Kajian, Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (SIPANLAK UU)

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

Tanggal
2022-12-01
Lokasi
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bengkulu, dan Provinsi Sulawesi Selatan

Pengelolaan keuangan haji erat kaitannya dengan penyelenggaraan ibadah haji bagi umat muslim. Hal ini terjadi karena ibadah haji yang merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Dikarenakan waktu tunggu untuk melaksanakan ibadah haji terbilang cukup lama dikarenakan kuota haji yang terbatas menyebabkan banyak jemaah haji yang mendaftar haji terlebih dahulu. Besarnya pendaftar ibadah haji ini lantas membuat penumpukan dana haji yang cukup besar juga. Maka dari itu diperlukan kepastian hukum yang menjamin pengelolaan keuangan haji untuk penyelenggeraan ibadah haji. Perlindungan dan jaminan pengelolaan keuangan haji umat muslim dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 Pengelolaan Keuangan Haji (UU Pengelolaan Keuangan Haji). UU Pengelolaan Keuangan Haji bertujuan sebagai payung hukum guna menjamin pengelolaan keuangan haji di Indonesia dimana pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh suatu lembaga pengelola keuangan haji. Selama kurang lebih 8 (delapan) tahun sejak UU Pengelolaan Keuangan Haji diundangkan belum terdapat permohonan pengujian undang-undang sehingga norma-norma dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji keseluruhannya tetap berlaku hingga saat ini. Namun, dalam pelaksanaan UU Pengelolaan Keuangan Haji masih terdapat beberapa permasalahan, baik dari sisi substansi, kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, serta dari sisi pemenuhan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Pengelolaan Keuangan Haji yang terjadi selama ini antara lain yaitu adanya perbedaan pengaturan UU Pengelolaan Keuangan Haji dengan UU terkait lainnya; kurangnya sinergitas antara Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dengan Kementrian Agama maupun DPR dalam hal penetapan biaya ibadah haji ; belum optimalnya pengawasan eksternal untuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan belum optimalnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan belum optimalnya fungsi dan tujuan penyelenggaraan Pengelolaan Keuangan Haji sebagaimana diamanatkan oleh UU Pengelolaan Keuangan Haji. Selama berlakunya UU Pengelolaan Keuangan Haji, terdapat beberapa undang-undang yang secara substansial terdapat perbedaan pengaturan dengan UU Pengelolaan Keuangan Haji, antara lain: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU PIHU); 3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Aspek Substansi Hukum a. Perbedaan Pengaturan dalam UU Pengelolaan Keuangan Haji dan UU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah 1) Perbedaan Definisi Penyelenggaraan Ibadah Haji Terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 1 angka 9 UU PKH dengan Pasal 1 angka 3 UU PIHU. Pasal 1 angka 9 UU PKH, menyebutkan Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah “…rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pelaksanaan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji…”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU PIHU, menyebutkan Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah “…kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan…”. Merujuk pada perbedaan dari kedua definisi tersebut menunjukkan bahwa UU PKH masih mengikuti rezim UU 13/2008 yang telah dicabut dengan UU PIHU yang berlaku sejak 29 April 2019. 2) Perbedaan Definisi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Ketentuan Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 1 angka 13 UU PIHU terkait dengan definisi biaya penyelenggaraan ibadah haji menimbulkan perbedaan pemahaman pada implementasinya. Terhadap persandingan kedua definisi tersebut dipahami ketentuan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang dimaksud dalam UU PKH tidak sejalan dengan yang terdapat dalam UU PIHU, melainkan pendefinisian biaya penyelenggaraan haji di dalam UU PKH justru memiliki makna Bipih sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 12 UU PIHU. Hal ini memberikan sebuah efek domino terhadap sumber BPIH yang termuat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU PKH dengan Pasal 44 UU PIHU, sehingga menimbulkan ketidakjelasan serta bertentangan dengan aspek transparan di dalam UU PKH. b. Penggabungan UU Pengelolaan Keuangan Haji dan UU Penyelenggaran Ibadah Haji dan Umrah Dengan Metode Omnibus Law Persoalan disharmoni pengaturan maupun ego sektoral penyelenggaraan keuangan haji dan pengelolaan keuangan haji menyebabkan tidak efektifnya penyelenggaraan haji. Hal ini terutama dalam melakukan pengelolaan haji yang belum selaras dengan arah kebijakan penyelenggaraan haji. Sehingga, diperlukan adanya penyelarasan UU PKH dan UU PIHU. Salah satu penyelesaian yang dapat dilakukan untuk meyelaraskan keduanya, dapat dilakukan dengan menggabungkan kedua undang-undang tersebut dengan menggunakan metode omnibus law atau dengan membentuk 1 (satu) undang-undang baru yang bersifat payung hukum (umbrella act) bagi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. 2. Aspek Struktur Hukum a. Mitigasi Risiko atas Tanggung Renteng dalam Penempatan dan/atau Investasi Keuangan Haji Penempatan dan/atau investasi keuangan haji merupakan salah satu bentuk pengelolaan keuangan haji untuk memperoleh nilai manfaat yang lebih besar. Namun, adanya batasan prinsip kehati-hatian dan keamanan membatasi BPKH dalam melakukan investasi keuangan haji. Hal ini juga disebabkan karena adanya pertanggungjawaban tanggung renteng apabila terjadi kesalahan atau kealpaan dalam investasi. Akibatnya BPKH hanya melakukan investasi pada aset-aset yang berisiko rendah untuk mengurangi kemungkinan kerugian. b. Pelibatan BPKH Dalam Penentuan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya dibiayai dari keuangan haji yang bersumber tidak hanya dari setoran calon Jemaah haji, tetapi juga bersumber dari nilai manfaat dan dana efisiensi penyelenggaraan ibadah haji tahun sebelumnya. Biaya penyelenggaraan ibadah haji tersebut ditetapkan setiap tahunnya oleh Presiden melalui mekanisme pengusulan oleh Kemenag kepada DPR RI. Pada penyelenggaraan ibadah haji tahun 2022, biaya penyelenggaraan ibadah haji reguler terjadi kenaikan biaya masyair sekitar Rp. 1,5 triliun, dan kenaikan tersebut diluar prediksi perhitungan Kemenag. Dalam pelaksanaannya selama ini, BPKH sebagai badan yang mengelola keuangan haji tidak pernah dilibatkan sejak awal dalam penyusunan perhitungan biaya penyelenggaraan haji. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perhitungan biaya penyelenggaraan ibadah haji yang kurang tepat. c. Perlunya Penyesuaian Kewenangan BPKH Aspek pengelolaan keuangan haji yang menjadi kewenangan BPKH pada praktiknya dianggap tumpang tindih/duplikasi peran dengan Dirjen PHU Kemenag. Kewenangan yang dilaksanakan BPKH selama ini dianggap dilakukan diluar kewenangannya, seperti mengusulkan anggaran tandingan dan melakukan pembahasan kontrak nego pesawat (penerbangan). Berdasarkan Pasal 22 UU PKH telah menugaskan kepada BPKH yang diantaranya adalah pengeluaran dan pertanggungjawaban keuangan haji. Selanjutnya Pasal 24 huruf b UU PKH juga telah memberikan kewenangan kepada BPKH untuk melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Atas dasar ketentuan tersebut, kewenangan BPKH dalam mengusulkan anggaran dan melakukan pembahasan kontrak nego pesawat tidak bertentangan dengan UU PKH. Namun demikian, hal tersebut dianggap sebagai permasalahan akibat adanya tumpang tindih/duplikasi peran kewenangan antara BPKH dengan Kemenag yang berasal dari ketidaktegasan batasan kewenangan BPKH dalam tindakan yang beririsan dengan pengeluaran penyelenggaraan ibadah haji. d. Pengawasan Eksternal Terhadap BPKH Pasal 54 UU PKH mengamanatkan pengawasan terhadap BPKH dilakukan secara internal dan eksternal. Pada sisi pengawasan dari pihak eksternal ditemukan catatan belum terpenuhinya aspek syariah. Hal ini ditandai dengan standar akutansi yang masih terbatas pada standar akutansi negara, meskipun terdapat kewenangan BPK untuk melakukan audit tersebut, tetapi BPKH yang merupakan entitas dengan keunikan. Sebagaimana das sollen BPKH pada dasarnya bersifat nirlaba, namun secara das sein di saat bersamaan BPKH turut mengelola dana jemaah haji melalui pendekatan korporatif. 3. Aspek Pendanaan a. Penempatan Investasi Keuangan Haji Pada Sektor Pelayanan Haji BPKH diberikan kewenangan melakukan penempatan dan/atau investasi sebagaimana diatur dalam UU PKH dengan tetap berpegang pada prinsip syariah, optimal, aman dan likuiditas sehingga tidak ada pembatasan dalam UU PKH terkait dengan investasi yang akan dilakukan oleh BPKH. Pembatasan yang ada hanya dalam hal kuota atau jumlah batas maksimum investasi langsung. Pengelolaan dana haji saat ini telah bergeser dari fokus sektor perbankan syariah dan memindahkannya ke instrumen investasi lain yang dianggap mampu memberikan imbal hasil yang lebih optimal, namun jumlahnya belum sesuai dengan ketentuan Pasal 27 PP PKH. b. Distribusi Nilai Manfaat Dana Haji Jemaah Tunggu Untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji di Tahun Berjalan Skema pembiayaan haji saat ini masih menggunakan skema distribusi nilai manfaat (biasa disebut subsidi dana haji) yang diambil dari hasil pengelolaan dana haji milik jemaah yang belum berangkat. Dari data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tahun 2021, terdapat distribusi nilai manfaat yang diberikan kepada jemaah sebesar lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total BPIH, sementara hasil pengelolaan keuangan haji rata-rata dalam 1 (satu) tahun hanya mencapai 7% (tujuh persen) sampai 8% (delapan persen). Skema distribusi nilai manfaat dan minimnya hasil pengelolaan keuangan haji/nilai manfaat berpotensi memberatkan pengelolaan keuangan haji dan dapat memicu risiko likuiditas keuangan haji. Besaran distribusi nilai manfaat dana haji yang mencapai lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total BPIH mempengaruhi kemampuan finansial secara rill serta dapat mempengaruhi syarat istithaah jemaah haji. Kondisi demikian dikhawatirkan memicu pengelolaan keuangan haji mengarah kepada Skema Ponzi. 4. Aspek Budaya Hukum a. Tanggapan Masyarakat Atas Usulan Nama Calon Anggota BPKH UU PKH telah membuka ruang keterlibatan masyarakat dalam pemilihan calon anggota Badan Pelaksana dan calon anggota Dewan Pengawas BPKH yang telah memenuhi prinsip transparan karena membuka peluang turut dilibatkannya masyarakat sebagai pemilik dana haji, dan tentu akan meningkatkan kepedulian masyarakat atas pengelolaan keuangan haji. Namun demikian, masyarakat masih belum mengetahui adanya mekanisme penerimaan atau respon dari tanggapan masyarakat atas calon anggota Badan Pelaksana dan calon anggota Dewan Pengawas BPKH, dan juga tidak pernah dimintai tanggapan sebagai bagian dari masyarakat. b. Kurangnya Sosialisasi Pengeloaan Dana Haji Kepada Calon Jemaah Haji Pengetahuan masyarakat terkait pengelolaan keuangan haji hanya sebatas besaran Bipih yang ditetapkan DPR RI dan Kemenag, dan tidak mengetahui mengenai pengelolaan keuangan haji. Hal ini dikarenakan Kemenag selaku operator maupun BPKH selaku pengelola keuangan haji kurang memberikan sosialisasi dan tidak mematuhi prinsip keterbukaan kepada calon jemaah haji terkait dana pengelolaan keuangan haji. Di sisi lain, selain kurangnya sosialiasi penyebab ketidaktahuan masyarakat dikarenakan sikap abai masyarakat terhadap pengelolaan keuangan haji yang berimplikasi pada pengetahuan masyarakat terhadap jumlah nilai manfaat dari setoran awal yang diperoleh setiap calon jemaah haji. Hal demikian mempengaruhi pengetahuan masyarakat terhadap jumlah nilai manfaat dari setoran awal yang diperoleh calon jemaah haji. Seharusnya BPKH atau Kemenag memberikan kemudahan dan membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat melalui platform digital untuk dapat mengetahui optimalisasi atau nilai manfaat dari setoran awal calon jemaah haji. 5. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila Pancasila sebagai dasar negara mempunyai nilai-nilai yang harus diterapkan dalam bernegara. Munculnya berbagai persoalan menunjukkan bahwa telah tergerusnya nilai-nilai Pancasila dalam penerapannya. Oleh karena itu, pengarusutamaan nilai-nilai Pancasila sangat diperlukan untuk menyelaraskan tujuan negara. Dalam konteks materi muatan dalam UU PKH perlu untuk ditinjau kembali, terutama berkaitan dengan persoalan persoalan yang menimbulkan adanya pertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, antara lain: a. Aspek Substansi 1) Adanya perbedaan definisi dalam penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana pengaturan dalam Pasal 1 angka 9 UU PKH dan Pasal 1 angka 3 UU PIHU memberikan dampak ketidakselarasan dalamimplementasinya. Ketidakselarasan menyebabkan adanyapertentangan dengan sila keempat Pancasila, sebab pada dasarnya pembentukan suatu aturan harus memperhatikan hikmat kebijaksanaan. 2) Perbedaan definisi BPIH dalam Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 13 UU PIHU, menyebabkan adanya multitafsir. Ketidakharmonisan pasal pasal tersebut menimbulkan ketidakselarasan dalam pelaksanaannya, terutama berkaitan dengan pemaknaan Biaya penyelenggaraan haji. Sehingga, hal ini perlu diselaraskan agar sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, terutama berkaitan dengan Sila Kelima Pancasila. b. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan 1) Pengawasan terhadap BPKH dilakukan secara internal dan eksternal. Adapun pengawasan internal dilaksanakan oleh Dewan Pengawas BPKH, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh BPK. Namun, hingga saat ini belum ada pengawasan eksternal yang khusus mengawasi standar pelaksanaan akuntansi yang berbasis syariah. Oleh sebab itu, diperlukan adanya penambahan mekanisme audit yang diserahkan kepada pihak yang telah tersertifikasi syariah. Hal ini mengingat rentanya praktik riba dalam pasar keuangan, yang tentu saja menimbang pada prinsip-prinsip dalam UU PKH, maka bertentangan dengan sila Pertama Pancasila. 2) Pasal 53 ayat (1) UU PKH rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan terhadap tanggung jawab renteng akibat ketiadaan sanksi. Hal ini tidak sesuai dengan nilai sila keempat Pancasila. Selain itu, sangat jelas bahwa Pasal 53 ayat (2) UU PKH telah mengatur pengecualian dari tanggungjawab renteng berdasarkan indikator/alasan tertentu. Namun, di sisi lain UU PKH maupun ketentuan turunanya tidak ada memberikan mekanisme yang spesifik untuk menjelaskan mengenai poin-poin ataut rincian guna lepas dari tanggung jawab tanggung renteng.

1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. Harmonisasi rumusan definisi penyelenggaraan ibadah haji dalam Pasal 1 angka 9 UU PKH dengan Pasal 1 angka 3 UU PIHU. b. Harmonisasi pengaturan terkait rumusan istilah BPIH dan Bipih pada Pasal 1 angka 12 UU PKH dengan Pasal 1 angka 12 UU PIHU diikuti pengaturan terkait sumber BPIH dalam Pasal 7 ayat (1) UU PKH dengan Pasal 44 UU PIHU. c. Pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan penyatuan UU PKH dan UU PIHU dengan metode omnibus law atau dengan membentuk 1 (satu) undang-undang baru (umbrella act) penyelenggaraan ibadah haji dan umrah sebagai bentuk penyelarasan materi muatan maupun kelembagaan dalam penyelenggaraan haji dan pengelolaan dana haji. 2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. Mendorong BPKH untuk melakukan penempatan dan/atau investasi keuangan haji pada sektor high risk dengan berdasarkan mitigasi risiko yang telah ditetapkan sebagai jaring pengaman potensi kerugian. b. Pelibatan BPKH dalam penyusunan perhitungan biaya penyelenggaraan ibadah haji hingga penetapannya agar dapat mengantisipasi kenaikan biaya masyairdengan menyediakan kebutuhan pendanaan penyelenggaraan ibadah haji secara cepat dan tepat. c. Tugas BPKH yang dilaksanakan untuk menjalankan kewenangannya baik yang bersinggungan dengan Kemenag maupun kewenangan-kewenangan lainnya perlu diinventarisir, dipisahkan secara tegas tugas dan kewenangannya, serta diatur secara jelas dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. d. Pelibatan KAP sebagai pengawas eksternal supaya terpenuhi prinsip syariahdengan penggunaan standar akutansi syariah. 3. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan: a. Pengaturan kembali penempatan dan/atau investasi dana haji pada sektor-sektor yang terkait langsung dengan pelayanan haji seperti hotel/pemondokan, pesawat, dan ready meal and services sehingga dapat menghemat biaya penyelenggaran haji dan umrah yang selama ini masih bergantung pada provider di Arab Saudi. b. Nilai setoran awal calon jemah haji perlu dinaikkan agar dapat menyeleksi calon jemaah haji yang istitha’ah (mampu secara finansial), namun perlu memperhatikan kemampuan seluruh masyarakat muslim Indonesia. Selain itu, perlu optimalisasi investasi keuangan haji dengan instrumen investasi langsung maupun investasi tidak langsung agar menghindari pengelolaan keuangan haji menjadi Skema Ponzi. 4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: a. Sosialisasi Pasal 37 UU PKH secara masif dan komprehensif dengan melibatkan lebih banyak media terutama media-media besar nasional, agar informasi dapat diterima secara lebih luas dan mendalam oleh masyarakat. b. Sinergitas antara BPKH, Kemenag, serta Bank Penerima Setoran untuk memberikan sosialisasi edukasi dan diseminasi yang berkelanjutan perihal pengelolaan keuangan haji kepada calon jemaah haji. 5. Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: a. Aspek Substansi Perlu untuk mengharmonisasikan definisi agar tercipta kepastian hukum dalam penyelenggaraan ibadah haji, sehingga secara penegakan hukum dan penerapan hukumnya tidak terjadi mis-komunikasi dan mis-interpretasi. b. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan 1) Perlu menambahkan auditor syariah yang telah tersertifikasi guna melakukan audit atas akuntansi BPKH dalam pengelolaan keuangan haji. 2) Pengaturan terkait tanggung renteng masih diperlukan guna memberikan pertanggungjawaban bagi BPKH dalam melaksanakan penempatan dan/atau investasi dengan hati-hati. Hal tersebut penting karena aturan tanggung renteng Pasal 53 UU PKH memberikan syarat-syarat pengecualian untuk lepas dari tanggungjawab ini.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM

Tanggal
2022-12-01
Lokasi
Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Lampung

Salah satu pemenuhan hak asasi manusia di hadapan hukum adalah hak atas Bantuan Hukum. Hak atas Bantuan Hukum telah diterima secara universal yang dijamin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) atau ICCPR. Pasal 16 dan Pasal 26 ICCPR menjamin semua orang berhak memperoleh perlindungan hukum serta harus dihindarkan dari segala bentuk diskriminasi. Sedangkan Pasal 14 ayat (3) ICCPR, memberikan syarat terkait Bantuan Hukum yaitu: 1) kepentingan-kepentingan keadilan, dan 2) tidak mampu membayar Advokat. Selama ini pemberian Bantuan Hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau kelompok orang miskin, sehingga mereka kesulitan untuk mengakses keadilan karena terhambat oleh ketidakmampuan mereka untuk mewujudkan hak-hak konstitusional mereka. Sehingga dianggap penting oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bankum) yang diharapkan lebih memberikan jaminan terhadap hak-hak konstitusional orang atau orang kelompok miskin. Dalam dinamikanya, tujuan dari penyelenggaraan UU Bankum yaitu menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima Bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan; mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum; menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia; dan mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 3 UU Bankum yang dirasa belum sepenuhnya terwujud, karena masih terdapat potensi disharmoni UU Bankum dengan undang-undang terkait lainnya, masih belum meratanya akses Penerima Bantuan Hukum, serta masih terdapat keterbatasan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum.

1. Aspek Substansi Hukum a. Perbedaan Pengaturan Penyelenggaraan Bantuan Hukum antara UU Bankum dengan KUHAP dan UU Advokat Penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam UU Bankum memiliki perbedaan pengaturan dengan KUHAP dan UU Advokat, yaitu sebagai berikut: 1) Pasal 56 ayat (1) KUHAP memberikan batasan ancaman pidana bagi masyarakat miskin yang dapat diberikan Bantuan Hukum yaitu hanya yang dikenai ancaman pidana lebih dari 5 (lima) tahun, sedangkan Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Bankum menyatakan bahwa Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang diukur dari dapat/tidaknya seseorang memenuhi hak dasar (meliputi hak atas pangan, sandang, layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan/atau perumahan) secara layak dan mandiri. 2) Pasal 1 angka 2 dan angka 8 UU Advokat memberikan konsep pemberian Bantuan Hukum cuma-cuma oleh advokat dengan bentuk Pro Bono sebagai kewajiban yang melekat pada individu advokat sebagai wujud sumbangsih dari keprofesiannya kepada negara dan oleh karenanya Pro Bono tidak diberikan honorarium dari si pencari keadilan maupun dari negara. Hal ini berbeda dengan pemberian Bantuan Hukum (legal aid) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dilaksanakan oleh OBH terakreditasi untuk memberikan Bantuan Hukum kepada orang atau kelompok orang miskin dengan didanai oleh anggaran negara (APBN, hibah, dan sumber lain yang sah) yang diatur dalam UU Bankum. Perbedaan pengaturan ini berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman masyarakat, OBH, praktisi hukum, advokat, dan aparat penegak hukum dalam melaksanakan pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat miskin/masyarakat tidak mampu. Perbedaan pemahaman ini yang seringkali menimbulkan multiinterpretasi dalam implementasinya. b. Tidak Adanya Definisi Frasa “Jasa Hukum” dalam UU Bantuan Hukum Frasa “jasa hukum” dalam Pasal 1 angka 1 UU Bankum tidak disertai penjelasan ruang lingkup maupun bentuknya, serta dalam batang tubuh UU Bankum juga tidak terdapat pengertian mengenai jasa hukum. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan ketidakjelasan dan melahirkan potensi multitafsir antara yang dimaknai oleh Pemberi Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, maupun Penyelenggara Bantuan Hukum, khususnya ketika dikaitkan dengan penggunaan kata “cuma-cuma”. Timbulnya multitafsir terhadap pemaknaan sebuah norma tentu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan pada akhirnya akan menghambat tujuan yang hendak dicapai oleh UU Bankum. Oleh karena itu, perlu adanya pemberian batasan pengertian atau membuat definisi secara khusus terhadap frasa “jasa hukum” dalam bagian Ketentuan Umum dalam UU Bankum guna memperjelas frasa tersebut dan menghindari adanya multitafsir dalam implementasinya c. Definisi Penerima Bantuan Hukum yang Dimaknai Multitafsir dalam Implementasinya Meskipun ketentuan Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 5 UU Bankum hanya mengatur Bantuan Hukum untuk orang atau kelompok orang miskin, namun dalam implementasinya masih terdapat permasalahan berupa adanya multitafsir dalam pemaknaan definisi Penerima Bantuan Hukum. Terdapat dualisme pandangan terkait Penerima Bantuan Hukum pada UU Bankum sebagai berikut: 1) Bantuan Hukum hanya diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum kategori orang atau kelompok orang miskin sebagaimana telah diatur UU Bankum; 2) Bantuan Hukum diberikan kepada Penerima Bantuan Hukum kategori kelompok rentan (selain orang atau kelompok orang miskin). Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan mendasari terjadinya multitafsir dan dualisme pandangan tersebut. Pertama, frasa “Bantuan Hukum” pada UU Bankum beririsan dengan frasa “Bantuan Hukum” yang diberikan ke Penerima Bantuan Hukum selain orang atau kelompok orang miskin pada undang-undang terkait lainnya; Kedua, terdapat kebutuhan pemberian Bantuan Hukum terhadap kelompok rentan lainnya berdasarkan kendala implementasi di lapangan. Dalam implementasinya terdapat orang yang tidak termasuk kategori miskin sebagaimana diatur Pasal 5 UU Bankum, namun secara finansial tidak mampu membayar jasa advokat sehingga perlu ada perluasan untuk mengakomodir hal tersebut. Terdapat potensi timbulnya kerancuan terkait penetapan definisi dari golongan miskin tersebut, belum jelasnya batasan parameter kategori miskin yang ditetapkan UU Bankum beserta peraturan turunannya, serta pernyataan status miskin yang disahkan hanya melalui surat pernyataan miskin 2. Aspek Struktur Hukum Dari 619 (enam ratus sembilan belas) Pemberi Bantuan Hukum di 34 (tiga puluh empat) provinsi di Indonesia, masih terdapat disparitas jumlah OBH di Indonesia dengan pemerataan persebarannya. Terdapat 279 (dua ratus tujuh puluh sembilan) kabupaten/kota dari 514 (lima ratus empat belas) kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang memiliki Pemberi Bantuan Hukum. Hal tersebut berarti bahwa masih terdapat 235 (dua ratus tiga puluh lima) kabupaten/kota yang belum memiliki Pemberi Bantuan Hukum. Persebaran OBH yang belum merata menyebabkan penerapan UU Bankum menjadi tidak efektif dan efisien. 3. Aspek Pendanaan a. Belum Memadainya Alokasi APBN dan APBD dalam Penyelenggaraan Bantuan Hukum Pasal 16 UU Bankum mengamanatkan bahwa Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang Bankum dibebankan kepada APBN. Pemerintah melalui Kemenkumham wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum tersebut. Dalam implementasinya, pendanaan Bantuan Hukum masih terkendala dengan belum optimalnya alokasi APBN untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum. Alokasi APBN dalam standar pembiayaan Bantuan Hukum secara nasional khususnya terhadap perkara litigasi dianggap belum memadai serta belum sesuai kondisi riil dan dinamika perkembangan masyarakat. Pendanaan Bantuan Hukum masih belum memadai karena terdapat penyamarataan penganggaran pelaksanaan kegiatan Bantuan Hukum tanpa memperhatikan kondisi geografis, kondisi sosial Penerima Bantuan Hukum, jenis kasus, dan kebutuhan Penerima Bantuan Hukum. Belum optimalnya alokasi pendanaan pada APBN tersebut berimplikasi pada tidak terpenuhinya seluruh komponen pembiayaan dalam pemberian Bantuan Hukum dan berdampak pada kualitas Bantuan Hukum yang diberikan. Pemanfaatan APBD sebagai upaya menyokong APBN dalam menyelenggarakan Bantuan Hukum juga masih belum optimal. Masih banyak provinsi dan kabupaten/kota dengan kemampuan APBD besar namun belum menerbitkan perda Bankum. Selain itu banyak Pemerintah Daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang telah menetapkan perda Bankum namun tidak diikuti dengan alokasi anggaran APBDnya sehingga penyelenggaraan bankum di daerahnya tidak dapat berjalan. Pembiayaan ganda (double reimbursement) oleh OBH juga seringkali terjadi disebabkan belum terintegrasinya data OBH yang ada antara data di pusat dan di daerah b. Potensi Double Reimbursement karena Adanya Pos Anggaran Penyelenggaraan Bantuan Hukum Di Beberapa K/L dan Pemerintahan Daerah Dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum, Pemerintah melalui Kemenkumham menggunakan skema pembiayaan dengan sistem reimbursement terhadap Organisasi Bantuan Hukum yang sudah terverifikasi dan terakreditasi. Pada praktiknya, ditemukan sebuah permasalahan dalam pelaksanaan sistem reimbursement atau penggantian biaya pendahuluan yakni adanya potensi double reimbursement yang disebabkan adanya pos anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum di beberapa K/L dan Pemerintahan Daerah. Praktik double reimbursement telah ditemukan di suatu daerah, terutama praktik ini kerap terjadi pada daerah yang memiliki perda Bantuan Hukum dan Pemerintah Daerahnya menganggarkan kegiatan Bantuan Hukum dari APBD. Sumber pendanaan yang datang dari beberapa pintu tersebut menyebabkan adanya OBH yang memanfaatkan situasi tersebut dengan mengajukan reimbursement kepada Kanwil Kemenkumham di wilayahnya melalui SIDBAKUM dan bersamaan dengan itu OBH tersebut juga mengajukan reimbursement kepada Pemda setempat. 4. Aspek Sarana dan Prasarana a. Permasalahan Penerbitan SKTM Pengurusan surat keterangan miskin atau SKTM merupakan syarat utama bagi calon Penerima Bantuan Hukum. Untuk mendapatkan surat keterangan miskin atau SKTM, calon Penerima Bantuan Hukum harus melalui tahapan proses/alur yang cukup rumit dan memerlukan waktu dalam pengurusannya. Hal ini menjadi kendala pada saat calon Penerima Bantuan Hukum belum memiliki domisili, tidak memiliki tempat tinggal, tidak mempunyai keluarga, dan sedang dalam status sebagai tahanan. Selain itu, belum adanya pemahaman yang sama menurut pihak-pihak yang mempunyai kewenangan menerbitkan surat keterangan miskin terkait parameter atau kriteria orang miskin seringkali juga menyebabkan penyalahgunaan SKTM yang tidak tepat sasaran. b. Kendala Pelaksanaan VERASI Keberadaan OBH sebagai sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum harus memenuhi berbagai macam persyaratan serta prosedur untuk memenuhi kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum melalui VERASI sebagaimana diatur melalui Pasal 7 UU Bankum. Dalam pelaksanaan VERASI terdapat beberapa kendala, antara lain pertama, keterbatasan jarak, akses, dan jaringan pada saat proses pelaksanaan pemeriksaan faktual VERASI. Kedua, implementasi pemenuhan persyaratan minimal 10 (sepuluh) kasus tersebut menjadi hambatan bagi sebagian OBH yang tidak banyak menangani kasus. Ketiga, terdapat 2 (dua) pandangan mengenai jangka waktu pelaksanaan VERASI, yaitu pelaksanaan VERASI sebaiknya dilaksanakan setiap tahun dan pelaksanaan VERASI tetap dilaksanakan setiap 3 (tiga) tahun. Ketiga kendala tersebut menjadi hambatan pelaksanaan VERASI sebagai sarana dan prasarana penyelenggaraan Bantuan Hukum. 5. Aspek Budaya Hukum Belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Bantuan Hukum disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat miskin terhadap pelaksanaan Bantuan Hukum yang diatur dalam UU Bankum. Penyebab kurangnya pemahaman masyarakat tersebut disebabkan karena masih rendahnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemangku kepentingan. Kurangnya sosialisasi ini disebabkan karena sulitnya menjangkau daerah yang memiliki kondisi geografis tertentu dan alokasi anggaran sosialisasi yang masih minim. Selain itu, peran sosialisasi Pemerintah Daerah juga belum optimal karena belum seluruh daerah menerbitkan perda Bantuan Hukum. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Bankum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sila kedua dan sila kelima Pancasila, antara lain yaitu: pengaturan batasan Penerima Bantuan Hukum yang belum mengakomodir kelompok masyakat rentan tidak sesuai dengan sila kedua Pancasila; pengaturan lingkup jasa hukum secara cuma-cuma belum termasuk biaya operasional pengurusan perkara yang tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan lingkup Bantuan Hukum yang belum mengakomodir perkara-perkara uji materiil di MK dan di MA serta perkara hukum sektor lainnya tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan ketidakharusan daerah dalam mengalokasikan APBDnya untuk menyelenggarakan Bantuan Hukum di daerah belum sesuai dengan sila kelima Pancasila; pengaturan pelaksanaan sosialisasi sebagai pemenuhan pemberian informasi penyelenggaraan Bantuan Hukum cuma-cuma yang berasal dari Pemerintah tidak sesuai dengan sila kelima Pancasila; dan pengaturan jangka waktu pelaksanaan VERASI setiap 3 (tiga) tahun sekali yang memberikan disparitas jumlah sebaran OBH yang terakreditasi belum sesuai dengan sila kelima Pancasila.

1. Aspek Substansi Hukum a. Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan subjek Penerima Bantuan Hukum yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Bankum dan Pasal 56 ayat (1) KUHAP terkait dengan batasan ancaman pidana yang dikenakan. b. Sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan pemberian Bantuan Hukum yang diatur dalam Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 jo. Pasal 16 dan Pasal 17 UU Bankum dengan pelaksanaan Pro Bono sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 8 UU Advokat. c. Penerapan asas lex specialis terhadap penyelenggaraan Bantuan Hukum berdasarkan UU Bankum sehingga pelaksanaan Bantuan Hukum yang diatur berbeda dalam Undang-Undang lainnya tetap berlaku berdasarkan Undang-Undang sektoral yang mengaturnya dan tidak menimbulkan multiinterpretasi. d. Pemberian batasan pengertian atau definisi secara khusus terhadap frasa “jasa hukum” dalam bagian Ketentuan Umum UU Bankum guna memperjelas frasa tersebut dan menghindari adanya multitafsir dalam implementasinya. e. Perumusan yang lebih jelas terkait definisi Penerima Bantuan Hukum. Apabila ke depan UU Bankum tetap masih berfokus pada semangatnya memberi Bantuan bagi orang atau kelompok orang miskin, maka perlu dimunculkan secara tegas dari judul undang-undang dan frasa Bantuan Hukum orang miskin. Sedangkan, apabila ke depan dilakukan perluasan Penerima Bantuan Hukum bagi kelompok rentan lainnya, maka hal tersebut akan lebih selaras dengan undang-undang lain yang juga mengakomodir wajibnya kelompok rentan diberikan Bantuan Hukum secara cuma-cuma serta adanya fakta implementasi terkait kebutuhan perluasan Penerima Bantuan Hukum. 2. Aspek Struktur Hukum a. Melakukan pengaturan formasi Pemberi Bantuan Hukum dalam setiap kabupaten/kota sebagai batas jumlah Penerima Bantuan Hukum ketika pendaftaran VERASI; b. Kerjasama BPHN Kemenkumham dengan OBH berkaitan dengan pemberian database keanggotaan advokat di Indonesia; c. Evaluasi pelaksanaan VERASI yang memudahkan OBH daerah dalam memenuhi persyaratan dengan memperhatikan situasi khusus kedaerahan tanpa menurunkan kualitas substansi Bantuan Hukum itu sendiri. Misalnya mempertimbangkan kembali persyaratan kewajiban OBH memiliki kantor sekretariat. d. Pemanfaatan sumber daya lainnya, seperti paralegal. 3. Aspek Pendanaan a. Peningkatan alokasi APBN dengan memperhatikan kondisi permasalahan di lapangan. b. Sinergitas pembiayaan Bantuan Hukum Pemerintah dengan Pro Bono advokat; dan layanan hukum skema Perma 1/2014 berkaitan dengan pedoman pemberian layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan. c. Optimalisasi pemanfaatan APBD didukung dengan komitmen setiap daerah. d. Pemerintah Pusat dalam hal ini Kemenkumham perlu mendorong Pemerintah Daerah yang kemampuan APBDnya cukup besar untuk segera menerbitkan perda penyelenggaraan Bantuan Hukum dan kepada daerah yang telah menerbitkan perda Bantuan Hukum untuk segera menganggarkan APBDnya. e. Optimalisasi pemanfaatan hibah dan sumbangan. f. Penguatan dalam aspek pengawasan atau monitoring yang disertai sinergitas antara K/L terkait yang memiliki kewenangan dalam penganggaran Bantuan Hukum guna menghindari potensi double reimbursement. g. Replikasi Aplikasi SIDBANKUMDA milik Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar dapat dimiliki oleh pemerintah daerah lainnya yang dalam hal ini telah memiliki Perda Bantuan Hukum dan menganggarkan kegiatan Bantuan Hukum dari APBD. h. Integrasi data secara berkala terhadap aplikasi SIDBANKUM dan SIDBANKUMDA guna menghindari potensi double reimbursement. 4. Aspek Sarana dan Prasarana a. Sosialisasi terhadap syarat dan proses penerbitan surat keterangan miskin dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan penerbitan surat keterangan miskin atau SKTM. b. Peningkatan pengawasan dalam penerbitan SKTM. c. Optimalisasi sinergi tim verifikator untuk memastikan pemeriksaan faktual OBH di daerah yang memiliki kendala geografis tertentu tetap dilaksanakan dengan memanfaatkan akademisi dan/atau tokoh masyarakat sebagai salah satu unsur Panitia VERASI di daerah, serta memanfaatkan perlibatan OPD khususnya bagi daerah yang telah memiliki Perda Bantuan Hukum. d. Melakukan penyesuaian persyaratan minimal jumlah kasus OBH dengan kondisi jumlah perkara di daerah. e. Evaluasi jangka waktu VERASI didukung Cost and Benefit Analysis yang hasilnya dimanfaatkan untuk bahan pengambilan kebijakan dalam menentukan jangka waktu VERASI yang tepat. 5. Aspek Budaya Hukum a. Peningkatan sosialisasi terkait aplikasi LSC khususnya bagi masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam mengakses aplikasi tersebut. b. Penambahan Posyankumhamdes di seluruh desa agar dapat menjangkau keberadaan masyarakat miskin di pedesaan. c. Peningkatan dukungan anggaran sosialisasi agar dapat menjangkau masyarakat di seluruh provinsi dan kabupaten/kota. d. Peningkatan kerjasama OBH dan akademisi untuk menumbuhkembangkan kesadaran mahasiswa fakultas hukum mengambil peran dalam pelaksanaan Bantuan Hukum. 6. Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila a. Harmonisasi dan sinkronisasi nomenklatur Penerima Bantuan Hukum yang mampu mengakomodir kelompok/masyarakat rentan. b. Penegasan nomenklatur dan ruang lingkup “Jasa Hukum” yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum yang sesuai dengan perkembangan dinamika hukum di Indonesia termasuk perihal aktifitas aktifitas yang sifatnya operasional. c. Penambahan ruang lingkup perkara uji materiil di MK dan di MA, perkara hukum di bidang perburuhan, perkara hukum di bidang lingkungan, dan perkara hukum di bidang lainnya sehingga penyelenggaraan bantuan hukum bersifat holistik. d. Perumusan formulasi terkait bentuk-bentuk penyelenggaraan bantuan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah agar tidak terjadi conflict of interest antara pusat-daerah. e. Peningkatan sosialisasi guna terpenuhinya aksesibilitas terhadap informasi Bantuan Hukum. f. Perumusan formulasi yang tepat terhadap pola VERASI yang tepat sesuai dengan kebijakan anggaran.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA

Tanggal
2022-12-01
Lokasi
Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Lampung, dan Provinsi Jawa Tengah

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan dasar negara dalam menjalankan kehidupan bernegara. Sila Kedua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta Sila Kelima Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mencerminkan nilai-nilai yang menjamin hak masyarakat mendapatkan keadilan, antara lain berupa pemerataan kesejahteraan. Selanjutnya, Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyatakan bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip negara kesejahteraan (welfare state), oleh karenanya UUD NRI Tahun 1945 telah menjamin hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. Setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya. Setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu diadakan upaya untuk membina norma-norma perlindungan kerja. Pembinaan norma-norma itu perlu diwujudkan dalam Undang-Undang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, industrialisasi, teknik dan teknologi. Hal tersebut menjadi latar belakang dibentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (UU Keselamatan Kerja).

1. Aspek Substansi Hukum a. Belum Diintegrasikannya Lingkup Kesehatan Kerja dalam UU Keselamatan Kerja Kondisi saat ini, pengaturan mengenai kesehatan kerja dan keselamatan kerja cenderung bersifat berdiri sendiri-sendiri sehingga rawan terjadi tumpang tindih pengaturan dan kewenangan, utamanya antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Adapun ruang lingkup yang diatur dalam Pasal 2 UU Keselamatan Kerja kurang mengatur upaya di bidang kesehatan kerja. Selain itu UU Keselamatan Kerja juga belum mengatur lingkup pengaturan bagi pekerja daring mengingat adanya kemajuan informasi dan teknologi saat ini memungkinkan adanya pekerja yang bekerja di dunia virtual (metaverse). b. Pengaturan Syarat-Syarat Keselamatan Kerja yang Terlalu Teknis Terdapat tumpang tindih dan disharmoni peraturan perundang-undangan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja antara peraturan pelaksana Pasal 3 ayat (1) UU Keselamatan Kerja dan Pasal 164 sampai Pasal 166 UU Kesehatan perihal syarat atau standar keselamatan dan kesehatan kerja yakni Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Lingkungan Kerja dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkantoran dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2016 tentang Standar dan Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri. Harmonisasi peraturan pelaksana tersebut yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja tidak sesuai dengan kaidah pembentukan peraturan perundang undangan yang diatur Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP). c. Tidak Dapat Dipungutnya Retribusi Dalam Rangka Pengawasan Keselamatan Kerja Ketentuan Pasal 7 UU Keselamatan Kerja tidak lagi dapat dilaksanakan karena retribusi tidak dapat dipungut untuk layanan pengawasan norma keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Peraturan perundangan yang merupakan amanat yang didelegasikan oleh ketentuan tersebut telah dicabut dan tidak berlaku sehingga tidak terdapat pengaturan teknis salah satunya mengenai penetapan tarif dan mekanisme pemungutan retribusi. Selain itu kewajiban retribusi semakin membebani perusahaan dalam mengalokasi anggaran biaya K3. d. Perlunya Perubahan Pengaturan Sanksi dan Penghargaan dalam UU Keselamatan Kerja Perumusan norma mengenai ketentuan pidana dalam Pasal 15 UU Keselamatan Kerja tidak memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan karena terletak dalam Bab XI Ketentuan Ketentuan Penutup dan tidak menyebutkan secara tegas pasal-pasal yang terhadap pelanggarannya dapat diberikan ancaman pidana kurungan atau denda. Kemudian ancaman pidana kurungan selama-lama 3 (tiga) bulan dan denda setinggi-tinggi Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dan tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh pelanggaran UU Keselamatan Kerja. Sebagai bentuk pemenuhan sifat preventif dan prinsip ultimum remidium, UU Keselamatan Kerja belum mengatur mengenai pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran administratif dalam pemenuhan syarat K3. Selain itu UU Keselamatan Kerja juga belum mengatur mengenai reward yang dapat diberikan kepada perusahaan yang patuh dalam menerapkan persyaratan K3. 2. Aspek Struktur Hukum a. Inefisiensi Pelaksanaan Kewenangan Pengawasan Ketenagakerjaan Sejak dibentuknya UU Pemerintahan Daerah, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan. Berdasarkan Huruf G Lampiran UU Pemerintahan Daerah, urusan pemerintahan konkuren sub-bidang pengawasan ketenagakerjaan hanya dibagi antara Pemerintah Pusat (menetapkan sistem pengawasan ketenagakerjaan dan mengelola tenaga pengawas ketenagakerjaan) dan pemerintah daerah provinsi (menyelenggarakan pengawasan ketenagakerjaan). Hal tersebut menyebabkan adanya kendala dalam pengawasan ketenagakerjaan, yaitu keterbatasan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, kondisi geografis dan luasnya wilayah, keterbatasan peralatan, dan tidak terdapat rentang kendali langsung antara Kemenaker dengan pengawas ketenagakerjaan di daerah. b. Kurangnya Koordinasi Para Pemangku Kepentingan Dalam Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bahwa berdasarkan UU Keselamatan Kerja, Kemenaker merupakan leading sector dari penyelenggaraan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Dalam implementasinya, pelaksanaan terkait dengan keselamatan kerja, tidak hanya menjadi ranah dari Kemenaker, namun terdapat pula kementerian/lembaga (K/L) lainnya yang mengatur terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan Kemenkes. Masing-masing K/L memiliki peraturan tersendiri sebagai acuan dalam penerapan keselamatan dan kesehatan kerja di masing-masing sektornya. Adanya berbagai pengaturan terkait keselamatan dan kesehatan kerja dari berbagai sektor di atas menimbulkan munculnya ego sektoral antar kementerian yang menyebabkan sejumlah masalah. c. Pelaksanaan Pelaporan Kecelakaan Kerja Perusahaan memiliki kewajiban untuk melaporkan setiap kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaannya. Dalam Pasal 11 UU Keselamatan Kerja, pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. Tata cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan kerja juga telah diatur di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor PER-03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan. Meskipun pelaporan kecelakaan kerja telah diatur dalam UU Keselamatan Kerja beserta peraturan pelaksanaannya, dalam implementasinya pengurus maupun perusahaan masih enggan untuk melaporkan terjadinya kecelakaan kerja yang antara lain disebabkan oleh permasalahan administrasi dan tidak adanya standardisasi pelaporan kecelakaan kerja. 3. Aspek Pendanaan Pemenuhan syarat K3 membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan hal tersebut menjadi salah satu alasan perusahaan tidak patuh sepenuhnya terhadap persyaratan K3. Pada tataran implementasi K3 perkantoran, khususnya di perkantoran milik pemerintah, terdapat pemerintah daerah yang belum menganggarkan secara khusus dalam APBD untuk mendukung syarat K3 perkantoran. Namun ada pula daerah provinsi yang telah menyediakan anggaran rutin dalam APBD tetapi masih kurangnya komitmen aparat untuk mengimplementasikan anggaran tersebut. Dalam konteks pengawasan, jumlah pegawai pengawas tidak cukup dibandingkan dengan jumlah perusahaan dan belum seluruh provinsi memiliki kelembagaan pengawasan ketenagakerjaan. 4. Aspek Sarana Prasarana a. Permasalahan Kuantitas dan Kualitas Sumber Daya Manusia dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terdapat permasalahan kekurangan jumlah kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang K3 jika dibandingkan dengan jumlah perusahaan atau usaha yang ada di Indonesia. Selain persoalan kuantitas juga terdapat permasalahan kualitas SDM karena sejumlah hal yaitu: 1) biaya pelatihan ahli K3 yang cukup tinggi; 2) tantangan menyesuaikan kurikulum pelatihan dengan kebutuhan lapangan yang berkembang cepat; 3) masih ada perusahaan yang tertutup dalam hal pembinaan dan pengawasan selain karena tidak adanya aturan penegasan untuk wajib dilaksanakan; 4) belum tersedia ahli K3 yang menguasai dan memahami polemik budaya di tempat kerja, sehingga tidak mampu menganalisis dan membuat upaya preventif kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja. b. Pelaksanaan Kewajiban Penyediaan Sarana dan Prasarana Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja Pasal 13 UU Keselamatan Kerja telah mengatur bahwa barang siapa yang akan memasuki suatu tempat kerja, diwajibkan untuk menaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan. Namun dalam pelaksanaannya, masih terdapat perusahaan yang belum memiliki dan mengabaikan pengadaan sarana prasarana K3 terutama bagi perusahaan menengah ke bawah. Pengadaan sarana dan prasarana K3 dianggap hanya akan menambah biaya operasional bagi perusahaan. Selain itu, dengan tidak adanya pengawasan yang ketat terhadap perusahaan, pengadaan sarana prasarana di perusahaan semakin diabaikan. 5. Aspek Budaya Hukum a. Pelaporan Kecelakaan Kerja yang Belum Berjalan Secara Maksimal Kendala yang dihadapi dalam melaksanakan Pasal 11 UU Keselamatan Kerja terkait dengan pelaporan terhadap kecelakaan kerja ialah tidak semua perusahaan melakukan pelaporan kerja. Hal ini disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa kecelakaan kerja adalah sebuah aib, sehingga perusahaan enggan melakukan pelaporan terjadinya kecelakaan kerja. Dari segi perusahaan sendiri masih belum muncul kesadaran pentingnya pelaporan kecelakaan kerja karena masih menganggap biaya pemenuhan aspek K3 sebagai sesuatu yang mahal. Lebih lanjut, kendala dalam pengiriman laporan kecelakaan kerja dan kesengajaan perusahaanmenghindari sanksi atas kecelakaan tersebut yang akan berdampak pada aktivitas perusahaan merupakan penyebab lain perusahaan enggan melaporkan kecelakaan kerja tersebut. b. Rendahnya Pemahaman Pemberi Kerja/Pengusaha dan Pekerja Terkait Pentingnya Penerapan Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UU Keselamatan Kerja pada pokoknya mengatur mengenai hak dan kewajiban tenaga kerja, kewajiban bila memasuki tempat kerja, serta kewajiban pengurus dalam rangka meningkatkan budaya K3. Pada implementasinya masih saja ditemui hambatan serta kendala-kendala dalam penerapan budaya K3 baik dari sisi pemberi kerja/pengusaha juga dari pekerjanya. Salah satu hambatan tersebut adalah penetapan budaya organisasi yang tidak fokus terhadap pemenuhan aspek K3. Selain itu juga terdapat masalah K3 seperti ketersediaan dan penggunaan alat pelindung diri, kurangnya sosialisasi tentang pentingnya K3, kesadaran dari sisi pekerja tentang pentingnya K3 dan Sistem Manajemen K3, serta budaya k3 dianggap membebani pembiayaan perusahaan sehingga pelaksanaannya hanya sekedar formalitas saja. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila Terdapat beberapa materi muatan dalam UU Keselamatan Kerja yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan Sila Kedua dan Sila Kelima Pancasila, di antaranya: a. Judul UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima; b. Pasal 2 UU Keselamatan Kerja belum selaras dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima; c. Pasal 3 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga dan kelima; d. Pasal 4 UU Keselamatan Kerja belum selaras dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, Sila kelima dalam indikator kedua, ketiga serta kelima; e. Pasal 8 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kedua dalam indikator ketiga, serta Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima; f. Pasal 9 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima; g. Pasal 14 UU Keselamatan Kerja bertentangan dengan Sila Kelima dalam indikator kedua, ketiga, dan kelima.

1. Aspek Substansi Hukum a. Perubahan judul undang-undang menjadi Undang-Undang tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja. b. Pengintegrasian norma pengaturan lingkup kesehatan kerja dan keselamatan kerja dalam satu undang-undang. c. Pengaturan syarat K3 yang lebih teknis dapat didelegasikan pada peraturan perundang-undangan sektor terkait. d. Penghapusan Pasal 7 UU Keselamatan Kerja. e. Perumusan kembali Pasal 15 UU Keselamatan Kerja dengan memperhatikan teknis penyusunan pembentukan peraturan perundang undangan. f. Penyesuaian ancaman pidana kurungan dan denda dengan kondisi terkini dan risiko atas terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. g. Penambahan pengaturan mengenai sanksi administratif. h. Penambahan pengaturan mengenai reward kepada perusahaan yang patuh dalam menerapkan persyaratan K3. 2. Aspek Struktur Hukum a. Pemerintah daerah provinsi dapat menugasi daerah kabupaten/kota untuk melakukan pengawasan ketenagakerjaan berdasarkan asas tugas pembantuan. b. Adanya komitmen dari unit kerja pengawasan ketenagakerjaan baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota untuk rutin berkoordinasi, minimal 1 (satu) tahun 1 (satu) kali melalui rapat koordinasi tingkat nasional dan provinsi, serta memanfaatkan jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan. c. Kewajiban adanya koordinasi antar sektor di bawah Kemenaker berupa forum koordinasi untuk diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Selain itu perlu dipertegas dalam UU Keselamatan Kerja terkait leading sector dari pelaksanaan K3 yang kemudian terkait peraturan teknisnya diserahkan kepada masing-masing K/L sesuai dengan kewenangannya dengan tetap melakukan koordinasi agar meminimalisir potensi ego sektoral yang terjadi di lapangan. d. Penguatan kelembagaan Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) yang diakomodir melalui peraturan pemerintah yang merupakan amanat dari perubahan UU Keselamatan Kerja. e. Sistem berbasis teknologi yang mengintegrasikan data klaim BPJS Ketenagakerjaan dengan data pelaporan kecelakaan kerja di Kemenaker, sehingga terdapat satu data yang terintegrasi dan valid terkait kecelakaan di Indonesia. 3. Aspek Pendanaan a. Komitmen dari perusahaan untuk mengalokasikan anggaran yang memadai dalam pemenuhan syarat-syarat K3. b. Komitmen dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi untuk meningkatkan anggaran kegiatan pengawasan ketenagakerjaan dalam APBN dan APBD provinsi. 4. Aspek Sarana Prasarana a. Peningkatan jumlah SDM bidang K3 untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan pengawasan K3 oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi. b. Peningkatan pendidikan dan pelatihan bagi SDM di bidang K3. c. Penguatan pengawasan sarana prasarana K3 melalui penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar; d. Pemberian penghargaan bagi perusahaan yang telah patuh menjalankan ketentuan terkait penyediaan sarana prasarana K3 agar kemudian dapat meningkatkan kesadaran perusahaan dan pegawai; e. Pegawai pengawas yang memiliki integritas dan dedikasi yang tinggi yang melakukan pengawasan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Aspek Budaya Hukum a. Perlunya menetapkan target penurunan kecelakaan kerja secara nasional untuk tingkat kekerapan (frequency rate) dan tingkat keparahan (severity rate). b. Perlu adanya pengembangan pelaporan kecelakaan kerja yang terintegrasi dengan instansi lain dengan mengoptimalisasi website www.temank3.id yang berada di bawah Kemenaker. c. Perlu dilakukan sosialisasi, pembinaan, dan pengawasan dalam penerapan budaya K3 yang dilaksanakan secara menyeluruh melalui koordinasi dengan lintas sektor dan melibatkan seluruh pengawas dan pelaksana SMK3 di tempat kerja dengan komitmen penuh disiplin. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila a. Revisi judul menjadi Undang-Undang tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. b. Revisi Pasal 2 UU Keselamatan Kerja dengan menambahkan ruang lingkup kesehatan kerja. c. Pasal 3 UU Keselamatan Kerja perlu direvisi menjadi sederhana dan pokok-pokoknya saja yaitu dalam “…mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja, serta mencegah dan mengantisipasi penyakit akibat kerja…”. d. Pasal 4 ayat (1) UU Keselamatan Kerja dapat diubah menjadi “… dapat menimbulkan bahaya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.”, dan ayat (2) dapat diubah menjadi “… keselamatan dan kesehatan tenaga kerja yang melakukannya, serta keselamatan dan kesehatan umum”. e. Pasal 8 UU Keselamatan Kerja perlu direvisi dengan menambahkan klausul mengenai pemeriksaan kesehatan secara berkala dan rutin, serta penambahan ayat yang mengatur mengenai kelalaian terhadap tugas ini dapat dikenai sanksi administratif. f. Penambahan ayat dalam Pasal 9 UU Keselamatan Kerja dengan klausul “Bagi Pengurus yang melalaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), (3), dan (4), maka Pengurus dapat dijatuhi sanksi administrasi.” g. Penambahan ayat dalam Pasal 14 UU Keselamatan Kerja dengan klausul “Bagi Pengurus yang melalaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3), maka Pengurus dapat dijatuhi sanksi administrasi.” h. Penambahan Bab tersendiri yang mengatur Sanksi Administrasi dan Ketentuan Pidana; i. Revisi ketentuan pidana dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, termasuk besaran pidana penjara dan pidana denda; j. Pengaturan reward bagi pengusaha yang telah taat melakukan K3; k. Adanya ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan K3 agar terintegrasi dengan praktik K3.