Setelah UU Desa dilaksanakan selama 5 (lima) tahun, terdapat isu-isu penting dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia, antara lain: 1) Dalam aspek substansi hukum, antara lain: a. Pasal 1 angka 1 UU Desa mengatur bahwa “desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa…”, pengaturan tersebut menunjukkan adanya 2 entitas desa yakni desa dan desa adat namun frasa “selanjutnya disebut desa” tersebut berimplikasi pada timbulnya multitafsir pada pasal-pasal lainnya dalam hal pengaturan desa dan desa adat. b. Pasal 1 angka 16 dan Penjelasan Umum UU Desa yang menyebutkan bahwa menteri yang menangani desa saat ini adalah Mendagri berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Kemendesa PDTT. c. Pasal 33 UU Desa mengatur beberapa persyaratan calon kepala desa memiliki kendala terutama dalam hal syarat pendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama yang berimplikasi pada kualitas kepemimpinan, dan syarat minimal terdaftar 1 (satu tahun) sebagai penduduk desa yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi menyebabkan tujuan pembangunan desa menjadi terhambat. d. Pasal 39 UU Desa mengatur ketentuan kepala desa dapat menjabat selama 6 tahun selama paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut akan berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) di desa. e. Pasal 100 ayat (1) UU Desa terkait perubahan status desa menjadi desa adat dan desa adat menjadi desa telah menimbulkan inkonsistensi dengan semangat UU Desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat. f. Pasal 100 ayat (2) UU Desa menyebutkan dalam hal desa beralih status menjadi desa adat dan desa adat beralih status desa berimplikasi pada peralihan kekayaan, baik kekayaan desa menjadi kekayaan desa adat maupun kekayaan desa adat menjadi kekayaan desa. Namun, dalam pelaksanaannya pengaturan ini telah menimbulkan inkonsistensi dengan semangat UU desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat selain itu pengaturan tersebut dapat memicu konflik sebab kekayaan desa adat tidak bisa beralih status menjadi kekayaan desa begitupun sebaliknya. g. Pasal 101 ayat (1) UU Desa mengatur bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan desa adat. Dimana penataan desa adat tersebut ditetapkan dalam peraturan daerah. Pada Pasal 102 UU Desa ditegaskan bahwa peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 tersebut berpedoman pada salah satu ketentuannya dalam Pasal 7 UU Desa terkait penataan desa yang salah satunya mengenai penetapan desa. Sesuai ketentuan Pasal 116 ayat (3) UU Desa terkait penetapan desa dan desa adat ditetapkan dengan peraturan daerah oleh pemerintah daerah kabupaten/kota paling lama 1 tahun setelah UU Desa diundangkan. Namun dalam pelaksanaannya, sampai dengan saat ini belum ada penetapan desa adat melalui peraturan daerah. Persoalan lain yang juga muncul dalam kaitannya dengan penetapan desa adat, yakni seperti hal nya di Provinsi Bali, tidak didaftarkannya desa adat secara formal karena berimplikasi pada kekayaan dan aset desa adat yang dikhawatirkan menjadi milik desa dinas (administratif). 2) Dalam aspek struktur hukum /kelembagaan, antara lain: a. Adanya 2 (dua) kementerian yang menangani desa berimplikasi pada potensi tumpang tindih kewenangan dan berpotensi adanya duplikasi program. Hal ini disebabkan karena masing-masing kementerian mengeluarkan peraturan pelaksanaan yang berpotensi bertentangan seperti Permendagri Pengelolaan Keuangan Desa dan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019. b. Terbatasnya kemampuan aparatur Pemerintah Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, pembangunan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa, c. Pelaksanaan Pasal 55 huruf c UU Desa yang memuat fungsi BPD dalam melakukan pengawasan kinerja kepala desa dinilai masih sangat lemah yang menyebabkan potensi korupsi kepala desa menjadi semakin terbuka. d. Penjelasan Umum UU Desa menyebutkan bahwa kelembagaan desa salah satunya terdiri dari Badan Permusyawaratan Desa/Desa Adat. Namun dalam pelaksanaannya di Provinsi Maluku masih terdapat pemahaman bahwa Badan Permusyawaratan Desa sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 65 adalah juga mencakup Badan Permusyawaratam Desa Adat padahal dalam Pasal 108 UU Desa telah tegas menyatakan bahwa pemerintahan desa adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan dan musyawarah desa adat sesuai dengan susunan asli desa adat atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat desa adat. e. Pasal 112 ayat (1) UU Desa mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan yang dilakukan secara berjenjang oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, namun dalam pelaksanaannya masih lemahnya pembinaan dan pengawasan terhadap aparatur Pemerintah Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan desa. 3) Dalam aspek pendanaan, antara lain: a. Pasal 72 ayat (4) UU Desa yang mengatur ADD paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi DAK, hal ini tidak banyak dipatuhi oleh pemerintah daerah karena UU Desa tidak mengatur perihal sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. b. Penggunaan DD dalam pelaksanaannya belum sesuai dengan tujuan peruntukannya sehingga penyelewengan dana desa masih banyak terjadi. c. Pasal 79 UU Desa mengatur mengenai perencanaan pembangunan desa, namun dalam pelaksanannya masih terdapat kepala desa yang terlambat dalam menetapkan APB Desa yang mengakibatkan terlambatnya penerimaan dana desa dan juga berdampak pada keterlambatan pelaksanaan pembangunan desa. d. Permasalahan banyaknya BUM Desa yang tidak aktif karena kurangnya pembinaan dan keterbatasan modal operasional. 4) Dalam aspek sarana dan prasarana, antara lain: a. kurangnya jumlah dan belum sesuainya kompetensi tenaga pendamping profesional yang dibutuhkan menyebabkan pembinaan dan pendampingan desa menjadi tidak optimal. b. Pasal 86 ayat (2) UU Desa mengatur bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan SID, namun sampai saat ini belum ada SID. c. Dengan adanya beberapa kementerian yang menangani desa melahirkan indikator keberhasilan yang berbeda-beda yang berimplikasi pada beragam nya data yang dihasilkan terkait evaluasi pembangunan desa. 5) Dalam aspek budaya hukum antara lain: a. Nilai kegotongroyongan masyarakat desa telah memudar yang menyebabkan menurunnya kesadaran masyarakat dalam pembangunan partisipatif desa mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan. b. Pasal 100 UU Desa yang mengatur tentang perubahan status desa menjadi desa adat dan desa adat menjadi desa berimplikasi pada nili-nilai yang berlaku di masyarakat adat dimana nilai-nilai tersebut tidak dapat diseragamkan dan inkonsisten dengan semangat UU Desa yang memberikan jaminan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat.
1. Substansi Hukum Berdasarkan uraian analisis dan evaluasi aspek substansi hukum, terdapat pemetaan masalah substansi/norma UU Desa berdasarkan indikator norma yang berpotensi disharmoni 2. Struktur Hukum/Kelembagaan a. Adanya dualisme kementerian yang menangani desa berimplikasi pada tumpang tindih kewenangan terkait desa dan memicu timbulnya duplikasi program pembangunan desa. Sehingga menyebakan program yang dilaksanakan tidak tepat saran yang mengakibatkan tidak terlihat output yang dihasilkan. b. Masih terbatasnya kemampuan/kapasitas pemerintah desa dalam hal perencanaan pembangunan desa dan pengelolaan keuangan desa baik dari tahapan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, maupun pertanggungjawaban. c. Minimnya kapasitas SDM BPD dalam memahami tugas dan fungsinya dan belum optimalnya peran BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan. d. Kurangnya pembinaan terhadap aparatur pemerintah desa terutama dalam hal perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan desa dan lemahnya pengawasan yang kemudian berimplikasi pada timbulnya potensi-potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah desa. 3. Keuangan Desa a. Kepala desa, perangkat desa, dan pengurus BUM Desa kurang memiliki kompetensi dan pemahaman yang optimal terkait regulasi dan teknis dalam hal keuangan desa serta pengelolaan BUM Desa. b. Pendapatan asli desa masih rendah karena desa masih bergantung pada DD, ADD, dan bagi hasi PDRD kabupaten/kota. c. Penganggaran DD membutuhkan akurasi dan keterpaduan data terkait dengan desa, seperti data dari IDM, data jumlah penduduk, data angka kemiskinan, data luas wilayah, dan data Indeks Kesulitan Geografis yang diolah oleh berbagai kementerian dan lembaga. d. Terdapat pemerintah kabupaten/kota yang belum menerapkan kewajiban untuk menganggarkan 10% (sepuluh persen) APBD kabupaten/kota sebagai ADD. e. Dalam hal pengelolaan DD, perencanaan pembangunan desa tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kekhasan daerah sehingga berpotensi tidak tercapainya sasaran dan tujuan pembangunan desa. f. Belum adanya regulasi penetapan standar akuntasi pemerintahan desa dan belum adanya regulasi penyelenggaraan dan pembinaan aparatur desa yang lengkap dan mutakhir g. Status BUM Desa bukan sebagai badan hukum memberikan implikasi terhadap subjek yang melakukan perbuatan hukum, harta kekayaan, dan pertanggungjawaban meskipun UU Desa membuka ruang agar BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan. BUM Desa tidak hanya berorientasi pada keuntungan sehingga penetapan tarif pajak penghasilan tidak dapat disamakan dengan perusahaan yang profit-oriented semata. 4. Sarana dan Prasarana a. Terdapat aset desa yang belum tercatat dalam laporan aset dan/atau daftar inventarisasi aset b. Kualitas SID dan manajemen informasi data yang dikelola oleh Pemerintah Desa belum optimal c. Instrumen keberhasilan desa belum dapat digunakan sebagai dasar perencanaan kebijakan pembangunan desa secara akurat dikarenakan adanya perbedaan indeks. d. Masih minimnya tenaga pendamping profesional dan tenaga pendamping yang ada belum sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. 5. Budaya Hukum Masyarakat dalam UU Desa memiliki peran yang sangat besar karena sebagai subjek pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa sangat dibutuhkan karena akan menentukan keberhasilan program kinerja dan organisasi. Namun dalam pelaksanaannya, kesadaran masyarakat desa untuk ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa masih belum optimal. Nilai dann budaya gotong royong juga telah memudar di kehidupan masyarakat desa. Selain itu kurangnya minta masyarakat untu berpatisipasi dalam pencalonan diri sebagai kepala desa juga menjadi pemicu adanya pilkades tunggal. Masyarakat juga belum optimal dalam menggunakan haknya untuk mendapatkan informasi dan ikut mengawal perencanaan pembangunan desa. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab terhambatnya pnyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di desa.
1. Dalam aspek Substansi Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: a. Mengubah ketentuan UU Desa: - Pasal 1 angka 1; - Pasal 1 angka 16; - Pasal 6 ayat (1); - Pasal 8 ayat (2) dan (3); - Pasal 19 huruf c dan d; - Pasal 31 ayat (3); - Pasal 33 huruf d; - Pasal 33 huruf g; - Pasal 50 ayat (1) huruf c; - Pasal 39; - Pasal 83 ayat (1); - Pasal 86 ayat (2); - Pasal 87 ayat (1); - Pasal 96; - Pasal 116 ayat (2), (3), dan (4); - Penjelasan Umum; - Penjelasan Pasal 6. b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Desa dengan UU Pemda. 2. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: a. Perlu adanya perpres baru yang mengatur secara tegas bahwa hanya ada 1 (satu) menteri yang menangani desa agar sejalan dengan amanat UU Desa. b. Perlunya peningkatan kapasitas pemerintah desa melalui pembinaan yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. c. Perlunya peningkatan kapasitas SDM BPD melalui pembinaan dan pentingnya penguatan peran dan fungsi BPD khususnya terkait pengawasan kinerja kepala desa. d. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta didukung dengan mengoptimalkan peran BPD dan masyarakat dalam hal pengawasan agar penyelenggaraan pemerintahan desa dapat berjalan secara efektif. 3. Dalam aspek Keuangan Desa, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: a. Perlunya kompetensi dan kreativitas dari pemerintah desa untuk memaksimalkan potensi desa untuk menambah pendapatan asli desa. b. Perlunya penguatan koordinasi dan sinergitas dari berbagai instansi dalam pengumpulan data desa sehingga menjadi sebuah big data yang terintegrasi agar penganggaran DD tepat sasaran. c. Perlunya reformulasi kewajiban pemerintah kabupaten/kota untuk menganggarkan ADD sebesar minimal 10% (sepuluh persen) dengan memperhitungkan proporsi jumlah desa dan kelurahan dalam kabupaten/kota. d. Perlunya kebijakan yang lebih memberikan keleluasaan bagi desa dalam menentukan prioritas penggunaan DD dengan tetap dalam rambu-rambu sinkronisasi dengan perencanaan daerah dan nasional. e. Perlu adanya regulasi terkait standar akuntasi pemerintahan desa. f. Perlu adanya penegasan mengenai status hukum BUM Desa dalam UU Desa dan penyesuaian tarif pajak penghasilan bagi BUM Desa berdasarkan karakteristik BUM Desa yang tidak profit oriented semata. g. Perlunya peran pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan terhadap aparatur pemerintah desa khususnya dalam pengelolaan keuangan desa dan BUM Desa. 4. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: a. Perlunya pembinaan aparatur pemerintah desa secara berkala oleh pemerintah kabupaten/kota dalam hal pelaporan pencatatan aset dan pengelolaan informasi desa melalui SID. b. Peningkatan kompetensi dan penambahan jumlah tenaga pendamping. c. Diperlukan adanya standarisasi indikator keberhasilan desa agar memperoleh data yang sama/valid. 5. Dalam aspek Budaya Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi yaitu Pemerintah Desa harus berperan untuk mendorong pelibatan masyarakat secara aktif dan luas mulai saat perencanaan pembangunan desa sampai dengan pelaksanaan sehingga terdapat kejelasan rencana kegiatan pembangunan dan sumber pembiyaannya.
dalam kurun waktu 15 (lima belas) tahun, terdapat beberapa permasalahan dalam hal penyelenggaraan jaminan sosial nasional di Indonesia antara lain: 1. Aspek Substansi Hukum Beberapa pasal telah dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 13 ayat (1), UU SJSN. Selain itu, permasalahan norma jangka waktu selambat-lambatnya 5 (lima) tahun PT. Taspen, PT. Askes, PT. Asabri, dan PT. Jamsostek harus menyesuaikan dengan UU ini juga tidak efektif. 2. Aspek Struktur Hukum UU SJSN tidak menentukan adanya pembentukan 2 (dua) lembaga BPJS saja, DJSN sebagai pengawas eksternal BPJS belum melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara optimal. 3. Aspek Pendanaan Pasal 24 UU SJSN tidak menjelaskan besaran pembayaran terkait dengan fasilitas kesehatan setiap wilayah, sehingga terjadi cash flow BPJS Kesehatan yang buruk berdampak pada cash flow rumah sakit untuk membayar suplai obat sehingga rumah sakit menjadi kekurangan obat-obatan yang merupakan akibat dari timbulnya mismatch antara penerimaan dan pengeluaran dana jaminan sosial. 4. Aspek Budaya Hukum Angka kepersertaan pekerja sektor informal dan pekerja kerja pada sektor formal untuk ikut serta dalam program asuransi belum optimal.
1.Aspek Substansi Hukum Permasalahan substansi/norma hukum dalam pelaksanaan UU SJSN yaitu sebagai berikut: a. Terkait kejelasan rumusan dalan UU SJSN, ditemukan permasalahan pada: 1) Pasal 1 angka 1 mengenai frasa “perlindungan sosial” dalam definisi jaminan sosial tidak sinkron dengan Pasal 1 angka 8; 2) Penjelasan Pasal 4 huruf g mengenai frasa “seluruh penduduk” dan frasa “yang dilaksanakan secara bertahap”; 3) Pasal 13 ayat (1) mengenai frasa “secara bertahap”; 4) Pasal 19 ayat (2) mengenai frasa “kebutuhan dasar kesehatan”; 5) Pasal 23 ayat (4) mengenai frasa “kelas standar”; 6) Pasal 24 ayat (2) mengenai frasa “hari”; dan 7) Pasal 39 ayat (4) mengenai frasa “usia pensiun”. b. Terkait penilaian terhadap efektivitas pelaksanaan UU SJSN, ditemukan pemasalahan pada: 1) Pasal 5 ayat (1) mengenai pembentukan badan penyelenggara jaminan sosial dengan undang-undang; dan 2) Pasal 52 ayat (2) mengenai jangka waktu penyesuaian badan penyelenggara jaminan sosial dengan UU SJSN. c. Terkait potensi tumpang tindih atau disharmoni UU SJSN dengan peraturan perundang-undangan lainnya, ditemukan permasalahan pada: 1) Pasal 32 ayat (1) dengan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam mengenai penyelenggara program JKK dalam Asuransi Perikanan atau Asuransi Pergaraman; dan 2) Pasal 37 ayat (3) dengan PP Jaminan Hari Tua mengenai syarat pembayaran manfaat JHT. d. Terkait penambahan pengaturan dalam UU SJSN adalah sebagai berikut: 1) Penambahan manfaat kembali bekerja dalam program JKK dan penambahan program JSTB; 2) Pengaturan mengenai kewajiban pemerintah daerah untuk melakukan perluasan cakupan kepesertaan, meningkatkan kualitas pelayanan, dan meningkatkan kepatuhan melalui peraturan daerah; 3) Penguatan pengaturan mengenai fungsi, tugas, dan wewenang DJSN; 4) Penyempurnaan tata kelola BPJS termasuk penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban BPJS sebagai badan hukum publik; 5) Pengaturan mengenai sanksi; dan 6) Pengaturan mengenai pengawasan dan penegakan hukum. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan a. Kelembagaan DJSN Pada saat ini fungsi, tugas dan wewenang DJSN belum dijalankan secara optimal, terutama dalam hal pelaksanaan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial. b. Kepesertaan dan Iuran 1) Belum adanya PBI pada program jaminan sosial ketenagakerjaan yang meliputi program JKK, JKM, JHT, dan JP. 2) Tidak tepatnya sasaran dalam penetapan PBI bagi masyarakat, penggolongan fakir miskin dan orang tidak mampu serta validasi data PBI kurang optimal. Selain itu masih banyak peserta yang memiliki dua NIK dan peserta terdaftar tetapi tidak memiliki NIK yang dapat mempengaruhi data besaran jumlah peserta PBI dalam program JKN. 3) Masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak mendaftarkan para pekerjanya dalam program jaminan sosial, serta masih banyak perusahaan yang mencantumkan upah pekerja tidak sesuai dengan upah keseluruhan yang diterima pekerja selama satu bulan kepada BPJS Ketenagakerjaan yang berdampak pada berkurangnya manfaat jaminan sosial yang didapatkan pekerja. c. Program Jaminan Sosial 1) Adanya irisan antara kedua jenis program jaminan sosial, yaitu pada manfaat pelayanan kesehatan dan program JKK yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan juga memberikan manfaat pelayanan kesehatan bagi peserta yang mengalami risiko kecelakaan kerja yang menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. 2) Terkait kesepakatan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan, bahwa pada implementasinya rumah sakit/dokter tidak pada posisi yang setara untuk dapat bernegosiasi dengan BPJS Kesehatan mengenai kesepakatan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan. 3) Adanya permasalahan terkait pengembangan sistem pelayanan kesehatan dimana panjangnya alur/prosedur fasilitas kesehatan yang harus dilalui oleh pasien yang meningkatkan risiko keterlambatan tindakan dan memberikan dampak memburuknya kondisi kesehatan. d. Permasalahan Implementasi Pasal 52 UU SJSN Pasal 52 UU SJSN menjadi dasar legitimasi bagi PT. Taspen dan PT. Asabri untuk tetap dapat menjalankan program jaminan sosial. Tidak terdapat ketentuan dalam UU SJSN yang menyatakan PT. Taspen dan PT. Asabri harus bertransformasi dan melakukan pengalihan program kepada BPJS Ketenagakerjaan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana dalam upaya pelaksanaan jaminan sosial nasional dalam aspek kepesertaan masih terkendala dari tingkat kepatuhan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya maupun warga masyarakat dalam mengikutsertakan dirinya dalam program jaminan sosial. Lemahnya pemberian sanksi administratif bagi pemberi kerja ataupun masyarakat turut menjadi penyebab cakupan kepesertaan yang pada prinsipnya bersifat wajib menjadi belum optimal. Pemberian nomor identitas tunggal yang didasari pada NIK menutup kemungkinan bagi warga negara yang tidak memiliki NIK untuk menjadi peserta. Hal tersebut tentunya berpotensi membatasi hak setiap orang untuk mendapatkan manfaat dari sistem jaminan sosial sebagaimana dijamin dalam UUD Tahun 1945. Fasilitas kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan JK belum seluruhnya terakreditasi. Akreditasi pada fasilitas kesehatan sangatlah penting guna menjamin mutu pelayanan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan pada pasien atau peserta jaminan sosial. 4. Aspek Pendanaan a. Pendanaan BPJS Kesehatan yang defisit dikarenakan tingginya tagihan klaim rumah sakit tidak berbanding dengan iuran premi peserta yang dihitung tidak sesuai dengan besaran premi ideal yang harus di iur peserta. Keadaan tagihan klaim yang tinggi tersebut berbeda dengan nilai pengeluaran yang timbul dari JK yang diselenggarakan PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) yang memberikan JK kepada peserta pada segmentasi yang terbatas yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah peserta BPJS Kesehatan saat ini. Oleh karena itu, permasalahan defisit tersebut menjadi relevan menimbulkan kewajiban BPJS Kesehatan untuk membayar klaim yang sangat timpang dibandingkan penerimaan dari iuran peserta BPJS Kesehatan. b. Ketimpangan besaran iuran tersebut menyebabkan BPJS menjadi terlambat melakukan pembayaran terhadap tagihan klaim fasilitas kesehatan mitra. Dalam mengatasi kekurangan tersebut pemerintah memberikan suntikan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan setiap tahunnya. Namun, suntikan dana tambahan kepada BPJS Kesehatan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU SJSN, sehingga untuk mempercepat pembayaran BPJS memberikan jalan keluar melalui program SCF. Namun program SCF masih memiliki kendala karena tidak ada payung hukum yang mengatur program SCF tersebut, sehingga masih ada penolakan dari fasilitas kesehatan mitra untuk menggunakannya. c. Ketidakmerataan atas pelayanan kesehatan JKN mewajibkan BPJS Kesehatan memberikan dana kompensasi, namun hingga saat ini dana kompensasi belum dapat direalisasikan. 5. Aspek Budaya Hukum Penyelenggaraan sistem jaminan sosial nasional tidak terlepas dari peranan masyarakat mengingat kepesertaan dari sistem jaminan sosial nasional adalah seluruh masyarakat Indonesia merupakan suatu unsur dari proses interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Peran serta masyarakat yang disebut partisipasi masyarakat merupakan salah satu bentuk keikutsertaan masyarakat secara aktif dan bertanggung jawab dalam menentukan keberhasilan program dan kinerja organisasi. Permasalahan budaya hukum SJSN bersumber dari kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri, pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya, dan pemerintah untuk mendaftarkan masyarakat miskin dan kurang mampu sebagai peserta, serta kepatuhan peserta untuk membayar iuran secara rutin
1. Dalam aspek Substansi Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: a. Mengubah ketentuan UU SJSN: - Pasal 1 angka (8) di sesuaikan dengan Pasal 1 angka (1); - Penjelasan Pasal 4 huruf g; - Pasal 13 ayat (1); - Pasal 19 ayat (2); - Pasal 23 ayat (4); - Pasal 24 ayat (2); - Pasal 39 ayat (4); dan - Pasal 52 ayat (2). b. Upaya tindakan dalam rangka efektivitas pelaksanaan UU SJSN: - Membentuk undang-undang pembentukan PT. Taspen (Persero) dan undang-undang pembentukan PT. Asabri (Persero) sebagai badan penyelenggara jaminan sosial; dan - Menyesuaikan asas, tujuan, dan prinsip penyelenggaraan jaminan sosial oleh PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) sesuai dengan UU SJSN. - Melakukan sinkronisasi pengaturan UU SJSN dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial nasional. c. Melakukan sinkronisasi/harmonisasi pengaturan UU SJSN dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sistem jaminan sosial nasional. d. Melakukan penambahan norma-norma dalam UU SJSN untuk beberapa hal yang belum diatur. 2. Dalam aspek Kelembagaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: a. Penguatan kelembagaan DJSN dalam UU SJSN agar DJSN dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenangnya secara optimal. b. UU SJSN juga perlu mengatur mengenai PBI untuk program jaminan sosial ketenagakerjaan terutama pada pekerja sektor informal, sebagaimana pengaturan PBI untuk program JK. c. Penguatan koordinasi dan kerjasama antar setiap instansi/lembaga dalam hal validasi data PBI. d. Penguatan koordinasi dan kerjasama antara Asosiasi Fasilitas Kesehatan dengan BPJS dalam penentuan besaran tarif pembayaran fasilitas kesehatan agar dapat tercapai kesepakatan yang tidak akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Serta BPJS Kesehatan dalam pelaksanaannya harus mengembangkan sistem pelayanan secara optimal untuk dapat memudahkan pelayanan kepada masyarakat. e. Berdasarkan Penjelasan Umum UU SJSN jelas menegaskan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial diselenggarakan oleh beberapa badan penyelenggara. Artinya tidak ada pembatasan jumlah badan penyelenggara jaminan sosial. Ketentuan Pasal 52 ayat (2) UU SJSN memerintahkan PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) harus melakukan penyesuaian berdasarkan UU SJSN. Penyesuaian PT. Taspen (Persero) dan PT. Asabri (Persero) harus dibentuk dengan undang-undang sebagai badan penyelenggara jaminan sosial. Serta melakukan penyesuaian dari Persero menjadi Badan yang sesuai dengan prinsip sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 UU SJSN. 3. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: Dalam hal sarana dan prasarana, terkait dengan perluasan kepesertaan perlu ditingkatkan kembali khususnya pada sektor pekerja informal dan mengoptimalkan pengawasan serta pemberian sanksi bagi pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya pada program jaminan sosial. Serta diperlukan komitmen dari fasilitas kesehatan dan juga pemerintah untuk mendorong terlaksananya akreditasi guna menjamin mutu pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit pada pasien atau peserta jaminan sosial. 4. Dalam aspek Pendanaan, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: a. Iuran peserta BPJS Kesehatan perlu dilakukan penyesuaian. b. Program SCF perlu dibuatkan payung hukumnya agar fasilitas kesehatan mitra mendapat jaminan legalitas dalam menggunakannya. c. Dana kompensasi harus segera dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada daerah yang belum terdapat pelayanan JKN. 5. Dalam aspek Budaya Hukum, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1. Kepatuhan masyarakat sebagai peserta dan pemberi kerja dalam hal pembayaran iuran kepada BPJS haruslah ditingkatkan sehingga pengelolaan dana jaminan sosial nantinya dapat diperoleh manfaatnya oleh peserta untuk mendapatkan pelayanan mudah, diakses secara cepat dan bermutu. Selain itu perlu dilakukan sosialisasi kepada peserta BPJS kesehatan mengenai aturan pembayaran dan beberapa kebijakan terkait dengan JKN; 2. Proses sosialisasi program JK, JKK, JHT, JP, JKM yang terdapat dalam Pasal 18 UU SJSN kepada masyarakat, pekerja, pemberi kerja dan dinas terkait harus dilakukan dengan optimal sehingga program jaminan sosial dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat;
Permasalahan kesehatan mencakup bidang yang sangat luas dan multisektor, oleh karena itu, dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional 2019 (Rakerkesnas 2019) di Jakarta telah ditetapkan beberapa isu utama kesehatan yang harus diprioritaskan yaitu: 1. Angka kematian ibu/AKI- angka kematian neonatal/AKN, 2. Penyakit tidak menular (PTM), 3. Stunting, 4. Imunisasi, 5. Tuberkulosis (TB), 6. Digital health/e-health, 7. Kesiapan menghadapi bencana (pra dan post), 8. Pengelolaan sumber daya manusia (SDM) dan obat, 9. Jaminan kesehatan nasional/JKN (fasilitas kesehatan tingkat pertama/FKTP dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut/FKRTL), dan 10. Community engagement. Selain itu, terdapat 18 pasal/ayat yang belum diterbitkan peraturan pelaksananya oleh Pemerintah. UU Kesehatan juga telah beberapa kali diuji oleh MK yaitu: Pasal 108 ayat (1) dan Penjelasannya, Pasal 199 ayat (1), Penjelasan Pasal 114, dan Penjelasan Pasal 115 ayat (1).
1. Aspek Substansi Terdapat masalah substansi/norma dalam UU Kesehatan yang berdasarkan indikator norma yang berpotensi disharmoni, ketidakjelasan rumusan dan inkonsistensi. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan Kurang optimalnya koordinasi kementerian/lembaga di tingkatan pusat, disinkronisasi pelaksanaan program kesehatan di pusat dan daerah akibat diterapkannya kebijakan otonomi daerah, kelembagaan BPKN tang tidak efektif, minimnya ketersediaan tenaga pengawas dan PPNS. 3. Aspek SDM, Sarana dan Prasarana Permasalahan terkait kekurangan dan ketidakmerataan tenaga kesehatan, prinsip-prinsip profesionalisme tenaga kesehatan masih terabaikan, dan kurangnya perlindungan tenaga kesehatan atas dugaan kelalaian dan malpraktik. 4. Aspek Anggaran Pengalokasian dan pemanfaatan anggaran di bidang kesehatan tersebut tidak sesuai dengan amanat UU Kesehatan, yaitu meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. 5. Aspek Budaya Hukum Peningkatan kesadaran masyarakat yang merupakan tujuan utama pelaksanaan pelayanan kesehatan promotif dan preventif sejauh ini dapat dikatakan belum berhasil dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan masih tingginya masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan dikarenakan perilaku atau gaya hidup yang tidak mengedepankan kesehatan.
1. Aspek Substansi Hukum a. Mengubah: Pasal 1 angka 4; Pasal 1 angka 9; Pasal 3; Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3); Pasal 46; Pasal 47; Pasal 48 ayat (1); Pasal 52; Pasal 75 ayat 2 huruf b; Pasal 87 ayat (1) dan (2); Pasal 98 ayat (1); Pasal 98 ayat (3); Pasal 111; Pasal 139; Pasal 144 ayat (2); Pasal 183; Pasal 188 ayat (2); Pasal 190 ayat (1); Pasal 191; Pasal 200. b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Kesehatan dengan ketentuan UU Tenaga Kesehatan, UU Pemda, UU Rumah Sakit, UU PPPK, UU SJSN, UU PB dan Putusan MK Nomor 82/PUU-XIII/2015. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan a. Meningkatkan komitmen Pemerintah maupun Pemerintah daerah untuk mengimplementasikan setiap kebijakan dibidang kesehatan; b. Penguatan koordinasi dan kerjasama antar setiap intansi/lembaga yang diatur di dalam UU Kesehatan; c. Membentuk BPKN sebagai amanat langsung dari diberlakukannya UU Kesehatan; dan d. Mempertegas mekanisme pengawasan dan penegakan hukum dalam UU Kesehatan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana perlu peningkatan komitmen dari Pemerintah maupun pemerintah daerah dalam pemenuhan SDM di bidang kesehatan dan pemenuhan sarana dan prasarana sebagai penunjang akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesejatan rujukan, dan pelayanan kefarmasian guna mendukung pelaksanaan kesehatan di Indonesia. 4. Aspek Pendanaan a. Mendorong Pemerintah untuk lebih mengeksplorasi sumber-sumber pembiayaan lain untuk bidang kesehatan selain dari APBN, APBD, dan mobilisasi dana JKN dan dimanfaatkan sebagian besar untuk pelayanan promotif dan preventif. b. Mendorong Pemerintah untuk menetapkan persentase alokasi anggaran kesehatan yang lebih tinggi dalam APBN dan mempriritaskan pada program preventif dan promosi kesehatan. c. Perlu adanya sebuah lembaga yang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang untuk mengawasi sumber, alokasi, dan pemanfaatan pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. 5. Aspek Budaya Hukum dibutuhkan kesadaran masyarakat untuk lebih peduli pada kondisi kesehatannya dan pemberian edukasi serta penyampaian informasi yang tuntas oleh pemerintah, pemerintah daerah dan tenaga kesehatan.