Kajian, Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (SIPANLAK UU)

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana Diubah Dengan UU No. 1 Tahun 2014

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Sebagaimana Diubah Dengan UU No. 1 Tahun 2014

Tanggal
2016-05-16
Lokasi
Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi D.I. Yogyakarta

Selama berlakunya UU PWP3K sejak tahun 2007, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PWP3K antara lain: (Dalam Bab I) a. Isu Utama per aspek : Aspek Substansi hukum: - Terdapat rumusan norma multitafsir - Adanya disharmoni dengan UU 23 Tahun 2014 (UU Pemda) - Adanya peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan - Penyusunan Perencanaan PWP3K - Proses reklamasi - Perijinan - Pengelolaan konservasi - Pengawasan Aspek Kelembagaan/struktur hukum - Akreditasi terhadap Program PWP3K - Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan Aspek Budaya Hukum - kurangnya sosialisasi peran masyarakat - Kurangnya sosisalisasi terkait peraturan menteri tentang peran serta masyarakat. Aspek Sarana dan Prasarana - Sarana dan prasarana yang terbatas Aspek Pendanaan - Terbatasnya kemampuan anggaran daerah b. Putusan MK - bertentangan dengan UUD 1945 Putusan Mahkamah Konstitusi - Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 tanggal 16 Juni 2011 menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal22, pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 - Diubah UU - No. 1/2014 c. Perlak belum diterbitkan - Peraturan Pemerintah : Pasal 20 ayat (4), Pasal 51 ayat (3) - Peraturan Presiden : Pasal 49 - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan : Pasal 71 ayat (3) d. Prolegnas urutan ke-144

Pelaksanaan UU PWP3K sejak tahun 2007 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Aspek Substansi Hukum Umum - Terdapat rumusan norma dalam UU PWP3K yang mengandung multitafsir yang menimbulkan multi interpresi dimana dapat berpotensi tidak dapat dilaksanakannya UU tersebut dengan baik, Tidak disebutkan secara khusus (eksplisit) menyebutkan definisi ataupun batasan mengenai “nelayan” dan “masyarakat pesisir” - Adanya disharmoni dengan UU 23 Tahun 2014 (UU Pemda) yaitu dalam hal kewenangan. Dalam UU Pemda, hanya memberikan kewenangan meliputi pengelolaan, penerbitan izin dan pemberdayaan masyarakat, tetapi tidak memberikan kewenangan terkait perencanaan seperti yang terdapat dalam UU PWP3K. - Adanya peraturan pelaksanaan yang belum diterbitkan hingga adanya perubahan menjadi UU No 1 Tahun 2014 dan sampai dengan tahun 2016 masih banyak Pemerintah Provinsi yang belum memiliki Perda tentang Perencanaan Zonas Perencanaan - Penyusunan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil masih belum dapat dilaksanakan secara maksimal dan menyeluruh Reklamasi - Proses reklamasi pada lingkungan meliputi dampak fisik seperti halnya perubahan hidrooseanografi, sedimentasi, peningkatan kekeruhan air, pencemaran laut, peningkatan potensi banjir dan genangan di wilayah pesisir, rusaknya habitat laut dan ekosistemnya Selain itu, berdampak pada perubahan sosial ekonomi seperti kesulitan akses publik ke pantai, berkurangnya mata pencaharian Perijinan - Pasal-pasal dalam UU PWP3K masih sulit untuk diimplementasikan, dikarenakan dalam RZWP3K sesuai dengan skala peta 1:1000.000 masih bersifat arahan dan masih menunggu peraturan menteri mengenai perijinan terkait perairan. - Lambatnya penetapan RZWP3K disebabkan antara lain: • masih rendahnya komitmen dan prioritas dari stakeholder; • belum tersedianya data sesuai kebutuhan teknis untuk penyusunan RZWP3K, baik kuantitas maupun kualitas; • masih kurangnya pemahaman teknis dalam penyusunan RZWP3K; • terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP3K; dan • terjadi perubahan peraturan perundang-undangan terkait dengan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil bagi Pemerintah Daerah. - Banyaknya kendala dalam masalah perijinan sehingga UU ini belum dilaksanakan secara optimal adalah karena stakeholder belum memahami secara lengkap dan satu persepsi terhadap UU No 27 Tahun 2007 jo UU N0 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sehingga kebijakan dalam pelaksanaan UU tersebut seolah-olah hanya sektor Kelautan dan Perikanan yang berkepentingan padahal kebijakan tersebut menyangkut peran multi sektor. Konservasi - Dalam pengelolaan konservasi perlunya sinergi antara daerah dan pusat sebagai upaya penyesuaian terhadap UU No. 23 Tahun 2014 dengan UU No. 1 Tahun 2014; pedoman dan Kawasan Strategis Nasional Terpadu terkait izin lokasi harus jelas; dan insentif bagi kabupaten/kota yang telah mengalokasikan wilayahnya sebagai kawasan konservasi Pengawasan - Di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, peran serta masyarakat dalam hal pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil masih belum berjalan. Hal ini tentunya disebabkan belum adanya Perda RZWP3K, yang mana pada saat ini RZWP3K tersebut masih dalam tahap penyusunan oleh pemerintah provinsi setempat. b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum - Pemerintah daerah selaku pihak yang bertanggungjawab dalam melakukan pengawasan dan pengendalian PWP3K mempunyai peranan strategis. Sebagai contoh di Provinsi Sumatera Utara, Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan pengawasan terhadap sumber daya kelautan dan perikanan melalui kegiatan patroli di perairan Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatera. Namun, terdapat informasi menarik bahwa setidaknya ada 21 stakeholder yang terlibat di Provinsi Sumatera Utara dan tidak ada sinergitas dari seluruh stakeholder tersebut karena sebagian besar stakeholder memiliki dan mengacu pada peraturan perundangan tersendiri. - Akreditasi terhadap Program PWP3K di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta belum dilaksanakan. Padahal provinsi ini sudah memiliki RZWP3K sejak tahun 2011. Agar akreditasi dapat dilakukan, pemerintah daerah harus segera mengesahkan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K, serta pemerintah pusat harus segera menerbitkan peraturan pelaksana mengenai izin lokasi dan izin pengelolaanWP3K - Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan - Ada beberapa kementerian dan lembaga yang menangani sektor kelautan kerap diwarnai tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan. Ego structural lintas pemerintah mendominasi, sedang infrastruktur kelautan tidak cukup untuk mengimbangi sektor lain sehingga laut semakin tertinggal c. Aspek Budaya Hukum - Pelaksanaan UU PWP3K ke sejumlah daerah, khususnya ke provinsi-provinsi yang belum selesai membuat peraturan daerah (perda) terkait RZWP3K di daerahnya seperti Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, tergambarkan bahwa salah satu kesulitan atau hambatan bagi pemerintah provinsi dalam membuat RZWP3K adalah dalam hal menghimpun data atau informasi dari pemerintah kabupaten/kota - Masyarakat juga kurang dilibatkan dalam proses penyusunan RZWP3K - Di Provinsi Sulawesi Selatan, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan masih kurang. Organisasi masyarakat, contoh organisasi nelayan, sebagai representasi dari masyarakat pesisir, dalam hal ini HNSI, menyatakan hampir tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian PWP3K. d. Aspek Sarana dan Prasarana - Di DIY, masih adanya kendala dalam pengawasan yaitu jumlah tenaga pengawas dan sarana prasarana yang terbatas. - Diberlakukannya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan beberapa ketidakpastian hukum dalam pengelolaan sumber daya alam sehubungan dengan bagaimana pembagian kewenangan fungsi dalam hukum antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten e. Aspek Pendanaan - Terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP3K

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU PWP3K Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: a. Aspek substansi - perlu adanya kesamaan pandangan dari pemangku kepentingan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, pelaku usaha, serta masyarakat - untuk menjamin data dan informasi yang valid dan lengkap untuk penyusunan seluruh dokumen perencanaan khususnya untuk penyusunan RZWP-3-K, dibutuhkan sumber daya manusia yang tepat serta koordinasi antar instansi, sehingga kelengkapan dan kevalidan data dapat terjamin secara cepat dan akurat. - Perlu ada aturan lebih rinci terkait Pemda memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau- pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; Perlu ada aturan lebih rinci terkait Pemda memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional untuk melakukan pemanfaatan ruang dan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau- pulau kecil untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari - Diperlukan harmonisasi atau penyesuaian antara Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan undang-undang terkait lainnya dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini mengingat bahwa saat ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki peran lebih besar regulasi dan kewenangan di daerah, selain itu juga guna menghindari adanya overlapping antar peraturan perundang-undangan. - UU PWP3K diperlukan suatu perubahan atau revisi, untuk menjawab permasalahan disharmonisasi antara UU PWP3K dengan UU Pemda serta UU terkait lainnya. Mengenai pengelolaan pesisir, perencanaan zonasi, penerbitan izin, pemanfaatan, dan pemberdayaan masyarakat pesisir, perlu diperjelas kewenangannya. Kejelasan kewenangan dimaksud, agar penegakan hukum terhadap UU tersebut dapat diterapkan di masyarakat - Untuk keefektifan dalam pelaksanaan UU PWP3K, pemerintah supaya mendesak percepatan perencanaan zonasi bagi Pemerintah Provinsi yang belum memiliki atau mengesahkan Perda tentang Perencanaan Zonasi. Dengan penyelesaian Perda-Perda Zonasi dimaksud, agar dalam pemanfaatan di lapangan atau daerah, Pemda segera mengevaluasi izin lokasi yang sudah dikeluarkannya. b. Aspek kelembagaan - Agar akreditasi dapat dilakukan, pemerintah daerah harus segera mengesahkan RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K, dan RAPWP3K, serta pemerintah pusat harus segera menerbitkan peraturan pelaksana mengenai izin lokasi dan izin pengelolaan WP3K. - Untuk dapat melaksanakan program pembinaan dengan baik dan tepat sasaran, diperlukan suatu guideline, modul atau semacam kurikulum pembinaan yang sistematis, terarah dan berjenjang. Selain itu untuk mendukung mekanisme pengawasan monitoring dan evaluasi, diperlukan juga indikator-indikator standar penilaian yang terukur dan disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. c. Aspek Budaya Hukum - Pemerintah hendaknya secara proaktif mendorong dan mengajak peran serta masyarakat dalam pelaksanaan UU PWP3K, agar peraturan pelaksanaan yang sudah dibuat, yaitu Permen tentang Peran serta masyarakat tidak hanya berhenti di konsepsi peraturan, namun benar-benar diimplementasikan dengan sosialisasi secara proaktif dalam mengajak peranserta masyarakat. Hal ini terkait dengan pemberdayaan masyarakat wilayah pesisir yang menjadi stakeholder utamanya. d. Aspek Pendanaan - perlunya dukungan anggaran yang cukup dan memadai untuk membiayai seluruh proses atau langkah yang harus ditempuh oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAWP-3-K.

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 1999 
tentang Kehutanan

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Tanggal
2016-05-11
Lokasi
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimatan Tengah, dan Provinsi Jambi

Selama berlakunya UU No, 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) sejak tahun 1999, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Kehutanan antara lain: (Dalam Bab I) a. Isu Utama per aspek Aspek Substansi hukum: - adanya peraturan pelaksana yang berpotensi masalah - pengaturan UU Kehutanan belum disesuaikan dengan putusan MK - adanya konflik kawasan antara status hutan dan fungsi hutan Aspek Kelembagaan/struktur hukum adanya konflik antara masyarakat dengan swasta dan Pemerintah Aspek Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terbatas Aspek Pendanaan - Aspek Budaya Hukum kurangnya peran masyarakat b. Putusan MK - Putusan Perkara Nomor 34/PUU-IX/2011, pengujian terhadap Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999. - Putusan Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011, pengujian terhadap Pasal 1 ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999. - Putusan Perkara Nomor 34/PUU-X/2012, pengujian terhadap Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), serta Pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), UU Nomor 41 Tahun 1999. - Putusan Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014, pengujian terhadap UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. c. Perlak belum diterbitkan tidak ada d. Prolegnas Urutan ke-41

Pelaksanaan UU Kehutanan sejak tahun 1999 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Aspek Substansi Hukum 1) asas-asas penyelenggaraan kehutanan belum mencerminkan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat 2) adanya konflik kawasan antara status hutan dan fungsi hutan, karena penetapan status dan fungsi hutan dilakukan hanya berdasarkan pada citra satelit saja tidak mempertimbangkan presentase kelerengan, kepekaan terhadap erosi, dan curah hujan 3) peraturan Bersama Mendagri, Menhut, MenPU, dan Kepala BPN mengenai Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada di dalam Kawasan Hutan, berpotensi masalah karena dalam pengakuan terhadap masyarakat yang telah menempati kawasan hutan tidak membedakan status kawasan hutan 4) dalam penetapan kawasan konservasi belum memperhatikan ketentuan Pasal 15 UU Kehutanan, yang terdiri dari empat tahapan yaitu: 1) penunjukan; 2) penatabatasan 3) pemetaan; dan 4) penetapan. Hal ini juga dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011 yang pada pokoknya harus memperhatikan Pasal 15 UU Kehutanan. Selama ini penetapan kawasan konservasi hanya dilakukan melalui penunjukan saja 5) UU Kehutanan tidak secara detil mengatur konsekuensi hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dari ketentuan Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 66 6) terkait masyarakat hukum adat seharusnya diatur dalam UU tersendiri sehingga status mengenai masyarakat hukum adat jelas dengan batas-batas wilayahnya 7) Adanya kerusakan dan pembakaran hutan di Jawa Timur misalnya 99 % diakibatkan faktor manusia, baik kesengajaan atau lalai. Kasus tindak pidana di Provinsi Jawa Timur, antara lain, 1) penjarahan hutan tahun 1997/1998 seluas sekitar 2.733,5 ha, yang sampai saat ini belum berhasil dipulihkan secara menyeluruh; 2) illegal logging di wilayah SPTN 2 Ambulu yang disinyalir dilakukan secara terorganisir oleh masyarakat sekitar hutan (Desa Andongrejo dan Sanenrejo). 8) lemahnya pengawasan dan pengamanan pada kawasan hutan eks HPH yang berstatus quo (tidak dikelola). 9) tidak konsistennya beberapa peraturan yang diterbitkan oleh kementerian LKH (sering berubah dalam waktu singkat). 10) belum adanya prosedur penanganan illegal logging yang baku untuk menjadi acuan bagi semua pihak yang terkait b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) adanya konflik antara masyarakat dengan swasta dan Pemerintah terkait klaim terhadap kawasan hutan karena ada kebijakan pengelolaan hutan yang tidak menempatkan masyarakat sebagai pertimbangan utama 2) instansi yang mengeluarkan perijinan tidak transparan dalam memberikan informasi terkait peredaran tata usaha kayu di wilayahnya c. Aspek Sarana dan Prasarana 1) pelaksanaan pengawasan kehutanan yang dilaksanakan oleh oleh Polisi Hutan dan PPNS bidang kehutanan belum optimal karena keterbatasan SDM dan sarana prasarana 2) sumber daya manusia di sektor kehutanan baik PPNS kehutanan maupun Polisi Hutan (Polhut) jumlahnya tidak sebanding dengan luas hutan yang harus diawasi 3) luas wilayah dan sulitnya akses jalan menuju hutan bBelum adanya sistem dan mekanisme sidik cepat terhadap pengawasan, pengamanan, dan penegakan hukum terkait penebangan maupun peredaran kayu d. Aspek Pendanaan - e. Aspek Budaya Hukum 1) peran serta masyarakat belum dilaksanakan dengan maksimal

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Kehutanan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: a. Aspek Substansi Hukum 1) dalam penetapan satus dan fungsi hutan dicek melalui fisik dilapangan tidak hanya melalui citra satelit saja 2) perlunya transparansi pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dan pemberian Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang bisa dimonitor penegak hukum (Polri, PPNS) agar memudahkan pengawasan di lapangan dalam rangka mencegah terjadinya perusakan hutan 3) perlu dilakukan tata batas dan penetapan kawasan serta adanya evaluasi fungsi guna memberikan kepastian hukum dalam penegakan hukum dibidang kehutanan b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) perlunya optimalisasi pengawasan pihak dinas Kehutanan dan instansi yang berwenang terkait alih fungsi kawasan hutan 2) perlu dikenakan sanksi penjara minimal 5 tahun agar penyidik dapat melakukan penahanan terhadap tersangka, seperti Pasal 78 ayat (12) dan diperlukan ketentuan mengenai batas sanksi minimal agar lebih memberi kepastian hukum dan efek jera 3) perlu adanya peningkatan koordinasi antar institusi penegak hukum sektpr kehutanan 4) perlu penguatan kualitas polisi hutan agar proses pembuktian tindak pidana dapat berlangsung efektif 5) perlu adanya penegakan hukum dalam praktik illegal logging yang melibatkan institusi penegak hukum serta Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan c. Aspek Sarana dan Prasarana 1) harus ada upaya perubahan untuk mencari solusi pengalihan mata pencaharian bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan oleh pemerintah daerah maupun dinas terkait, dikarenakan masih banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang mata pencahariannya hanya bergantung pada kegiatan penebangan kayu, penambangan liar baik secara legal maupun illegal yang dimanfaatkan oleh para cukong dan pemodal d. Aspek Pendanaan - e. Aspek Budaya Hukum 1) peraturan pelaksanaan dari Pasal 70 UU Kehutanan perlu segera untuk diterbitkan guna menjadi acuan dalam keterlibatan peran serta masyarakat

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Kajian dan Analisis Pemantauan Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Tanggal
2016-05-10
Lokasi
Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Sumatera Utara

Selama berlakunya UU Ketenagakerjaan sejak tahun 2003 Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Ketenagakerjaan antara lain: (Dalam Bab I) a. Isu Utama per aspek - aspek substansi hukum - aspek kelembagaan/struktur hukum - aspek Sarana dan Prasarana - aspek pendanaan - aspek budaya hukum b. Putusan MK - Dicabut putusan MK No. 012/PUU/I/2003, Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 170 dan Pasal 171 dan Pasal 186 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Dicabut putusan MK No. 115/PUU-VII/2009, Pasal 120 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Dicabut putusan MK No. 19/PUU-IX/2011, Pasal 164 ayat (3) frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu” - Dicabut putusan MK No. 27/PUU-IX/2011, Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 - Dicabut putusan MK No. 37/PUU-IX/2011, Pasal 155 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap - Dicabut putusan MK No. 58/PUU-IX/2011, Pasal 169 ayat (1) huruf c, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Dicabut putusan MK No. 100/PUU-X/2012, Pasal 96 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Dicabut putusan MK No. 67/PUU-XI/2013, Pasal 95 ayat (4) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Dicabut putusan MK No. 7/PUU-XII/2014, Pasal 59 ayat (7) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat - Dicabut putusan MK No. 72/PUU-XIII/2015, Pasal 90 ayat (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat c. Perlak belum diterbitkan - Pasal 28 ayat (2) - Pasal 47 ayat (3) dan (4) - Pasal 75 ayat (2) - Pasal 100 ayat (3) - Pasal 101 ayat (4) - Pasal 156 ayat (5) d. Prolegnas Urutan ke-90 (prolegnas)

Pelaksanaan UU Ketenagakerjaan sejak tahun 2003 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Aspek Substansi Hukum 1) adanya disharmoni UU Ketenagakerjaan dengan Permenakertrans RI No. 232/PEM/2003 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Ketentuan Pasal 24 UU Naker mengatur bahwa pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia. Namun aturan pelaksananya yaitu Permenakertrans RI No. 232/PEM/2003 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri Pasal 2 mengatur pemagangan diselenggarakan oleh perusahaan yang memiliki unit pelatihan, dan jika perusahaan tidak memiliki unit pelatihan, dapat melakukan kerja sama dengan LPK. Pasal 24 UU Naker tidak mempersyaratkan perusahaan harus memiliki unit pelatihan. Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pemagangan dapat dilakukan di perusahaan sendiri dengan membuat perjanjian magang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 UU Naker 2) belum ada aturan khusus mengatur mengenai tanggung jawab pengusaha dalam meningkatkan kompetensi pekerjanya, sehingga tidak semua pengusaha melaksanakan kewajiban tersebut 3) dalam praktik, pelatihan kerja dianggap kurang menarik dan manfaatnya tidak dirasakan secara langsung oleh pekerja pelaksanaan pelatihan kerja masih diutamakan untuk pekerja yang memiliki hubungan kekerabatan kepada bubuhan/kerabat dengan pihak perusahaan 4) terdapat potensi penyimpangan dalam penyelenggaraan pelatihan kerja, seperti dikenakannya biaya pelatihan kepada peserta, dan penyimpangan dana pelatihan kerja sehingga menjadi kasus pidana karena peserta pelatihan direkayasa 5) penempatan pekerja belum sepenuhnya sesuai dengan kompetensi 6) menurut SP Mathilda–FSPPB, peran Disnakertrans kurang maksimal dalam pengembangan kompetensi bagi lulusan SMK dan S1. Seharusnya pemagangan diarahkan pada peningkatan skill/keahlian dan tenaga spesialis agar sejalan dengan persaingan kerja yang semakin berat, terlebih lagi dengan dibukanya pasar bebas Asia Tenggara (MEA) 7) pekerja magang diberikan upah di bawah upah minimum dengan alasan bukan pekerja perusahaan. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang diatur didalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengenai upah minimum 8) terdapat ketidakjelasan pengaturan mengenai TKA yang diatur secara umum dan didelegasikan kepada peraturan pelaksana, seperti aturan tentang masa kerja, jabatan, standar kompetensi dan dana kompensasi. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai aturan turunan tentang TKA yang bersifat sektoral dan tidak jelas standarnya 9) ketentuan Pasal 3 Permenaker No. 35 Tahun 2015 yang menghapus ketentuan tentang kewajiban pemberi kerja yang mempekerjakan 1 orang TKA untuk menyerap sekurang-kurangnya 10 orang tenaga kerja lokal, telah membuka kesempatan pada perusahaan untuk mempekerjakan TKA tanpa pembatasan yang jelas, sehingga jumlah TKA lebih besar dari tenaga kerja lokal bahkan bisa saja semua adalah TKA. Kondisi ini bertentangan dengan Pasal 45 UU No. 13 Tahun 2003 yang mewajibkan kepada pemberi kerja untuk menunjuk tenaga kerja WNI sebagai tenaga kerja pendamping 10) terdapat ketentuan outsourcing yang dilanggar tidak sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan yaitu kriteria penentuan kegiatan utama (core) dan kegiatan penunjang (non-core) dalam penerapan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, tidak sama dengan kriteria non-core yang diatur oleh beberapa sektor (misalnya dalam UU Naker kriteria non-core adalah kegiatan yang dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, sedangkan dalam peraturan di sektor migas kriteria non-core terkait dengan besar kecilnya risiko pekerjaan). 11) banyak perusahaan yang melaksanakan pemborongan pekerjaan tanpa mendapatkan alur dari asosiasi sectoral. Alur dari asosiasi sektoral harus disetujui oleh Pemerintah, sementara tidak ada batasan/standar kategori pembuatan alur proses produksi. Kemudian banyak perusahaan vendor yang melaksanakan pemborongan pekerjaan yang tidak mendaftarkan perjanjian pemborongan kepada instansi ketenagakerjaan kabupaten/kota, sementara tidak ada sanksi yang dapat diberikan 12) dalam praktik, masih terdapat anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak 13) terkait dengan Pasal 88 dan 89 UU ketenagakerjaan yang menjadi kontroversi adalah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan 14) terdapat Putusan MK No. 012/PUU-I/2003, sanksi pada Pasal 186 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 jika pekerja/buruh melanggar Pasal 137 dan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 disebut oleh MK tidak proporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasar buruh yang dijamin oleh UUD Tahun 1945 dalam rangka kebebasan menyatakan sikap. Putusan MK mengenai aturan mogok kerja dan lock out dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 perlu di-review karena banyak pasal yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga terjadi kekosongan hukum 15) lamanya waktu penyelesaian perselisihan hubungan industrial dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung 16) belum adanya ketentuan yang mengatur perhitungan masa kerja dalam masa penyelesaian perselisihan hubungan industrial 17) pelaksanaan waktu kerja lembur dinilai menyulitkan bagi pelaku usaha perkebunan karena dengan batasan waktu lembur kesulitan yang muncul adalah bila sedang ada panen besar (misalnya kelapa sawit) 18) pelaksanaan terhadap ketentuan untuk melindungi pekerja perempuan dalam melaksanakan cuti hamil dan cuti haid belum efektif. 19) ketentuan mengenai nilai nominal denda pada ketentuan pidana belum disesuaikan dengan nilai inflasi dan batas minimal pidana kurungan terlalu rendah (paling singkat 1 bulan b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) pengusaha belum seluruhnya melaksanakan kewajibannya untuk menyelenggarakan pelatihan kerja, sehingga belum semua pekerja memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensinya. 2) terkait Pasal 18 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, sertifikat keahlian dikeluarkan oleh banyak badan/lembaga (antara lain kementerian tertentu dan BNSP), sehingga tidak ada standar yang jelas karena masing-masing badan/lembaga memiliki standar yang berbeda-beda. 3) terdapat permasalahan penegak hukum berkaitan dengan minimnya informasi, koordinasi, dan pengawasan. Minimnya informasi terlihat dari tidak sinkronnya informasi antara pusat dan daerah terkait rencana penggunaan TKA (RPTKA) dan izin mempekerjakan TKA (IMTA) untuk pertama kali 4) minimnya kualitas dan kuantitas dari tenaga pengawas ketenagakerjaan di berbagai daerah. 5) masih sulitnya kebebasan berserikat dalam suatu perusahaan membuktikan bahwa hubungan antara perusahaan dengan serikat pekerja belum dapat berjalan dengan harmonis. c. Aspek Sarana dan Prasarana 1) minimnya sarana dan prasarana pelatihan kerja, terutama peralatan, pada gilirannya menghambat BLK yang telah ada di tiga wilayah pemantauan untuk berkembang 2) penggunaan TKA telah menimbulkan kecemburuan dan kecurigaan masyarakat setempat. Maraknya penggunaan TKA menimbulkan pemikiran bahwa keberadaan TKA telah mengurangi lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal. 3) pengawasan ketenagakerjaan lemah disebabkan keterbatasan kuantitas pengawas ketenagakerjaan, kualitas sumber daya manusia (SDM) pengawas ketenagakerjaan yang rendah 4) jumlah PPNS dan anggaran pengawasan ketenagakerjaan yang terbatas dan sistem pengawasan yang belum jelas d. Aspek Pendanaan 1) perusahaan kesulitan membayar upah minimum karena pada perkembangannya sekarang upah minimum tidak lagi berlaku sebagai ”safety net” 2) pengusaha terhambat dengan adanya kerugian untuk membayar upah pekerja/buruh tanpa mendapatkan hasil kerja. Di sisi lain dengan adanya PHK sebelum ditetapkan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial menjadikan status pekerja/buruh tidak jelas, sementara kompensasi PHK belum diterima. Ketidakjelasan status ini menjadi kendala bagi pekerja dalam mencari pekerjaan yang baru 3) praktek penggunaan tenaga kerja magang sangat tidak manusiawi dan merugikan pekerja. Perusahaan hanya memberikan uang makan yang nilainya sangat kecil untuk pekerja magang 4) minimnya anggaran pengawasan mengakibatkan pengawas ketenagakerjaan lambat dalam merespons atau menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan oleh tenaga kerja/buruh 5) besarnya biaya yang harus ditanggung oleh pekerja maupun pengusaha dalam rangka mengikuti sidang penyelesaian perselisihan hubungan industrial e. Aspek Budaya Hukum 1) pekerja/buruh tidak mengerti mekanisme PHK dan dengan sukarela membuat surat pengunduran diri 2) adanya ketakutan pengusaha jika pekerja/buruh aktif di serikat pekerja

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Ketenagakerjaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: a. Aspek Substansi Hukum 1) relevansi materi pelatihan dengan kebutuhan harus diperhatikan, karena pelatihan yang telah dilakukan belum berdampak secara signifikan 2) pelatihan kerja perlu diperbanyak dan menjangkau semua wilayah/daerah sehingga tidak terpusat di kota besar saja 3) UU Ketenagakerjaan perlu disinkronkan dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak), sebagaimana terdapat dalam Pasal 66 huruf c UU Perlindungan Anak bahwa perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dilakukan antara lain melalui pelibatan perusahaan dan serikat pekerja 4) perlunya penegakan sanksi terhadap pekerja anak karena masih terdapat anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Dalam praktiknya pengaturan tersebut belum dapat melindungi pekerja anak 5) perlu diaturnya sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak memberikan laporan penggunaan TKA dan sanksi bagi pengguna TKA bila TKA yang bersangkutan tidak melakukan alih teknologi terhadap TKI pendamping b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) perlu dipertimbangkan perlindungan bagi pekerja magang yang saat ini menjadi objek eksploitasi pengusaha dengan membebani pekerja magang dengan tugas sebagai pekerja perusahaan, namun dibayar dibawah upah minimum 2) pemagangan di perusahaan harus benar-benar diawasi oleh Dinas Tenaga Kerja dan pemagangan diatur secara lebih terencana dan terstruktur, sehingga dalam proses magang tenaga bertambah skill dan pengetahuannya, sesuai dengan latar belakang pendidikannya c. Aspek Sarana dan Prasarana perlunya pengaturan pelatihan kerja dan pemagangan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar lebih memadai d. Aspek Pendanaan perlunya anggaran pengawasan untuk menindaklanjuti kasus-kasus yang dilaporkan oleh tenaga kerja/buruh e. Aspek Budaya Hukum perlunya ilmu pengetahuan agar lebih memahami mengenai ketenagakerjaan untuk pengusaha dan pekerja/buruh.