokwari belum pernah melaksanakan pemindahan dan penyerahan personil, aset-aset dan dokumen terkait Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tambrauw, tidaklah dapat dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan atau mengoreksi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-VII/2009. Terhadap hal tersebut perlu bagi Mahkamah untuk menegaskan: berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU MK, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Sifat final putusan Mahkamah Konstitusi bermakna putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Jikalau Mahkamah mengubah pendirian khusus dalam perkara a quo karena alasan-alasan sebagaimana didalilkan Pemohon, hal demikian sama saja dengan Mahkamah menciptakan ketidakpastian hukum; [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang telah diuraikan di atas, dalil Pemohon perihal cakupan wilayah Kabupaten Tambrauw tidak termasuk Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani serta penyesuaian batas-batas wilayahnya sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU 14/2013 telah ternyata menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah tidak menghormati hak masyarakat tradisional sebagaimana dijamin oleh Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.16] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.