Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 52/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dewan Perwakilan Daerah yang diwakili oleh Ir. H. Aa Lanyalla Mahmud mattalitti, Dr. Nono Sampono, M.Si, Dr. H. Mahyudin, S.T., M.M. dan Partai Bulan Bintang yang diwakili oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, S.H., M.Sc. dan Afriansyah Noor, M.Si yang memberikan kuasa kepada Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M, Ph.D, dkk, para advokat dan konsultan hukum yang tergabung dalam Indrayana Centre For Government Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 222 UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 222 UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil Pemohon II sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.9] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 222 UU 7/2017 yang pada pokoknya mengatur mengenai adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) oleh partai politik atau gabungan partai politik yaitu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 Oktober 2018. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan Pemohon II memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021); [3.13] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: Pasal 60 UU MK (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang- Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan Pemohon II, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan Pemohon II dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain: (i) Pasal 222 UU 7/2017 telah menjadikan pemilu dikontrol oleh oligarki dan penguasa modal, sehingga bukan merupakan hasil kehendak kedaulatan rakyat ataupun pilihan substantif partai politik; (ii) Pasal 222 UU 7/2017 telah menghilangkan partisipasi publik dan hanya mengakomodir kepentingan elit politik; dan (iii) Pasal 222 UU 7/2017 telah menciptakan polarisasi masyarakat. Dengan demikian menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali; [3.14] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah adanya syarat ambang batas minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. Namun faktanya, terhadap isu konstitusionalitas tersebut telah beberapa kali dimohonkan pengujian dan Mahkamah telah berulang kali pula menyatakan pendiriannya terkait adanya syarat ambang batas minimum pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana diatur dalam norma Pasal 222 UU 7/2017 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon II adalah konstitusional. Pendirian Mahkamah demikian dapat dilihat dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah kemudian menguatkan kembali pendiriannya sebagaimana termuat dalam putusan-putusan Mahkamah sebelumnya, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52- 59/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 18 Februari 2009 yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVI/2018, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVI/2018 serta putusan-putusan berikutnya terkait dengan pengujian konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017. Pertimbangan hukum sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 a quo adalah sebagai berikut: “Menurut Mahkamah, rumusan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu adalah dilandasi oleh semangat demikian. Dengan sejak awal diberlakukannya persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sejak awal pula dua kondisi bagi hadirnya penguatan sistem Presidensial diharapkan terpenuhi, yaitu, pertama, upaya pemenuhan kecukupan dukungan suara partai politik atau gabungan partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden di DPR dan, kedua, penyederhanaan jumlah partai politik. Dalam konteks yang pertama, dengan memberlakukan syarat jumlah minimum perolehan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden maka sejak awal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan telah memiliki cukup gambaran atau estimasi bukan saja perihal suara yang akan mendukungnya di DPR jika terpilih tetapi juga tentang figur-figur yang akan mengisi personalia kabinetnya, yang tentunya sudah dapat dibicarakan sejak sebelum pelaksanaan Pemilu melalui pembicaraan intensif dengan partai-partai pengusungnya, misalnya melalui semacam kontrak politik di antara mereka. Benar bahwa belum tentu partai- partai pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan menguasai mayoritas kursi di DPR sehingga pada akhirnya tetap harus dilakukan kompromi-kompromi politik dengan partai-partai peraih kursi di DPR, namun dengan cara demikian setidak-tidaknya kompromi-kompromi politik yang dilakukan itu tidak sampai mengorbankan hal-hal fundamental dalam program-program pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang bersangkutan yang ditawarkan kepada rakyat pemilih dalam kampanyenya. Dengan demikian, fenomena lahirnya “sistem Presidensial rasa Parlementer” dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat direduksi. Sementara itu, dalam konteks yang kedua, yaitu bahwa dengan memberlakukan persyaratan jumlah minimum perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden akan mendorong lahirnya penyederhanaan jumlah partai politik, penjelasannya adalah sebagai berikut: dengan sejak awal partai-partai politik bergabung dalam mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden berarti sesungguhnya sejak awal pula telah terjadi pembicaraan ke arah penyamaan visi dan misi partai-partai politik bersangkutan yang bertolak dari platform masing-masing yang kemudian secara simultan akan dirumuskan baik ke dalam program-program kampanye pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung maupun dalam program-program kampanye partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut yang akan ditawarkan kepada rakyat pemilih. Dengan cara demikian, pada saat pelaksanaan Pemilu, rakyat pemilih akan memiliki referensi sekaligus preferensi yang sama ketika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dan ketika memilih calon anggota DPR dari partai-partai pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden itu sebab Pemilu akan dilaksanakan secara serentak. Artinya, rakyat pemilih telah sejak awal memiliki gambaran bahwa jika memilih pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tertentu karena setuju dengan program-program yang ditawarkannya maka secara rasional juga harus memilih anggota DPR dari partai politik yang akan mendukung tercapainya program-program tersebut yang tidak lain adalah partai-partai politik pengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut. Pada perkembangan selanjutnya, apabila partai-partai politik yang bergabung dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut berhasil menjadikan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusungnya itu terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden maka dengan sendirinya partai-partai politik tersebut menjadi partai-partai yang memerintah (the ruling parties) yang secara logika politik telah berada dalam satu kesatuan pandangan dalam tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai atau diwujudkan. Pada titik itu sesungguhnya secara etika dan praktik politik partai-partai politik tersebut telah bermetamorfosis menjadi satu partai politik besar sehingga dalam realitas politik telah terwujud penyederhanaan jumlah partai politik kendatipun secara formal mereka tetap memiliki identitas tertentu sebagai pembeda namun hal itu tidak lagi secara mendasar mempengaruhi kerjasama mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan mereka yang tercemin dalam program-program dan kinerja pasangan Presiden dan Wakil Presiden yang mereka usung bersama. Sesungguhnya dalam kedua konteks itulah frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 didesain dan karenanya dalam kedua konteks itu pula seharusnya diimplementasikan. Dengan kata lain, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah norma Konstitusi yang memuat desain konstitusional penguatan sistem Presidensial dengan semangat, di satu pihak, mendorong tercapainya keparalelan perolehan suara pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dengan peroleh suara partai-partai politik pendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut di DPR serta, di pihak lain, mendorong terwujudnya penyederhanaan partai, di mana kedua hal itu merupakan penopang utama bekerjanya sistem Presidensial dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara. Bahwa dalam praktik hingga saat ini keadaan demikian belum terwujud, hal itu bukanlah berarti kelirunya desain konstitusional di atas melainkan terutama karena belum berjalannya fungsi-fungsi partai politik sebagai instrumen pendidikan dan komunikasi politik;” Berkenaan dengan putusan tersebut di atas, terdapat 2 (dua) orang Hakim Konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra; [3.15] Menimbang bahwa sebelum berlakunya UU 7/2017, pengaturan mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU 42/2008) yang di dalamnya memuat juga norma adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 UU 42/2008. Terhadap ketentuan yang mengatur adanya ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, in casu Pasal 9 UU 42/2008 ini pun telah beberapa kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya dan Mahkamah tetap pada pendiriannya bahwa ketentuan Pasal 9 UU 42/2008 adalah konstitusional. Sebangun dengan pertimbangan hukum dalam putusan-putusan lainnya sebagaimana diuraikan dalam Paragraf [3.14] di atas, Mahkamah juga mengutip kembali seraya menguatkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan dalam beberapa putusan terkait pengujian konstitusionalitas Pasal 9 UU 42/2008, khususnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 17 Februari 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 14 September 2009, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 27 Juni 2013, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Januari 2014, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 Maret 2014. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU- XI/2013, walaupun diajukan dengan menggunakan dasar pengujian yang berbeda dari permohonan-permohonan sebelumnya, namun pada prinsipnya isu konstitusionalitas yang dipersoalkan adalah sama sehingga Mahkamah menolak permohonan a quo dengan pertimbangan selain mengutip pertimbangan hukum dalam putusan-putusan sebelumnya, juga menegaskan kembali sebagai berikut: “[3.26] Menimbang bahwa Pasal 9 UU 42/2008 menyatakan, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua pulu persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”. Menurut Mahkamah, Putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Januari 2014 maupun Putusan Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa ketentuan a quo merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Adapun dalil-dalil Pemohon yang selebihnya terkait dengan Pasal 9 UU 42/2008 tidak relevan untuk dipertimbangkan.” [3.16] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mempelajari dalil-dalil atau argumentasi permohonan Pemohon II, Mahkamah menilai, argumentasi Pemohon II didasarkan pada anggapan munculnya berbagai ekses negatif (seperti oligarki dan polarisasi masyarakat) akibat berlakunya ketentuan Pasal 222 UU 7/2017. Terhadap hal tersebut, menurut Mahkamah, argumentasi Pemohon II yang demikian adalah tidak beralasan menurut hukum, karena tidak terdapat jaminan bahwa dengan dihapuskannya syarat ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik maka berbagai ekses sebagaimana didalilkan oleh Pemohon II tidak akan terjadi lagi. Terlebih lagi, setelah membaca semua putusan Mahkamah yang berkaitan dengan isu ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, pada pokoknya Mahkamah menyatakan syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional, sedangkan berkenaan dengan besar atau kecilnya persentase presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) dalam ranah pembentuk undang-undang. Pendirian Mahkamah tersebut berpijak pada perlunya penguatan sistem pemerintahan Presidensial berdasarkan UUD 1945 sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Dalam pandangan Mahkamah, pemilu Presiden dan Wakil Presiden perlu dirancang untuk mendukung penguatan sistem pemerintahan Presidensial, tidak hanya terkait legitimasi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, namun juga dalam hubungannya dengan institusi DPR sehingga akan mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional. Dalam kerangka tersebut, adanya syarat ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik menjadi salah satu cara untuk menyeimbangkan hubungan Presiden dengan DPR secara proporsional dalam sistem pemerintahan presidensial yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi Indonesia serta hak konstitusional warga negara dan hal tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi. Oleh karenanya, meskipun terdapat perbedaan antara dalil permohonan Pemohon II dengan permohonan-permohonan sebelumnya, menurut Mahkamah, dalil Pemohon II a quo berangkat dari isu yang sama, yaitu tentang ambang batas pencalonan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mana Mahkamah telah menyampaikan pendiriannya sebagaimana telah diuraikan di atas; [3.17] Menimbang bahwa tidak berbeda dengan putusan-putusan sebelumnya, berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017, 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra tetap pada pendiriannya sebagaimana pendapat berbeda (dissenting opinion) pada putusan-putusan sebelumnya; [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 222 UU 7/2017 berkaitan dengan esensi norma Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, sehingga Mahkamah berpendapat, tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon II tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan terhadap dalil-dalil serta hal-hal lain, tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 57/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dalam hal ini diwakili oleh Agus Priyono (Ketua Umum Prima) dan Dominggus Oktavianus (Sekretaris Jenderal Prima), yang memberikan kuasa kepada Togu Van Basten Hutapea, S.H., dkk., para Advokat dan konsultan hukum yang tergabung pada Biro Bantuan Hukum Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 173 Ayat (1) UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai Mahkamah Konstitusi dengan Putusan nomor 55/PUU-XVIII/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali. Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undangundang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, dengan amar putusan antara lain, “Menyatakan frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4 Mei 2021, dengan amar putusan antara lain, Menyatakan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan amar putusan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018, dengan amar putusan antara lain, “Menyatakan frasa “telah ditetapkan/” dalam Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4 Mei 2021, dengan amar putusan antara lain, Menyatakan Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi oleh KPU”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan amar putusan “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya”. Selanjutnya, setelah dipelajari secara saksama, telah ternyata Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 menggunakan dasar pengujiannya: Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 dasar pengujiannya adalah Pasal 28I ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, dan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (2) Juncto Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945. dan, permohonan Pemohon menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, menurut Mahkamah, dasar pengujian yang digunakan dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 dan Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tidak memiliki relevansi terhadap ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, hal ini dikarenakan norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang dimohonkan dalam kedua perkara dimaksud bukanlah merupakan norma hukum baru yang telah diberikan pemaknaan oleh Mahkamah. Dengan demikian, Mahkamah akan mempertimbangkan keberlakuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Mahkamah. Selanjutnya, permohonan pengujian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 setelah dimaknai oleh Mahkamah, telah pernah diuji dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021. Sehingga, Mahkamah akan mengaitkan dasar pengujian permohonan a quo dengan dasar pengujian Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 yakni Pasal 1 ayat (2) Juncto Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945; Sementara itu, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan, dalam Perkara Nomor 53/PUU-XV/2017 adalah syarat verifikasi partai politik dianggap bersifat diskriminatif dan standar ganda karena membedakan perlakuan antara partai politik baru dengan partai politik yang telah ikut Pemilu tahun 2014. Kemudian, dalam Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 menggunakan alasan syarat verifikasi ulang terhadap partai politik yang telah mengikuti Pemilu adalah sebuah ketidakadilan dan penyederhanaan partai politik dengan verifikasi dianggap tidak efektif. Sementara itu, dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 menggunakan alasan syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik yang lolos ambang batas parlemen dengan partai politik peserta Pemilu 2019 yang tidak lolos ambang batas parlemen, baik partai politik yang memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik peserta Pemilu 2019 yang lolos ambang batas parlemen dan memiliki wakil-wakil di DPR RI dengan partai politik yang sama sekali baru dan belum pernah mengikuti Pemilu; Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 dengan dasar pengujian permohonan a quo, di mana dalam perkara a quo, menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021. Selain itu, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali; [3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut. [3.12] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan, terhadap permohonan Pemohon a quo Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa sesungguhnya persoalan inti dari permohonan a quo adalah apakah verifikasi secara administrasi sudah cukup memenuhi kelengkapan yang dibutuhkan daripada verifikasi secara faktual, yang pada akhirnya verifikasi secara faktual tersebut berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai partai politik baru. Oleh karena itu, menurut Pemohon terdapat perlakuan yang berbeda ihwal verifikasi partai politik antara partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada Pemilu 2019 dengan Pemohon yang dalam hal ini merupakan partai politik baru. [3.12.2] Bahwa berkaitan dengan perkara a quo Mahkamah telah menyatakan pendiriannyaterkait verifikasi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.13] Menimbang bahwa permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,“Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU”, yang kemudian ketentuan tersebut sepanjang frasa “telah ditetapkan/” telah dinyatakan bertentangan dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018. Dengan demikian bunyi ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 tersebut menjadi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU.” Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXV/2017, Mahkamah juga membatalkan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 yang menyatakan, ”Partai politik yang telah lulus verifikasi dengan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diverifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”. Pembatalan keberlakuan Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 berdampak pada penyamarataan terhadap semua partai politik untuk dilakukan verifikasi dalam Pemilu serentak 2019 dan partai politik yang lolos verifikasi memiliki hak konstitusional sebagai peserta Pemilu. [3.14] Menimbang bahwa dalam perkembangannya pasca Pemilu serentak 2019, Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 ini dimohonkan kembali pengujiannya oleh Pemohon (Partai Garuda) melalui Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang pada petitumnya Pemohon meminta kepada Mahkamah agar Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 dinyatakan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai “Partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk Pemilu selanjutnya”. Artinya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar pada Pemilu serentak 2024, terhadap partai politik peserta Pemilu 2019 tidak perlu lagi dilakukan verifikasi ulang. [3.15] Menimbang bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda. [3.16] Menimbang bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. Memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; c. Memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di Proivinsi yang bersangkutan; d. Memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; e. Menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; f. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; h. Mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. Menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU. [3.17] Menimbang bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan parta politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adala memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakuka sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusny diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhada semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemil pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suat ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikas secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPR Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.12.3] Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum yang dijadikan dasar dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sebagaimana diuraikan di atas, terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Suhartoyo, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Namun demikian, terlepas dari adanya pendapat berbeda dalam Putusan a quo, Mahkamah berpendirian bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. [3.13] Menimbang bahwa dengan mengutip pertimbangan hukum di atas, oleh karena substansi yang dipersoalkan oleh Pemohon pada hakikatnya sama dengan apa yang telah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, meskipun dengan dasar pengujian yang berbeda serta alasan konstitusional yang digunakan oleh Pemohon juga berbeda, namun esensi yang dimohonkan dalam perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik, baik secara administrasi maupun secara faktual. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 mutatis mutandis berlaku pertimbangan hukum permohonan a quo. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 29/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Boyamin Bin Saiman dan Marselinus Edwin Hardian, S.H. yang yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Kurniawan Adi Nugroho, S.H. dkk, para Advokat dan Advokat Magang dari Kantor “Boyamin Saiman Law Firm”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 13 huruf f, huruf i, dan huruf j UU 15/2016

Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 31 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 13 huruf f, huruf i, dan huruf j UU 15/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu memeriksa apakah pokok permohonan para Pemohon dapat diajukan pengujian ke Mahkamah berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), karena sebelumnya Mahkamah sudah pernah memutus pengujian Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUUXII/2014, bertanggal 4 November 2015 dengan amar menolak permohonan para Pemohon. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XII/2014 tersebut, para Pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 13 huruf j UU 15/2006 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Adapun dalam permohonan a quo, para Pemohon mengajukan pengujian norma Pasal 13 huruf j UU 15/2006 terhadap Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 31 ayat (5) UUD 1945. Sehingga meskipun terdapat kesamaan norma pasal yang diajukan antara Perkara Nomor 106/PUU-XII/2014 dengan permohonan para Pemohon a quo, namun batu uji yang diajukan dalam permohonan a quo berbeda, sehingga menurut Mahkamah pengujian norma Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dalam permohonan para Pemohon a quo dapat diajukan kembali ke Mahkamah. [3.11] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan para Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi para Pemohon, Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon; [3.12] Menimbang bahwa Pemohon I mendalilkan Pasal 13 huruf f UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “pintar dan pandai berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi” karena kualitas calon Anggota BPK dapat dinilai berdasarkan pengalaman aktivitas dan pengetahuannya. Terhadap dalil Pemohon I tersebut, Mahkamah berpendapat, syarat pendidikan merupakan salah satu syarat penting yang diperlukan untuk dapat mengukur kompetensi seseorang guna menduduki suatu jabatan tertentu. Sementara itu, penetapan tingkat dan kualifikasi pendidikan formal dimaksudkan pula agar dalam pelaksanaan tugas pada jabatan tertentu dapat dilakukan secara profesional, khususnya dalam upaya penerapan kerangka teori, analisis, maupun metodologi pelaksanaan tugas. Penentuan tingkat dan kualifikasi pendidikan formal dalam suatu jabatan sejatinya telah melewati suatu proses kajian yang mendalam sehingga diharapkan dapat menghasilkan kinerja yang maksimal. Adanya persyaratan pendidikan paling rendah S1 atau yang setara bagi calon Anggota BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 huruf f UU 15/2006 merupakan salah satu upaya agar anggota BPK dapat melaksanakan tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimanahkan dalam Pasal 23E UUD 1945 secara profesional. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon I terkait Pasal 13 huruf f UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “pintar dan pandai berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa Pemohon II mendalilkan Pasal 13 huruf i UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dewasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi” dengan alasan kualitas berdasarkan usia bagi calon anggota BPK tidak dapat diukur hanya melalui batasan umur, yang apabila melihat pada rentang usia para terpidana tindak pidana korupsi, pelakunya justru berusia di atas 40 (empat puluh) tahun. Terhadap dalil Pemohon II a quo, Mahkamah berpendapat, penentuan usia sebagai syarat untuk menjadi anggota BPK sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 huruf i UU 15/2006 pada dasarnya ditujukan untuk menjamin agar anggota BPK memiliki kematangan emosional atau psikologis, intelektual, dan tanggung jawab selain kemampuan di bidang akademik. Selain itu, anggota BPK diharapkan memiliki pengalaman terlebih dahulu di berbagai bidang yang terkait dengan tugas jabatannya, antara lain, bidang ekonomi, hukum, dan administrasi negara sebelum memangku jabatan sebagai anggota BPK, sehingga yang bersangkutan dapat melaksanakan tugas dalam jabatannya tersebut secara profesional. Terlebih lagi hal ini mengingat tugas dan wewenang BPK sangatlah berat dan luas sebagaimana ketentuan mengenai tugas dan wewenang BPK tersebut diatur dalam Bab III UU 15/2006. Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, berkaitan dengan persoalan penetapan batas usia, Mahkamah telah berkali-kali berpendirian bahwa hal tersebut merupakan kebijakan hukum pembentuk undang-undang (open legal policy). Sehingga dengan mendasarkan pada pertimbangan tersebut, adalah relevan jika pembatasan usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf i UU 15/2006 dijadikan sebagai salah satu syarat dalam pemilihan anggota BPK. Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil Pemohon II terkait Pasal 13 huruf i UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dewasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi” adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 13 huruf j UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah melakukan penyimpangan atau tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara” dengan alasan kualitas dari calon BPK tidak dapat dilihat hanya berdasarkan jangka waktu terakhir dia menjabat, tanpa melihat juga rekam jejaknya selama memangku jabatan sebagai pengelola keuangan negara (pihak yang diperiksa). Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dibentuk dengan tujuan untuk menghindarkan terjadinya potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang yang pernah dimiliki sebelumnya yang dapat dilakukan oleh anggota BPK terpilih bilamana yang bersangkutan berasal dari pejabat pengelola keuangan negara. Hal tersebut dapat menimbulkan kemungkinan terganggunya independensi, integritas, dan profesionalitas sebagai anggota BPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itulah perlu ada persyaratan, calon anggota BPK disyaratkan paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara. Hal ini termasuk bertujuan untuk memutus mata rantai terjadinya konflik kepentingan antara pihak-pihak yang terkait yaitu antara yang memeriksa dengan yang diperiksa dan menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang. Sebab, keadaan demikian dimungkinkan terjadi yakni apabila anggota BPK terpilih menggunakan kewenangannya untuk menilai hasil pekerjaannya pada masa lalu sebelum yang bersangkutan menjadi anggota BPK. Oleh karenanya pembatasan waktu kapan seorang pejabat pengelola keuangan negara dapat mengikuti pemilihan anggota BPK menjadi sangat penting. Adanya ketentuan mengenai jangka waktu ”paling singkat 2 (dua) tahun” dalam Pasal 13 huruf j UU 15/2006 telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XII/2014, yang menyatakan: “[3.9.6] … Selain itu, adanya jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun supaya calon yang terpilih sebagai anggota BPK akan dapat melaksanakan tugasnya secara mandiri dan bebas karena dalam hal pertanggungjawaban keuangan maka yang bersangkutan tidak akan pernah memeriksa pengelolaan keuangan yang telah 2 (dua) tahun dilaksanakan. Pemeriksaan keuangan dilakukan terhadap pengelolaan keuangan yang dilakukan 1 (satu) tahun sebelumnya.” Berdasarkan pertimbangan tersebut, anggota BPK terpilih hanya dapat melakukan pemeriksaan keuangan terhadap pengelolaan keuangan yang dilakukan 1 (satu) tahun sebelumnya. Sehingga menghindarkan anggota BPK untuk memeriksa sendiri hasil pekerjaannya sebagai pejabat pengelola keuangan sebelum yang bersangkutan terpilih menjadi anggota BPK. Selanjutnya, terkait dengan petitum para Pemohon yang meminta agar Pasal 13 huruf j UU 15/2006 dimaknai “tidak pernah melakukan penyimpangan atau tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara”, pada dasarnya telah terakomodir dalam ketentuan Pasal 13 huruf g UU 15/2006 yang menyatakan: “g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih.” Syarat dimaksud tidak hanya melekat kepada calon anggota BPK yang berasal dari pejabat pengelola keuangan negara saja melainkan juga kepada calon anggota BPK yang bukan berasal dari pejabat pengelola keuangan negara. Dengan kata lain, syarat ini melekat pada seluruh calon peserta yang hendak mengikuti pemilihan anggota BPK tanpa terkecuali. Sementara itu, terhadap dalil para Pemohon mengenai adanya 2 (dua) nama yang seharusnya tidak diloloskan oleh DPR RI untuk dimajukan sebagai calon anggota BPK untuk mengikuti tahap fit and proper test dikarenakan tidak memenuhi syarat sebagaimana ketentuan Pasal 13 huruf j UU 15/2006. Hal tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma yang bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya. Berdasarkan uraian pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon terkait dengan Pasal 13 huruf j UU 15/2006 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “tidak pernah melakukan penyimpangan atau tindak pidana korupsi selama memangku jabatan sebagai Pejabat Pengelola Keuangan Negara” adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, berkenaan dengan Pasal 13 huruf f, huruf i, dan huruf j UU 15/2006 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menghalangi warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 dan oleh karenanya dalil-dalil Pemohon I dan Pemohon II tidak beralasan menurut hukum. Adapun terkait dengan hal-hal lain karena tidak relevan maka tidak dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DAN PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Raden Violla Reininda Hafidz, S.H., dkk., yang berjumlah 7 (tujuh) Pemohon, dalam hal ini diwakili oleh Arif Maulana, S.H., M.H., dkk., para Advokat, yang selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 serta Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 19 UU 24/2003

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 7/2020 dan materiil Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2), Pasal 87 huruf a dan huruf b UU 7/2020 serta Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 19 UU 24/2003 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.15] Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan ahli dan saksi para Pemohon, bukti-bukti surat/tulisan yang diajukan oleh para Pemohon, kesimpulan tertulis para Pemohon, surat Amicus Curiae, sebagaimana selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara, maka Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan dalil pokok permohonan pengujian formil UU 7/2020; Bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 7/2020 secara formil telah melanggar asas keterbukaan dan bertentangan dengan ketentuan mengenai tatacara pembentukan undang-undang, khususnya berkenaan dengan tidak adanya partisipasi publik dan proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan waktu yang sangat terbatas. Terhadap hal tersebut menurut Mahkamah, berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, khususnya keterangan DPR dan Presiden, telah ternyata Rancangan Undang-Undang Perubahan UU 24 Tahun 2003 telah masuk dalam daftar Prolegnas 2015-2019, prioritas tahun 2019 [vide. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019, tanggal 31 Oktober 2018, Lampiran I Keputusan DPR Nomor 22]. Selain itu, DPR dalam persidangan juga menerangkan bahwa dilakukannya perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 merupakan usulan yang masuk dalam daftar kumulatif terbuka dalam rangka menindaklanjuti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUUIX/2011, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XI/2013, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 sebagaimana hal tersebut diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) [vide Risalah Persidangan Mahkamah Konstitusi dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden, tanggal 9 Agustus 2021, hlm. 4 dan 5]. Oleh karena itu, terlepas dari norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian secara materiil dianggap terdapat persoalan inkonstitusionalitas, namun menurut Mahkamah tatacara perubahan UU a quo yang mendasarkan pada daftar kumulatif terbuka tersebut sebagai tindak lanjut beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, maka tatacara perubahan UU 7/2020 tidak relevan lagi dipersoalkan. Namun demikian, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa usulan rancangan undang-undang jika masuk dalam daftar kumulatif terbuka sesungguhnya dapat dibentuk kapan saja dan tidak terbatas jumlahnya sepanjang memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU 12/2011. Di samping itu, perubahan undang-undang melalui daftar kumulatif terbuka mempunyai sifat khusus yang tidak dapat sepenuhnya dipersamakan dengan usulan perubahan undang-undang yang bersifat normal, yaitu rancangan undang-undang yang masuk dalam daftar Prolegnas jangka menengah. Sementara itu, dimasukkannya rancangan perubahan UU a quo dalam daftar Prolegnas sebagaimana uraian di atas, bukan berarti perubahan UU tersebut tertutup untuk diusulkan dan dibahas dalam daftar kumulatif terbuka sebab perubahan UU a quo memang memenuhi kriteria daftar kumulatif terbuka sebagaimana pertimbangan di atas. Dikarenakan perubahan UU a quo dalam rangka menindaklanjuti putusan-putusan Mahkamah Konstitusi maka tidak relevan lagi apabila proses pembahasan rancangan undang-undang tersebut masih dipersyaratkan pembahasan, termasuk dalam hal ini adalah syarat partisipasi publik yang ketat sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021. Hal ini dimaksudkan agar esensi perubahan tersebut sepenuhnya mengadopsi substansi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, jika perubahan tersebut dilakukan sebagaimana layaknya rancangan undang-undang di luar daftar kumulatif terbuka, justru berpotensi menilai dan bahkan menegasikan putusan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon dalam pengujian formil UU 7/2020 a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian formil, namun tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan pengujian materiil. Sedangkan, pokok permohonan dalam pengujian formil tidak beralasan menurut hukum. Oleh karena itu, pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain dalam pengujian materiil tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima dan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 39/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL DAN MATERILL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBUKOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Sugeng, S.H (pensiunan PNS), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 4, pasla 5, Pasal 6, Pasal 22, dan Pasal 24 ayat (1) UU 3/2022

Pasal 26C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil dan materill UU (3/2022) dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.5] Menimbang bahwa meskipun permohonan a quo menjadi kewenangan Mahkamah dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.5.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan Pemohon dalam persidangan Pendahuluan pada 12 April 2022, dalam persidangan tersebut, Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU MK dan Pasal 41 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021) telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki dan memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan kedudukan hukum, posita, serta petitum permohonan. Bahwa Panel Hakim telah menasihatkan kepada Pemohon untuk dapat memperjelas permohonan, karena permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian undang-undang secara formil dan materiil dan dengan demikian seharusnya permohonan a quo dapat menguraikan secara jelas tentang kedudukan hukum Pemohon dengan secara khusus membedakan antara kedudukan hukum dalam permohonan pengujian formil dengan pengujian materiil. Begitu pula pada bagian posita dan petitum, sehingga permohonan yang diminta pada petitum, baik pada pengujian formil maupun pengujian materiil terdapat alasan yang diuraikan dengan jelas pada bagian posita. Selain itu, Panel Hakim menasihatkan agar Pemohon menyesuaikan format dan syarat-syarat Permohonan sesuai dengan UU MK dan PMK 2/2021 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 39/PUU-XX/2022, tanggal 12 April 2022]. [3.5.2] Bahwa Pemohon telah melakukan perbaikan permohonannya dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada 22 April 2022 yang kemudian disampaikan pokokpokok perbaikan permohonannya dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan dengan agenda memeriksa perbaikan permohonan pada 9 Mei 2022. Bahwa setelah mencermati lebih lanjut perbaikan permohonan Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Berkenaan dengan syarat permohonan pengujian undang-undang, Pasal 51 ayat (2) UU MK menyatakan: Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi: a. kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian; b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan c. alasan Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b diuraikan dengan jelas dan terperinci. Terhadap hal tersebut, selanjutnya Pasal 10 ayat (2) huruf b PMK 2/2021 menyatakan: Permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan/atau kuasa hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. … b. uraian yang jelas mengenai: 1. kewenangan Mahkamah, yang memuat penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara PUU sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan serta objek permohonan; 2. kedudukan hukum Pemohon, yang memuat penjelasan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau Perppu yang dimohonkan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; dan 3. alasan permohonan, yang memuat penjelasan mengenai pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang atau Perppu berdasarkan UUD 1945 dan/atau bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang atau Perppu bertentangan dengan UUD 1945. 4. Pemohon pada pokoknya mengajukan permohonan pengujian formil dan materiil terhadap UU 3/2022, namun Mahkamah menemukan fakta hukum yaitu pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat membedakan secara khusus dan menguraikan dengan jelas persoalan pertautan potensi kerugian Pemohon dengan adanya dugaan persoalan konstitusionalitas UU 3/2022 secara formil. Sedangkan dalam pengujian materiil, uraian pada bagian kedudukan hukum berisi argumentasi yang tidak relevan dengan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon. Oleh karena itu, uraian tersebut tidak dapat menjelaskan adanya kerugian hak konstitusional baik dalam pengujian formil maupun pengujian materiil. Dengan demikian, menurut Mahkamah terdapat ketidakjelasan dalam uraian mengenai kedudukan hukum Pemohon, baik kedudukan hukum dalam pengujian formil maupun dalam pengujian materiil. 5. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian formil, Pemohon tidak menguraikan dengan jelas persoalan proses pembentukan UU 3/2022 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon hanya menguraikan mengenai sejumlah isu yang menurut Pemohon seharusnya dipertimbangkan dalam proses pembentukan UU 3/2022. Hal ini menurut Mahkamah tidak relevan dengan alasan permohonan pengujian formil terhadap UU 3/2022. 6. Pada bagian alasan permohonan (posita) pengujian materiil, Pemohon tidak menguraikan sama sekali mengenai norma pasal yang diajukan untuk diuji serta alasan inkonstitusionalitasnya pasal tersebut. Pemohon hanya menguraikan norma-norma pasal yang diuji tanpa uraian yang jelas kaitannya dengan anggapan inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya dengan UUD 1945. Selain menimbulkan ketidakjelasan, uraian permohonan Pemohon juga menimbulkan pertentangan dengan petitum, di mana pasalpasal yang terdapat dalam posita pengujian materiil, tidak termuat dalam petitum, terlebih lagi, Pemohon dalam permohonannya tidak membedakan secara khusus antara petitum pengujian formil dengan petitum pengujian materiil. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan Pemohon tidak jelas pada bagian kedudukan hukum, posita dan petitum baik terhadap permohonan pengujian formil maupun pengujian materiil. Dengan demikian, secara keseluruhan permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur). [3.6] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo dan permohonan pengujian formil diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan, namun oleh karena permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur), maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kedudukan hukum dan pokok permohonan Pemohon.