Kajian, Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (SIPANLAK UU)

Kajian, Analisis, Dan Evaluasi Undang-Undang  Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Kajian, Analisis, Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Tanggal
2018-12-01
Lokasi
Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur (Malang), Provinsi Jawa Barat (Cirebon dan Bandung)

UU Guru dan Dosen yang telah berlaku selama 13 (tiga belas) tahun ini ternyata tidak dapat mencapai tujuan pengundangannya secara optimal dengan masih banyaknya permasalahan guru dan dosen secara nasional hingga saat ini. Selain itu, beberapa ketentuan dalam UU Guru dan Dosen tidak terlaksanakan dengan baik, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap UU Guru dan Dosen ini. Beberapa permasalahan yang ditemukan diantaranya adalah : 1. Ketentuan dalam UU Guru dan Dosen tidak terlaksana secara optimal 2. Peraturan pelaksana yang terkait pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru dan dosen masih belum terwujud 3. Wacana perlunya pemisahan pengaturan guru dan dosen dalam Undang-Undang yang berbeda 4. Dukungan terhadap rencana penyusunan naskah perubahan UU Guru dan Dosen

1. Pelaksanaan UU Guru dan Dosen belum optimal karena terdapat rumusan norma yang tidak konsisten dan tidak sesuai dengan UU Sisdiknas. Selain itu juga terdapat beberapa norma yang belum memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dan prinsip profesionalitas berdasarkan Pasal 7 UU Guru dan Dosen. 2. Adanya masukan perubahan UU Guru dan Dosen, yang berupa : a. Pemisahan pengaturan UU tentang Guru dan UU tentang Dosen dengan alasan guru dan dosen yang memiliki tugas, fungsi, peran dan karakteristik yang berbeda, seperti dosen melaksankana tridharma perguruan tinggi sedangkan guru tidak. Selain itu, guru dan dosen dikelola oleh instansi yang berbeda, yakni Kemendikbud dan Kemenristekdikti. b. Penggabungan pengaturan guru dan dosen dengan alasan pertimbangan pembentuk UU Guru dan Dosen yang memandang guru dan dosen memiliki nature yang sama dan mengurangi obesitas regulasi di Indonesia sehingga pengaturan lebih lanjut terkait guru maupun dosen dilakukan melalui PP tentang Guru dan PP tentang Dosen agar fleksibel bila ada perkembangan dan perubahan pengaturan tentang guru dan dosen.

1. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Guru dan Dosen dengan ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 2. Mengubah ketentuan UU Guru dan Dosen: a. Pasal 1 angka 1; b. Pasal 1 angka 14; c. Pasal 10; d. Pasal 11 ayat (2); e. Pasal 26 ayat (1); f. Pasal 35 ayat (2); g. Pasal 47 ayat (1) huruf c; h. Pasal 47 ayat (2); i. Pasal 72 ayat (2); dan j. Pasal 82 ayat (2).

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang 
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Tanggal
2018-09-01
Lokasi
Provinsi Riau dan Provinsi Jawa Tengah

Selama berlakunya UU PPLH sejak tahun 2009, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU PPLH antara lain: 1. Dalam aspek perencanaan, yaitu belum ditetapkannya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UU PPLH kepada Pemerintah dan pemerintah daerah. Kemudian terkait dengan penerbitan izin usaha bagi usaha/kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan, dimana persyaratan untuk dikeluarkan izin meliputi dokumen lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) serta Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Serta keterlibatan Dinas Kelautan dan Perikanan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. Dalam aspek pemanfaatan, tercermin jelas atau tidaknya prinsip kemanfaatan yang ada di dalam rumusan ketentuan UU PPLH bergantung kepada degree of perception (tergantung pada sudut pandangnya), seperti belum ditetapkannya Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diamanatan oleh pasal 12 ayat 4 UU PPLH terkait dengan tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 3. Dalam aspek pengendalian, yang berkaitan dengan dokumen lingkungan seperti Amdal dan UKL-UPL yang dibuat dan dilaporkan secara berkala sebagai persyaratan untuk izin lingkungan dan izin-izin usaha lainnya. 4. Dalam aspek pemeliharaan lingkungan, yaitu kesadaran masyarakat dan seluruh pihak terkait dalam upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup. 5. Dalam aspek pengawasan terkait dengan pelaksanaan koordinasi kewenangan dan pengawasan antara Pemerintah dan pemerintah daerah. 6. Dalam aspek penegakan hukum, yaitu berkaitan dengan sistem penegakan hukum terpadu dan disertai dengan prosedur penegakan hukum yang berimplikasi pada minimnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang berkaitan dengan sanksi pidana dan administratif sebagaimana yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. 7. Dalam aspek lainnya, yang berkaitan dengan adanya disharmoni dan tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan terkait dan terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang tidak berjalan di tingkat daerah.

Berdasarkan hasil kajian, analisis, dan evaluasi UU PPLH yang telah dilakukan pemantauan oleh Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan UU PPLH tidak optimal karena terdapat kendala/masalah terkait aspek substansi hukum, struktur hukum, sarana dan prasarana, pendanaan, dan budaya hukum masyarakat yang diurai sebagai berikut: 1. Aspek Substansi Hukum Terdapat ketidakjelasan rumusan pada Pasal 48, Pasal 66, Pasal 73, Pasal 77, Pasal 81, dan Pasal 90; serta terdapat ketidakefektifan pada Pasal 10 ayat (3) huruf a, 12 ayat (1), Pasal 36 s.d Pasal 41, Pasal 86, Pasal 95. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan Pelaksanaan otonomi daerah dalam Pasal 63 dan Pasal 13 ayat (3) UU PPLH belum menhatur kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penanganan pencemaran lingkungan, serta belum optimalnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan hidup. 3. Aspek Sarana dan Prasarana Keberadaan laboratorium pengujian lingkungan yang ada saat ini belum merata terlebih yang memenuhi akreditasi sebagai laboratorium penguji parameter kualitas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Permen LH Nomor 6 Tahun 2009 yang menyebabkan kurang efektifnya penyediaan data kualitas lingkungan yang akurat dan valid. 4. Aspek Pendanaan PP IELH belum tersosialisasi dengan baik, anggaran berbasis lingkungan hidup belum berbasiskan amanat Pasal 45 UU PPLH, dan belum ditetapkan secara rinci terkait Dana Pemulihan Limgkungan Hidup. 5. Aspek Budaya Hukum Banyaknya kasus pembakaran lahan/hutan di masyarakat tidak mengikuti ketentuan yang ada.

1) Penambahan wewenang pemerintah daerah dalam Pasal 48 UU PPLH untuk mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dapat dilakukan dengan mendasarkan pada wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah berdasarkan Pasal 63 ayat (2) huruf i dan ayat (3) huruf l serta Pasal 71 ayat (1) UU PPLH. 2) Terkait Pasal 77 UU PPLH, diperlukan pemberian wewenang second line kepada gubernur untuk memberikan/menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika pemerintah provinsi menganggap pemerintah daerah kabupaten/kota secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 3) Terkait Pasal 81 UU PPLH, perlu menetapkan instrumen uang paksa (dwangsom) terhadap setiap keterlambatan dari pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah. Uang paksa dapat dijadikan tambahan dan/atau mengganti denda yang selama ini diterapkan. 4) Terkait Pasal 90 ayat (1) UU PPLH, terdapat alternatif usulan untuk mengubah hak gugat menjadi kewajiban gugat untuk menegaskan prinsip pencemar pembayar dan/atau menambahkan ketentuan kewajiban gugat setelah hak gugat.

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 
tentang 
Kepariwisataan

Kajian, Analisis, dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Tanggal
2018-06-01
Lokasi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Sumatera Barat, Bali dan Nusa Tenggara Barat

Selama berlakunya UU Kepariwisataan sejak tahun 2009, terdapat sejumlah permasalahan utama dan mendasar yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Kepariwisataan ini antara lain:1. Sarana dan prasarana 2. Sumber daya manusia3. Kebijakan skala daerah4. Penegakan hukum (penerapan sanksi)5. Investasi (penanaman modal, terutama investor asing)6. Pembangunan pariwisata7. Pengelolaan dan pelestarian lingkungan tempat wisata8. Ketertiban dan keamanan tempat wisata 9. Kewenangan dan koordinasi antar lembaga terkait pariwisata10. Minimnya anggaran guna pendanaan kepariwisataan

Pelaksanaan UU Kepariwisataan dalam kurun waktu 9 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: a. Substansi Hukum Belum ditetapkannya Kawasan Pariwisata Khusus melalui undang-undang, belum ditetapkannya peraturan pelaksana terkait pendanaan oleh pengusaha dan/atau masyarakat di pulau kecil, serta belum adanya pengaturan terkait siapa yang berwenang memberikan sanksi dan mekanisme pemberian sanksi; b. Kelembagaan/Struktur Hukum Kurangnya koordinasi antara BPPI dan BPPD terkait promosi pariwisata dan tidak adana kejelasan mengenai siapa yang memiliki kewenangan dalam penegakan hukum; c. Sarana dan Prasarana Pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana di daerah belum optimal sebagai akibat dari kurangnya koordinasi lintas sektor. d. Pendanaan Status pendanaan BPPI dan BPPD yang belum jelas, minimnya pendanaan pemeliharaan cagar budaya, dan tidak jelasnya ketentuan dana bagi hasil dalam UU Pemerintahan Daerah. e. Budaya Hukum Minimnya pemahaman masyarakat terhadap UU Kepariwisataan dan penyelenggaraan kepariwisataan belum mengakomodir prinsip kearifan lokal.

Perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian norma terutama pada Pasal 13 ayat (4), Pasal 60, Pasal 62, dan Pasal 63 dan pengkajian ulang terhadap Pasal 4, Pasal 7, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 huruf k, Pasal 25, dan Pasal 50 ayat (4) untuk menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan peraturan perundang-undangan yang telah ada dengan pengaturan terkait kepariwisataan.