Kajian, Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (SIPANLAK UU)

Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Tanggal
2020-06-01
Lokasi
Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Kalimantan Selatan.

Selama berlakunya UU OJK sejak tahun 2011, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU OJK antara lain: A. Isu Utama 1. Aspek Substansi Hukum Adanya pasal/ayat yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi berdampak pada ketentuan terkait lainnya, dan beberapa ketentuan dalam UU OJK yang berpotensi disharmoni dengan ketentuan lain. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum Adanya tumpang tindih kewenangan antara OJK, BI, dan Kemenkeu, tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK, adanya keberadaan Ex-Officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK yang berpotensi mengurangi independensi OJK, dan potensi tumpang tindih kewenangan penyidikan antara OJK , Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. 3. Aspek Sarana dan Prasarana Permasalahan dalam akses pertukaran data informasi dan pelayanan pengaduan konsumen dalam sektor pengawasan perbankan. 4. Aspek Pendanaan Permasalahan pungutan oleh LJK berpotensi menggangu indpendensi OJK. 5. Aspek Budaya Hukum Minimnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat dalam sektor jasa keuangan. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK telah dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. C. Prolegnas RUU tentang Perubahan UU OJK masuk dalam daftar Prolegnas Nomor 149 yang diusulkan oleh DPR dan Pemerintah.

Pelaksanaan UU OJK dalam kurun waktu 9 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: 1. Aspek Substansi Hukum a. Frasa "dan bebas dari campur tangan pihak lain" dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK yang mengikuti kata "independen" bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK No. 25/PUU-XII/2014. b. Definisi “Perasuransian” dalam Pasal 1 angka 7 UU OJK tidak sesuai dengan definisi yang diurai dalam UU Perasuransian. c. Definisi “Lembaga Jasa Keuangan Lainnya” dalam Pasal 1 angka 10 UU OJK dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan industri keuangan saat ini yang telah berkembang pada basis teknologi informasi. d. Frasa "bebas dari campur tangan pihak lain" pada Pasal 2 ayat (2) UU OJK perlu disesuaikan dengan Putusan MK No. 25/PUU-XII/2014. e. Tidak dijelaskannya "pengawasan terintegrasi" dalam Penjelasan Pasal 5 UU OJK telah berimplikasi pada tidak efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK terhadap seluruh kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. f. Tidak terdapat penegasan bahwa OJK memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga dalam hal debitor adalah bank pada Pasal 7 UU OJK. g. Tidak terdapat penegasan bahwa OJK memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan niaga dalam hal debitor adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. h. Pasal 10 ayat (4) huruf h dan i UU OJK terkait keberadaan ex-officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK di satu sisi dinilai tetap dibutuhkan agar penyelenggaraan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan LJK dapat berjalan lebih optimal. Namun, di sisi lain keberaan ex-officio justru dinilai berpotensi mengganggu independensi OJK dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang. i. Frasa "tindakan tertentu" dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU OJK di satu sisi dinilai tetap diperlukan karena apabila frasa tersebut dibatasi maka dikhawatirkan akan membatasi OJK dalam hal perlindungan konsumen. Namun, di sisi lain tidak dijelaskannya frasa "tindakan tertentu" dalam Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a UU OJK dinilai berpotensi menimbulkan multitafsir dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang terhadap LJK. j. Frasa "kegiatan pendukung lainnya" dalam Pasal 35 ayat (1) UU OJK di satu sisi dinilai dimaksudkan untuk fleksibitas OJK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Namun, di sisi lain tidak dijelaskannya frasa "kegiatan pendukung lainnya” tersebut berpotensi terjadinya penyalahgunaan penggunaan anggaran. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Koordinasi BI dan OJK terkait kebijakan pengaturan dan pengawasan secara mikroprudensial dan makroprudensial di sektor Perbankan belum berjalan efektif karena berpotensi terjadinya tumpang tindih kewenangan. b. Masih banyaknya peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan yang ditetapkan oleh OJK namun menyulitkan LJK dalam pelaksanaannya, dan adanya potensi disharmoni peraturan di sektor jasa keuangan baik yang diterbitkan oleh OJK, BI, maupun Kemenkeu. c. Belum efektifnya pengawasan yang dilakukan oleh OJK yang menyebabkan banyaknya permasalahan-permasalahan di sektor jasa keuangan. d. Belum efektifnya sanksi administratif yang dikenakan oleh OJK kepada LJK menyebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di sektor jasa keuangan. e. Dalam pelaksanaannya, di satu sisi keberadaan ex-officio dalam susunan Dewan Komisioner OJK dinilai tetap dibutuhkan agar penyelenggaraan tugas, fungsi, dan wewenang pengaturan dan pengawasan LJK dapat berjalan optimal. Namun, di sisi lain, keberadaan ex-officio ini justru berpotensi menganggu independensi OJK. f. Dalam hal perlindungan konsumen dan masyarakat, masih terdapat permasalahan mulai dari pelayanan pengaduan yang belum memuaskan, sampai dengan belum optimalnya LJK dalam melaksanakan kewenangannya melakukan pembelaan hukum. g. Adanya potensi tumpang tindih kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS OJK dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dan minimnya sumber daya PNNS OJK yang menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Dalam pelaksanaanya, mekanisme pelayanan pengaduan konsumen dinilai masih belum optimal. Ketidakefektifan LJK dalam pelayanan pengaduan konsumen tersebut juga menunjukkan bahwa OJK belum optimal dalam mengenakan sanksi administratif kepada LJK. b. Dalam hal sarana pertukaran informasi secara terintegrasi, terkendala dalam hal persiapan aplikasi pengolahan dan mekanisme akses informasi pelaporan terintegrasi untuk dipergunakan lebih lanjut di masing-masing lembaga. Selain itu, menurut BKF Kemenkeu, BI dan LPS belum mendapatkan akses informasi baik terkait data perbankan dalam hal pengawasan makroprudensial dan terkait tingkat solvabilitas bank. 4. Aspek Pendanaan Pengenaan pungutan oleh OJK kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dinilai berpotensi menganggu independensi OJK. Selain itu, terdapat potensi terjadinya moral hazard bagi OJK dalam melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (5) UU OJK. 5. Aspek Budaya Hukum a. Masyarakat belum mengetahui dan memahami akan adanya media edukasi bagi konsumen yang telah disediakan oleh OJK tersebut. b. Masyarakat di satu sisi dinilai telah berperan aktif menyampaikan pengaduan, namun di sisi lain masih banyak pula yang menilai bahwa masyarakat belum aktif menyampaikan pengaduan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU OJK, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: 1. Aspek Substansi Hukum Perubahan terhadap beberapa pasal dalam UU OJK, diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 1 angka 10, Pasal 2 ayat (2), Penjelasan Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Penjelasan Pasal 35 ayat (1). 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Perlunya penguatan fungsi koordinasi antara OJK dengan BI dalam hal kewenangan pengaturan dan pengawasan microprudensial dan macroprudensial. Hasil koordinasi tersebut kemudian juga perlu dipublikasikan kepada publik, khususnya LJK, agar memiliki pemahaman yang sama dengan OJK dan BI terkait pengaturan dan pengawasan mikro dan makro di sektor perbankan. b. penguatan koorrdinasi antara BI, OJK, dan Kemenkeu agar menghasilkan regulasi-regulasi di sektor jasa keuangan yang bersesuaian dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing. c. penguatan pengawasan OJK melalui mekanisme sistem pengawasan yang terintegrasi. d. Optimalisasi edukasi literasi keuangan yang dilakukan oleh OJK untuk meminimalisir potensi pelanggaran yang disebabkan LJK terhadap konsumen dan masyarakat. Selain itu, diperlukan penguatan dalam hal pelayanan pengaduan konsumen oleh OJK agar permasalahan di sektor jasa keuangan dapat ditindaklanjuti secara cepat. e. Penguatan koordinasi antara OJK, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK khususnya dalam hal pelaksanaan kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Perlunya sosialisasi secara lebih intensif dan tepat saran mengenai perangkat pelayanan pengaduan konsumen oleh OJK. b. Diperlukan komitmen dari OJK, BI, dan LPS untuk memelihara dan mengembangkan sarana pertukaran informasi terintegrasi secara berkelanjutan. 4. Aspek Pendanaan Meningkatkan pengawasan internal terhadap pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan terutama terkait dengan perlindungan konsumen dan masyarakat serta dalam hal penyusunan dan penetapan rencana kerja dan anggaran OJK. Selain itu, OJK perlu melakukan publikasi secara optimal dan terinci mengenai laporan kegiatan, termasuk pengelolaan anggaran OJK khususnya yang bersumber dari pungutan. OJK juga dapat membuat konten yang lebih informatif dan menggunakan kanal informasi yang lebih dekat dengan publik. 5. Aspek Budaya Hukum a. Diperlukan komitmen baik dari LJK maupun OJK untuk terus konsisten dalam memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan produk jasa keuangan baik secara online maupun offline. b. Diperlukan komitmen dari OJK untuk konsisten memberikan pelayanan pengaduan konsumen dan/atau masyarakat secara optimal. Selain itu, masyarakat juga seharusnya dapat terus meningkatkan pemahaman terkait literasi keuangan agar dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dari pelanggaran ataupun kejahatan di sektor jasa keuangan.

Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Kajian dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Tanggal
2020-03-01
Lokasi
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Memasuki tahun keenam pelaksanaan UU SPPA (Agustus 2014 sampai dengan Maret 2020), Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU SPPA antara lain: A. Isu Utama 1. Aspek Substansi Hukum Definisi usia anak, definisi pekerja sosial, syarat diversi, pemberian bantuan hukum, penahanan Anak untuk kepentingan penyidikan, implikasi putusan MK yang membatalkan Pasal 96, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA, disharmoni dengan UU Pemda perihal pengelolaan LPKS, dan sejumlah peraturan pelaksanaan UU SPPA. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum Kurangnya jumlah penyidik, PK Bapas, peksos dan hakim anak, belum efektifnya pola koordinasi penyelenggaraan pendidikan dan pembinaan anak di LPKA, serta belum memadainya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) PK Bapas, peksos, hakim anak, dan penyidik anak. 3. Aspek Sarana dan Prasarana Masih minim LPKA, LPKS, RPKA dan LPAS, sehingga pada praktiknya banyak Anak yang penahanannya ditempatkan di lapas/rutan dewasa. 4. Aspek Pendanaan Penanganan ABH di LPKS masih belum dianggarkan dan dibebankan pada APBD, dan belum adanya anggaran untuk sertifikasi penyidik anak. 5. Aspek Budaya Hukum Adanya penolakan dari korban atau keluarga korban untuk melakukan diversi sehingga tujuan keadilan restoratif tidak tercapai. Kemudian masih minimnya pemahaman masyarakat terhadap proses pidana anak, sehingga masyarakat masih cenderung mengucilkan Anak dan keluarganya ketika hasil proses pidana berdasarkan UU SPPA dianggap tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, terutama bagi keluarga korban. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi telah menyatakan beberapa pasal bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 yaitu: 1. Pasal 96, Pasal 100 dan Pasal 101 melalui Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012; 2. Pasal 99 melalui Putusan MK Nomor 68/PUU-XV/2017.

Pelaksanaan UU SPPA dalam kurun waktu 6 tahun terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: 1. Aspek Substansi Hukum a. Batasan usia anak dinilai terlalu tinggi dan sudah tidak lagi relevan untuk usia psikologis dan usia biologis seorang anak. b. Definisi “pekerja sosial profesional” menimbulkan kerancuan dengan UU pekerja Sosial. c. Permasalah dalam diversi mulai dari isu syarat, pengecualian, kesepakatan, hingga jangka waktu diversi. d. Potensi disharmoni ketentuan bantuan hukum dalam UU Bnatuan Hukum. e. Penahanan dan penempatan ABH untuk kepentingan penyidikan tidak memiliki standar waktu yang jelas. f. Terdapat ketidakkonsistenan dalam perumusan norma ketentuan pidana pembinaan di luar lembaga berupa “mengikuti terapi di rumah sakit jiwa”. g. Pengurangan sanksi pidana dalam UU SPPA menjadi modus kejahatan baru. h. Sanksi administratif bagi pejabat atau petugas tidak terlaksana. i. Implikasi Putusan MK Nomor 110/PUU-X/2012 dan Putusan MK Nomor 68/PUUXV/2017 adalah hilangnya sanksi pidana terhadap pejabat berwenang (penyidik, penuntut umum, hakim, dan pejabat pengadilan) yang tidak melaksanakan ketentuan dalam UU SPPA. j. Sanksi pidana terhadap penyidik tidak dapat terlaksana. k. Terdapat disharmoni antara UU SPPA dengan UU Pemda. l. Belum diundangkannya beberapa peraturan pelaksana UU SPPA.. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Tujuan diversi dengan semangat keadilan restoratif belum tercapai secara optimal, karena APH lebih memilih bentuk kesepakatan transaksi ganti kerugian; b. Masih kurang optimalnya peran dan kewajiban PK Bapas dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan diversi dan pengawasan diversi; c. Belum semua OBH memiliki kebijakan bantuan hukum cuma-cuma mengenai penanganan ABH; d. Masih terdapat perbedaan persepsi pemahaman keadilan restoratif antara APH dengan lembaga yang menangani perkara Anak yang disebabkan kurangnya diklat bagi APH, serta belum terbentuknya kerangka berpikir pendekatan keadilan restoratif dalam setiap pengambilan keputusan penanganan perkara ABH; e. Masih minimnya kuantitas penyidik, PK Bapas dan peksos yang menangani perkara Anak karena belum diberikan diklat terpadu SPPA sehingga menjadi kendala dalam pelaksanaan syarat sebagai penyidik anak; f. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral dengan K/L terkait (Kemensos dengan Kemen PPPA); g. Masih belum efektifnya penyelenggaraan pendidikan Anak dalam koordinasi antar LPKA dengan Dinas Pendidikan setempat yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak pendidikan Anak. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Masih belum semua polsek/polres memiliki RPKA dan Unit PPA, sehingga menyebabkan kendala penanganan dan penempatan Anak; b. Belum adanya LPAS yang dibangun karena urgensi pembangunan LPAS dianggap tidak terlalu mendesak, sehingga penggunaan anggaran masih diprioritaskan pada program lain; c. LPKA belum dibangun secara merata di setiap provinsi, kabupaten/kota sehingga banyak Anak yang masih ditempatkan di lapas beserta narapidana dewasa, serta fasilitas LPKA yang masih belum memadai untuk pemenuhan hak-hak Anak; d. Masih belum meratanya keberadaan Bapas di kabupaten/kota menyebabkan sulitnya melaksanakan pidana anak terkait dengan diversi dan tindakan bagi ABH yang terbukti bersalah; e. Masih banyak pemerintah kota/kabupaten belum memahami pentingnya LPKS, serta masih belum memadainya fasilitas di LPKS untuk melaksanakan putusan hakim berupa tindakan perawatan; f. Masih banyaknya pemda yang tidak memberikan lahan yang letaknya strategis untuk dibangun sarana dan prasarana, sehingga menyebabkan kendala jarak bagi APH maupun keluarga korban dalam penanganan perkara Anak. g. Kurangnya ketersediaan balai pelatihan kerja di berbagai daerah di Indonesia sehingga pelaksanaan pidana dan tindakan pelatihan kerja belum menjadi prioritas pilihan putusan hakim. 4. Aspek Pendanaan a. Masih dibebankannya biaya penanganan ABH di LPKS pada APBD yang belum mengacu kepada UU SPPA; b. Masih terbatasnya anggaran DIPA Polri untuk menganggarkan personelnya dalam mengikuti diklat terpadu SPPA; c. Masih terbatasnya anggaran terkait pendanaan Bapas yang masih dibebankan pada DIPA Bapas untuk biaya operasional di setiap tingkat pemeriksaan; d. Tidak optimalnya penyelenggaraan pembuatan litmas, pendampingan, bimbingan dan pengawasan klien Anak oleh PK Bapas karena anggaran yang ada belum sesuai dengan standar pembimbingan di Bapas, sedangkan selama ini hanya diperuntukkan khusus untuk pendampingan Anak saja; e. Masih terbatasnya anggaran operasional LPKA sehingga menghambat kegiatan pembinaan dan pelatihan Andikpas dalam penyelenggaraan SPPA. 5. Aspek Budaya Hukum a. Masih banyak masyarakat dan media massa yang mengekspos identitas ABH, sehingga memunculkan stigma negatif di masyarakat. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan minimnya pemahaman masyarakat dan pelaku jurnalisitik, serta tidak ditegakkannya Pasal 97 UU SPPA. b. Implementasi Pasal 32 ayat (1) mengenai penangguhan penahanan belum berjalan dengan baik karena ketidakpahaman orang tua, pendamping, maupun pemangku kepentingan. Dalam praktiknya, meskipun telah ada jaminan penangguhan penahanan dari orang tua/wali, namun dalam kasus-kasus tertentu permohonan penangguhan penahanan masih dikesampingkan oleh APH. c. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait keadilan restoratif menyebabkan partisipasi peran serta masyarakat belum optimal. d. Masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai diversi dan pelaksanaannya, sehingga pelaksanaan upaya diversi belum optimal. e. UU SPPA sebagai suatu konsep pelindungan hukum yang dilakukan secara sistemik, peran sosialisasi secara menyeluruh baik terkait hak-hak anak dalam rangka pelindungan anak maupun SPPA, tidak hanya menjadi peran masyarakat saja tetapi juga para pihak terkait.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU SPPA, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: 1. Aspek Substansi Hukum a. Mengubah ketentuan UU SPPA pada Pasal 1 angka 3; Pasal 1 angka 14; Pasal 7 ayat (2); Pasal 9 ayat (1) huruf a beserta penjelasannya; Pasal 23; Pasal 29 ayat (1); Pasal 32; Pasal 42 ayat (1); Pasal 52 ayat (2); Pasal 71; Pasal 81; Pasal 82; Pasal 95; Pasal 98; Pasal 105 ayat (1) huruf f; dan Pasal 107. b. Menghapus substansi Pasal 98 UU SPPA agar sejalan dengan Putusan MK No. 110/PUU-X/2012 dan No. 68/PUU-XV/2017. c. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU SPPA dengan undang-undang terkait. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Melakukan koordinasi antar PK Bapas dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan dan pengawasan diversi; b. Melakukan koordinasi antar instansi (OBH) terkait pemberian bantuan hukum kepada Anak; c. Koordinasi antara APH dengan lembaga terkait diklat bagi APH sehingga tidak ada perbedaan persepsi dan kerangka berpikir terhadap pemahaman keadilan restoratif dalam mengambil keputusan penanganan perkara ABH; d. Melakukan koordinasi antar lembaga terkait dengan diklat terpadu SPPA bagi Penyidik, PK Bapas dan peksos dalam menangani perkara Anak; e. Melakukan koordinasi lintas sektoral dengan K/L terkait (Kemensos dan Kemen PPP), terkait dengan data pemisahan register antara Anak dan Anak Korban; f. Koordinasi antar LPKA dan Dinas Pendidikan setempat terkait penyelenggaraan pendidikan anak; g. Melibatkan Forkopimda sebagai penentu arah kebijakan pada tiap kabupaten/kota dalam penanganan SPPA sehingga tercipta kesepahaman visi dan misi dalam pelaksanaan SPPA. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Perlu koordinasi antar K/L terkait dalam membangun RPKA dan Unit PPA; b. Melakukan koordinasi antar K/L terkait penggunaan anggaran yang digunakan pada program lain sehingga LPAS belum dibangun; c. Melakukan koordinasi antar lembaga terkait pembangunan LPKA secara merata di setiap provinsi, kabupaten/ kota sehingga perlu mengubah Pasal 105 ayat (1) huruf e UU SPPA, karena anak masih ditempatkan bercampur dengan tahanan dewasa; d. Koordinasi antar K/L terkait keberadaan Bapas di setiap kabupaten/kota; e. Perlu koordinasi antar pemerintah kota/kabupaten, untuk dapat memahami pentingnya LPKS dan dalam membangun fasilitas LPKS; f. Melakukan koordinasi antar pemerintah dalam memberikan lahan untuk membangun sarana dan prasarana terkait dengan jarak bagi APH maupun keluarga korban dalam menangani perkara Anak; g. Perlu adanya keterlibatan dari pemerintah kabupaten/kota agar dapat dibentuk Balai Latihan Kerja atau Balai Pendidikan di tiap kabupaten/kota. 4. Aspek Pendanaan Perlu dibuat penganggaran yang sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan SPPA di lapangan, agar pelaksanaan UU SPPA dapat berjalan optimal. 5. Aspek Budaya Hukum a. Perlunya sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat akan pentingnya kerahasiaan identitas bagi masa depan Anak. b. Bagi APH perlu dilakukan pendidikan yang menginformasikan mengenai penangguhan penahanan dalam perkara pidana Anak, sedangkan bagi masyarakat perlu dilakukan sosialisasi yang menginformasikan mengenai penangguhan penahanan. c. Masyarakat perlu diberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai perannya dalam penyelesaian perkara pidana Anak sebagaimana diatur dalam UU SPPA. d. Perlu dilakukan sosialisasi dan upaya untuk menginformasikan mengenai diversi dan pelaksanaannya baik kepada APH maupun masyarakat. e. Di dalam UU SPPA perlu ditentukan secara jelas pihak-pihak yang berkewajiban melakukan sosialisasi secara menyeluruh mengenai UU SPPA.

Evaluasi Pemantauan Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Evaluasi Pemantauan Terhadap Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Tanggal
2019-12-01
Lokasi
Provinsi Jawa Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Selatan

Selama berlakunya UU Pemda sejak tahun 2014, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI menemukan permasalahan utama dan mendasar terkait dengan pelaksanaan UU Pemda antara lain: A. Isu Utama Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa permasalahan dan hambatan yang dianalisis melalui pembagian 5 aspek yaitu Aspek Substansi Hukum, Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Aspek Sarana dan Prasarana, Aspek Pendanaan dan Aspek Budaya Hukum. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi telah menyatakan beberapa pasal bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 yaitu: 1. Pasal 158 ayat (1) melalui Putusan MK Nomor 7/PUU-XIII/2015. 2. Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (8) melalui Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015. 3. Pasal 251 ayat (1), ayat (4), dan ayat (7) serta ayat (5) melalui Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016.

Pelaksanaan UU Pemda hingga tahun 2019 terdapat permasalahan dalam implementasinya, antara lain: 1. Aspek Substansi Hukum a. Pasal 10, urusan pemerintahan absolut sebagai bentuk asas dekonsentrasi menimbulkan kerancuan karena urusan pemerintahan absolut dapat dibagi dengan daerah. b. Pasal 12 ayat (1) huruf a jo. Lampiran huruf A, ketidaksesuaian antara jumlah guru yang harus ditanggung pemerintah provinsi dan kurangnya anggaran pada pemerintah provinsi. c. Pasal 25 ayat (6), tidak selaras dengan asas delegatus non potest delegare yang artinya delegasi tidak bisa didelegasikan lagi. d. Pasal 23, amanat peraturan pemerintah belum diterbitkan. e. Pasal 25 ayat (4) dan ayat (5), tidak konsisten membedakan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dan gubernur sebagai kepala daerah. f. Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 95 ayat (1) jo. Pasal 148 ayat (1), membatasi DPRD provinsi hanya dapat memanggil pejabat pemerintah daerah provinsi, badan hukum, atau warga masyarakat di daerah provinsi, sedangkan persoalan tersebut bisa saja membutuhkan bupati/wali kota atau pejabat pemerintah daerah kabupaten/kota. g. Pasal 216 ayat (3), berimplikasi pada tidak maksimalnya inspektorat provinsi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya karena ada rasa segan memeriksa sekretaris daerah. h. Pasal 251, kewenangan Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda Provinsi dan kewenangan gubernur untuk membatalkan Perda kabupaten/kota dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 berdasarkan Putusan MK Nomor 137/PUUXIII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016. i. Pasal 269, beberapa gubernur/bupati/walikota dalam prakteknya melaksanakan pembangunan daerah dengan visi misi yang tidak sinergis dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. j. Pasal 350 ayat (4), belum dapat terimplementasi dengan baik karena sanksi administratif ternyata belum dapat memberikan efek jera bagi kepala daerah yang melanggar. k. Pasal 360 ayat (2), tidak dapat dilaksanakan karena terdapat nomenklatur kawasan khusus yaitu Kawasan Purbakala dan Kawasan Angkatan Perang yang sudah tidak relevan lagi. l. Terdapat potensi disharmoni antara UU Pemda dengan UU Penanggulangan Bencana, UU Administrasi Pemerintahan, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air. m. Perlunya harmonisasi antara peraturan pelaksanaan dari UU Pemda dengan peraturan pelaksanaan undang-undang lain. n. Terdapat 19 amanat penerbitan peraturan pelaksanaan dari UU Pemda yang belum dilaksanakan oleh pemerintah. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Terjadi perbedaan persepsi dalam pelaksanaan beberapa NPSK yang diterbitkan oleh K/L, sehingga membingungkan pihak daerah dalam pelaksanaannya. b. Masih terdapat beberapa daerah yang tidak layak untuk berdiri sendiri sebagai pemekaran daerah otonom. c. Terdapat kerancuan DPRD merupakan lembaga legislatif namun di sisi lain berkedudukan sebagai eksekutif. Hal ini yang kemudian menyebabkan beberapa persoalan di daerah di mana DPRD dan Pemda seringkali memiliki hubungan koordinasi yang kurang baik. d. Pemerintah Daerah kurang mampu menghasilkan panduan dan rencana pembangunan yang sesuai dengan visi misi dan program nasional. e. Diberlakukannya OSS mengakibatkan DPMPTSP tidak memiliki data informasi perizinan yang diajukan kepada OSS tersebut. f. Masih rendahnya kapasitas dan integritas kepala daerah yang menyebabkan tidak optimalnya penyelenggaraan pemerintahan daerah. g. Lemahnya peran APIP dalam melakukan pengawasan dan kurangnya koordinasi antara APIP dan APH dalam melakukan pemeriksaan atas pengaduan terkait adanya dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara. h. Belum optimalnya penegakan sanksi administratif bagi kepala daerah dan anggota DPRD yang melakukan pelanggaran administratif. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Kurangnya kapasitas/kualitas SDM perangkat daerah/desa serta SDM fungsional P2UPD, mengakibatkan belum optimalnya pelaksanaan urusan pemerintahan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan b. Kurangnya sistem pendukung DPRD, terutama tenaga ahli, karena minim SDM dan anggaran, yang berimplikasi pada belum optimalnya fungsi DPRD sebagai penyusun peraturan daerah karena dapat menghambat terbentuknya peraturan daerah. c. SPBE yang diakomodir dalam PP No. 12 Tahun 2019 untuk menjalankan amanat dari Pasal 391 ayat (1) huruf b UU Pemda, dalam implementasinya masih terhambat dengan infrastruktur yang kurang mendukung. 4. Aspek Pendanaan a. Ketentuan Pasal 279 ayat (2) huruf b UU Pemda dalam implementasinya tidak disertai dengan pendanaan untuk pemerintah yang melaksanakannya. b. Ketentuan Pasal 279 ayat (3), Pasal 25 ayat (5), dan Pasal 91 ayat (5) UU Pemda kurang terimplementasi dengan baik karena masih terdapat beberapa urusan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat namun menggunakan dana yang bersumber dari APBD. c. Pasal 279 ayat (4) UU Pemda masih mengacu kepada UU tentang pemerintahan daerah yang lama sehingga sudah tidak relevan lagi. d. Urusan Pemerintahan Wajib terkait Pelayanan Dasar yang ditentukan dengan SPM dalam pelaksanaanya belum sesuai dengan ketentuan, baik dari pemberian sanksi hingga keengganan DPRD membahas Raperda APBD dengan kepala daerah. e. Terjadi penyimpangan anggaran belanja terkait urusan pemerintahan sebagaimana yang diatur dalam UU Pemda. f. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 14 Permendagri No. 52 Tahun 2012 berdampak pada terhambatnya/sulitnya penerbitan Perda yang berkaitan dengan penyertaan modal pada BUMD dikarenakan dalam pelaksanaannya tidak ada APBD yang surplus. 5. Aspek Budaya Hukum a. Peran serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah masih sangat minim karena kurangnya kesadaran dan pemahaman dari masyarakat atas bentuk partisipasi yang dapat dilakukan. b. Dicabutnya Permendagri No. 27 Tahun 2009 dengan Permendagri No. 19 Tahun 2017 telah menghilangkan salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang justru sering digunakan.

Berdasarkan hasil kajian dan evaluasi UU Pemda, Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI merekomendasikan sebagai berikut: 1. Aspek Substansi Hukum a. Mengubah ketentuan Pasal 9 ayat (2); Pasal 10 ayat (2); - Pasal 14 ayat (1); Pasal 25 ayat (5); Pasal 25 ayat (6); Pasal 33; Pasal 216 ayat (3); Pasal 251 ayat (4); Pasal 255 ayat (1); Pasal 256 ayat (2); Pasal 269; Pasal 350 ayat (4); Pasal 360 ayat (1) dan (2); Pasal 361 ayat (7); Lampiran huruf A; Lampiran huruf C; Lampiran huruf E; Lampiran huruf F; Lampiran huruf BB; Lampiran huruf CC. b. Melakukan sinkronisasi pengaturan UU Pemda dengan undang-undang sektoral. c. Percepatan penetapan beberapa peraturan pelaksanaan yang belum selesai. 2. Aspek Kelembagaan/Struktur Hukum a. Perlunya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam penyusunan, pembahasan, dan pelaksanaan NSPK serta peningkatan sosialisasi, koordinasi, dan perlibatan pemangku kepentingan antar pusat dan daerah agar tidak membingungkan daerah. b. Melaksanakan evaluasi secara berkala terhadap perkembangan daerah otonom baru dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. c. Perlunya pemahaman mengenai kedudukan DPRD dalam konteks NKRI, dikaitkan dengan ketidakharmonisan antara DPRD dan Pemerintah Daerah. Diperlukan pemahaman dan koordinasi antara kedua lembaga tersebut dengan membangun komunikasi yang baik dan saling memahami kedudukan dan kewenangannya masing-masing. Sehingga terwujud hubungan baik antar DPRD dan Pemerintah Daerah sebagaimana telah berhasil dilaksanakan di beberapa daerah. d. Perlunya komitmen Pemerintah Daerah dalam sinkronisasi RKPD dengan DAK agar terjadi sinergitas antara RKPD dengan tujuan dialokasikannya DAK oleh pemerintah pusat. e. Diperlukan sinergi antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam hal integrasi data untuk mendukung OSS tersebut sejalan dengan kewajiban pemberian pelayanan perizinan sesuai dengan UU Pemda sehingga Pemerintah Daerah tidak kehilangan data-data penting terkait perijinan. f. Perlunya komitmen Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan dan pengawasan yang menjadi kewenangannya secara terukur, konsisten, dan berkesinambungan. g. Dalam hal pelaksanaan APIP perlu: 1) dilakukan penguatan APIP baik secara tugas dan fungsi maupun secara kelembagaan agar dapat berperan secara optimal menjaga akuntabilitas internal, 2) komitmen yang tinggi antara APIP dan APH dalam hal pengawasan aparatur negara dengan koordinasi dan komunikasi yang berkesinambungan. 3) penegakkan sanksi bagi aparatur Pemerintah Daerah yang dinilai belum penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan optimal sesuai peraturan perundang-undangan. 3. Aspek Sarana dan Prasarana a. Melakukan upaya peningkatan kapasitas/kualitas SDM perangkat daerah/desa dan fungsional P2UPD. b. Penyelenggaraan kerjasama dengan pihak lain untuk mendapatkan tambahan tenaga professional yang bisa memberikan penguatan peran DPRD. c. Perlunya dukungan pemerintah untuk membangun infrastruktur yang memadai bagi pelaksanaan SPBE. 4. Aspek Pendanaan a. UU Pemda disinergikan dengan UU Perimbangan Keuangan agar tidak menimbulkan ambiguitas dalam pengimplementasian norma. b. Pemerintah Pusat perlu berkomitmen untuk menjalankan ketentuan-ketentuan dalam UU Pemda terkait pendanaan untuk urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. c. Pembentukan UU tentang Perubahan atas UU Perimbangan Keuangan. 5. Aspek Budaya Hukum Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terus melakukan sosialisasi terkait dengan partisipasi masyarakat agar masyarakat dapat mengetahui bentuk partisipasi yang dapat diberikan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.