Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 53/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Anah Mardianah (guru), dalam hal ini memberikan kuasa kepada janses E. Sihaloho, dkk, advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Sihaloho & Co. Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian formil undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, selanjutnya disebut UU 3/2022) terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, dan selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan keterpenuhan tenggang waktu pengujian fomil. [3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan: “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;” 2 Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan: “Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.” 3 Bahwa berkenaan dengan hal di atas, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022, pada Paragraf [3.3] angka 3 sampai dengan angka 5 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut: “3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUVII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia; 4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/ AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUUXX/2022; 5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas”. 4 Bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan pada angka 3 terdapat dua peristilahan terkait dengan waktu pengajuan 45 (empat puluh lima) hari pengujian formil yaitu “setelah” dan “sejak” suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; 5 Bahwa berkenaan dengan pengajuan permohonan pengujian secara formil yang diajukan “sejak” undang-undang yang dimohonkan pengujian formil diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia menurut Mahkamah untuk memberikan kepastian hukum dalam mengajukan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945. Apabila pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan “setelah” diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dapat atau berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, meskipun makna “setelah” dapat ditafsirkan sebagai sesaat setelah undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, namun dapat pula ditafsirkan setelah beberapa waktu kemudian. Hal demikian berbeda dengan makna “sejak” yang bersifat lebih pasti dan konkret yaitu penghitungan berlaku sejak saat undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 hari “sejak” undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022; 6 Bahwa Pemohon menerangkan telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 3/2022 ke Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2022. Namun, setelah Mahkamah mencermati telah ternyata permohonan Pemohon diajukan ke Mahkamah Konstitusi pada 1 April 2022 sebagaimana Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 48/PUU/PAN.MK/AP3/04/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022 dengan Nomor 53/PUU-XX/2022. Sementara itu, UU 3/2022 diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, maka dengan demikian permohonan Pemohon diajukan pada hari ke 46 (empat puluh enam) sejak UU 3/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766; 7 Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022 terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU 3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan Pemohon adalah tidak memenuhi syarat tenggang waktu dalam pengajuan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi. [3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Formil Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 54/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Muhammad Busyro Muqoddas; Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum; Yati Dahlia; Dwi Putri Cahyawati; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang diwakili oleh Rukka Sombolinggi; dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili oleh Zenzi Suhadi dan M.Ishlah, yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Ahmad Fauzi, S.H., Alif Fauzi Nurwidiastomo, S.H., Aprillia Lisa Tengker, S.H., dkk, yang merupakan para Advokat dan Pembela Hukum Publik yang tergabung dalam Tim Advokasi UU IKN, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU IKN dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan: “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang 41 perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;” 2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan: “Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.” 3. Bahwa berkenaan dengan hal di atas, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022, pada Paragraf [3.3] angka 3 sampai dengan angka 5 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut: “3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUUVII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia; 4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/ AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUUXX/2022; 5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak Undang-Undang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas”. 4. Bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana diuraikan pada angka 3 terdapat dua peristilahan terkait dengan waktu pengajuan 45 (empat puluh lima) hari pengujian formil yaitu “setelah” dan “sejak” suatu undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia; 5. Bahwa berkenaan dengan pengajuan permohonan pengujian secara formil yang diajukan “sejak” undang-undang yang dimohonkan pengujian formil diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia menurut Mahkamah untuk memberikan kepastian hukum dalam mengajukan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945. Apabila pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan “setelah” diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dapat atau berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, meskipun makna “setelah” dapat ditafsirkan sebagai sesaat setelah undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, namun dapat pula ditafsirkan setelah beberapa waktu kemudian. Hal demikian berbeda dengan makna “sejak” yang bersifat lebih pasti dan konkret yaitu penghitungan berlaku sejak saat undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Mahkamah berpendirian pengajuan permohonan pengujian formil undang-undang terhadap UUD 1945 diajukan dalam waktu 45 hari “sejak” undang-undang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XX/2022, tanggal 20 April 2022; 6. Bahwa dalam Perkara a quo, para Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU 3/2022 ke Mahkamah Konstitusi pada 1 April 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 49/PUU/PAN.MK/ AP3/04/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 7 April 2022 dengan Nomor 54/PUU-XX/2022. Sementara itu, 43 UU 3/2022 diundangkan pada tanggal 15 Februari 2022 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766, maka dengan demikian permohonan para Pemohon diajukan pada hari ke 46 (empat puluh enam) sejak UU 3/2022 diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766; 7. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena itu permohonan para Pemohon berkaitan dengan pengujian formil UU 3/2022 terhadap UUD 1945 diajukan telah melewati tenggang waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak UU 3/2022 diundangkan. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak memenuhi syarat formil pengajuan permohonan pengujian formil di Mahkamah Konstitusi. [3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil para Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil para Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dr. (Can.) Dewi Nadya Maharani, S.H., M.H., Suzie Alancy Firman, S.H., Moch Sidik, Rahmatulloh, S.Pd., M.Si., Mohammad Syaiful Jihad, dan Nian Syarifudin yang memberikan kuasa kepada Dr. Sulistyowwati, S.H., M.H., dkk, Para Advokat/Konsultan Hukum yang tergabung dalam Sulistyowati & Partners Law Office, untuk selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.

Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016

Pasal 1 Ayat (2), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut dalil-dalil permohonan para Pemohon, oleh karena norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon saling berkaitan erat dan esensinya tidak berbeda yakni mengenai penunjukan penjabat dalam jabatan ASN sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya dan tidak diisi dengan kepala daerah hasil pemilihan maka Mahkamah akan mempertimbangkan secara bersamaan norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 a quo. [3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan mengenai konstitusionalitas norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang dipermasalahkan oleh para Pemohon, Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan UU 10/2016 sebagai penjabaran Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”, serta pelaksanaannya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dan selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang (UU 1/2015) dan telah diubah terakhir kali dengan UU 10/2016 pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan agar dapat menguatkan kedaulatan rakyat dan demokrasi. [3.12.2] Bahwa berdasarkan UU 1/2015, politik hukum penyelenggaraan Pilkada dilakukan secara serentak. Pelaksanaan Pilkada secara langsung yang dilakukan serentak tersebut dimaksudkan untuk mengefisienkan biaya dan waktu serta upaya meminimalkan kemungkinan potensi konflik. Oleh karena itu, pada awalnya, Pelaksanaan Pilkada serentak didesain secara bergelombang, di mana untuk pertama diselenggarakan pada 9 Desember 2015, yaitu berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015). Kemudian, berdasarkan UU 10/2016, penyelenggaraan Pilkada serentak dilanjutkan pada tahun 2017 dan tahun 2018. Tidak hanya itu, UU 10/2016 secara tegas telah mengatur, penyelenggaraan Pilkada serentak secara menyeluruh akan dilaksanakan pada tahun 2024. [3.12.3] Bahwa jika dirunut dari perjalanan pengaturan Pilkada serentak, telah diatur sejak UU 1/2015 yang kemudian telah diubah oleh UU 8/2015, desain pengaturan pilkada serentak nasional yang dimaksud dalam UU 8/2015 adalah: 1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir tahun 2015 dan Januari sampai dengan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015; 2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017; 3. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018; 4. Pemungutan suara serentak kepala daerah, hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada tahun 2020; 5. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022; 6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023; dan 7. Pemungutan suara serentak nasional Pilkada di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027 [vide. Pasal 201 UU 8/2015]. Selanjutnya, agar lebih sederhana rentang waktu penyelenggaraannya, desain keserentakan nasional yang diatur dalam UU 8/2015 ditata kembali dalam Pasal 201 UU 10/2016 sebagai berikut: 1. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2016 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember tahun 2015; 2. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Februari tahun 2017; 3. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022; 4. Pemungutan suara serentak untuk kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019 dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Juni tahun 2018; 5. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023; 6. Pemungutan suara serentak kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015 dilaksanakan pada bulan September tahun 2020; 7. Kepala daerah hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024; dan 8. Pemungutan suara serentak nasional kepala daerah di seluruh wilayah Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI) dilaksanakan pada bulan November 2024 [vide Pasal 201 UU 10/2016]. [3.12.4] Bahwa berkenaan dengan ketentuan Pilkada serentak nasional yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 telah ternyata berimplikasi pula pada penundaan pelaksanaan Pilkada yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023, sehingga masa jabatan kepala daerah yang selesai pada tahun 2022 dan 2023 tersebut harus diisi oleh penjabat yaitu orang yang secara sementara waktu menduduki jabatan gubernur/bupati/walikota, agar tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah yang akan berdampak pada ketidakberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Oleh karena itu, ditentukan pengangkatan penjabat kepala daerah di masing-masing daerah tersebut sampai dengan terpilihnya kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Pengaturan mengenai kekosongan jabatan ini sejatinya telah didesain sejak tahun 2015 melalui UU 1/2015, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 ayat (6) dan ayat (7) UU 1/2015 yang pada pokoknya menyatakan: (6) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2016 dan tahun 2017 diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2018. (7) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang berakhir masa jabatan tahun 2019, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, Bupati, dan Walikota yang definitif pada tahun 2020. Ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara spesifik pejabat yang akan diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Baru, dalam perubahan UU 1/2015 melalui UU 8/2015 yang kemudian diubah lagi melalui UU 10/2016 ditentukan kategori siapa yang dapat diangkat sebagai penjabat gubernur dan penjabat bupati/walikota sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) yang esensinya mengatur mengenai pengisian kekosongan jabatan gubernur dengan mengangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sedangkan untuk pengisian kekosongan jabatan bupati/walikota diangkat penjabat bupati/walikota dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan gubernur/bupati/walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan dalam UU 8/2015 diatur kembali dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016. [3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil-dalil para Pemohon yang pada pokoknya mempersoalkan pengangkatan penjabat kepala daerah dalam norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa dalam menjelaskan persoalan konstitusional norma yang didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai pasal yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang telah mengalami tiga kali perubahan, semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), dinyatakan dalam Lampiran II ihwal “Ketentuan Peralihan” sebagaimana dimaktubkan pada angka 127 bahwa: “Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Artinya, sejalan dengan tujuan “Ketentuan Peralihan” tersebut, keberadaan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada serentak nasional tahun 2024 karena telah ternyata masa jabatan kepala daerah tidak berakhir pada waktu yang sama sehingga perlu desain konstitusional yang dituangkan dalam materi muatan ketentuan peralihan agar dapat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud. Oleh karenanya, berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja serta dengan memberi perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak karena berlakunya kebijakan hukum pilkada serentak nasional tahun 2024. Jika masa jabatan kepala daerah tidak sampai 5 (lima) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 UU 10/2016 maka kepala daerah yang bersangkutan sebagai kepala daerah yang terdampak memeroleh kompensasi. Oleh karena itu pula jika masa jabatan kepala daerah tersebut pada akhirnya berkurang maka harus pula oleh ketentuan peralihan ditentukan pengaturan yang dapat menjamin tidak terjadinya kekosongan hukum. [3.13.2] Bahwa berkenaan dengan hak konstitusional para Pemohon dalam menentukan pilihan kepala daerah sesungguhnya telah diimplementasikan pada waktu penyelenggaraan Pilkada di masing-masing daerah sejalan dengan asasasas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Namun, tidak dilaksanakannya Pilkada berikut setelah masa jabatan kepala daerah berakhir untuk Pilkada tahun 2022 dan 2023 sesuai dengan agenda menuju kenormalan karena adanya kebijakan hukum Pilkada serentak nasional 2024, di mana hal demikian tidaklah melanggar hak konstitusional para Pemilih. Terlebih, Mahkamah telah pula menyatakan Pilkada serentak nasional adalah konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 pada Paragraf [3.18]. Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan [vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016]. [3.13.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur [vide Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016] dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016] merupakan kebijakan pembentuk undang-undang. Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang. Namun demikian, dalam kaitan dengan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota, Mahkamah perlu terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yang menentukan jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama dimaksud adalah bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Dalam kaitan ini pula Mahkamah dapat memahami istilah yang para Pemohon gunakan dalam menguraikan alasan-alasan permohonan (posita) dengan menggunakan istilah “pejabat ASN”, padahal yang dimaksud adalah jabatan ASN. Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014]. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri. Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu: 1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; 2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asas-asas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut. Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masing-masing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Hal demikian juga telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Sub-paragraf [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, bertanggal 20 April 2022 yang telah diucapkan sebelumnya, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif. [3.13.4] Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan para Penjabat kepala daerah yang ditunjuk menggantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang habis masa jabatannya diragukan dalam membuat rencana pembangunan daerah yakni apakah telah sesuai atau tidak dengan visi misi RPJP daerah dan juga sesuai dengan kebutuhan daerah. Menurut Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon tersebut dapat dipahami sehingga dalam penunjukkan penjabat kepala daerah harus dipertimbangkan secara cermat bahwa penjabat dimaksud mampu menjalankan rencana pembangunan daerah yang bersangkutan sesuai dengan visi misi RPJP daerah dimaksud. Terlebih lagi, penjabat kepala daerah yang diangkat tersebut mempunyai kewenangan yang sama dengan kepala daerah definitif. Oleh karena itu, menurut Mahkamah kepemimpinan penjabat kepala daerah sesuai dengan ketentuan peralihan tersebut tetap berupaya mencapai agenda pembangunan di daerah yang bersangkutan. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 TENTANG HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dr. Ir. Priyanto, S.H., M.H., M.M. yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Oktavia Sastray A., S.H., MT., dkk, advokat pada Kantor Hukum Pro Humania, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

-

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 7/21 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon adalah pengujian formil undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736, selanjutnya disebut UU 7/2021) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Tenggang Waktu Pengujian Formil [3.3] Menimbang bahwa terkait dengan tenggang waktu pengajuan permohonan pengujian formil, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf [3.34] menyatakan: “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil. Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang;” 2. Bahwa Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019) menyatakan: “Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.” 3. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 tersebut di atas, yang dimaksud dengan frasa “45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-Undang” kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang adalah “Permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) diajukan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak undang-undang atau Perppu diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”; 4. Bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan pengujian formil UU 7/2021 ke Mahkamah Konstitusi pada 21 Januari 2022 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 10/PUU/PAN.MK/AP3/01/2022 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) pada 26 Januari 2022 dengan Nomor 14/PUU-XX/2022; 5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas, oleh karena UU 7/2021 diundangkan pada 29 Oktober 2021, maka tenggat 45 hari sejak UndangUndang a quo diundangkan dalam Lembaran Negara adalah pada 12 Desember 2021. Dengan demikian, permohonan pengujian formil UU 7/2021 yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonan bertanggal 21 Januari 2022 diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan sebagaimana ditentukan oleh angka 1 dan angka 3 di atas. [3.4] Menimbang bahwa oleh karena permohonan pengujian formil Pemohon diajukan melewati tenggang waktu pengajuan permohonan maka kedudukan hukum dan pokok permohonan pengujian formil Pemohon, serta hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 13/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Syafril Sjofyan, Tito Roesbandi, dkk, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian dari para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa berkenaan dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020, bertanggal 14 Januari 2021 kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 Februari 2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 8/PUUXX/2022, bertanggal 29 Maret 2022 telah mempertimbangkan yang pada pokoknya sebagai berikut: “[3.6.2] ... jelaslah bahwa Mahkamah pernah memberikan kedudukan hukum terhadap perseorangan warga negara yang memiliki hak memilih untuk menguji norma berkenaan dengan ketentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, oleh karena terdapat perbedaan mekanisme dan sistem yang digunakan dalam penentuan ambang batas pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu Tahun 2014 dengan Pemilu Tahun 2019 dan Pemilu berikutnya pada tahun 2024, sehingga terjadi pergeseran sebagaimana yang dipertimbangkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUUXVIII/2020 bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan berkenaan dengan persyaratan ambang batas untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) in casu, Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. [3.6.3] Bahwa partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu memiliki kerugian hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU 7/2017 sejalan dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, bukan oleh perseorangan. Demikian juga sejalan dengan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 yang secara eksplisit menentukan hanya partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya yang dapat mengusulkan dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Ketentuan konstitusi tersebut semakin menegaskan Mahkamah bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017 adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu, bukan perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk memilih.” [3.6.2] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, berkenaan dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional yang dialami oleh perseorangan yang memiliki hak untuk memilih dalam Pemilu, Mahkamah berpendapat adanya aturan main terkait persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh para Pemohon telah diberlakukan sebelum pelaksanaan Pemilu Tahun 2019 di mana para Pemohon juga telah memiliki hak untuk memilih dan telah mengetahui hasil hak pilihnya dalam Pemilu Legislatif Tahun 2019 yang akan digunakan sebagai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dalam Pemilu Tahun 2024 mendatang. Dengan analogi demikian, maka anggapan adanya kerugian konstitusional, in casu terhambatnya hak untuk memilih (right to vote) yang dialami oleh para Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum. Selain itu, terkait dengan anggapan adanya kerugian hak konstitusional para Pemohon karena terhambatnya haknya untuk memilih (right to vote) kandidat calon Presiden dan/atau Wakil Presiden yang memiliki lebih banyak pilihan, menurut Mahkamah, Pasal 222 UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang akan mengikuti pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Permasalahan berapa pasangan calon yang memenuhi syarat untuk mengikuti pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidaklah ditentukan oleh norma yang diajukan para Pemohon, sehingga hal demikian bukanlah permasalahan norma melainkan permasalahan implementasi atas norma dimaksud yang sangat tergantung pada dinamika sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat yang termanifestasikan dalam keinginan partai politik. Terlebih lagi, norma yang diajukan oleh para Pemohon tidak menghalangi para Pemohon untuk bebas memberikan suaranya kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden manapun yang telah memenuhi syarat. Dengan demikian, anggapan potensi kerugian yang diuraikan oleh para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo; [3.6.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XIX/2021 sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.6.1] di atas, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul berpendapat dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Dalam pokok permohonan, norma Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur mengenai persyaratan ambang batas pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dan terkait dengan batasan persentase yang ditentukan dalam norma a quo merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga menolak permohonan Pemohon. Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat para Pemohon perseorangan sepanjang dapat menjelaskan atau menguraikan memiliki hak untuk memilih (right to vote) adalah memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 222 UU 7/2017, serta dalam pokok permohonan berpendapat norma Pasal 222 UU 7/2017 adalah inkonstitusional sehingga permohonan beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon sebagaimana pendiriannya dalam putusan-putusan sebelumnya; [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.