Salah satu urgensi dilakukannya pemantauan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) adalah terdapat beberapa permasalahan dan kendala dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, baik dari sisi substansi, kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana, dan budaya hukum. Permasalahan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi yang terjadi selama ini antara lain adanya perbedaan pengaturan UU Dikti dengan UU terkait lainnya; permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek; belum optimalnya kerja sama penelitian dan pengabdian kepada masyarakat; Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi; belum optimalnya peran Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi; permasalahan pendanaan dan pembiayaan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, permasalahan pendanaan kegiatan akreditasi bagi Perguruan Tinggi, keterbatasan sarana prasana, dan minimnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan fungsi dan tujuan Pendidikan Tinggi belum terwujud optimal.
1. Aspek Substansi Hukum Perbedaan Pengaturan UU Dikti dengan Undang-Undang Lainnya: a. UU Dikti dengan UU Pemda Terdapat perbedaan pengaturan rumusan definisi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah antara Pasal 1 angka 19 dan angka 20 UU Dikti dengan Pasal 1 angka 1 dan angka 3 UU Pemda. Rumusan definisi pada Pasal 1 angka 19 dan angka 20 UU Dikti masih merujuk pada rezim Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan belum dilakukan penyesuaian berdasarkan ketentuan yang terbaru sebagaimana diatur Pasal 1 angka 1 dan angka 3 UU Pemda. Perbedaan pengaturan lainnya yakni adanya perbedaan pengaturan mengenai kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaran Pendidikan Tinggi (Pasal 76 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 89 ayat (4) UU Dikti dengan Lampiran I huruf A Pembagian Urusan Pemerintahan Bagian Pendidikan UU Pemda jo. Lampiran II UU Pemda, Perincian pembagian Urusan Pemerintahan bidang pendidikan). Perbedaan pengaturan antara UU Dikti dan UU Pemda apabila dikaitkan dengan adanya tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai salah satu pihak yang diwajibkan untuk memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Sejatinya ketentuan pengelolaan Pendidikan Tinggi merupakan wewenang Pemerintah Pusat, dan telah sejalan dengan ketentuan UU Pemda. Ketentuan Pasal 76 ayat (1), Pasal 83 ayat (2), dan Pasal 89 ayat (4) UU Dikti akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila terjadi keselarasan aturan dalam UU Dikti dengan UU Pemda terkait pembagian tugas dan wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. b. UU Dikti dengan UU Sisnas Iptek Terdapat perbedaan cakupan pengaturan mengenai pengecualian penyebarluasan hasil penelitian antara UU Dikti dengan UU Sisnas Iptek yakni, UU Dikti hanya mengecualikan publikasi atas penelitian yang sifat dan hasilnya berkaitan dengan rahasia atau keselamatan negara, sedangkan pengecualian terhadap publikasi hasil penelitian dalam UU Sisnas Iptek juga mencakup informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan a. Belum Optimalnya Implementasi Fungsi dan Tujuan Pendidikan Tinggi dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Dikti Pemenuhan fungsi dan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU Dikti belum optimal dikarenakan beberapa hal, diantaranya masih rendahnya APK Perguruan Tinggi di Indonesia; masih cukup tingginya Angka Putus Kuliah di Indonesia; pemenuhan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang belum optimal dan masih adanya disparitas kualitas Perguruan Tinggi; masih terdapat beberapa Perguruan Tinggi yang belum mempedomani fungsi dan tujuan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sebagaimana pengaturan di dalam UU Dikti ke dalam Visi, Misi, Kurikulum, dan Program Pembelajaran serta Tri Dharma Perguruan Tinggi; kualitas lulusan Perguruan Tinggi masih sangat beragam dan tidak semuanya siap terjun dalam masyarakat dan dunia kerja; Masih adanya keterbatasan Perguruan Tinggi di luar Pulau Jawa untuk menjangkau akses ilmu pengetahuan serta penelitian; dan masih timpangnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia penyelenggara sekaligus pelaku Pendidikan Tinggi di luar Pulau Jawa. b. Permasalahan Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian Lain dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian selain Kemendikbudristek Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek secara historis ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kelembagaan dan tuntutan masyarakat, namun kemudian berkembang menjadi pendidikan umum/akademik sehingga menimbulkan tumpang tindih peran dan fungsinya dengan tugas Kemendikbudristek. Dengan total 4.593 Perguruan Tinggi terhitung pada Tahun 2020, di mana terdapat 1.240 Perguruan Tinggi Keagamaan di bawah naungan Kemenag dan 187 Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga yang tersebar di berbagai K/L yang jumlah keduanya adalah sebesar 31%, menunjukkan jumlah yang cukup besar dari penyelenggaraan Pendidikan Tinggi oleh Kementerian lain selain Kemendikbudristek. Jumlah yang cukup besar tersebut, tidak luput dari persoalan seperti banyaknya Perguruan Tinggi Keagamaan yang tidak hanya menyelenggarakan pendidikan tinggi keagamaan saja tetapi juga pendidikan tinggi non keagamaan, demikian halnya dengan PTKL lain sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan dual cost yang berakibat pada ketidakjelasan pengalokasian pendanaan dan capaian pendidikan tinggi. c. Belum Optimalnya Kerja sama Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah Pendayagunaan Perguruan Tinggi sebagai pusat penelitian atau pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi oleh Pemerintah Daerah belum berjalan secara optimal karena masih menghadapi beberapa tantangan yaitu: a) tata kelola riset baik di pusat maupun daerah selama ini masih belum terorganisasi dengan baik; b) institusi riset kerap berganti nomenklatur dan tersebar pada berbagai kementerian/lembaga. Bahkan di daerah pun bermunculan beragam institusi riset; c) masih minimnya upaya implementasi kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) dalam perumusan kebijakan di Indonesia; d) perumusan kebijakan masih sering bersifat reaktif, didominasi kepentingan pragmatis, serta kurang melibatkan para ahli kebijakan; e) penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi hanya berjalan sementara untuk kepentingan sesaat saja; dan f) hasil penelitian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi belum menjadi solusi dari permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah. Sebaliknya, Perguruan Tinggi belum sepenuhnya mendapatkan informasi kegiatan yang dilangsungkan oleh Pemerintah Daerah sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa belum optimalnya koordinasi antara Perguruan Tinggi dan Pemerintah Daerah. d. Permasalahan Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi Pelaksanaan otonomi Pergururan Tinggi yang terwujud dalam Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) telah menorehkan prestasi berkelas dunia sehingga pembentukan PTN-BH perlu lebih didorong lagi tapi dengan beberapa catatan: 1) PTN yang masih belum menjadi PTN-BH, khususnya Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum (PTN-BLU), tidak perlu dipaksakan menjadi PTN-BH dengan pertimbangan PTN tersebut skalanya kecil, jenis pendidikan dan mahasiswanya sedikit, serta kompleksitas pengelolaannya rendah; 2) Pendanaan bagi PTN-BH tetap didukung pemerintah melalui block grant dengan memastikan pendanaan tersebut berdasarkan kinerja output. 3) PTN-BH harus mampu mempertahankan jaminan mutu melalui akreditasi dan melakukan perhitungan biaya pendidikan secara transparan dan akuntabel. Sedangkan pendapat lainnya menyatakan bahwa PTN-BH belum benar-benar otonom secara non akademik khususnya dalam lingkup organisasi karena dalam tata kelola dan pengambilan keputusan, PTN-BH masih tersandera oleh peraturan dan keputusan dari Kemendikbudristek. Begitu pula dalam lingkup keuangan juga dinilai belum sepenuhnya otonom karena masih bertabrakan dengan rezim UU Keuangan Negara. Lebih jauh, otonomi Perguruan Tinggi dikritik karena dikhawatirkan menjadi awal dari proses komersialisasi dan liberalisasi pendidikan yang tidak berpihak ke mahasiswa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. 3. Aspek Pendanaan a. Permasalahan Pendanaan dan Pembiayaan dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek sebagai leading sector penyelenggaraan Pendidikan Tinggi merupakan salah satu Kementerian/Lembaga (K/L) yang mendapat alokasi anggaran yang menjadi bagian dari belanja Pemerintah Pusat untuk menjalankan fungsi Pendidikan. Alokasi anggaran Pendidikan Tinggi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dominan diberikan dalam bentuk Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (BPPTN-BH) Pendidikan Tinggi untuk PTN. Pemerintah melalui Kemendikbudristek mengalokasikan anggaran Pendidikan Tinggi untuk PTN dalam APBN dengan dasar Standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi. Standar dimaksud juga digunakan oleh PTN sebagai dasar dalam menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa. Pemerintah Daerah juga dapat memberikan dukungan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan pada APBD. Keterbatasan dukungan dana Pendidikan Tinggi pada APBD antara lain disebabkan karena pengelolaan Pendidikan Tinggi merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Meskipun telah terdapat ketentuan yang ideal terkait pendanaan dan pembiayaan Pendidikan tinggi, masih ditemukan hambatan berkaitan dengan keterbatasan anggaran Pendidikan Tinggi. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: alokasi anggaran untuk Pendidikan Tinggi pada APBN mengalami tren penurunan karena Pemerintah masih berfokus pada Pendidikan dasar dan menengah, masih terdapat permasalahan terjadinya tren kenaikan biaya Pendidikan Tinggi, PTN-BH dianggap badan usaha yang terkena pajak progresif, disparitas besaran pembiayaan per mahasiswa antara program studi Perguruan Tinggi yang berada di bawah Kemendikbudristek dan K/L, keterbatasan kemampuan keuangan Perguruan Tinggi Negeri (PTS), serta belum optimalnya dukungan pendanaan melalui alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD) dan masyarakat. b. Permasalahan Pendanaan Kegiatan Akreditasi bagi Perguruan Tinggi Akreditasi Perguruan Tinggi penting dilakukan tetapi belum semua Perguruan Tinggi memiliki kemampuan keuangan yang memadai sehingga masih ada kesenjangan atau gap antar perguruan tinggi. PTN dan PTS yang memiliki kemampuan keuangan terbatas serta jumlah mahasiswa sedikit, dalam mendanai kegiatan akreditasi melalui LAM dirasa memberatkan. c. Kendala Pembiayaan dalam Pemenuhan Hak Mahasiswa Kurang Mampu Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi di Indonesia Tahun 2021 masih sebesar 31,19% (tiga puluh satu koma sembilan belas persen). Artinya, sisanya tidak melanjutkan pendidikan. Angka Putus Kuliah Tahun 2020 juga masih tinggi, secara nasional sebanyak 602.263 mahasiswa. Permasalahan kemampuan ekonomi dalam melanjutkan Pendidikan Tinggi masih menjadi salah satu sebab sulitnya akses Pendidikan Tinggi bagi mahasiswa kurang mampu. Sehingga pengaturan pada UU Dikti memuat beberapa ketentuan penerimaan mahasiswa baru yang memperhatikan aspek ekonomi dan pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu. Namun terdapat kendala pembiayaan dalam pemenuhan hak mahasiswa kurang mampu yakni: 1) Keterbatasan APBN dan APBD; 2) Kemampuan keuangan Perguruan Tinggi beragam; dan 3) Masih adanya seleksi penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri oleh PTN. d. Kendala Dalam Pengalokasian Dana Penelitian Ketentuan Pasal 89 ayat (6) UU Dikti yang mengatur pengalokasian dana penelitian minimal sebesar 30% (tiga puluh persen) dari dana bantuan operasional PTN dalam implementasinya dinilai belum maksimal atau masih kurang. Apalagi dikaitkan dengan kegiatan lain dalam tridharma perguruan tinggi yaitu Pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu distribusi dana penelitian belum merata untuk mendanai penelitian di PTN dan PTS. 4. Aspek Sarana dan Prasarana Dalam aspek sarana dan prasarana terdapat permasalahan sebagai berikut: a. Terdapat ketimpangan kebutuhan sarana dan prasarana dengan ketersediaan riil di lapangan; b. Belum memadainya ketersediaan peralatan dan laboratorium yang mutakhir bagi Pendidikan Vokasi; c. Keterbatasan kemampuan Perguruan Tinggi dalam memenuhi kebutuhan sumber belajar maupun sarana dan prasarana terutama di Daerah 3T; d. Kendala fasilitas internet yang belum merata khususnya di daerah Indonesia Timur sementara pandemi telah mengubah metode pembelajaran dari yang semula dilaksanakan secara tatap muka menjadi virtual. 5. Aspek Budaya Hukum Pasal 91 UU Dikti mengatur tentang peran serta masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. Dalam implementasinya terdapat permasalahan yaitu kurangnya informasi mengenai tata cara dan bentuk peran serta dari masyarakat dan belum jelasnya pelembagaan yang menjadi wadah peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu Pendidikan Tinggi di Indonesia. Minimnya informasi tersebut berbanding lurus dengan masih minimnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila Terdapat beberapa pasal dalam UU Dikti yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan sila kedua dan sila kelima Pancasila, di antaranya: a. Kata “negara” di dalam Pasal 1 angka 1 UU Dikti berpotensi multitafsir karena terdapat ketidakjelasan mengenai definisi dari kata “negara” dan menimbulkan permasalahan di dalam pelaksanaannya terutama fenomena merebaknya paham radikalisme. Pada bagian Penjelasan Pasal 1 UU Dikti juga berbunyi “Cukup Jelas.” Padahal pasal tersebut dibentuk untuk mewujudkan pendidikan secara optimal, efisien, dan efektif sebagaimana amanat UUD NRI Tahun 1945 serta sebagai upaya pencegahan paham radikalisme khususnya pada lingkungan Perguruan Tinggi yang memiliki peranan penting. b. Selama ini Perguruan Tinggi disibukkan dengan proses akreditasi untuk setiap program studinya, yang menguras tenaga, pikiran, waktu dan biaya. Proses akreditasi lebih bersifat formalitas dari pada substansi kualitasnya. c. Pasal 64 dan Pasal 65 UU Dikti yang mengatur mengenai otonomi Perguruan Tinggi berpotensi menjadi awal dari proses komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Hal ini terlihat dari masih adanya stigma dari masyarakat yang menganggap Pendidikan Tinggi dikomersilkan.
Puspanlak UU Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Dikti dengan undang-undang terkait lainnya, serta penguatan fungsi penyelenggaraan Pendidikan, sebagai berikut: 1. Substansi Hukum a. Perlu adanya sinkronisasi regulasi peran Pemerintah Daerah antara UU Dikti dan UU Pemda; b. Perlu koordinasi antara Kemendagri dengan Kemendikbud terkait peran pemerintah daerah yang ada di kedua undang-undang tersebut; dan c. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Dikti dan UU Sisnas Iptek dengan menambahkan pengaturan pengecualian terhadap publikasi hasil penelitian yakni mencakup informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan; dan/atau informasi publik yang diminta belum dikuasai atau didokumentasikan. 2. Struktur Hukum a. Perlu konsistensi kolaborasi antara para pemangku kepentingan dalam penanganan permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi sehingga dapat membentuk sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Bentuk kolaborasi dimaksud dapat berupa peningkatan Kerjasama antar Perguruan Tinggi dan pendampingan Perguruan Tinggi yang sudah lebih mapan ke Perguruan Tinggi yang belum mapan; b. Perlu mempertahankan ruang bagi Kementerian lain selain Kemendikbudristek untuk menyelenggarakan Pendidikan Tinggi, terkhusus Kemenag mengingat lingkup penyelenggaraan pendidikan tingginya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berbasis keagamaan sesuai sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sama halnya bagi Kementerian lain selain Kemendikbudristek di luar Kemenag yang juga menyelenggarakan Pendidikan Tinggi yang semakin tinggi dan bervariasi tuntutannya untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat, menjawab tantangan lokal, regional, hingga global, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi itu sendiri; c. Perlu memastikan implementasi, monitoring, dan evaluasi berbagai dokumen yang menjadi pedoman tata kelola riset di Indonesia agar berjalan secara optimal. Termasuk memastikan kesinambungan koordinasi antara Perguruan Tinggi dengan Pemerintah Daerah setempat agar tidak lagi terjadi diskoneksitas hasil riset dengan kebutuhan Pemerintah Daerah setempat dalam upayanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat; d. Perlu memperjelas peraturan mengenai klasifikasi PTN yang diproyeksikan menjadi PTN-BH atau cukup PTN-BLU. Adapun bagi PTN yang sudah berstatus PTN-BH, pendanaannya tetap didukung pemerintah melalui block grant berdasarkan kinerja output, selain itu agar didorong untuk mengembangkan dana abadi dan diharuskan mampu mempertahankan jaminan mutu melalui akreditasi dan melakukan perhitungan biaya pendidikan secara transparan dan akuntabel. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu pula menetapkan mandat (amanah atau sesuatu yang dapat ditagih) dari Kemendikbudristek untuk dilaksanakan oleh PTN BH. Penuntasan mandat tersebut oleh PTN-BH kemudian diberikan hak atau apresiasi; dan e. Perlu memberikan otonomi Perguruan Tinggi secara utuh baik di bidang akademik maupun nonakademik (khususnya organisasi) disertai dengan konsistensi pengarahan Perguruan Tinggi oleh Kemendikbudristek dalam bentuk regulasi dan pengawasan. 3. Pendanaan a. Perlu optimalisasi pemberian beasiswa dan pinjaman dana tanpa bunga; b. Perlu optimalisasi sumber pendanaan dan pembiayaan lainnya yang diperoleh dari masyarakat; c. Perlu diperjelas pengaturan terkait pendanaan serta penggunaan anggaran sehingga dapat diukur akuntabilitas penggunaan dan penyerapannya; d. Perlu pemeratan dan keadilan dalam pengelolaan dan distribusi anggaran Perguruan Tinggi, khususnya terhadap PTS; e. Perlu pengaturan lebih jelas standar biaya operasional Pendidikan Tinggi sesuai dengan klasifikasi Perguruan Tinggi, yaitu: PTN Badan Layanan Umum, PTN Agama, Perguruan Tinggi K/L; f. Perlu diperjelas pengaturan terkait: - ketetapan UKT yang masih menjadi kewenangan Menteri untuk PTN non BH atau PTN-BH. - pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi pada jalur mandiri secara tegas dan jelas serta tidak membebani calon mahasiswa. g. Penguatan optimalisasi peran BAN PT sebagai perwakilan pemerintah dalam menjaga dan mempertahankan kualitas PTN dan PTS baik secara institusi maupun program studi melalui akreditasi; h. Menjadikan akreditasi bagi program studi bukan sebagai suatu kewajiban melainkan sebagai pilihan/optional yang baru dipenuhi jika diminta oleh pengguna lulusan Pendidikan Tinggi. i. Perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri serta capaian minimal 20% (dua puluh persen) calon mahasiswa yang tidak mampu dan dari daerah 3T yang diterima PTN; j. Penerapan Pasal 76 ayat (1) dan ayat (2) secara serius dan konsisten yakni pemberian beasiswa kepada Mahasiswa berprestasi, bantuan atau pembebasan biaya Pendidikan, serta pinjaman dana tanpa bunga; k. Perlu penambahan frasa “calon mahasiswa” dalam Pasal 76 ayat (1) UU Dikti, sehingga selengkapnya menjadi “Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban membantu mahasiswa dan calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik” guna memberikan jaminan bagi calon mahasiswa yang akan diterima oleh Perguruan Tinggi. l. Meningkatkan komitmen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan alokasi minimal dana penelitian; dan m. Dalam sudut pandang PTN dan PTS, agar memperluas kerja sama dengan lembaga donor internasional. 4. Sarana dan Prasarana a. Perlu pemetaan yang terencana dan terukur terkait sarana prasarana yang dibutuhkan; b. Perlu kolaborasi antar Perguruan Tinggi seperti halnya resource sharing untuk memiliki “sarana bersama” laboratorium, perpustakaan, museum, studio, bengkel, stadion, dan stasiun penyiaran; dan c. Meningkatkan kemitraan antara Perguruan Tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri dalam memanfaatkan sarana dan prasarana. 5. Budaya Hukum Guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi diperlukan sosialisasi yang lebih masif dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Perguruan Tinggi terkait tata cara partisipasi, bentuk peran serta masyarakat, dan wadah penyampaian peran masayarakat dalam pengembangan Pendidikan Tinggi. Selain itu diperlukan peningkatan peran alumni Pendidikan Tinggi dalam pengembangan Pendidikan Tinggi seperti pemberian beasiswa. 6. Pengarus Utamaan Nilai-Nilai Pancasila a. Perlu menambahkan frasa “Kesatuan Republik Indonesia” setelah kata “Negara” dalam Pasal 1 angka 1 UU Dikti sehingga selengkapnya menjadi “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara Kesatuan Republik Indonesia”; b. Perlu penyederhanaan proses akreditasi melalui Pangkalan Data Pendidikan Tinggi. Penyederhanaan ini juga seiring dengan teknologi informasi yang semakin maju; dan c. Perlu pengawasan terhadap implementasi otonomi Perguruan Tinggi.
Penyelenggaraan Minerba telah diatur dalam UU Minerba yang telah mengalami beberpa kali perubahan yaitu dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009) diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 3/2020) dan dalam rangka peningkatan investasi di bidang pertambangan minerba pengaturan diberikan perubahan kembali melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020). Dengan berlakunya UU 3/2020 jo. UU 11/2020, pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan diharapkan telah memiliki acuan yang lebih jelas, lebih lengkap, dan lebih luas jangkauannya, serta dapat memberikan solusi atau langkah terbaik dalam permasalahan yang ada terkait pertambangan mineral dan batubara. Selain itu, terbitnya UU 3/2020 jo. UU Cipta Kerja telah memberikan mekanisme penerbitan perizinan yang lebih sederhana dan terintegrasi dalam pelayanannya sehingga diharapkan dapat memberikan peningkatan investasi di sektor pertambangan mineral dan batubara kedepan. Namun demikian, terdapat 1 (satu) kali pengujian konstitusional (judicial review) terhadap Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dengan menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 169A ayat (1) UU 3/2020 sepanjang frasa “diberikan jaminan” serta Pasal 169A ayat (1) huruf a dan huruf b UU 3/2020 sepanjang kata “dijamin” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), serta Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, sejak berlakunya UU 3/2020 jo UU 11/2020 masih terdapat beberapa peraturan pelaksana yang belum ditetapkan sehingga menyebabkan permasalahan dalam pelaksanaan teknisnya, dan masih ditemukannya beberapa permasalahan dan kendala dalam pelaksanaan UU Minerba, baik dari sisi substansi maupun implementasi yang perlu menjadi perhatian bagi pembentuk undang-undang. Berdasarkan penjelasan tersebut, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI sebagai salah satu supporting sistem terkait fungsi pengawasan DPR RI merasa perlu melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan UU Minerba dengan melakukan analisis dari aspek substansi hukum, struktur hukum, sarana dan prasarana, pendanaan, budaya hukum, dan arus pengutamaan nilai-nilai Pancasila, dengan melakukan pengumpulan data dan informasi dari seluruh pemangku kepentingan terkait penyelenggaraan minerba di tingkat pusat dan daerah.
Berdasarkan kajian dan evaluasi terhadap data dan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pemantauan pelaksanaan UU Minerba, masih terdapat permasalahan terkait aspek substansi hukum, struktur hukum/kelembagaan, pendanaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, dan pengarustamaan nilai-nilai Pancasila hasil kajian dan evaluasi terhadap UU Minerba. UU Minerba perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa materi muatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan lain, antara lain ketentuan terkait: jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan; larangan melaksanakan kegiatan usaha pertambangan pada tempat yang dilarang; kegiatan "merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan" yang dikenakan sanksi pidana; dan ketentuan diberikan perpanjangan kelanjutan operasi KK/PKP2B yang masih berpotensi mengurangi hak prioritas BUMN dan BUMD dalam mendapatkan IUPK wilayah eks. KK/PKP2B. Efektivitas pelaksanaan UU Minerba saat ini masih terkendala sejumlah permasalahan implementasi antara lain yaitu: kurangnya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin usaha pertambangan; banyak Perda penetapan WPR yang belum diterbitkan pemerintah daerah; kurangnya koordinasi antara KESDM, ATR/BPN, KLHK dalam menyelesaikan permasalahan hak atas tanah yang serta penanganan kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan aktivitas pertambangan; kurangnya pengawasan terhadap kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang oleh pemegang IUP/IUPK; dan belum adanya pengaturan mekanisme pencairan dana jaminan reklamasi dan/atau pascatambang; belum tersinkronisasi-nya data dan informasi pertambangan nasional; kurangnya pengawasan terhadap pemegang IUP/IUPK dalam melaksanakan kewajiban pembayaran pajak, PNBP, dan iuran pendapatan daerah yang diatur oleh undang-undang; serta masih maraknya kegiatan pertambangan rakyat ilegal di daerah. Selain itu, materi muatan UU Minerba terkait pengalihan kewenangan ke pemerintah pusat, kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang, pengenaan sanksi pidana terhadap orang yang merintangi dan mengganggu jalannya kegiatan usaha pertambangan, dan pemberian perpanjangan kelanjutan operasi/produksi bagi pemegang KK/PKP2B dalam bentuk IUPK, tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila sila pertama, sila kedua, dan kelima.
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi substansi materi muatan dan sisi implementasi UU Minerba, sebagai berikut: 1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. Dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara Pasal 17A ayat (2), Pasal 22A, Pasal 31A ayat (2), dan Pasal 172B ayat (2) UU Minerba dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU Penataan Ruang yang merupakan UU yang bersifat lex specialis dalam hal pengaturan tata ruang dan wilayah. b. Diberikan penjelasan lebih lanjut terhadap norma Pasal 134 ayat (2) dan ayat (3) UU Minerba mengenai tempat yang dilarang dalam kegiatan usaha pertambangan dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan ketentuan larangan kegiatan usaha pertambangan pada kawasan tertentu yang telah diatur peraturan perundang-undangan lain yang terkait. c. Adanya perumusan ulang yang lebih jelas mengenai frasa “merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan” sebagaimana dimaksud Pasal 162 jo. Pasal 164 UU Minerba guna menghindari adanya potensi multitafsir dan pemaknaan yang ambigu oleh APH. d. Diberikan pembedaan pengaturan dan perlakuan bagi BUMN/BUMD yang diprioritaskan dengan badan usaha swasta yang ingin diberikan IUPK termasuk pemegang KK/PKP2B, dengan memberikan seleksi secara ketat dan harus diberikan batasan-batasan persyaratan yang lebih rinci dan lebih ketat, antara lain yaitu: syarat-syarat dokumen yang harus dipenuhi; syarat-syarat tambahan berupa kepastian peningkatan penerimaan negara dan peningkatan nilai tambah minerba dalam negeri; pembatasan jangka waktu perpanjangan yang mengakomodir keberlanjutan fungsi wilayah pertambangan; sampai dengan hasil evaluasi dari masyarakat sekitar dan kajian oleh pemerintah terhadap kegiatan usaha dan pertambangan yang dilakukan oleh pemegang KK dan PKP2B. 2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penugasan Penyelidikan dan Penelitian harus segera diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. b. Pemerintah Pusat harus tetap berkoordinasi terlebih dahulu dengan pemerintah daerah dalam hal penerbitan perizinan berusaha. c. Adanya pembinaan dan pengawasan dari Pemerintah Pusat (kolaborasi antar instansi) agar tata cara pengumuman rencana WPR dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam UU Minerba yaitu pengumuman dilakukan di kantor desa/kelurahan dan kantor/instansi terkait, meskipun pengumuman yang dimaksud juga telah terintegrasi dengan sistem ESDM One Map Indonesia. d. Pemerintah Pusat perlu membentuk sebuah sistem yang dapat mendorong pemerintah daerah agar pemerintah daerah segera membentuk peraturan daerah tentang WPR, untuk menertibkan kegiatan pertambangan rakyat di daerah. e. Peningkatan koordinasi antara KESDM dengan KLHK terkait kriteria kerusakan lingkungan hidup, sehingga terbentuk persamaan persepsi dalam penanganan kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas tambang. a. Peningkatan koordinasi antara Dinas ESDM dan Kanwil ATR/BPN di daerah-daerah terkait dengan penyelesaian ha katas tanah yang tumpeng tindih dengan izin usaha pertambangan. b. Pemerintah perlu membentuk tim terpadu dalam pengawasan reklamasi dan/atau pascatambang supaya mempermudah koordinasi dan penanganan secara cepat terhadap tidak terlaksananya kewajiban reklamasi dan/atau pascatambang oleh pemegang IUP/IUPK. Selain itu, perlu diatur mengenai mekanisme pencairan dana jaminan reklamasi dan/atau pascatambang untuk melaksanakan kegiatan reklamasi dan/atau pascatambang oleh Pemerintah Pusat dalam hal perusahaan pertambangan tidak melaksanakan kewajiban tersebut. 3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. Data ESDM One Map Indonesia perlu dilakukan sinkronisasi secara berkala dengan data pertambangan yang dimiliki oleh Dinas LHK, Dinas ATR/BPN, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan pemerintah desa. b. Pemerintah Pusat perlu menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan aksesibilitas data dan informasi ESDM One Map Indonesia di daerah. c. Perlu dibentuk pengaturan yang eksplisit dan rinci mengenai akuntanbiltas, transparansi, dan jaminan keamanan data dan informasi pertambangan yang diperoleh dari BUMN, BUMD, dan badan usaha swasta. d. KESDM harus menyediakan sumber daya manusia yang dapat mengelola data pertambangan tersebut dan menjaga keamanan serta kerahasiaan data yang dikelolanya. e. KESDM perlu meningkatkan sarana prasarana berupa server, sistem firewall, dan pemeliharaan/maintance server yang sesuai dengan standar pemeliharaan server. 4. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan: a. Peningkatan audit atau pengawasan terhadap pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB dalam melaksanakan kewajibannya sebagai wajib pajak dalam hal membayar pajak yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pajak, bea cukai, PNBP berupa iuran tetap, iuran produksi, kompensasi data informasi, dan penerimaan negara bukan pajak lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Peningkatan audit atau pengawasan terhadap pemegang KK dan PKP2B dalam melaksanakan kewajibannya dalam hal memberikan pendapatan yang menjadi hak pusat dan hak daerah sesuai dengan ketentuan KK dan PKP2Bnya dan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan terkait. 5. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: a. Pendekatan ekonomi, yaitu dengan penambahan jenis mata pencaharian masyarakat, dan/atau lapangan pekerjaan bagi masyarakat di wilayah tambang, agar masyarakat memiliki alternatif sumber pendapatan yang lain dan tidak terfokus pada kegiatan usaha tambang saja, misalnya dilakukan peningkatan bidang usaha ekonomi kreatif dan potensi wisata di daerah. b. Pendekatan kepada masyarakat dengan sosialisasi peraturan perundang-undangan terkait kegiatan pertambangan rakyat, diskusi terbuka dan penyuluhan yang dilaksanakan di hingga tingkat tapak/desa. c. Peningkatan aksesibilitas masyarakat daerah terhadap pengurusan perizinan kegiatan pertambangan rakyat (IPR). d. Peningkatan penegakan hukum yang efektif, konsekuen, dan konsisten dengan memasifkan penanganan pengaduan, operasi pengamanan, dan pengenaan sanksi. 6. Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: Materi muatan UU Minerba terkait pengalihan kewenangan ke pemerintah pusat, kewajiban pelaksanaan reklamasi dan/atau pascatambang, pengenaan sanksi pidana terhadap orang yang merintangi dan mengganggu jalannya kegiatan usaha pertambangan, dan pemberian perpanjangan KK/PKP2B dalam bentuk IUPK, perlu dilakukan penyesuaian kembali dengan nilai-nilai Pancasila sila pertama, sila kedua, dan kelima.
Perbankan merupakan salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyerasikan dan menyeimbangkan masing-masing unsur dari Trilogi Pembangunan, sehingga membutuhkan landasan gerak yang sesuai dengan situasi dan kondisi perekonomian baik nasional maupun internasional. Landasan terbentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992) menggantikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan yang kemudian dilakukan perubahan dengan membentuk Undang-Undang nOmor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ( UU 10/1998) antara lain karena terjadinya perkembangan perekonomian nasional di era globalisasi yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi serta telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa. Pada tahun 2020, Pasal 22 UU 7/1992 jo. UU 10/1998 terkait dengan pendirian bank umum diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU 11/2020).
Berdasarkan kajian dan evaluasi terhadap data dan informasi yang didapatkan dari berbagai sumber pemantauan pelaksanaan UU Perbankan, masih terdapat permasalahan terkait aspek substansi hukum, struktur hukum/kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, dan pengarustamaan nilai-nilai Pancasila hasil kajian dan evaluasi terhadap UU Perbankan. UU Perbankan perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa materi muatan yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan lain, antara lain ketentuan terkait: definisi perbankan yang tidak relevan, jenis bank belum dibagi berdasarkan prinsip usaha konvensional dan syariah, adanya irisan norma mengenai kewenangan Bank Indonesia dan OJK dalam UU Perbankan dan UU OJK, bentuk badan hukum bank yang tidak relavan, belum adanya pengaturan batasan maksimum kepemilikan modal asing, pengaturan rahasia bank, belum adanya pengaturan mengenai perlindungan konsumen perbankan, belum adanya pengaturan mengenai digitalisasi jasa perbankan, dan literasi inklusi keuangan.
Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (Puspanlak UU) Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi yang ditujukan untuk penguatan dari sisi regulasi melalui penyempurnaan dan harmonisasi rumusan antara UU Perbankan dengan undang-undang terkait lainnya, sebagai berikut: 1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. melakukan harmonisasi/penyesuaian terkait definisi perbankan yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Perbankan dengan Pasal 1 angka 5 UU OJK. b. penambahan rumusan norma Pasal 1 UU Perbankan dengan memberikan definisi terhadap frasa “Bank Konvensional”, “Bank Umum Konvensional”, “Bank Perkreditan Rakyat”, “Bank Syariah”, “Bank Umum Syariah”, dan “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah” dengan merujuk pada definisi dalam Pasal 1 UU Perbankan Syariah. c. perubahan rumusan norma Pasal 5 ayat (1) UU Perbankan dengan membagi lembaga perbankan berdasarkan prinsip usahanya, yaitu bank konvensional dan bank syariah, lalu dibagi berdasarkan jenis usahanya, yaitu bank umum konvensional dan BPR serta bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. d. penambahan rumusan pasal atau ayat dalam UU Perbankan sebagai penghubung dengan menyatakan secara tegas bahwa pengaturan mengenai bank syariah mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai perbankan syariah. e. penghapusan Pasal 6 huruf m dan Pasal 13 huruf c UU Perbankan. f. penghapusan frasa “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah” dalam ketentuan Pasal 7 huruf c, Pasal 8, Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4A), Pasal 29 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (1) huruf c UU Perbankan. g. perubahan frasa “Bank Indonesia” menjadi frasa “Otoritas Jasa Keuangan” dalam ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 UU Perbankan. h. penghapusan frasa “koperasi” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan. i. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (1) UU Perbankan. j. perubahan frasa “perusahaan daerah” menjadi “perusahaan umum daerah” dan “perusahaan perseroan daerah” dalam Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan. k. penambahan frasa “pemerintah daerah” dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Perbankan. l. penambahan ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan modal oleh badan hukum asing terhadap Bank Umum dalam Pasal 22 UU Perbankan dengan mengacu kepada antara lain peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). m. penambahan ruang lingkup rahasia bank dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, yaitu mengenai nasabah peminjam dan pinjamannnya. n. melakukan harmonisasi/penyesuaian pengaturan terkait lembaga yang dapat meminta untuk dibukakan simpanan nasabah untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dalam Pasal 42 UU Perbankan dengan Pasal 43 ayat (2) UU Perbankan Syariah, Pasal 72 ayat (2) dan ayat (5) UU TPPU, dan Pasal 37 ayat (2) dan ayat (5) UU Pendanaan Terorisme. o. penambahan ketentuan mengenai perlindungan konsumen dan digitalisasi jasa perbankan dalam UU Perbankan. p. penambahan frasa “dan Pasal 12A” dalam ketentuan Pasal 15 UU Perbankan. q. penambahan frasa “termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. r. penambahan ketentuan dalam Bab VIII UU Perbankan yang mengatur mengenai mekanisme pembukaan rahasia bank untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian dalam hal tidak terdapat perjanjian perkawinan yang memisahkan harta bersama. s. penghapusan frasa “bagi bank” dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50A UU Perbankan. 2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. penguatan koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia guna menjamin kepastian hukum bagi pelaku usaha sektor jasa keuangan dan masyarakat selaku konsumen perbankan. b. suatu mekanisme kerja yang mengedepankan koordinasi dan kolaborasi oleh berbagai institusi pembina, pengawas, dan pemeriksa terhadap kinerja BPD dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. 3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. kesiapan SDM yang kompeten untuk dapat memberikan pelayanan berbasis digital kepada nasabah; b. penambahan atau peningkatan perangkat teknologi maupun aplikasi perbankan sebagai penunjang digitalisasi; dan c. perluasan akses jaringan internet yang baik ke beberapa wilayah di Indonesia yang belum memadai jaringan internetnya. 4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: a. sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan literasi masyarakat atas produk perbankan dan digitalisasi perbankan. b. pengamanan yang ekstra dalam melindungi nasabah pengguna jasa keuangan digital. 5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila Dalam aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: a. penambahan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak ekonomi pada Bagian Mengingat UU Perbankan b. limitasi secara tegas mengenai kepemilikan modal perorangan dan badan hukum asing pada bank umum pada Pasal 22 UU Perbankan. c. pengaturan mengenai perlindungan nasabah dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk menunjang digitalisasi perbankan.