Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dan hak konstitusional yang harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional yang berpihak pada rakyat sebagaimana diamanatkan Sila Kedua dan Sila Kelima Pancasila. Secara konstitusi, kesehatan merupakan hak setiap orang dan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang layak, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya, kesehatan harus diwujudkan dalam berbagai bentuk upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas, mudah diakses, dan terjangkau oleh masyarakat. Penyelenggaraan praktik kedokteran menempatkan dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Peran penting dokter dan dokter gigi tersebut berkaitan langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan. Maka untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran). Sejak berlakunya UU Praktik Kedokteran terdapat 3 (tiga) putusan yang menyatakan bahwa permohonan pengujian UU Praktik Kedokteran dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi yakni Putusan Nomor 4/PUU -V/2007, 40/PUU-X/2012, dan 10/PUU-XV/2017. Selain itu, beberapa isu permasalahan UU Praktik Kedokteran ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan, di antaranya permasalahan perlindungan terhadap dokter, permasalahan imbalan pelayanan medis, evaluasi dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri, penyelenggaraa P2KB oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi, pengembangan pendidikan kedokteran dan kedokteran gigi (hospital based & university based), koordinasi pemerintah (pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota) dengan organisasi profesi terkait penerbitan SIP-PTSP, perbedaan tarif UKDI antara dokter lulusan luar negeri dengan lulusan dalam negeri, belum meratanya ketersediaan sarana dan prasarana pelayanan medis, belum meratanya distribusi dokter dan dokter gigi di indonesia, dan kurangnya sosialisasi terkait pengaduan pasien terkait pelanggaran disiplin kedokteran.
1. Aspek Substansi Hukum a. Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU terkait lainnya 1) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dengan UU Kesehatan Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi sarana dan fasilitas pelayanan kesehatan antara Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan. Pasal 1 angka 7 UU Kesehatan mengatur mengenai fasilitas pelayanan kesehatan sebagai suatu alat/tempat dalam penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Sedangkan Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran hanya mengatur sarana pelayanan Kesehatan sebagai tempat penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, tidak mengatur mengenai alat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya pelayanan Kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan kesehatan tersebut, hanya mengatur penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi. 2) Perbedaan Pengaturan antara UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran a. Perbedaan definisi dokter dan dokter gigi Terdapat perbedaan pengaturan dalam rumusan definisi dokter dan dokter gigi antara Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran dan Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran. Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran hanya menyebutkan dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah. Sedangkan pengaturan di dalam Pasal 1 angka 9 dan angka 10 UU Pendidikan Kedokteran disebutkan DLP dan dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah untuk dokter dan dokter gigi spesialis-subspesialis untuk dokter gigi lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh pemerintah sebagai dokter gigi. b. Perbedaan Definisi Organisasi Profesi Rumusan Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran yang menyebutkan nama organisasi profesi telah menimbulkan perbedaan pemahaman pada implementasinya, hal ini terlihat pada inkonsistensi penggunaan frasa organisasi profesi kedokteran dan organisasi profesi kedokteran gigi pada Pasal 14 ayat (1) dan 28 ayat (2) UU Praktik Kedokteran. Pencantuman nama organisasi profesi pada definisi organisasi profesi yang diatur di dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran juga berbeda dengan yang diatur di dalam Pasal 1 angka 20 UU Pendidikan Kedokteran yang tidak mencantumkan nama organisasi profesi didalam ketentuan pasal. Permasalahan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan perbedaan pemahaman secara implementasi bagi para pemangku kepentingan. b. Perbedaan Pengaturan Pembinaan Dan Pengawasan Terhadap Dokter Dan Dokter Gigi Pembinaan dan pengawasan merupakan hal penting dalam praktik kedokteran. Hal tersebut telah diatur didalam Pasal 7 ayat (1) huruf c jo. Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 71 UU Praktik Kedokteran. Terdapat inkonsistensi penggunaan frasa pembinaan dan pengawasan dan perbedaan pengaturan terkait dengan pihak yang berwenang dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pada rumusan pasal tersebut. Hal tersebut berpotensi menimbulkan perbedaan pemahaman dan tidak efektifnya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap praktik kedokteran. c. Kesesuaian Hak dan Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XIII/2015 Pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Tenaga Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum sehingga tenaga medis tidak lagi menjadi bagian dari tenaga kesehatan sebagaimana dalam Putusan MK No. 82/PUU-XIII/2015. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan. Adanya Putusan MK tersebut berimplikasi kepada instrument regulasi yang masih mengkategorikan dokter dan dokter gigi dalam tenaga kesehatan sehingga pada implementasinya terdapat beberapa peraturan pelaksana yang masih menggolongkan dokter dan dokter gigi sebagai tenaga Kesehatan seperti pada Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) nomor HK.01.07/MENKES/4239/2021 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan. Adanya Putusan MK yang mengeluarkan tenaga medis dari tenaga kesehatan mengakibatkan hilangnya hak dan kewajiban yang melekat pada dokter dan dokter gigi yang semula diakomodir dalam UU Tenaga Kesehatan. perlu adanya tindak lanjut dari Putusan MK tersebut dalam bentuk penyesuaian pengaturan hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran. d. Pengaturan terkait Keanggotaan KKI dalam UU Praktik Kedokteran 1) Keanggotaan PDGI dalam KKI pasca Putusan MK Nomor 10/PUU-XV/2017 Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017 hanya mengikat pada ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran sedangkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU Praktik Kedokteran yang juga mengatur keanggotaan KKI yang berasal dari organisasi profesi, yakni PDGI, tidak dimaknai sebagaimana ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran. Dampak dari perbedaan pengaturan ini adalah timbulnya perlakuan yang berbeda terhadap organisasi profesi dokter yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran, yakni IDI dan PDGI. 2) Mekanisme pengangkatan anggota KKI Selain pengaturan mengenai anggota KKI, mekanisme pengangkatan anggota KKI harus dilakukan perubahan dengan dilakukan secara independen tanpa adanya usulan dari organisasi atau asosiasi. Hal ini diatur dalam Pasal 14 ayat (4) UU Praktik Kedokteran yang berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (5) UU Praktik Kedokteran terkait tata cara pengangkatan keanggotaan KKI diatur dengan Peraturan Presiden yang diwujudkan dengan Perpres 35/2008. Berdasarkan pengaturan dalam Pasal 16 UU Praktik Kedokteran jo. Pasal 11 Perpres 35/2008, masa bakti keanggotaan KKI adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Namun pengangkatan kembali tersebut tidak diatur lebih lanjut mekanismenya secara lengkap, sehingga sejauh ini hanya ada pengaturan pengajuan calon anggota KKI yang diajukan oleh organisasi atau asosiasi sebagaimana disebutkan dalam pasal 14 ayat (1) UU Praktik Kedokteran. e. Pasal-Pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang telah mengalami perubahan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusimenyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Tindakan kooperatif antar lembaga negara sangat penting dilakukan karena produk hukum tidak dapat menjamin ekspektasi terhadap persoalan tertentu. Sebagaimana UU Praktik Kedokteran telah diajukan pengujian berulang kali oleh masyarakat dan Mahkamah Konstitusi mengabulkan 3 (tiga) perkara dari pengujian yang diajukan tersebut yakni melalui Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 40/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017. Ketentuan Pasal dan/atau ayat dalam UU Praktik Kedokteran yang mengalami perubahan berdasarkan ketiga Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2), Pasal 73 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran. Implikasi yang timbul dari tuga putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah: 1. Menghilangkan pidana penjara. 2. Menghilangkan pidana kurungan. 3. Menghilangkan Sanksi Untuk Kewajiban menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu. 4. Pengecualian Profesi Tukang Gigi. 5. Larangan pengurus IDI untuk duduk dalam keanggotaan KKI. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, sejauh ini pembentuk undang-undang belum melakukan tindak lanjut dengan melakukan perubahan pasal/ayat UU Praktik Kedokteran. Maka untuk menjamin kepastian hukum Indonesia dan untuk menghormati lembaga peradilan nasional, dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi, pembentuk undang-undang harus segera melakukan perubahan atas pasal atau ayat yang mengalami perubahan berdasarka Putusan Mahkamah Konstitusi. f. Usulan Perubahan Dan Penambahan Pengaturan: 1) Perubahan Pengaturan Susunan Pimpinan MKDKI dan Pembentukan Perwakilan MKDKI di Daerah MKDKI merupakan Majelis khusus yang bernaung dibawah KKI dengan tugas dan fungsi menegakan disiplin dokter dan dokter gigi. Pasal 58 UU Praktik Kedokteran yang membatasi pimpinan MKDKI yakni seorang ketua, seorang wakil ketua dan seorang sekretaris dipandang mengakibatkan MKDKI berjalan tidak dinamis dan tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini. Disamping itu frasa “dapat” Pasal 57 ayat (2) UU Praktik Kedokteran secara ekplisit tidak mewajibkan pembentukan MKDKI di seluruh wilayah Indonesia padahal pelaksanaan praktik kedokteran terdapat di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya perubahan pengaturan mengenai susunan pimpinan serta kewajiban pembentukan MKDKI di setiap wilayah provinsi. 2) Batasan jumlah maksimal SIP Pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi dapat dijadikan media untuk pemerataan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Pasal 37 ayat (2) UU Praktik Kedokteran membatasi jumlah maksimal pemberian SIP kepada dokter dan dokter gigi tidak didasari pada kebutuhan dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah, hal ini berdampak pada tidak meratanya ketersediaan dokter dan dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu perlu dirumuskan kembali ketentuan batasan pemberian SIP dengan menyesuaikan kondisi dan kebutuhan ketersedian dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah. 3) Pengaturan terkait dengan telemedicine dan platform online Belum ada pengaturan terkait dengan telemedicine yang berkembang akhir-akhir ini yang telah mengakibatkan pelaksanaan praktik kedokteran tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal 35 UU Praktik Kedokteran. Selain itu, perkembangan teknologi dan praktik kedokteran yang semakin maju ini belum terakomodir dengan baik dan belum memiliki payung hukum yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum. 2. Aspek Struktur Hukum a. Permasalahan Perlindungan Terhadap Dokter Perkembangan saat ini masyarakat semakin sadar atas hak-haknya yang secara otomatis menuntut adanya transparansi pelayanan kesehatan, terutama dalam kaitan hubungan dokter dengan pasien dan menyangkut keluhan yang dialami pasien serta terapi, pengobatan yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Hal yang sangat mendasar dalam pelayanan kesehatan yang selalu dipermasalahkan masyarakat terutama pasien adalah menyangkut keterbukaan, transparansi, mutu pelayanan, penerapan aturan, kedisiplinan waktu, sehingga sering diduga dokter melakukan kelalaian medis. Namun perlindungan negara terhadap dokter masih belum cukup mengatur dengan jelas khususnya terkait dengan keamanan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi. selain itu, ketidakjelasan bentuk perlindungan hukum ini menjadikan dokter mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan hukum dalam melakukan pelayanan medis. b. Permasalahan Imbalan Pelayanan Medis Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat. Oleh karenanya dokter di dalam menjalankan profesi juga mempunyai hak untuk menerima imbalan jasa, begitupun juga pasien memiliki kewajiban untuk memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkaitan dengan imbalan jasa tersebut, diatur di dalam Pasal 50 dan Pasal 53 UU Praktik Kedokteran. Namun di dalam pelaksanaannya, masih ditemukan timbulnya permasalahan dalam pelaksanaan aturan UU Praktik Kedokteran yaitu: 1) Keterbatasan APBD untuk membayar tunjangan/insentif dokter spesialis. Sedangkan rumah sakit swasta mampu membayar dengan nilai yang lebih tinggi sehingga dokter spesialis lebih tertarik untuk praktik di rumah sakit swasta tersebut. 2) Dalam praktik kedokteran dan kedokteran gigi tidak dapat dilepaskan pada pasar bebas dengan adanya pola tarif khususnya terkait dengan adanya BPJS Kesehatan. Penempatan alat kesehatan sebagai obyek pajak PPNBM menjadi masalah ketika dihadapkan dengan pelayanan kesehatan yang murah. Daerah di Indonesia yang heterogen dan memiliki perbedaan kondisi topografi, sosiologis dan ekonomisnya. Selain itu, inflasi dan kondisi ekonomi yang sangat fluktuatif juga menjadi tantangan keberadaan pola tarif pelayanan kesehatan. c. Evaluasi Dokter Dan Dokter Gigi Lulusan Luar Negeri Pelaksanaan praktik kedokteran bukan hanya diperuntukan kepada dokter dan dokter gigi lulusan dalam negeri akan tetapi juga dapat dilakukan bagi mereka yang lulusan luar negeri dengan melalui tahapan evaluasi. Pasal 30 ayat (2) UU Praktik Kedokteran yang mengatur mengenai evaluasi dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang ingin melakukan praktik di Indonesia secara impelementasi belum berjalan dengan baik hal ini dikarenakan koordinasi antar pemangku kepentingan belum berjalan sebagaimana mestinya. d. Penyelenggaraa P2KB Oleh Organisasi Profesi dan Lembaga Lain Yang Diakreditasi Oleh Organisasi Profesi Penyelengaraan P2KB merupakan hal yang penting dalam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Penyelenggaraan P2KB diatur dalam ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran. Penyelenggaraan P2KB pernah diajukan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi melalui perkara nomor 80-PUU-XVI/2018 dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan amar putusan menolak permohonan Para Pemohon. Namun, munculnya lembaga-lembaga yang juga turut menyelenggarakan P2KB seperti perusahaan-perusahaan penyelenggara layanan kesehatan berbasis elektronik tanpa adanya koordinasi dengan organisasi profesi kedokteran dan kedokteran gigi menjadikan penyelenggaraan P2KB tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 UU Praktik Kedokteran, sehingga hal ini berpotensi mengancam upaya menjaga kualitas dokter dan dokter gigi yang selama ini dilakukan oleh organisasi profesi. Selain itu, P2KB yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki standar yang jelas dimana berpotensi menghambat pengembangan kompetensi dokter dan dokter gigi yang berpraktik. e. Pengembangan Pendidikan Kedokteran Dan Kedokteran Gigi (Hospital Based & University Based) Pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis di Indonesia saat ini dilakukan di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit jejaring di bawah koordinasi fakultas kedokteran. Penerapan pendidikan dan pelatihan residen dilakukan berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional sehingga disebut sebagai 'university based'. Pendekatan lain yang dilaksanakan di kebanyakan negara di dunia adalah pendekatan 'hospital based' yaitu pendidikan dokter spesialis diserahkan pengelolaannya kepada rumah sakit dengan koordinasi dari kolegium spesialis terkait. Namun penerapan hospital based dalam pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dihadapkan pada masalah adanya kolegium. Selain itu, posisi penting residen dalam pelayanan medis ternyata belum diimbangi dengan kejelasan aspek hukum. f. Koordinasi Pemerintah (Pejabat Kesehatan Yang Berwenang Di Kabupaten/Kota) Dengan Organisasi Profesi Terkait Penerbitan SIP di PTSP Adanya PTSP dalam mekaisme perijinan ini menimbulkan kerancuan pemahaman masyarakat terkait kewenangan penerbitan SIP dan pencabutannya SIP dokter dan dokter gigi karena berdasarkan Pasal 37 ayat (1) UU Praktik Kedokteran kewenangan penerbitan SIP dalam UU Praktik Kedokteran diterbitkan oleh pejabat Kesehatan yang berwenang Kabupaten/Kota (dalam hal ini Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Permenkes 2052/2011), sedangkan dalam Perpres 97/2014 ditentukan bahwa izin dikeluarkan oleh PTSP Kabupaten/Kota sehingga terjadi disharmoni pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran. Namun sekali lagi, teknis pelaksanaan pemberian ijin dan pencabutannya harus disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak terjadi kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami regulasi dan pelaksanaannya. Permasalahan perijinan melalui sistem OSS yang dialami oleh Dinkes Kabupaten Kampar berkaitan dengan sistem yang sering mengalami gangguan dan jaringan internet yang kurang stabil. 3. Aspek Pendanaan Perkembangan di bidang kesehatan diiringi dengan terbukanya pasar global di mana dokter lulusan luar negeri pun dapat berpraktik di Indonesia selama memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan. Perkembangan di bidang Kesehatan diiringi dengan semakin banyaknya fakultas kedokteran di Indonesia. Banyaknya fakultas kedokteran yang berdiri perlu dijaga mutunya agar lulusan fakultas kedokteran dari universitas terkait menjadi lulusan yang terpercaya dan terjamin mutunya. Terkait penjagaan mutu mahasiswa kedokteran pemerintah melakukan uji kompetensi untuk mahasiswa lulusan fakultas kedokteran. Namun, pada implementasinya, terjadi perbedaan biaya untuk melakukan uji kompetensi antara lulusan dalam negeri dan lulusan luar negeri. 4. Aspek Sarana dan Prasarana a. Belum Meratanya Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis Sarana dan Prasarana Pelayanan Medis belum merata di setiap daerah terutama di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan. Hal ini disebabkan oleh akses jalan dan transportasi di daerah terpencil sulit ditempuh. Minimnya sarana dan prasarana di daerah seperti alat kesehatan yang terbatas, obat-obatan yang sulit di dapat dan minimnya rumah sakit atau puskesmas di daerah menunjukan bahwa standar pelayanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 UU Praktik Kedokteran belum berjalan secara maksimal. Selain itu, keterbatasan anggaran pengadaan maupun biaya operasional dan pemeliharaan sarana prasarana kesehatan yang tinggi menjadi salah satu penyebab tidak meratanya sarana dan prasarana. Belum meratanya pembangunan daerah di Indonesia menjadi salah satu tantangan untuk pemenuhan alat kesehatan serta obat-obatan yang dibutuhkan di daerah hal ini karena moda transportasi dan akses jalan yang sulit ditempuh. b. Belum Meratanya Distribusi Dokter Dan Dokter Gigi di Indonesia Pemerataan sarana dan prasarana di daerah harus diimbangi dengan jumlah dokter dan dokter gigi yang berpraktik. Mahasiswa lulusan fakultas kedokteran lebih banyak memilih untuk berpraktik di kota-kota besar mengakibatkan tidak meratanya pelayanan kesehatan di daerah. Beberapa faktor memengaruhi sedikitnya minat para lulusan fakultas kedokteran untuk mengabdi di daerah yaitu: • Kurang menjanjikannya pendapatan dan kesejahteraan dokter dan dokter gigi di daerah dibanding dengan kota-kota besar. • Kurang terjaminnya keselamatan dan keamanan dokter dan dokter gigi dalam menjalankan profesinya. • Kurang menguntungkan dari sisi karier dokter dan dokter gigi. • Tidak adanya kewajiban yang mengikat bagi dokter dan dokter gigi berpraktik di daerah 3T dan berakibat dalam pencapaian SKP yang terhambat. 5. Aspek Budaya Hukum Masyarakat sebagai pasien yang mendapatkan pelayanan kesehatan memiliki hak dan kewajiban yang dilindungi dalam UU Praktik Kedokteran. Dalam pemberian pelayanan dapat terjadi pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh dokter. Sehingga, pemerintah membentuk MKDKI sebagai upaya perlindungan yang maksimal bagi pasien dan dokter. MKDKI memiliki tugas untuk menerima pengaduan masyarakat terkait pelanggaran disiplin yang dirasakan pasien. MKDKI menyediakan form pengaduan secara online untuk memudahkan masyarakat. Namun, masyarakat belum teredukasi dengan baik terkait pengaduan kepada MKDKI sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti tugas dan fungsi MKDKI serta bagaimana mekanisme pengaduan kepada MKDKI. Hal ini yang menyebabkan masyarakat langsung melakukan gugatan secara perdata ke pengadilan dan menyebabkan ketidakpastian hukum bagi dokter. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila Menurut BPIP, terdapat beberapa pasal dalam UU Praktik Kedokteran yang berpotensi tidak selaras dan bertentangan dengan dengan sila kedua, sila ketiga, sila keempat dan sila kelima Pancasila, di antaranya: a. Adanya Frasa “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi” dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan Sila Kedua dan Sila Keempat Pancasila. Frasa ini secara tegas melimitasi eksistensi organisasi profesi dokter dan dokter gigi. Padahal, seharusnya setiap orang bebas untuk berserikat dan mendirikan organisasi, selama tidak bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi. Pembatasan ini tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya organisasi profesi dokter dan dokter gigi lainnya, selain yang sudah tertulis dalam pasal tersebut. b. Idealnya pelaksanaan Pasal 30 UU Praktik Kedokteran mengenai evaluasi dokter lulusan luar negeri termasuk dengan program adaptasi dilakukan oleh suatu tim koordinasi yang menghimpun semua perwakilan pemangku kepentingan dalam suatu Komite atau Tim Evaluasi. Dengan demikian, dapat dipastikan proses evaluasi Dokter LLN termasuk masa adaptasi akan lebih efektif dan efisien. Pasal 30 UU Praktik Kedokteran ini jika tidak ditambahkan ketentuan mengenai Komite Evaluasi, akan bertentangan dengan Sila Kedua Pancasila. c. Idealnya ketentuan dalam Pasal 38 UU Praktik Kedokteran mengenai SIP sepenuhnya diambil alih oleh pemerintah. Dapat diasumsikan, setiap dokter yang telah memiliki STR pasti sudah layak untuk berpraktek. Lagi pula keberadaan rekomendasi dari organisasi profesi tidak menjamin sepenuhnya terkait etika profesi dokter. Untuk itu, sebaiknya Pasal 38 ayat (1) UU Praktik Kedokteran diubah dengan menghapuskan ketentuan mengenai memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. d. Idealnya ketentuan dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 53 huruf d UU Praktik Kedokteran untuk dapat mengadaptasi mekanisme yang diatur dalam UU SJSN. UU SJSN mengamanatkan agar pembayaran layanan kesehatan dibuat satu sistem melalui asuransi sosial. Dengan demikian, tidak ada lagi dokter yang mendapatkan imbalan dari pasien, begitu pula sebaliknya. e. Pasal 54 ayat 2 dan Pasal 71 UU Praktik Kedokteran mengamanatkan agar pembinaan dilakukan secara bersama-sama antara KKI dengan organisasi profesi. Hal ini bertentangan dengan Sila Ketiga Pancasila. Seharusnya, organisasi profesi tidak diberikan kewenangan sebesar pembinaan. Organisasi profesi harus dimaknai sebagai serikat profesi, yaitu berkumpulnya orang-orang dengan profesi yang sama dalam rangka memenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia dengan profesi tertentu. Kewenangan pembinaan idealnya diberikan kepada KKI sebagai lembaga otonom yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden, bersama-sama dengan Kementerian Kesehatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah di sektor kesehatan. Intervensi dari Kementerian Kesehatan dalam proses pembinaan juga berfungsi untuk memonitoring dan mengevaluasi kualitas layanan kesehatan Indonesia, serta untuk mencegah dan menangani terjadinya malpraktik. Selain itu, diperlukan juga optimalisasi peran, fungsi dan tugas dari KKI sebagai lembaga otonom. f. Belum adanya pengaturan telemedicine (telehealth). g. Belum adanya pengaturan perihal distribusi dan pemerataan serta kesejahteraan dokter dan dokter gigi.
1. Substansi Hukum a. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU Kesehatan dengan menambahkan “alat yang digunakan untuk penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan, bentuk upaya pelayanan kesehatan dan pihak dalam penyelenggaraan pelayananan Kesehatan” di dalam Pasal 1 angka 9 UU Praktik Kedokteran terkait definisi dari sarana fasilitas kesehatan. b. Perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran dengan menambahkan “DLP dan dokter spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah” untuk rumusan definisi dokter dan “dokter gigi spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah untuk rumusan definisi dokter gigi” di dalam Pasal 1 angka 2 UU Praktik Kedokteran definisi dokter dan dokter gigi. c. Perlu dirumuskan ulang dengan lebih jelas mengenai definisi organisasi profesi dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran guna menghindari adanya potensi multitafsir dan pemahaman yang berbeda oleh setiap pemangku kepentingan. d. Perlu adanya kejelasan pengaturan terkait kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, KKI dan Organisasi Profesi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan dalam praktik kedokteran. e. Perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi terkait nomenklatur tenaga medis (dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis) dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan serta penambahan pengaturan mengenai hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi dalam UU Praktik Kedokteran yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di bidang Kesehatan. Dan perlu menjadi perhatian pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan definisi tenaga kesehatan dengan memperhatikan pembagian jenis tenaga medis yang mengakomodir dokter dan dokter gigi. f. Perlu adanya penyesuaian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-XV/2017 dan adanya penyesuaian ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU Praktik Kedokteran dengan pengaturan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a UU Praktik Kedokteran dan perubahan materi muatan Pasal 14 ayat (4) UU Praktik Kedokteran. g. Perlu segera melakukan revisi berupa perubahan Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 14 ayat (2), Pasal 73 ayat (2), Pasal 75 ayat (1), Pasal 76, Pasal 78, dan Pasal 79 huruf c UU Praktik Kedokteran sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 4/PUU-V/2007, Putusan Nomor 40/PUU-X/2012, dan Putusan Nomor 10/PUU-XV/2017. h. Perlu adanya penambahan pengaturan yang terkait dengan keanggotaan MKDKI serta kewajiban pembentukan MKDKI di setiap wilayah provinsi. Dan ketentuan pasal 58 UU Praktik Kedokteran diubah dengan ketentuan wakil ketua dan sekertaris tidak bisa dibatasi hanya satu, sehingga harus disesuaikan dengan kebutuhannya. i. Perlu dirumuskan kembali ketentuan pembatasan maksimal pemberian SIP dengan mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan dokter dan dokter gigi pada masing-masing wilayah. Dan pengaturan pemberian SIP dengan kewajiban salah satunya wajib berpraktik di pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh pemerintah. j. Perlu adanya pengaturan mengenai teknologi medis dan penggunaannya termasuk telemedicine dalam hukum kesehatan di Indonesia. 2. Struktur Hukum a. Perlu adanya perhatian pemerintah dan pemerintah daerah terhadap perlindungan dokter dan dokter gigi khususnya terkait keamanan dan kesejahteraan. b. Perlu memastikan implementasi, monitoring, dan evaluasi terkait permasalahan imbalan medis agar berjalan secara optimal sehingga perlu adanya kesinambungan koordinasi dan komitmen antara Pemerintah, KKI, dan IDI serta pemangku kepentingan lainnya terkait perbaikan standar biaya imbalan pelayanan medis dan pola tarif khusus secara proporsional dengan adanya BPJS Kesehatan. c. Koordinasi antar pemangku kepentingan menjadi sangat penting agar dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri dapat dilakukan secepatnya mengingat hal ini terkait dengan hak asasi manusia dari dokter dan dokter gigi untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. d. Perlu adanya penegakan fungsi pengawasan dan penertiban lembaga lembaga penyelenggara P2KB secara ketat dari pemerintah mengingat ilmu kedokteran dalam praktiknya menyangkut kehidupan dan keselamatan nyawa manusia. e. Perlu adanya penerapan hospital based dalam pendidikan profesi kedokteran di Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan profesi dokter dan dokter gigi dengan memperhatikan pengaturan yang ada dalam UU Sisdiknas, UU Pendidikan Kedokteran, dan UU Praktik Kedokteran dan perlu dilakukan penelaahan lebih lanjut atas posisi residen dalam pelaksanaan fungsi pendidikan dan pelayanan serta hak dan kewajibannya. f. Perlu adanya sosialisasi peraturan, sistem, dan pelaksanaan perijinan khususnya dalam penerbitan dan pencabutan SIP terhadap masyarakat. Selain itu perlu adanya dukungan sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan perijinan terpadu dengan sistem elektronik yang tengah diberlakukan secara nasional. 3. Pendanaan Perlu adanya persamaan tarif terkait biaya UKDI bagi lulusan dokter dan dokter gigi dalam negeri maupun lulusan luar negeri. 4. Sarana dan Prasarana a. Perlu adanya kebijakan yang memudahkan penyamarataan pengadaan sarana prasarana fasilitas Kesehatan di daerah. Selain itu, pemerataan sarana dan prasarana kesehatan harus didukung oleh pemerintah dengan melakukan pengkajian ulang terhadap alokasi APBN dan APBD untuk kesehatan dengan memperhatikan kebutuhan setiap daerah, serta komitmen dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemenuhan sarana dan prasarana pelayanan Kesehatan. b. Perlu adanya peningkatan kesejahteraan dokter dokter di daerah dengan memperhatikan pendapatan, pemberian reward, tempat tinggal, dan keamanan dokter c. Perlu adanya koordinasi antara pemerintah dengan organisasi profesi terkait pemutakhiran data dokter di suatu kabupaten/ kota agar dokter dan dokter gigi terutama dokter spesialis dapat terdistribusi dengan baik d. Peninjauan ulang APBN dan APBD terkait kesehatan dengan menetapkan APBD kesehatan di luar gaji dokter. e. Perlu adanya pembinaan dan pengawasan lebih lanjut terkait program dan pengembangan kompetensi dokter agar lebih menarik minat dokter untuk berpraktik di daerah. 5. Budaya Hukum Perlu koordinasi dengan lembaga dan aparat penegak hukum terkait pelaporan pengaduan pasien dalam hal pelanggaran disiplin kedokteran. Disamping itu perlu juga sosialisasi secara masif kepada masyarakat. 6. Aspek Pengarusutamaan Nilai-Nilai Pancasila a. Perlu pengaturan mengenai tidak adanya pembatasan bagi tumbuhnya organisasi profesi dokter dan dokter gigi lainnya, selain yang sudah tertulis dalam Pasal 1 angka 12 UU Praktik Kedokteran. b. Perlu penambahan pengaturan mengenai Komite Evaluasi dalam Pasal 30 UU Praktik Kedokteran. c. Perlu menghapuskan ketentuan Pasal 38 ayat (1) huruf c UU Praktik Kedokteran yaitu “memiliki rekomendasi dari organisasi profesi” dan sepenuhnya dapat diambil alih oleh pemerintah berkaitan dengan SIP tersebut. d. Perlu pengadaptasian mekanisme yang diatur dalam UU SJSN yaitu pembayaran layanan kesehatan melalui satu sistem melalui asuransi sosial dalam Pasal 50 huruf d dan Pasal 53 huruf d UU Praktik Kedokteran. e. Perlu optimalisasi peran, fungsi dan tugas dari KKI sebagai lembaga otonom untuk kewenangan pembinaan penyelenggaraan praktik kedokteran dan keterlibatan dari Kementerian Kesehatan dalam proses pembinaan berfungsi untuk memonitoring dan mengevaluasi kualitas layanan kesehatan. f. Perlu penambahan pengaturan telemedicine (telehealth). g. Perlu penambahan pengaturan perihal distribusi dan pemerataan serta kesejahteraan dokter dan dokter gigi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selanjutnya, untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Perlindungan dan jaminan kebutuhan umat muslim untuk menggunakan dan/atau mengkonsumsi produk halal dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU Jaminan Produk Halal). UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Selama kurang lebih 8 (delapan) tahun sejak UU Jaminan Produk Halal diundangkan dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa permasalahan, baik dari sisi substansi, kelembagaan, sarana dan prasarana, budaya hukum, serta dari sisi pemenuhan nilai-nilai Pancasila. Permasalahan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal yang terjadi selama ini antara lain yaitu adanya perbedaan pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU terkait lainnya; kurangnya sinergitas antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal; belum optimalnya pengawasan terkait produk halal oleh BPJPH dengan Kementrian dan/atau Lembaga terkait terkait; keterbatasan sarana dan prasarana, dan belum optimalnya peran serta masyarakat. Hal ini menyebabkan belum optimalnya fungsi dan tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal sebagaimana diamanatkan oleh UU Jaminan Produk Halal.
1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Ketidakjelasan Definisi “Produk” Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan definisi Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Pada tataran implementasi ruang lingkup frasa definisi “jasa, produk rekayasa genetik, barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat” dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal terlalu luas dan menimbulkan multitafsir sehingga banyak pelaku usaha dan konsumen yang belum memahami frasa tersebut dan ketidakjelasan tersebut akan berdampak bagi pelaku usaha sehubungan “produk” yang wajib disertifikasi halal. b. Belum Terakomodirnya Standar Halal Terhadap Produk Yang Beredar Di Indonesia Dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal menentukan bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal” untuk menjamin kepastian hukum dari setiap produk yang akan dilakukan sertifikasi halal maka standar halal merupakan suatu parameter yang diperlukan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dalam melakukan proses sertifikasi halal terhadap suatu produk. Namun, Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal belum mengkaomodir pengaturan terkait standar halal dalam suatu proses sertifikasi produk melainkan dalam implementasinya hanya ditetapkan melalui Keputusan Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH). Hal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya yang juga berdampak pada kurang optimalnya tujuan penyelenggaraan jaminan produk halal pada saat ini dikarenakan tidak adanya pengaturan lebih lanjut terkait standar halal terhadap proses suatu produk guna mendapatkan sertifikasi halal. c. Belum Adanya Pengaturan Lebih Lanjut Terkait Halal Self Declare Dalam Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal Pasal 4A UU Jaminan Produk Halal mengatur kewajiban sertifikasi halal produk bagi setiap pelaku usaha mikro dan kecil yang didasarkan pada pernyataan halal pelaku usaha mikro dan kecil/halal self declare. Namun, hingga pada saat ini pengaturan lebih lanjut mengenai halal self declare hanya diatur Keputusan Kepala BPJPH Nomor 57 Tahun 2022 tentang Manual Sistem Jaminan Produk Halal Untuk Sertifikasi Halal Dengan Pernyataan Pelaku Usaha Mikro Dan Kecil (Self Declare) yang bersifat penetapan administratif (beschikking) bukan bersifat mengatur (regeling) tersebut sehingga berpotensi menimbulkan kerancuan/ketidakpastian hukum dalam tataran implementaisnya, sebab produk UMK yang diperdagangkan berpotensi tidak dapat dijamin 100% (seratus persen) kehalalannya. d. Frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal Dibentuknya UU Jaminan Produk Halal bertujuan untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Guna menjamin terseleggaranya jaminan produk halal telah dibentuk Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (3) UU Jaminan produk Halal. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal mengatur bahwa “Dalam hal diperlukan BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.” Namun, dalam pelaksanaannya BPJPH belum memiliki perwakilan di daerah hingga saat ini, sehingga fungsi dari BPJPH belum dapat berjalan optimal, salah satu faktor belum adanya perwakilan BPJPH di daerah adalah frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal sehingga berpotensi menghambat koordinasi antara LPH maupun lembaga lain dengan BPJPH dalam rangka penyelenggaraan JPH halal dikarenakan BPJPH yang hanya berada di pusat, sedangkan fungsi BPJPH sangat diperlukan keberadaaanya di daerah. e. Belum Adanya Pengaturan Sanksi Pidana Untuk Pemalsuan Sertifikat Dan/Atau Label Halal Terdapat kekosongan hukum dalam UU Jaminan Produk Halal terkait belum adanya pengaturan sanksi untuk pemalsuan Sertifikat Halal dan Label Halal padahal secara empiris, telah terjadi beberapa kasus pemalsuan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal. Dalam permasalahan tersebut sanksi pidana merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula ketika telah terjadi pelanggaran sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha lainnya sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama. f. Perbedaan Pengaturan UU Jaminan Produk Halal dengan UU Lainnya 1) Perbedaan Pengaturan terkait kewenangan pengawasan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Pangan Terdapat perbedaan pengaturan antara Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan terkait pengaturan pengawasan dalam penyelenggaraan jaminan produk halal. Pasal 95 ayat (1) UU Pangan mengatur bahwa pengawasan terhadap produk halal dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Namun, Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal hanya menentukan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan produk halal dilakukan oleh BPJPH dan Kementerian dan/atau Lembaga terkait tanpa adanya pengaturan pengawasan oleh Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum terhadap kewenangan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia. 2) Perbedaan Pengaturan antara UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdagangan Bahwa terdapat potensi disharmoni terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal dengan UU Perdangangan. Dalam Pasal 1 Angka 14 UU Perdagangan, menyebutkan “Setiap orang perseorangan warga negara Indonesia, …”. Namun, dalam Pasal 1 Angka 12 UU Jaminan Produk Halal menyebutkan “Orang Perseorangan”. Dengan demikian, dalam UU Perdagangan unsur “perseorangan” lebih dikhususkan hanya warga negara Indonesia. Oleh karena itu, rumusan definisi Pelaku Usaha dalam UU Jaminan Produk Halal berpotensi multitafsir pada tataran implementasinya serta berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kedudukan orang perseorangan WNA yang melakukan kegiatan perdangangan di wilayah Indonesia. 3) Perbedaan Pengaturan Antara UU Jaminan Produk Halal Dengan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Terdapat perbedaan pengaturan terkait kewenangan pengawasan dalam pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk Halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam hal ini khususnya pegawasan terhadap produk hewan. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan mengamanatkan bahwa Pemerintah Daerah ikut serta dalam pengawasan produk hewan namun dalam UU Jaminan Produk Halal hanya mengamantkan BPJPH dan lembaga dan/atau kementrian terkait dalam pengawasan JPH di daerah, hal ini dapat menimbulkan multitafsir dan tidak efektif dalam pelaksanaannya. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN a. Belum Optimalnya Penyelenggaraan Sertifikasi Halal BPJPH berwenang sebagai koordinator, verifikasi, penerbitan sertifikat dalam penyelenggaraan JPH, sedangkan LPH sebagai pemeriksa dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk serta MUI berwenang melakukan sidang fatwa dan penentuan kehalalan produk. Akan tetapi dalam implementasinya berdampak tidak terpenuhinya jangka waktu sertifikasi halal yang telah ditetapkan dalam UU Jaminan Produk Halal sehingga menyebabkan belum optimalnya pemenuhan asas dan tujuan penyelenggaran JPH. b. Belum adanya Mutual Recoginition Arrangment (MRA) Dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal MRA sebagai suatu instrumen dalam perdagangan bebas memainkan peranan penting dalam pengembangan kerja sama internasional jaminan produk halal. MRA membuka peluang Indonesia untuk percepatan ekspor produk halal dan menjadi pemain dalam pasar halal global bukan hanya sebagai konsumen. Namun, sampai saat ini Pemerintah Indonesia belum melakukan MRA terkait JPH sehingga bahan baku mentah yang diimpor dari negara pengirim tetap harus dilakukan sertifikasi halal ketika sampai di Indonesia serta sulitnya sertifikat halal terhadap suatu produk dari BPJPH diterima di beberapa negara. c. Belum Optimalnya Pengawasan Penyelenggaraan Produk Halal Bahwa belum optimalnya pengawasan penyelenggaraan produk halal oleh BPJPH dikarenakan beberapa faktor, yakni pertama, penghubung BPJPH di daerah hanya berupa Satgas Halal yang menjalankan tugas dan fungsinya hanya sebagai tugas tambahan bukan berupa tugas pokok sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan JPH belum berjalan optimal. Kedua, Pemerintah Daerah belum terlibat dalam pengawasan penyelenggaraan JPH. Ketiga, minimnya kolaborasi dan koordinasi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait pengawasan penyelenggaraan JPH sehingga amanat Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 UU Jaminan Produk Halal mengenai pengawasan penyelenggaraan produk halal. 3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Minimnya Jumlah LPH di Indonesia LPH berfungsi melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk guna pelaksanaan sertifikasi halal, namun pada saat ini jumlah keberadaan LPH di Indonesia masih minim. Hingga saat ini baru terdapat 11 (sebelas) LPH yang terakreditasi BPJPH. Namun jumlah LPH tersebut tidak proporsional dengan kebutuhan sertifikasi halal pada saat ini. Sehingga menyebabkan terhambatnya pelaksanaan sertifikasi halal seperti yang diamanatkan dalam ketentuan Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal. b. Belum Optimalnya Aplikasi Penunjang Sertifikat Halal Bahwa saat ini BPJPH telah mempunyai sistem layanan penyelenggaraan JPH menggunakan layanan berbasis elektronik yang terintegrasi sebagai penunjang sertifikasi produk Halal dengan nama aplikasi SiHalal, akan tetapi dalam Impelementasinya aplikasi tersebut masih belum optimal sehingga timeline sertifikasi halal belum sesuai sebagaimana ketentuan UU Jaminan Produk Halal jo. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP 39/2021) serta merugikan pelaku usaha. c. Minimnya Jumlah Auditor Halal Auditor halal merupakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai tugas penting dalam hal proses mendapatkan sertifikat halal suatu produk, sebab auditor halal bertugas untuk memeriksa kehalalan suatu produk mulai dari bahan hingga proses produksi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UU Jaminan Produk Halal. Namun, dalam pelaksanaannya pada saat ini jumlah auditor halal baik di pusat maupun di daerah tidak proporsional (minim) dengan banyaknya jumlah produk yang harus dilakukan sertifikasi halal sehingga berakibat terhadap lamanya proses pemeriksaan kehalalan produk dikarenakan keterbatasan jumlah auditor halal yang juga berdampak terhadap penerbitan sertifikat halal dan label halal. Selain itu, hal tersebut juga dapat berdampak pada terhambatnya pelaku usaha untuk menjual produknya sehingga menyebabkan kerugian terhadap pelaku usaha, dengan demikian penyelenggaraan jaminan produk halal tidak dapat berjalan optimal. 4. ASPEK BUDAYA HUKUM Peran serta masyarakat sebagai konsumen maupun sebagai Pelaku Usaha masih minim dalam rezim mandatory Halal. Hal tersebut dikarenakan pemahaman masyarakat sebagai konsumen terkait produk non-halal masih sebatas produk yang memiliki kandungan daging babi saja. Selanjutnya, bagi Pelaku Usaha, masih minimnya informasi terkait mekanisme sertifikasi halal mandatory. Serta baik Konsumen maupun Pelaku Usaha belum memahami maksud dan tujuan halal mandatory yang diamanatkan UU Jaminan Produk Halal. 5. ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA Terdapat beberapa pasal dalam UU Jaminan Produk Halal yang berpotensi dan bertentangan dengan sila pertama dan sila ke 2 (dua): a. Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal yang belum mengakomodir asas syariat sebagai salah satu asas dalam UU Jaminan Produk Halal, mengingat bahwa lahirnya UU Jaminan Produk Halal merupakan jaminan atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan umat muslim dalam mengkonsumsi suatu produk. Dengan demikian Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal berpotensi bertentangan dengan sila pertama Pancasila; b. Bahwa dihilangkannya sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal jo. UU Cipta Kerja berpotensi bertentangan dengan indikator Pancasila terhadap sila ke-2 (dua).
1.Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. perubahan perumusan yang lebih lengkap dan jelas terkait definisi produk dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal; b. penambahan ayat terkait frasa “standar halal” dengan mengamanatkan peraturan pelaksana dalam Pasal 4 UU Jaminan Produk Halal; c. pengaturan lebih lanjut terkait halal self declare dengan mendelegasikan peraturan pelaksana sebagai mekanisme halal self declare; d. perubahan terhadap frasa “Dalam hal diperlukan dan dapat” dalam Pasal 5 ayat (4) UU Jaminan Produk Halal; e. penambahan pengaturan rumusan tindak pidana serta bentuk sanksi pidana bagi subjek hukum yang memalsukan Sertifikat Halal dan/atau Label Halal; f. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 95 ayat (1) UU Pangan; g. harmonisasi pengaturan terkait rumusan definsi Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka 12 UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 1 angka 14 UU Perdangangan; h. harmonisasi pengaturan terkait kewenangan pengawasan JPH dalam Pasal 51 ayat (1) UU Jaminan Produk halal dengan Pasal 58 ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2.Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, diperlukan: a. konsep halal by design yaitu perbaikan secara komprehensif dimulai dari Pertama, perlu adanya pengaturan terkait standar halal. Kedua, perlu adanya penguatan kewajiban sertifikasi halal dari sektor hulu. Ketiga, perlu adanya sinergitas antara LPH di seluruh Indonesia dalam memeriksa produk halal dan kerjasama yang optimal antara BPJPH, MUI, LPH serta Lembaga dan Kementerian terkait dalam penyelenggaraan JPH; b. sinergi antara BPJPH dengan Kementerian dan/atau Lembaga terkait untuk. memulai MRA sebagai suatu langkah bagi Indonesia sebagai pengembangan kerjasama internasional dalam JPH; c. optimalisasi dalam sistem pengawasan JPH antara lain: pertama, BPJPH perlu ada perwakilan di daerah serta ada jabatan khusus pengawas produk halal terutama di daerah. Kedua, BPJPH perlu lebih mengoptimalkan koordinasi dan kolaborasi lintas kementerian dan/atau Lembaga serta Pemerintah Daerah terkait pengawasan produk halal. 3.Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. dukungan fasilitas pendirian LPH yang berkualitas oleh Pemerintah di berbagai daerah; b. perbaikan sistem apalikasi SiHalal; c. menambah SDM Auditor halal dengan melakukan berbagai rekrutmen auditor halal yang berkompeten di seluruh wilayah Indonesia. 4. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: sosialisasi kepada masyarakat oleh BPJPH terkait keberadaan UU Jaminan Produk Halal serta memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah berperan dalam penyelenggaraan JPH. 5. Aspek Pengarustamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: a. penambahan asas prinsip syarih dalam Pasal 2 UU Jaminan Produk Halal; b. perubahan sanksi yang lebih tegas, jelas, berkeadilan, dan berkeadaban dalam Pasal 48 UU Jaminan Produk Halal.
2Perdagangan nasional Indonesia sebagai penggerak utama perekonomian tidak hanya terbatas pada aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan transaksi Barang dan/atau Jasa yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, baik di dalam negeri maupun melampaui batas wilayah negara, tetapi aktivitas perekonomian yang harus dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang diselaraskan dengan konsepsi pengaturan di bidang Perdagangan sesuai dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia, yaitu masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (selanjutnya disebut UU Perdagangan) yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional serta berdasarkan asas kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan berusaha, akuntabel dan transparan, kemandirian, kemitraan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan. Selama kurang lebih hampir 8 (delapan) tahun dengan beberapa kali perubahan, sehingga perlu dilakukan pembaharuan agar substansi di dalam UU 7/2014 dapat memberikan kepastian hukum yang lebih luas kepada masyarakat. Selama berlaku, UU 7/2014 memiliki beberapa isu yang terjadi antara lain: permasalahan terkait pengaturan perdagangan melalui sistem elektronik, masih terdapat beberapa peraturan pelaksana yang belum diterbitkan oleh Pemerintah, pelanggaran terhadap larangan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting pada saat terjadi kelangkaan barang dan gejolak harga, belum optimalnya peran pemerintah dan pemda dalam pemenuhan ketersediaan barang kebutuhan pokok dalam memberikan perlindungan dan pengamanan perdagangan, permasalahan pelaksanaan pengendalian perdagangan luar negeri yang diatur oleh pemerintah pusat, implementasi pelabelan SNI terhadap barang perdagangan, pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah yang multisektoral, tidak memadainya dana untuk mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, pengelolaan pasar rakyat dalam rangka peningkatan daya saing, tingkat kepatuhan pelaku usaha baik konvensional maupun yang menggunakan PMSE, dan peningkatan peran serta masyarakat. Selain itu terdapat potensi disharmoni pengaturan UU 7/2014 dengan pengaturan lainnya.
1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Permasalahan Terkait Pengaturan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Perkembangan dalam perdagangan saat ini tidak hanya melakukan kegiatan perdagangan secara konvensional namun sudah berkembang lebih jauh dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi yang ada saat ini, perkembangan tersebut tentu saja akan berdampak positif dalam perkembangan perekonomian sehingga saat ini perdagangan dengan sistem elektronik marak dilakukan atau lebih dikenal dengan e-commerce. Dalam UU Perdagangan pengaturan terkait hal tersebut diatur dalam Pasal 65 UU Perdagangan yang mengatur terkait dengan PMSE. Dengan begitu besarnya potensi e-commerce di Indonesia tentu saja memerlukan kesiapan baik itu dalam hal infrastruktur dan juga regulasi yang mengatur kegiatan e-commerce tersebut. Permasalahan dan tantangan dalam PMSE yang ditemui antara lain belum adanya pengaturan yang jelas terkait bisnis model PMSE khususnya bisnis lokapasar, indikasi praktik white labelling atas produk UMKM, belum adanya pengaturan atau ketentuan yang jelas bagi Pedagang Luar Negeri, masih ditemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, serta masih ditemukannya barang yang dijual di lokapasar yang belum memenuhi standar serta proses pangaduan dan penyelesaian sengketa. b. Masih Terdapat Beberapa Peraturan Pelaksana Yang Belum Diterbitkan oleh Pemerintah Peraturan pelaksana merupakan peraturan yang dibentuk atas delegasi dari peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya untuk mengatur hal tertentu. Dalam UU Perdagangan sendiri masih terdapat peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan hingga saat ini yang antara lain diatur dalam Pasal 18 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), Pasal 72, Pasal 73 ayat (4), Pasal 97 ayat (6) dan Pasal 101 ayat (3) UU Perdagangan. Belum diterbitkannya bebeberapa peraturan pelaksanaan tersebut berpotensi menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya. c. Perbedaan Pengaturan Antara UU Perdagangan dengan Undang-Undang Lainnya: 1) UU Perdagangan dengan UU Perlindungan Konsumen Terdapat perbedaan definisi Pelaku Usaha yang ada di UU Perdagangan dan UU Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan memberikan batasan bahwa Pelaku Usaha hanya WNI dan badan usaha yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang dibentuk di wilayah NKRI. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan batasan demikian dalam pendefinisian Pelaku Usaha. Perbedaan definisi Pelaku Usaha dalam kedua undang-undang tersebut berpotensi menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Sebab, kegiatan e-commerce tentunya tidak dapat dibatasi oleh aspek teritorial. 2) UU Perdagangan dengan UU JPH Terdapat perbedaan definisi antara Pelaku Usaha yang diatur dalam UU Perdagangan dengan yang diatur dalam UU JPH. Sebab, definisi Pelaku Usaha dalam UU Perdagangan yang membatasi hanya WNI dan badan usaha yang berkedudukan di wilayah NKRI menjadikan ruang lingkup yang lebih sempit dibandingkan definisi Pelaku Usaha dalam UU JPH. Selain itu terdapat perbedaan pengaturan dalam Pasal 57 ayat (1) UU Perdagangan dengan Pasal 4 UU JPH dalam hal produk yang beredar dimana dalam UU JPH mewajibkan untuk produk yang akan masuk, beredar dan akan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal sementara dalam UU Perdagangan tidak mewajibkan hal tersebut melainkan hanya mensyaratkan untuk memenuhi SNI dan persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. Hal tersebut berpotensi menimbulkan hambatan dalam implementasinya. d. Pelanggaran Terhadap Larangan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting Pada Saat Terjadi Kelangkaan Barang dan Gejolak Harga Pemenuhan barang kebutuhan pokok merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, dalam hal ini pemenuhan barang kebutuhan pokok tersebut termasuk kedalam kebutuhan primer yang mutlak untuk dipenuhi. Menurut Organisasi Buruh Internasional atau ILO (International Labour Organization), kebutuhan primer ialah kebutuhan fisik minim masyarakat, berkaitan dengan kecukupan kebutuhan pokok setiap masyarakat baik masyarakat kaya maupun miskin. Lebih lanjut dalam Pasal 29 UU Perdagangan mengatur terkait dengan larangan bagi pelaku usaha untuk menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan. Adanya larangan tersebut tentu saja bertujuan untuk menjamin pemenuhan atas barang kebutuhan pokok terhadap masyarakat. Dalam tataran implementasi masih banyak terjadi penimbunan barang, karena pengaturan yang belum jelas khususnya terkait dengan jangka waktu, dan volume penimbunan serta pihak yang berwenang menentukan kelangkaan barang gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Meskipun telah ada langkah-langkah antisipasi yang dilakukan oleh pemeritah dan pemerintah daerah dalam mengendalikan barang kebutuhan pokok, namun pada implementasinya masih kerap ditemui pelaku usaha yang menimbun barang kebutuhan pokok tersebut meskipun sudah dilarang sebagaimana pengaturan dalam Pasal 29 UU Perdagangan dan terdapat sanksi apabila melanggar ketentuan tersebut. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN a. Belum Optimalnya Peran Pemerintah Dan Pemda Dalam Pemenuhan Ketersedian Barang Kebutuhan Pokok Dalam Memberikan Perlindungan Dan Pengamanan Perdagangan Perlindungan dan pengamanan perdagangan dalam pelaksanaannya masih tejadi fluktuasi harga barang pokok dan barang penting banyak dipengaruhi oleh faktor perekonomian dan geopolitik global, terutama untuk barang bersumber dari impor serta rantai pasok yang belum efektif dan efisien yang dipengaruhi akibat belum tepatnya kebijakan yang diambil. Oleh karena itu, peran Pemerintah dan Pemerintah Pusat masih belum optimal dalam pemenuhan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting di dalam negeri. Hal tersebut dikarenakan pemerintah dan pemerintah daerah masih belum memiliki informasi ketersediaan pasokan dalam negeri yang valid. Dalam UU Perdagangan sebenarnya sudah mengatur bahwa sistem informasi perdagangan yang terintegrasi dapat menciptakan informasi perdagangan yang real time di seluruh wilayah Indonesia. Masalah yang saat ini dihadapi adalah sistem informasi perdagangan terintegrasi tersebut datanya masih tersebar di berbagai K/L, sehingga masih belum dapat menentukan arah kebijakan yang sesuai sehingga baik pemerintah maupun pemerintah daerah masih harus mengecek persediaan dengan turun ke lapangan secara manual. b. Permasalahan Pelaksanaan Pengendalian Perdagangan Luar Negeri yang diatur oleh Pemerintah Pusat Perdagangan Luar Negeri atau Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan, antara individu dengan pemerintah suatu negara, atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain . Terkait dengan kegiatan Perdagangan Luar Negeri tersebut diatur secara khusus oleh UU Perdagangan dalam BAB V UU Perdagangan. Menurut salah satu stakeholder sebagai pelaksana ketentuan-ketentuan tersebut masih terdapat kendala yang terjadi dan ditemukan dalam pelaksanaannya di lapangan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pekalongan mengatakan bahwa masih terdapat kendala yang terjadi dalam segi pengendalian yaitu terkait lamanya penerbitan Perizinan Berusaha/persetujuan Eksportir dan/atau Importir untuk melakukan kegiatan ekspor dan/atau impor barang. c. Implementasi Pelabelan SNI Terhadap Barang Perdagangan Standardisasi ialah suatu patokan atau pedoman yang digunakan untuk menjadi acuan minimal dalam mencapai keselarasan. Standardisasi disebut sebagai usaha bersama dalam pembentukan sebuah standar. Standarisasi diatur secara khusus dalam Bab VII UU Perdagangan dan dibagi dalam dua bagian yaitu Bagian Kesatu yang berisi mengenai Standarisasi Barang serta Bagian Kedua mengenai Standarisasi Jasa. Terkait Standarisasi Barang, dalam Pasal 57 UU Perdagangan dikatakan bahwa barang-barang yang diperdagangkan di dalam negeri harus memenuhi dua syarat, yaitu harus memenuhi Standar Nasional Indonesia (untuk selanjutnya disebut sebagai SNI) yang telah diberlakukan secara wajib; atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib. Kewajiban Pelaku Usaha dalam melakukan pemenuhan SNI terhadap suatu barang yang diperdagangkan sudah diatur dengan sangat baik dalam Undang-Undang, namun dalam implementasinya masih terdapat kendala yang terjadi di lapangan. Hal ini disampaikan oleh beberapa stakeholder bahwa implementasi standar pemberlakuan SNI wajib belum terintegrasi secara lengkap atau komperehensif. d. Pemberdayaan Koperasi Serta Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Yang Multisektoral Ketentuan terkait Pemberdayaan Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tersebut diatur secara khusus dalam BAB X UU Perdagangan yaitu pada Pasal 73 UU Perdagangan. Dalam Pasal 73 ayat (1) UU Perdagangan dikatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor Perdagangan. Pengaturan mengenai Pemberdayaan Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sudah diatur dengan baik dan jelas dalam UU Perdagangan, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala yang terjadi. Hal tersebut disampaikan oleh para stakeholder baik di pusat maupun daerah sebagai pelaksana ketentuan dan yang mengkaji terkait kendala pelaksanaan ketentuan tersebut. Kendala-kendala tersebut yaitu tumpang tindih kewenangan pembinaan dan pendampingan terhadap pelaku usaha ekspor UMKM, belum terlaksananya pelaksanaan digitalisasi UMKM, dan modal koperasi serta UMKM yang cenderung sedikit. 3. ASPEK PENDANAAN a. Tidak Memadainya Dana Untuk Mengendalikan Kestersediaan Barang Kebutuhan Pokok Dan/Atau Barang Penting UU Perdagangan terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yakni Pasal 25 sampai dengan Pasal 34 UU Perdagangan. Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut, mengatur bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau. Dalam Pasal 10 Perpres 59/2020 mengatur tentang biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan pengendalian ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, selama ini, sebagian besar Pemerintah Daerah masih bergantung pada anggaran dari pusat termasuk dana dekonsentrasi dalam melakukan upaya peningkatan produksi barang kebutuhan pokok dan barang penting dikarenakan kebijakan perdagangan yang masih merupakan urusan pilihan. Sehingga diperlukan menjamin ketersediaan barang dengan data yang valid dan terintegrasi dengan ketersediaan barang dalam pasar tradisional dan modern. b. Hambatan Anggaran Dalam Pemberdayaan Perdagangan UMKM di Daerah Pelaku usaha UMKM merupakan pelaku ekonomi yang tersebar ditengah-tengah masyarakat yang terus berkembang pada era otonomi daerah, baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Pemberdayaan koperasi serta usaha mikro, kecil dan menengah diatur dalam Bab X Pasal 73 UU Perdagangan. Pemberdayaan terhadap koperasi serta usaha mikro, kecil, dan menengah di sektor perdagangan dapat berupa pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis, akses dan/atau bantuan permodalan, bantuan promosi dna pemasaran. Akan tetapi masih terdapat beberapa permasalahan yang terjadi terkait dengan akses dan/atau bantuan permodalan. Selain itu, dalam PP 7/2021, terdapat pengaturan mengenai Pemkab/Pemkot memiliki kewenangan melakukan restrukturisasi terhadap koperasi, akan tetapi secara pendanaan dari segi anggaran kemungkinan pemerintah daerah tidak bisa melaksanakannya dikarenakan tidak dianggarkan di mata anggaran tahunan. 4. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Sistem Terintegrasi Terkait Data Yang Valid Sistem informasi perdagangan yang selama ini terlaksana masih tersebar dalam Kementerian/Lembaga masing-masing yang menyediakan data informasi perdagangan berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Sistem informasi perdagangan terintegrasi memiliki fungsi untuk mengetahui jumlah pasokan kebutuhan dalam negeri sehingga diharapkan terdapat informasi yang akurat yang tersedia dalam hal memberikan kebijakan yang tepat guna untuk Indonesia setiap waktu. Data yang ada di daerah tersebut harusterintegrasi dan sampai ke Pemerintah agar dapat diketahui kondisi perdagangan nasional secara holistik. Sebaliknya, tidak tersedianya data pasokan yang valid di dalam negeri menjadi salah satu penyumbang kesalahan pemerintah dalam menilai pasokan kebutuhan dan cara untuk mengantisipasinya karena sering kali data yang tidak valid atas keadaan perdagangan di Indonesia membuat pemerintah baru turun ke pasar ketika terjadi kesulitan pasokan dan harga yang tidak stabil. Jika hal ini terus terjadi dikhawatirkan terjadi inflasi yang berdampak luas pada timbulnya resesi ekonomi sebagaimana yang telah dialami oleh berbagai negara lain. b. Pengelolaan Pasar Rakyat dalam rangka peningkatan daya saing Pasar Rakyat adalah tempat usaha yang ditata, dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa toko, kios, dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil dan menengah, swadaya masyarakat, atau Koperasi serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan proses jual beli barang melalui tawar menawar Pasar Rakyat mempunyai peran yang sangat penting sebagai penggerak perekonomian, sehingga dalam pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitasnya diatur secara khusus dalam Pasal 13 dan Pasal 14 UU Perdagangan. Namun dalam pelaksaannya, masih terdapat beberapa kendala yang terjadi. Kendala tersebut adalah pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas pengelolaan Pasar Rakyat belum menunjukkan skala penilaian yang baik karena masih minimnya penganggaran perbaikan fasilitas dan pembangunan Pasar Rakyat; dan masih terdapat beberapa bangunan Pasar Rakyat yang tidak termanfaatkan secara maksimal. 5. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Tingkat Kepatuhan Pelaku Usaha baik Konvensional maupun yang menggunakan PMSE Pemerintah telah menerbitkan PP 80/2019 pada 24 November 2019. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, PMSE adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik atau yang lebih dikenal dengan istilah e-commerce. PP 80/2019 mengatur pokok-pokok transaksi e-commerce baik dari dalam maupun luar negeri, mencakup pelaku usaha, perizinan, dan pembayaran. Dalam implementasinya, masih ada kesulitan penerapan dalam hal penyelesaian sengketa khususnya transaksi elektronik yang nilai transaksinya tidak begitu besar, data/informasi barang tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang diterima, dan sanksi administratif tidak berjalan efektif bilamana masyarakat tidak melaporkan. Sedangkan terhadap pelaku usaha yang tidak menyediakan data dan/atau informasi secara benar maka diancam dengan sanksi pidana sebagaimana yang tertulis pada Pasal 115 UU Perdagangan. Selain itu, implementasi penjatuhan sanksi sulit diterapkan. Selain itu, dalam pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku usaha PMSE sangat sulit mengingat market place telah menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa berupa pergantian produk apabila produk tidak sesuai. Pelaku usaha e-commerce juga belum memenuhi ketentuan SNI wajib dan pelaku usaha masih kurang mendapatkan sosialisasi berkaitan dengan aturan regulasi sektor perdagangan khususnya mengenai perdagangan melalui sistem elektronik/OSS. b. Peningkatan Peran Serta Masyarakat Dalam UU Perdagangan belum mengatur tentang Peran Serta Masyarakat. Hal ini merupakan hal sangat penting dikarenakan untuk pembangunan ekonomi di bidang perdagangan demi memajukan kesejahteraan umum seperti pelibatan masyarakat itu sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam bidang perdagangan, masyarakat dapat membantu Pemerintah dalam melakukan pengawasan ataupun memberikan masukan-masukan terkait dengan kendala-kendala yang terjadi di bidang perdagangan. 6. ASPEK PENGARUSUTAMAAN NILAI-NILAI PANCASILA Masih terdapat beberapa pengaturan dalam UU Perdagangan yang belum selaras dengan nilai-nilai Pancasila, diantaranya: a. Definisi Pelaku Usaha dalam UU Perdagangan yang hanya dibatasi kepada WNI saja berpotensi mendiskriminasikan antar pelaku usaha, terutama pelaku usaha luar negeri, sehingga bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila; b. Ketentuan Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan mengatur larangan pembatasan ekspor dan impor. Namun, frasa “kepentingan umum” dalam Pasal 50 UU Perdagangan tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kriteria yang dimaksud dengan kepentingan umum sehingga menimbulkan multitafsir. Selain itu, frasa “industri tertentu” dalam Pasal 54 UU Perdagangan juga tidak menjelaskan secara tegas mengenai kriteria industri tertentu yang dimaksudkan sehingga menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan tidak selaras dengan sila ke-5 Pancasila; c. Pasal 57 dan Pasal 113 UU Perdagangan mewajibkan SNI untuk semua barang yang diperdagangkan dan disertai dengan sanksi apabila pelaku usaha melanggar. Namun, ketentuan ini berpotensi merugikan pelaku usaha UMKM yang masih kesulitan memenuhi kewajiban SNI. Sehingga, ketentuan ini belum selaras dengan sila ke-5 Pancasila; d. Pasal 67 ayat (3) UU Perdagangan mengindikasikan bahwa tidak adanya aturan tentang perlindungan dan pengamanan bagi pelaku UMKM yang terkena dampak perdagangan bebas sehingga belum selaras dengan sila ke-4 Pancasila.
1. Dalam aspek Substansi Hukum, diperlukan: a. Perubahan ketentuan Pasal 65 UU Perdagangan terkait PMSE yang di dalam ketentuan perubahan nantinya mengatur terkait: • Pengaturan mengenai standarisasi produk yang diperoleh dengan PMSE secara cross borde transaction; • Pengaturan mengenai perdagangan melalui media sosial (social commerce) yang saat ini berkembang melalui platform facebook, Instagram, dan tiktok • Mengatur mengenai pencegahan dan penindakan terhadap adanya predatory pricing. • Pengaturan tegas terkait pemblokiran usaha yang menerapkan PMSE tidak sesuai ketentuan hukum supaya lebih efektif. b. Upaya dari pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaan yang menjadi amanat dalam UU Perdagangan agar pelaksanaan UU Perdagangan dapat berjalan efektif; c. Sinkronisasi dan harmonisasi terkait dengan frasa “Pelaku Usaha” dalam Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan dengan UU Perlindungan Konsumen; d. Sinkronisasi dan harmonisasi terkait dengan frasa “Pelaku Usaha” dalam Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan dengan UU JPH; dan e. Penegasan pengaturan terkait dengan kriteria penimbunan dalam Pasal 29 UU Perdagangan agar dapat berjalan dengan lebih efektif. 2. Dalam aspek Struktur Hukum, diperlukan: a. pengawasan yang ketat terhadap cross border transaction dan selalu meng-update seluruh komoditas bahan baku dan komoditi setiap kebutuhan pokok maupun kebutuhan penting nasional secara berkala khususnya mendekati hari raya yang riskan mengalami kenaikan angka kebutuhan di masyarakat dan menyegerakan pembangunan sistem informasi perdagangan yang terintegrasi agar dapat menghasilkan informasi perdagangan yang real time disetiap daerah guna menelaah faktor-faktor penyebab dari permasalahan perlindungan dan pengamanan komoditi tertentu serta dapat menjadi pertimbangan untuk menentukan arah kebijakan perdagangan yang tepat. b. Sinergi dan transparansi dari Pemerintah Pusat dalam proses penerbitan perizinan berusaha/persetujuan ekspor dan/atau impor baik kepada para Eksportir dan/atau Importir maupun kepada Pemerintah Daerah yang menangani hal tersebut. Selain itu, dibutuhkan koordinasi yang kuat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam memberikan informasi terkait proses penerbitan perizinan berusaha/persetujuan ekspor dan/atau impor agar tidak terjadinya miss communication antara Pemerintah Daerah dengan Eksportir dan/atau Importir. Sosialisasi terkait informasi proses penerbitan perizinan berusaha/persetujuan ekspor dan/atau impor dapat dilakukan melalui sistem informasi perdagangan dengan menambahkan informasi tersebut kedalamnya. Selain itu menurut Akademisi FH Unnes, Pemerintah perlu melakukan penanganan kegiatan-kegiatan dari perdagangan perbatasan; c. koordinasi terkait pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang mempunyai kewenangan dalam bidang Perdagangan khususnya mengenai Standardisasi Barang ke pasar tradisional, toko modern, toko elektronik, dan pelaku usaha lainnya. Selain itu, dibutuhkan penguatan sosialisasi juga yang dilakukan oleh Kementerian atau Lembaga terkait dalam melakukan penghimbauan kewajiban dan pentingnya pemenuhan SNI dan pemberian logo SNI dalam suatu barang yang diperdagangkan. Selain itu, menurut Akademisi FH Unnes, permasalahan terkait perizinan misalnya uji produk untuk memenuhi SNI pada suatu barang dikenakan biaya satu persatu sehingga pelaksanaannya selama ini tidak efisien. Oleh karena itu, dibutuhkan penyederhanaan dalam proses tersebut; d. Adanya batasan yang jelas terkait kewenangan dalam hal pembinaan dan pemberdayaan UMKM dan Koperasi antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian terkait lainnya agar tidak terjadi tumpang tindih; melakukan sinergi terhadap pengawasan pelaksanaan kegiatan digitalisasi UMKM yaitu Pemerintah dapat bekerja sama atau berkoordinasi dengan pihak-pihak yang memiliki kompetensi dalam melakukan hal tersebut; serta Pemerintah harus berupaya lebih keras lagi untuk membantu para pengusaha dalam memberikan kemudahan untuk mendapatkan perizinan membuka usaha di UMKM, membantu produk Koperasi dan UMKM agar dapat menembus pasar, dan memudahkan akses permodalan kepada pelaku Koperasi dan UMKM. 3. Dalam aspek Pendanaan, diperlukan: a. Komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah daerah dalam menjamin ketersediaan barang dengan data yang valid dan terintegrasi dengan ketersediaan barang dalam pasar tradisional dan modern; b. koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkait penyediaan pembiayaan yang bersumber dari APBN dan APBD untuk mendukung UMKM di daerah dan perlunya upaya pemberian pengkhususan syarat (priviledge) dalam hal pelabelan tersebut serta dapat dilakukan dengan memberikan insentif atau pemberian subsidi kepada UMKM. 4. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, diperlukan: a. Peran dari pemerintah untuk mempercepat proses transformasi digital. Percepatan tersebut dapat dilakukan jika kondisi prasyarat penting terpenuhi yaitu tersedianya SDM berkeahlian digital tinggi, infrastruktur digital yang merata, dan juga iklim usaha yang mendukung inovasi dan pertumbuhan perusahaan start up baru. b. Komitmen dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembangunan, pemberdayaan dan peningkatan kualitas Pasar Rakyat termasuk dengan melakukan peningkatan pengawasan terhadap fasilitas Pasar Rakyat. 5. Dalam aspek Budaya Hukum, diperlukan: a. penguatan pemberian sanksi dan pengawasan kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU Perdagangan dan memperkuat edukasi terhadap masyarakat selaku konsumen; b. ruang bagi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pelaksanaan perdagangan di Indonesia baik itu dalam hal pengawasan dan pelaksanaan kebijakan perdagangan di Indonesia. 6. Dalam aspek Pengarus Utamaan Nilai-Nilai Pancasila, diperlukan: a. revisi Pasal 1 angka 14 UU Perdagangan terkait definisi “Pelaku Usaha”, karena tidak selaras dengan Sila Ke-5; b. revisi Pasal 50 dan Pasal 54 UU Perdagangan terkait perlindungan kepada kepentingan umum baik melindungi pasar dan pelaku usaha, karena tidak selaras dengan Sila Ke-5; c. revisi Pasal 57 dan Pasal 113 UU Perdagangan terkait kewajiban pemberlakuan SNI untuk barang yang diperdagangkan, karena tidak selaras dengan Sila Ke-5; d. revisi Pasal 67 ayat (3) UU Perdagangan terkait perlindungan dan pengamanan perdagangan bagi pelaku UMKM, karena tidak selaras dengan Sila Ke-4.