Kajian, Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (SIPANLAK UU)

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Tanggal
2018-03-01
Lokasi
Provinsi Aceh, Jawa Tengah, Bangka Belitung dan Sulawesi Utara

Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN (setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 007/PUU-III/2005), pelaksanaan 5 (lima) program jaminan sosial tersebut perlu diselenggarakan oleh badan penyelenggara yang dibentuk dengan undang-undang. Badan penyelenggara yang dimaksud harus sesuai dengan prinsip dalam UU SJSN untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial yang dicita-citakan. Badan penyelenggara yang dimaksud oleh UU SJSN adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang telah ditetapkan dalam UU SJSN, yaitu PT. Jamsostek (Persero), PT. Askes (Persero), PT. Taspen (Persero), dan PT. ASABRI (Persero). Oleh karena itu, untuk melaksanakan amanat UU SJSN maka dibentuklah BPJS melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Undang-undang ini telah berlaku selama 7 (tujuh) tahun sejak diundangkan, maka itu kiranya sangat perlu dilakukan pemantauan untuk memperoleh berbagai fakta dan evaluasi agar dapat diketahui efektifitas dan perbaikan yang perlu dilakukan guna meningkatkan capaian pelaksanaan jaminan sosial nasional yang dicita-citakan.

Bahwa pelaksanaan UU BPJS tidak optimal karena terdapat kendala/masalah yang diantaranya adalah sebagai berikut: 1). Adanya transformasi kelembagaan badan pelaksana jaminan sosial dari ketentuan yang ada dalam UU SJSN yang mengatur adanya penyesuaian badan-badan penyelenggara jaminan sosial yang ditunjuk melalui UU SJSN menjadi peleburan badan-badan tersebut dalam lembaga BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan; 2). Ketidaksesuaian ketentuan dan pelaksanaan UU BPJS dengan ketentuan UU SJSN; 3). Tujuan sistem jaminan sosial yang masih belum dapat dicapai; 4). Kesulitan pengefektifan pelaksanaan ketentuan dalam UU BPJS seperti pelaksanaan kewenangan BPJS; dan 5). Hubungan kerjasama badan pelaksana jaminan sosial dengan instansi pemerintaham dalam rangka mengoptimalkan capaian kesejahteraan rakyat melalui program jaminan sosial.

UU BPJS perlu diubah untuk disesuaikan dengan ketentuan yang diatur oleh UU SJSN yang merupakan dasar hukum pembentukan UU BPJS dan menyesuaikan dengan pertimbangan hakim dan putusan mahkamah konstitusi atas pengujian UU SJSN dan UU BPJS agar pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional dapat mencapai tujuannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kajian, Analisis dan Evaluasi UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan 
Konflik Sosial

Kajian, Analisis dan Evaluasi UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Tanggal
2017-12-01
Lokasi
Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Lampung, Provinsi Maluku, dan Provinsi Sulawesi Tengah

UU Penanganan Konflik Sosial telah diberlakukan selama lima tahun namun belum secara komprehensif digunakan oleh para pemangku kepentingan dikarenakan sulitnya pelaksanaan norma, terdapat beberapa mekanisme penyelesaian konflik sosial diluar UU Penanganan Konflik Sosial dan minimnya pengaturan tentang pengawasan dan ketentuan sanksi sehingga sulit untuk dilaksanakan.

Pelaksanaan UU Penanganan Konflik Sosial dalam kurun waktu lima tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: 1. Dalam aspek substansi hukum, belum tegas diaturnya kriteria khusus kapan sebuah konflik sosial dapat berdampak menjadi sebuah bencana sosial dan pada tahap penghentian konflik belum jelas mengatur tentang tugas, tanggungjawab dan kewenangan TNI dan Polri.; 2. Dalam aspek struktur hukum dan kelembagaan, tidak adanya manajemen konflik yang terkoordinasi dan terintegrasi dalam satu sistem penanganan konflik sosial yang kuat; 3. Dalam aspek budaya hukum, penanganan konflik di masyarakat lebih mengedepankan pranata adat dan pranata sosial; 4. Dalam aspek sarana dan prasarana, dibutuhkan dukungan sarana dan prasarana operasional kesiagaan dan perlindungan masyarakat dalam upaya pencegahan konflik sosial.

a) Dari aspek substansi hukum, perlu dilakukan revisi terhadap beberapa pasal dalam UU Penanganan Konflik Sosial, di antaranya: Pasal 1 angka (1) UU Penanganan Konflik Sosial terkait cakupan konflik secara luas dan menyeluruh; Pasal 5 UU Penanganan Konflik Sosial terkait batasan yang jelas atas sumber-sumber konflik; Pasal 6, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 25 ayat (2), Pasal 33, Pasal 36 ayat (1) UU Penanganan Konflik Sosial terkait pembagian kewenangan agar lebih terintegrasi dan memiliki batasan jelas serta tidak saling tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lain; pengkajian ulang terkait efektivitas Pasal 14, Pasal 15, Pasal 22, Pasal 25 ayat (2), Pasal 29, Pasal 42 ayat (2) UU Penanganan Konflik Sosial; pengaturan mekanisme yang jelas pada Pasal 32 huruf c (mekanisme pengungsian) dan Pasal 38 ayat (2) huruf a (pemulihan psikologis korban konflik dan perlindungan kelompok rentan) UU Penanganan Konflik Sosial; pengaturan Pasal 41 ayat (1) UU Penanganan Konflik Sosial terkait model penyelesaian konflik melalui mekanisme adat yang selaras dengan hukum positif; serta agar beberapa peraturan pelaksana sejalan dengan UU Penanganan Konflik Sosial, contohnya Permendagri No. 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial; Pasal 49 ayat (2) UU Penanganan Konflik Sosial terkait keanggotaan Komnas HAM sebagai anggota Satgas Konflik agar tidak menghilangkan peran lembaganya yang indepedenden sebagai pencari fakta. b) Selain itu, perlu dilakukan kajian lebih dalam terkait perlu tidaknya pengaturan sanksi pada UU Penanganan Konflik Sosial serta perlu dilakukan harmoninasi dan sinkronisasi Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai penanganan konflik sosial dan yang terkait agar menghasilkan penanganan konflik sosial yang terpadu, integratif, dan tidak saling tumpang tindih. c) Dari aspek kelembagaan, perlu diatur pembentukan lembaga permanen yang khusus menangani konflik sosial baik di tingkat pusat maupun daerah sebagai solusi atas kebuntuan pelaksaan UU Penanganan Konflik Sosial; perlu penambahan mengenai materi tentang pengawasan dan penegakan hukum.Dari aspek sarana prasarana, perlu dilakukan pembangunan sistem peringatan dini secara terintegrasi di semua daerah di wilayah Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 UU Penanganan Konflik Sosial. d) Dari aspek pendanaan, diperlukan mekanisme supervisi dan pengawasan dalam hal pendanaan untuk memastikan bahwa dana penanganan konflik sosial sudah dialokasikan sebagaimana mestinya. Dan perlu pengalokasian dana untuk Tim Terpadu selain Kesbangpol dalam pelaksanaan koordinasi penanganan konflik dalam APBN dan APBD secara jelas. Serta perlu pengalokasian anggaran untuk Pranada Adat mengingat perannya cukup berpengaruh khususnya didaerah. e) Dari aspek budaya hukum, perlu dilakukan sosialisasi yang lebih banyak khususnya oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah kepada pemangku kepentingan di daerah sebagai pelaksana utama yang akan melaksanakan mekanisme penanganan konflik sosial secara langsung di lapangan dan berkenaan langsung dengan konflik serta masyarakat. Serta perlu juga dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat lebih paham akan eksistensi UU Penanganan Konflik Sosial dan dapat mendukung implementasi dari UU Penanganan Konflik Sosial.

Kajian, Analisis, dan Evaluasi UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Sistem Keolahragaan Nasional

Kajian, Analisis, dan Evaluasi UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional

Tanggal
2017-09-01
Lokasi
Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Papua

Selama berlakunya UU Sistem Keolahragaan Nasional sejak tahun 2005 Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Sistem Keolahragaan Nasional antara lain: (Dalam Bab I) a. Isu Utama per aspek 1) Aspek substansi hukum a) Istilah/frasa pengaturan olahraga penyandang cacat b) Adanya disharmoni dengan perundang-undangan lain c) Pengelolaan olahraga penyandang disabilitas 2) Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a) Adanya tumpang tindih kewenangan antara KONI dan KOI b) Adanya Permasalahan transisi kewenangan dari Satlak PRIMA kepada KONI dan KOI terkendala dan tidak efektif c) Larangan rangkap jabatan pengurus KONI d) Pengembangan IPTEK keolahragaan e) Permasalahan penghargaan f) Industri olahraga g) Standarisasi, Sertifikasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK) h) Pengawasan i) Penyelesaian sengketa 3) Aspek pendanaan Pengalokasian pendanaan belum maksimal 4) Aspek sarana dan prasarana Keterbatasan anggaran dan kurangnya pengadaan sarana dan prasarana 5) Aspek budaya hukum Kurangnya sosialisasi dan tingkat kesadaran masyarakat b. Putusan MK Putusan MK No. 19/PUU-XII/2014 menyatakan Frasa "Komite Olahraga" yang tercantum dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 39, Pasal 46 ayat (2) UU No. 3 Tahun 2005 tentang SIstem Keolahragaan Nasional bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 c. Perlak belum diterbitkan (tidak ada) d. Prolegnas Urutan ke-160

Pelaksanaan UU Sistem Keolahragaan Nasional sejak tahun 2005 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Aspek Substansi Hukum 1) Penjelasan Pasal 19 ayat (1): “olahraga rekreasi merupakan kegiatan olahraga waktu luang” dikaitkan dengan definisi olahraga rekreasi dalam Pasal 1 angka 12 menimbulkan persepsi negatif bahwa olahraga rekreasi tidak dilaksanakan secara teratur 2) Adanya disharmoni tanggung jawab dan kewenangan penyelenggaraan olahraga rekreasi dalam UU SKN dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU SKN tidak menyebut FORMI sebagai koordinator yang menaungi seluruh cabor rekreasi, sehingga FORMI kurang diakui sebagai salah satu komite olahraga nasional. 3) Terdapat istilah/frasa mengenai pengaturan olahraga penyandang cacat dalam materi muatan UU SKN dan peraturan pelaksanaannya yang sudah tidak sesuai setelah disahkannya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas 4) Dalam hal pengelolaan olahraga penyandang disabilitas, perlu dipertimbangkan untuk penggabungan organisasi National Paralympic Commite Indonesia (NPC) yang menaungi olahraga penyandang disabilitas bagi penyandang disabilitas fisik dan Spesial Olympic Indonesia (SOIna) yang menaungi olahraga penyandang disabilitas bagi penyandang disabilitas mental. 5) Pengunduran Diri Organisasi National Paralympic Committee Indonesia sebagai Anggota KONI menyebabkan ketidakjelasan posisi Organisasi NPC daerah di dalam struktur pemerintahan daerah. 6) Organisasi penyandang disabilitas yang lain seperti Special Olympics Indonesia (SOIna) yang mengurusi olahraga penyandang disabilitas intelektual juga belum terakomodasi dan terfasilitasi dengan baik karena belum diakui dan bukan bagian dari KONI Daerah atau NPC Daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. b. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum 1) Tugas dan Kewenangan Pemerintah a) Adanya tumpang tindih kewenangan antara KONI dan KOI, terutama dalam hal pembinaan atlet untuk mengikuti kejuaraan skala internasional. Lebih jauh, pembentukan Satlak Prima juga menimbulkan berbagai permasalahan yaitu tidak terpenuhinya pencapaian prestasi atlet nasional ditingkat internasional serta macetnya koordinasi antara pengambilan keputusan dan pelaksanaan prestasi olahraga. b) Terdapat permasalahan transisi kewenangan dari Satlak PRIMA kepada KONI dan KOI juga masih terkendala dan tidak efektif sampai saat ini. c) Dengan memperhatikan bentuk dan status organisasi olahraga di dunia, maka kondisi badan organisasi olahraga di dunia, maka kondisi badan organisasi olahraga yang ada di Indonesia perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Adapun alternatif solusi adalan menggabungkan KONI dan KOI menjadi satu dengan nama KONI, yaitu Komite Olimpiade Nasional Indonesia sebagai NGO. d) Perlu dibentuk semacam “Sport Council” atau badan pembina olahraga nasional sebagai Government Organization. Menteri Olahraga sekaligus sebagai ex officio Ketua Umum “Sport Council” agar fungsi dan peran pemerintah lebih jelas. 2) Tugas dan Kewenangan Pemda a) Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf m UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepemudaan dan olahraga merupakan salah satu urusan pemerintah wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Kemudian pada Pasal 18 ayat (4) huruf a PP No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah diatur bahwa urusan kepemudaan dan olahraga dapat digabungkan dengan pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. b) Kemenpora mengeluarkan Permenpora No. 33 Tahun 2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah dan Unit Kerja pada Dinas Pemuda dan Olahraga. Dalam Pasal 2 ayat (2), dan ayat (3) disebutkan bahwa urusan kepemudaan dan olahraga wajib diselenggarakan oleh semua daerah provinsi dan kab/kota dan diwadahi dalam bentuk dinas pemuda dan olahraga daerah provinsi dan kab/kota. Pentingnya pemisahan urusan keolahragaan dengan urusan pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata menjadi pembinaan dan pengembangan keolahragaan tidak optimal. c) Pemerintah daerah belum mampu mengkordinasikan pembinaan dan pengembangan olahraga karena belum adanya peraturan daerah tentang keolahragaan. Contoh: Provinsi Bali, dan Papua d) Pengelolaan Keolahragaan a) UU SKN tidak menyebabkan tumpang tindih pengaturan kewenangan antara Pemerintah, pemda, dan Komite Olahraga Nasional, KOI, dan induk organisasi cabor. Hal ini sejalan dengan pendapat MK dalam Putusan No. 19/PUU-XII/2014. Maka perlu penegasan bentuk kerjasama antar K/L dalam pelaksanaan pengelolaan keolahragaan. b) Pasal 36 UU SKN yang menyatakan “Induk organisasi cabang olahraga membentuk suatu komite olahraga nasional yang bersifat mandiri”. Berdasarkan Putusan MK No. 19/PUU-XII/2014, dalam rangka memberikan kepastian hukum terhadap pengelolaan keolahragaan nasional, MK memaknai frasa “komite olahraga” dalam Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 39, dan Pasal 46 ayat (2) UU SKN harus dimaknai “Komite Olahraga Nasional Indonesia dan komite olahraga nasional lainnya” dengan pertimbangan bahwa frasa komite olahraga merupakan entitas yang umum/beragam dan tidak mengandung satu artian dan MK menilai adanya beberapa komite olahraga nasional yang akan dibentuk oleh induk organisasi cabang olahraga justru menunjang perkembangan olahraga nasional dan pada praktiknya KONI bukan merupakan satu-satunya komite olahraga di Indonesia. c) Larangan Rangkap Jabatan Pengurus KONI a) Pasal 40 UU SKN tidak mengatur secara tegas mengenai pelarangan rangkap jabatan, rumusannya adalah “tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik”. Dalam pelaksanaannya, masih terdapat kepengurusan KONI baik di tingkat pusat maupun daerah provinsi dan kabupaten/kota yang dipimpin oleh pejabat struktural dan pejabat public b) Perlu adanya pengaturan yang tegas dan tidak multitafsir dalam hal larangan rangkap jabatan pengurus KONI maupun Cabang Olahraga dengan Jabatan Publik. d) Pengembangan IPTEK Keolahragaan a) Pelaksanaan penelitian belum mengarah pada penggalian akar masalah keolahragaan nasional sehingga hasilnya tidak dapat dijadikan referensi perbaikan sistem keolahragaan nasional. b) Pemerintah dan pemerintah daerah belum dapat memfasilitasi pengembangan IPTEK keolahragaan dan perguruan tinggi serta lembaga Pengembangan IPTEK Keolahragaan dapat berkontribusi aktif untuk bidang keolahragaan. Belum optimalnya pengembangan IPTEK mempengaruhi kemajuan prestasi olahraga nasional. c) Dalam prakteknya, IPTEK keolahragaan di Indonesia masih belum dapat diterapkan. d) Permasalahan penghargaan a) Bentuk jaminan hari tua kepada olahragawan yang berprestasi dan/atau berjasa dalam memajukan olahraga belum mencerminkan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar dan belum memberikan kepastian hukum bagi olahragawan berprestasi. b) Tidak adanya aturan mengenai kesamaan besaran pemberian penghargaan menyebabkan pemerintah daerah memberikan penghargaan yang berbeda-beda. Hal ini didasari karena potensi dan kemampuan daerah berbeda yang menimbulkan terjadinya perpindahan atlet yang memberikan bonus lebih besar. c) Perlu diberi rumusan yang jelas mengenai batas pensiun atlet untuk menjamin program pemberian Jaminan Hari Tua untuk atlet tersebut dan program peremajaan atlet perlu terus-terusan dijalankan untuk menjamin regenerasi atlet supaya atlet yang mencapai usia pensiun sudah dapat fokus mempersiapkan masa pensiunnya karena sudah ada atlet muda yang siap menggantikannya. d) Mengingat keterbatasan kemampuan negara, perlu untuk dipertimbangkan pemberian penghargaan diprioritaskan untuk atlet berprestasi tingkat Olimpiade, maupun Asian Games terlebih dahulu, karena mereka telah mengharumkan nama Indonesia di mata dunia. Selain itu, para atlet perlu diberikan bimbingan karir supaya pelaku olahraga mendapatkan pilihan melanjutkan karir setelah pensiun di dunia olahraga. e) Perlu dibuat standarisasi bonus atau penghargaan terhadap atlet agar perpindahan atlet tidak dilatar belakangi oleh materi semata dan juga perlu dibuat peraturan yang mengatur pembinaan atlet daerah. f) Industri olahraga Pasal 78 sampai dengan Pasal 80 UU SKN tidak dapat diimplementasikan karena tidak adanya regulasi ataupun panduan yang secara teknis menjabarkan perintah UU SKN tentang industri olahraga g) Standarisasi, sertifikasi, dan akreditasi keolahragaan Peran Badan Standarisasi dan Akreditasi Nasional Keolahragaan (BSANK) sebagai badan yang melakukan standardisasi dan akreditasi belum efektif sampai saat ini, dikarenakan BSANK masih belum menjadi satu-satunya lembaga yang melakukan standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi keolahragaan h) Pengawasan BOPI dibentuk oleh Pemerintah bertugas mengawasi olahraga profesional, dalam prakteknya hanya mengawasi 5 cabang olahraga profesional yang sudah terdaftar di BOPI yaitu sepak bola, golf, dansa, muay thai, mixed martial art. Hal ini menimbulkan permasalahan terutama kepada cabang olahraga profesional lain yang masih belum diawasi oleh BOPI maka pengawasan eksternalnya menjadi tidak jelas dan berpotensi terjadi pelanggaran-pelangggaran di dalamnya i) Penyelesaian sengketa Penyelesaian masalah melalui jalur arbitrase, dinilai belum efektif menyelesaikan sengketa keolahragaan yang salah satunya permasalahan dualisme kepengurusan organisasi olahraga. c. Aspek Sarana dan Prasarana Secara normatif, substansi UU SKN yang mengatur penyediaan sarana dan prasarana sudah memadai, namun dalam impelementasinya belum optimal, dikarenakan: j) Keterbatasan anggaran; k) Komitmen Pemerintah dan pemerintah daerah kurang dalam pengadaan sarana dan prasarana. d. Aspek Pendanaan 1) Pengalokasian pendanaan yang belum maksimal oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah 2) Kemampuan daerah dalam menyediakan dana olahraga dan hibah yang tidak dapat dilakukan secara terus menerus dapat menghambat pembinaan dan pengembangan keolahragaan di daerah. 3) Bahwa kedudukan organisasi olahraga sebagai salah satu penerima hibah belum memiliki kejelasan, Hal tersebut berimplikasi kepada adanya kehatian-hatian bagi pemerintah daerah dalam memberikan hibah kepada organisasi olahraga. 4) Seluruh organisasi keolahragaan dan KONI provinsi dan kab/kota saat ini menggunakan dana hibah yang dianggarkan dalam kelompok belanja langsung yang berupa barang atau jasa yang diformulasikan kedalam program dan kegiatan, kemudian ditetapkan dan diajukan kepada Dinas Kepemudaan dan Olahraga. Organisasi olahraga belum mampu untuk melaksanakan ketentuan money follows program tersebut. e. Aspek Budaya Hukum 1) Kurangnya sosialisasi UU SKN dan peraturan pelaksanaanya, berakibat pada tidak optimalnya penyelenggaraan keolahragaan di pusat dan daerah karena minimnya pengetahuan pemerintah daerah terhadap instrumen hukum yang mengatur urusan olahraga dan rendahnya partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan olahraga khususnya terkait dengan proses pembinaan dan pengembangan olahraga. 2) Kebijakan Pemerintah dan pemerintah daerah yang belum optimal dalam penentuan target/prestasi olahraga berdampak pada penurunan pencapaian prestasi. 3) Minimnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap peran dan dampak olahraga

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Sistem Keolahragaan Nasional Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: - UU SKN perlu direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan dan kebutuhan hukum masyarakat, antara lain: a. Pasal 19 ayat (1) b. Pasal 26 c. Pasal 30 – Pasal 31 d. Pasal33 e. Pasal 36 f. Pasal 40 g. Pasal 67 h. Pasal 69 s/d 73 i. Pasal 74 ayat (1) j. Pasal 78 – Pasal 80 k. Pasal 87 ayat (1) dan ayat (3) l. Pasal 88 ayat (1) dan ayat (2) - Pemerintah dan pemangku kepentingan dipandang perlu melakukan harmonisasi peraturan pelaksanaan dari UU SKN. - UU SKN perlu dilakukan perubahan dan dicantumkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Perubahan Tahun 2018.