INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 36/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Eriko Fahri Ginting, S.H., Leon Maulana Mirza Pasha, S.H., Ferdinand Sujanto, S.H. , Andi Redani Suryanata, Belgis Shafira, Sandra Nabila Diya Ul-Haq, Tria Noviantika, Benaya Marcel Devara Taka, Desty Puteri Hardyati, Jennifer Gabriella Hardi, Dara Manista Harwika, Isrotul Munawaroh, Maylita Evely Kandalina, Sultan Fadillah Effendi, Raihan Azalia, Ghina Gatrialiananda, Nukhbah Salsabila, Elizza Rizky Mauri, Arum Mahdavika, Muhammad Adjrin, Jennyver Willyanto, Yusa Rahman Sanjani, Nisrina Hasnia, M. Ainun Fitria Maulana, Salsabilah Anton Subijanto, Agatha Vinci Goran, I Made Dwi Gayatri, Aryadi Kristianto Simanjuntak, Fransiska Naomi Sitanggang. Yang dalam hal ini memberikan kuasa khusus kepada Faisal Al Haq Harahap, dkk, kesemuanya merupakan tim pada Kantor Hukum Leo & Partners, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE
dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), (2), dan (4), Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali. [3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang- undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. [3.10.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 5 Mei 2009. Dasar pengujian yang digunakan dalam putusan tersebut adalah Pasal 28E ayat (2), ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945. Sementara itu, berkaitan dengan pengujian norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Mahkamah juga telah memutus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Agustus 2013. Adapun dasar pengujian yang digunakan untuk putusan tersebut adalah Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945. Selain itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Maret 2018, Mahkamah juga telah memutus berkenaan dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Sedangkan, para Pemohon dalam perkara a quo, baik terkait dengan pengujian norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam perkara a quo yaitu Pasal 1 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Adapun berkenaan dengan alasan pengujian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama perkara a quo terdapat perbedaan dengan yang telah diputus oleh Mahkamah karena para Pemohon mendalilkan pasal yang dimohonkan pengujian merupakan “pasal karet“ walaupun sudah diputus oleh Mahkamah, tetapi faktanya menurut para Pemohon putusan Mahkamah tersebut tidak dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga tidak memberikan kepastian hukum atas hak-hak yang telah dijamin oleh UUD 1945, sehingga para Pemohon memohon agar pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dinyatakan dalam amar putusan atau dituangkan dalam revisi UU ITE; [3.10.3] Bahwa walaupun objek permohonan yang diajukan oleh para Pemohon a quo sama dengan Perkara Nomor 50/PUU-VI/2008, Perkara Nomor 52/PUU- XI/2013, Perkara Nomor 76/PUU-XV/2017, namun oleh karena perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda dan juga memiliki alasan yang berbeda, maka terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali. [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah benar ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan “pasal karet” yang tidak memberikan jaminan dalam penerapannya sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28F, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena dalam implementasinya menurut para Pemohon seperti “pasal karet” tidak melindungi hak-hak para Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945 karena aparat penegak hukum tidak menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, maka penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu mengutip kembali pertimbangan hukum dalam putusan tersebut yang telah mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagaimana yang dimaksudkan dalam Sub-paragraf [3.16.3], Sub-paragraf [3.16.4], Sub-paragraf [3.16.5], Sub-paragraf [3.16.7], Paragraf [3.17], dan Sub-paragraf [3.17.1] [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 5 Mei 2009, hlm. 106-110] sebagai berikut: [3.16.3] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum. Menurut Mahkamah, salah satu ciri negara hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak asasi setiap orang. Rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan dan perlindungan individu, keluarga, kehormatan, dan martabat, dengan kebebasan orang lain untuk berbicara, berekspresi, mengemukakan pendapat dan pikiran serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dalam suatu masyarakat demokratis. Keseimbangan tersebut diperlukan untuk menghindari terjadinya “hukum rimba” dalam dunia maya (cyberspace) karena banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan sebab tidak ada hukum yang mengaturnya, sebagaimana dikemukakan oleh Geeta Anand (1997: A28), “the growing public awareness of the internet is unwieldy and chaotic side has led to calls for regulation and governance” (meningkatnya kesadaran masyarakat akan internet dalam sisi buruknya telah melahirkan tuntutan bagi perlunya peraturan dan penataan), dimana setiap pengguna internet (netter) atau warga pengguna jaringan internet (netizen) secara leluasa boleh berperilaku membabi buta, memaki, memfitnah dan mencemarkan nama baik pihak lain tanpa disertai data dan informasi akurat, sebagaimana yang diungkapkan para saksi yang diajukan Pemerintah dalam persidangan. Dengan demikian, sebagaimana di dalam dunia nyata, kebebasan bagi pengguna internet atau warga pengguna jaringan internet adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Mahkamah berpendapat, dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan Pasal a quo bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, adalah tidak beralasan; [3.16.4] Bahwa Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE berpotensi disalahgunakan. Menurut Mahkamah, potensi penyalahgunaan justru lebih besar dilakukan oleh pihak-pihak yang bermain di ranah dunia maya daripada penyalahgunaan yang dilakukan oleh penegak hukum dengan alasan bahwa keunggulan dalam dunia teknologi dan informasi yang ditandai dengan kecepatan dalam transfer data, informasi dan karakter yang sangat terbuka, serta hamper tanpa batas. Di sisi lain dapat juga menimbulkan dampak negatif yang ekstrim apabila norma-norma hukum, norma-norma agama, dan norma-norma moral ditinggalkan oleh para pengguna dunia maya. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara cepat maka semakin tinggi pula tuntutan kehati-hatian karena tidak adanya penyaring atau pembatas yang dapat menangkal nilai-nilai negatif (self-censorship) ketika berinteraksi dengan pihak lawan interaksi. Undang- Undang a quo telah memberikan batasan sisi-sisi yang merupakan domain publik dan sisi-sisi yang melanggar hak-hak privasi orang lain; [3.16.5] Bahwa Pemohon mendalilkan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mempunyai efek jangka panjang yang menakutkan. Menurut Mahkamah, perkembangan teknologi informasi seperti internet dan sejenisnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yang hidup dan saling berpengaruh dalam dunia nyata guna mencapai kesejahteraan umat manusia, sehingga fokus akhir dari pengaturan dan pembatasan hukum in casu undang-undang a quo adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia pada media siber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata. Tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan sarana dunia maya menyebabkan korban menderita untuk waktu yang lama dan dampak yang luas karena tidak adanya batas ruang dan rentang waktu. Setiap orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya kapanpun dan dimanapun, sehingga justru korban dari tindak pidana di dunia maya-lah yang mengalami efek dalam jangka panjang, bukan pelakunya. Berdasarkan pandangan terhadap nilai hukum di atas, maka dalil Pemohon tidak beralasan; [3.16.7] Bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, menurut Mahkamah, tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena meskipun ada ketentuan Pasal 28F UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”, tetapi dalam pelaksanaannya, kemerdekaan pers tidaklah sebebas-bebasnya. Dengan kata lain, negara dibenarkan membatasi atau mengatur agar kebebasan pers tersebut tidak melanggar hak-hak asasi orang lain, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi…; [3.17] Menimbang bahwa baik DPR maupun Ahli yang diajukan Pemerintah telah menerangkan di depan persidangan Mahkamah bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP ke dalam Undang-Undang baru karena ada unsur tambahan yang khusus yaitu adanya perkembangan di bidang elektronik atau siber dengan karakteristik yang sangat khusus. Oleh karena itu, penafsiran norma yang termuat dalam Pasal 27 ayat (3) UU a quo mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, tidak bisa dilepaskan dari norma hukum pidana yang termuat dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang termuat dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, sehingga konstitusionalitas Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP; [3.17.1] Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan. [3.11.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum atas Perkara Nomor 50/PUU-VI/2008, telah ternyata Mahkamah dalam pendiriannya sebagaimana amarnya menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dengan kata lain, Mahkamah telah menyatakan bahwa norma yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo dalam putusan sebelumnya telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat; [3.11.3] Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan permohonan para Pemohon dan dasar pengujian yang diajukan sekalipun terdapat perbedaan dengan perkara yang telah diputus sebelumnya, namun yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada intinya adalah mengenai kekaburan atau ketidakjelasan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE sehingga tidak memberikan perlindungan hukum atas hak kebebasan menyatakan pendapat, di mana dalam penegakannya pun tidak sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitumnya yang bersifat alternatif memohon kepada Mahkamah, khususnya pada petitum huruf b, agar menyatakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati secara saksama argumentasi yang dibangun oleh para Pemohon untuk menyatakan inkonstitusionalitas norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak memiliki dasar yang kuat maka tidak terdapat alasan yang fundamental bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian sebagaimana telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, oleh karenanya Mahkamah tetap pada pendiriannya. Sementara itu, jika dikaitkan dengan petitum alternatif huruf b berikutnya, pada pokoknya para Pemohon memohon hal-hal yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 agar dinyatakan dalam amar putusan atau dimasukkan dalam revisi UU ITE. Dalam kaitan dengan apa yang dimohonkan oleh para Pemohon, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan penegasan atas norma hukum pidana penghinaan yang terdapat dalam KUHP ke dalam norma hukum baru sesuai dengan perkembangan di dunia siber karena KUHP tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran yang dilakukan secara online, dikarenakan adanya unsur “di muka umum“. Oleh karena itu, penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dilepaskan dari norma penghinaan dalam KUHP yaitu Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai norma pokoknya (genus delict). Berkaitan dengan hal ini pun telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Sub-paragraf [3.16.1] hlm. 104 sebagai berikut: “Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line) karena ada unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”. Rumusan Pasal a quo telah cukup jelas memberikan pengertian “mendistribusikan” sebagai “penyalinan” sebagaimana keterangan Ahli Pemohon Andika Triwidada. Pengertian mentransmisikan adalah interaksi sekejap antara pihak pengirim dan penerima dan interaksi tersebut merupakan bagian dari distribusi. Begitu juga dengan batasan “membuat dapat diakses” dapat berupa memberikan akses terhadap muatan secara langsung dan memberikan akses berupa alamat tautan, sebagaimana pendapat Ahli dari Pemohon. Dengan demikian, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal a quo memperlihatkan adanya ketidakjelasan ukuran dan makna, tumpang tindih yang berarti mengandung ketidakpastian hukum, adalah tidak tepat menurut hukum” [3.11.4] Bahwa terlepas dari kekhawatiran para Pemohon atas penerapan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang sesungguhnya bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menilainya, Pemerintah sesungguhnya telah menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tersebut dengan menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Keputusan Bersama). Dalam Keputusan Bersama tersebut telah dirumuskan pedoman untuk pelaksanaan atau implementasi pasal-pasal tertentu dari UU ITE, yaitu Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas dari Keputusan Bersama dimaksud, Keputusan Bersama a quo dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pasal-pasal tertentu UU ITE tidak lagi menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat, sehingga disusunlah pedoman implementasi bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya [vide Menimbang huruf b Keputusan Bersama]. Berkaitan dengan ihwal Keputusan Bersama inipun sesungguhnya telah dirujuk pula oleh para Pemohon dalam permohonannya [vide Permohonan para Pemohon hlm. 15]. Dengan adanya pedoman tersebut maka aparat penegak hukum telah mendapatkan panduan atau pedoman agar dalam mengimplementasikan ketentuan norma pasal yang dimohonkan pengujiannya tersebut tidak bersifat represif namun secara hati-hati sehingga implementasinya dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana hal ini ditentukan dalam Keputusan Bersama, khususnya dalam memberikan pedoman implementasi Pasal 27 ayat (3) UU ITE [Lampiran Keputusan Bersama, hlm. 9-14], yang dipersoalkan oleh para Pemohon. Adapun substansi pedoman dimaksud sebagai berikut: a. Sesuai dasar pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Tahun 2008, dan Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merujuk dan tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP berkaitan dengan perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku. b. Dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU- VI/2008 Tahun 2008 tersebut maka dapat disimpulkan, bukan sebuah delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Untuk perbuatan yang demikian dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP yang menurut Penjelasan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak termasuk acuan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. c. Bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. d. Dalam hal fakta yang dituduhkan merupakan perbuatan yang sedang dalam proses hukum maka fakta tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya sebelum Aparat Penegak Hukum memproses pengaduan atas delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik UU ITE. e. Delik pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU ITE. Sebagai delik aduan absolut, maka harus korban sendiri yang mengadukan kepada Aparat Penegak Hukum, kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian. f. Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, dan bukan institusi, korporasi, profesi atau jabatan. g. Fokus pemidanaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja (dolus) dengan maksud mendistribusikan/ mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum (Pasal 310 KUHP). h. Unsur “supaya diketahui umum” (dalam konteks transmisi, distribusi, dan/atau membuat dapat diakses) sebagaimana harus dipenuhi dalam unsur pokok (klacht delict) Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP yang menjadi rujukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang harus terpenuhi. i. Kriteria “supaya diketahui umum” dapat dipersamakan dengan “agar diketahui publik”. Umum atau publik sendiri dimaknai sebagai kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal. j. Kriteria “diketahui umum” dapat berupa unggahan pada akun sosial media dengan pengaturan bisa diaskes publik, unggahan konten atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat grup terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, serta lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group). k. Bukan merupakan delik penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam hal konten disebarkan melalui sarana grup percakapan yang bersifat tertutup atau terbatas, seperti grup percakapan keluarga, kelompok pertemanan akrab, kelompok profesi, grup kantor, grup kampus, atau institusi pendidikan. l. Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Untuk kasus terkait Pers perlu melibatkan Dewan Pers. Tetapi jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE termasuk Pasal 27 ayat (3). [3.11.5] Bahwa dengan demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keputusan Bersama sebagaimana diuraikan di atas maka persoalan mengenai implementasi penegakan norma Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang merupakan bentuk kekhawatiran para Pemohon telah terjawab melalui pedoman bagi aparat penegak hukum dalam Keputusan Bersama yang saat ini menjadi pegangan dalam menerapkan norma pasal a quo. Oleh karena itu, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma, maka terhadap permohonan para Pemohon yang memohon agar pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 dinyatakan dalam amar putusan adalah tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, berkenaan dengan petitum para Pemohon yang memohon agar segera merevisi UU ITE bukan merupakan kewenangan Mahkamah tetapi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. [3.12] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dianggap para Pemohon telah menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga menyimpang dari pembatasan hak yang telah ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil a quo penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa berkenaan dengan norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU- XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Agustus 2013, di mana dalam pertimbangan hukum pada Paragraf [3.11], Paragraf [3.12], Paragraf [3.13], Paragraf [3.14], Mahkamah antara lain menyatakan sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 yang menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”, yang menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”, dan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”; [3.12] Menimbang bahwa Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Menurut Mahkamah, ketentuan dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yakni hak setiap orang untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya, dapat dibatasi dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; [3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, apabila seseorang menyebarkan informasi dengan maksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah sesuatu yang bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; [3.14] Menimbang bahwa Mahkamah berpendapat bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta hak untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, tidak boleh berisi informasi yang kemudian disebarkan untuk tujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan baik antarindividu maupun masyarakat. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU 11/2008 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya oleh Pemohon justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan segenap bangsa Indonesia, paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial; sejalan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian; sesuai dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebab kemanusiaan mengharuskan perlakuan sama serta penghormatan kepada sesama manusia; setujuan dengan Persatuan Indonesia, oleh karena penyebaran kebencian dan permusuhan akan mengikis persatuan; seiring dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk namun dalam persatuan dan kesatuan Indonesia; [3.12.2] Bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-XI/2013, Mahkamah menyatakan dalam amar putusannya bahwa norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya, dalam Perkara Nomor 76/PUU-XV/2017 yang mempersoalkan frasa “antargolongan” dalam norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE juga telah diputus oleh Mahkamah dalam sidang terbuka untuk umum pada 28 Maret 2018, di mana dalam pertimbangan hukum pada Sub-Paragraf [3.13.2], Paragraf [3.14], Sub-Paragraf [3.14.1], Sub-Paragraf [3.14.2], Paragraf [3.15], Paragraf [3.16], Mahkamah antara lain menyatakan: “…Problem konstitusional justru timbul tatkala istilah “antargolongan” tersebut ditiadakan, yaitu adanya kekosongan hukum yang membawa akibat ketidakpastian hukum, sebab dalam konteks permohonan a quo akan timbul pertanyaan: apakah seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE dapat dipidana jika perbuatan itu tidak ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu yang tidak termasuk ke dalam pengertian suku, agama, dan ras? Pertanyaannya kemudian bagaimanakah jika dikaitkan dengan Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945? Pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat serta dilindungi dalam menjalankan hak asasi. Frasa “mengeluarkan pendapat” meliputi juga penyebaran informasi baik secara lisan maupun melalui media tertentu, termasuk di dalamnya melalui sarana teknologi komputer berjaringan yang secara populer dikenal sebagai media sosial (social media). Namun kebebasan demikian bukanlah tanpa batas. Kebebasan mengeluarkan pendapat dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945. Menurut Mahkamah Pasal 28E ayat (3) juncto Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap pendapat harus disertai tanggung jawab secara moral dan hukum untuk selalu menyajikan kebenaran. Hal ini juga sejalan dengan makna negara hukum dan perlindungan hukum yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.14] Menimbang bahwa istilah “antargolongan” karena mewadahi berbagai entitas yang belum diatur oleh undang-undang, maka justru ketika dihilangkan/ dihapus dari Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE akan meniadakan/menghilangkan perlindungan hukum bagi berbagai entitas di luar tiga kategori yaitu suku, agama, dan ras. Ketiadaan perlindungan hukum demikian berpotensi melanggar Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.14.1] Bahwa istilah “antargolongan” terbentuk dari gabungan kata “antar” dan kata “golongan”, yang kata “golongan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sama artinya dengan kelompok (Hasan Alwi dkk, 2001:368). Ketika kelompok dimaknai sebagai kumpulan (orang) yang memiliki kesamaan atribut atau ciri tertentu, maka istilah golongan/kelompok ini akan meliputi/mencakup juga suku, agama, dan ras. Padahal dalam frasa SARA, kedudukan hukum istilah “suku”, istilah “agama”, istilah “ras”, dan istilah “antargolongan” diletakkan sederajat yang artinya masing-masing tidak saling meliputi atau yang satu tidak menjadi sub-ordinat yang lain. Menurut Mahkamah pengulangan atau adanya kesan tumpang-tindih tidak dapat dielakkan karena keterbatasan kosakata yang dapat mewakili fenomena keragaman entitas akibat proses diferensiasi sosial. Hal tersebut bukanlah merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945. Sebab tujuannya justru untuk mengisi kekosongan hukum agar tidak terjadi pelanggaran terhadap UUD 1945. Namun demikian bila diperlukan untuk mempertegas dan bila telah ditemukan adanya kosakata yang paling tepat maka dimungkinkan untuk dilakukan perubahan atau penggantian istilah “antargolongan” oleh pembentuk undang-undang di kemudian hari, yang selanjutnya akan dipergunakan sebagai terminologi hukum sesuai dengan konteks keberlakuannya. [3.14.2] Bahwa dari uraian pertimbangan paragraf [3.14.1], seandainya pun tidak dilakukan perubahan atau penggantian istilah “antargolongan”, bagi Mahkamah hal demikian tidak pula menjadikan istilah norma Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang memuat istilah “antargolongan” menjadi norma yang kabur (vague norm). Untuk menjadikan ketentuan tersebut lebih jelas atau terang, menurut Mahkamah cukup dengan memberikan penjelasan, bahkan melalui putusan Mahkamah ini dipertegas bahwa istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras. [3.15] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan adanya kekhawatiran bahwa ketidakjelasan makna istilah “antargolongan” akan dipergunakan oleh golongan koruptor, golongan narapidana, golongan penjahat, dan golongan anti Pancasila untuk menuntut orang yang dituduh menyebarkan informasi yang dapat menimbulkan kebencian terhadap golongan mereka. Terhadap dalil para Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat kekhawatiran para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sebab hukum, khususnya hukum pidana, diciptakan bukan untuk melindungi sifat maupun tindakan/perbuatan jahat. Bahkan dalam ilmu hukum pidana dikatakan bahwa salah satu unsur objektif tindak pidana adalah adanya sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid). Tindakan/perbuatan korupsi, anti Pancasila, mencuri, merampok, sebagai contoh, adalah tindakan yang melanggar hukum. Orang-orang yang terbukti melakukan berbagai tindakan tersebut dan telah dijatuhi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tentu tidak masuk akal untuk merasa tersinggung atau dirugikan, serta tidak mungkin meminta perlindungan hukum dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Lain halnya ketika seseorang atau golongan tertentu disangka atau disebarluaskan informasi bahwa dirinya adalah penjahat atau koruptor atau anti Pancasila tanpa ada pembuktian secara hukum. Orang atau golongan yang disangka demikian memiliki hak untuk dilindungi dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE. [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan adanya kerancuan makna “golongan” karena selain dipergunakan dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, kata “golongan” juga dipergunakan dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Terhadap dalil tersebut Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE merupakan peraturan yang sifatnya lebih khusus dibandingkan dengan ketentuan Pasal 156 KUHP. Menurut Mahkamah penggunaan istilah/kata yang sama oleh dua undang-undang yang berbeda bukanlah sebuah kesalahan apalagi pelanggaran konstitusi, selama keduanya memiliki konteks yang berbeda dan perbedaan demikian dapat dengan mudah diketahui melalui penafsiran kontekstual. Dalam hal ini pertimbangan hukum Mahkamah pada paragraf [3.14] berlaku pula sebagai pertimbangan hukum terhadap dalil para Pemohon a quo. Hal demikian apabila dicermati akan tampak jelas dalam rumusan masing- masing pasal dimana Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE mengatur pidana dalam konteks penyebaran informasi elektronik, sementara Pasal 156 KUHP menekankan pada pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum. Dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa penggunaan istilah/kata “golongan” dalam UU ITE maupun dalam KUHP tidak menimbulkan kerancuan karena keduanya memiliki perbedaan konteks yang jelas. Namun demikian andaikata penggunaan istilah/kata “golongan” di dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE serta di dalam Pasal 156 KUHP memungkinkan adanya kerancuan, quod non, menurut Mahkamah hal demikian adalah permasalahan harmonisasi istilah/kata yang merupakan bagian dari sebuah norma pada peraturan perundang- undangan yang sebenarnya tidak mengakibatkan pergeseran arti masing- masing istilah/kata yang ada pada peraturan perundang-undangan bersangkutan, sehingga hal tersebut bukanlah merupakan permasalahan konstitusionalitas norma”. [3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan permohonan para Pemohon yang mengkhawatirkan implementasi penegakan hukum norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE, oleh karenanya dalam petitum alternatif huruf b, khusus terhadap Pasal 28 ayat (2) UU ITE, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dalam amar putusan perkara a quo. Terhadap kekhawatiran dan permohonan para Pemohon tersebut sesungguhnya telah terjawab pula dengan ditindaklanjutinya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017 dalam Keputusan Bersama sebagaimana telah dipertimbangkan di atas dalam Sub-Paragraf [3.11.4]. Dalam Keputusan Bersama tersebut ditentukan pula pedoman penerapan atau implementasi Pasal 28 ayat (2) UU ITE agar tidak menimbulkan multitafsir atau kontroversi di masyarakat [vide Konsideran Menimbang huruf b Keputusan Bersama]. Adapun pedoman implementasi, khususnya Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan sebagai berikut: a. Delik utama Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). b. Bentuk informasi yang disebarkan dapat berupa gambar, video, suara, atau tulisan yang bermakna mengajak, atau mensyiarkan pada orang lain agar ikut memiliki rasa kebencian dan/atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasar isu sentimen atas SARA. c. Kriteria “menyebarkan” dapat dipersamakan dengan agar “diketahui umum” bisa berupa unggahan pada akun media sosial dengan pengaturan bisa diakses publik, atau mensyiarkan sesuatu pada aplikasi grup percakapan dengan sifat terbuka dimana siapapun bisa bergabung dalam grup percakapan, lalu lintas isi atau informasi tidak ada yang mengendalikan, siapapun bisa upload dan berbagi (share) keluar, atau dengan kata lain tanpa adanya moderasi tertentu (open group). d. Perbuatan yang dilarang dalam pasal ini motifnya membangkitkan rasa kebencian dan/atau permusuhan atas dasar SARA. Aparat Penegak Hukum harus membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten mengajak, memengaruhi, menggerakkan masyarakat. Menghasut/mengadu domba dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan/atau permusuhan. e. Frasa “antargolongan” adalah entitas golongan rakyat di luar suku, agama, dan ras sebagaimana pengertian antar golongan mengacu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XV/2017. f. Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka pada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali yang disebarkan itu dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, memengaruhi dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasar isu sentimen perbedaan SARA. Dengan demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Keputusan Bersama yang substansi pokoknya telah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi, maka sesungguhnya tidak ada relevansinya kekhawatiran para Pemohon atas implementasi norma Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Oleh karena itu, dalil para Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Samiani, yang diwakili oleh Muhammad Sholeh, S.H., dkk., para Advokat pada Kantor Advokat ”Sholeh and Partners”, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.
Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa persoalan konstitusionalitas norma yang dipermasalahkan oleh Pemohon berkaitan dengan penafsiran norma Pasal 35 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004. Di dalam kedua pasal yang saling terkait tersebut diatur bahwa program “jaminan hari tua” ditujukan untuk menjamin peserta program menerima manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Kemudian pencapaian tujuan demikian dipertegas dengan pengaturan bahwa pembayaran uang jaminan hari tua dilakukan secara sekaligus; Bahwa Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 beserta Penjelasan, selengkapnya menyatakan sebagai berikut: Pasal 35 ayat (2) “Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.” Pasal 37 ayat (1) “Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.” Penjelasan Pasal 35 ayat (2) “Jaminan hari tua diterimakan kepada peserta yang belum memasuki usia pensiun karena mengalami cacat total tetap sehingga tidak bisa lagi bekerja dan iurannya berhenti.” Penjelasan Pasal 37 ayat (1) “Cukup jelas” Bahwa menurut Pemohon ketentuan norma-norma a quo tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif, karena norma tersebut tidak mengakomodir pembayaran jaminan hari tua bagi pekerja yang mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja. Norma pasal-pasal tersebut hanya mengakomodir pembayaran jaminan hari tua bagi pekerja yang memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Bahwa terkait dengan dalil Pemohon tersebut, setelah dicermati secara saksama Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 pada hakikatnya adalah ketentuan yang mengatur tujuan jaminan hari tua dan tata cara pembayaran jaminan hari tua. Oleh karena itu, sebelum menjawab persoalan dasar yang didalilkan oleh Pemohon, penting bagi Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu esensi dasar berkenaan dengan hakikat jaminan hari tua bagi pekerja sebagaimana dimaksudkan dalam UU 40/2004. Bahwa program jaminan hari tua adalah tabungan wajib yang dibebankan negara kepada pemberi kerja dan pekerja untuk masa depan pekerja. Oleh karena itu, terdapat perbedaan fundamental dengan tabungan personal ataupun komersial yang dananya ditempatkan pada perbankan, baik mengenai sifat maupun tujuannya. Dalam tabungan yang bersifat personal atau komersial, uang tabungan dapat diambil setiap saat atau setiap waktu dibutuhkan karena memang hanya untuk mengantisipasi kebutuhan personal pemilik tabungan bersangkutan tanpa negara dapat melibatkan diri dalam urusan privat tersebut. Sedangkan tabungan jaminan hari tua yang dibebankan kepada pemberi kerja dan pekerja adalah kewajiban yang dibebankan oleh negara dalam rangka mengejawantahkan perlindungan konstitusional bagi warga negara, khususnya terkait masa depan pekerja. Dengan demikian, jaminan hari tua mempunyai karakteristik berbeda dalam pelaksanaannya, termasuk mengenai tata cara pembayaran jaminan hari tua dimaksud. Bahwa dalam konteks tata cara pembayaran jaminan hari tua, negara dengan kewenangan yang dimiliki dapat mengatur skema tata cara pembayaran jaminan hari tua dimaksud. Pengaturan demikian harus selalu mengedepankan kepentingan yang bersifat umum daripada mengutamakan kepentingan yang bersifat perorangan atau individu. Dengan demikian, berangkat dari esensi yang terdapat dalam semangat norma-norma undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon terdapat korelasi antara alasan yang membatasi pembayaran jaminan hari tua hanya terbatas karena pensiun, meninggal dunia atau cacat total tetap sebelum pensiun (vide Pasal 37 UU 40/2004) dengan alasan cacat total tetap, sehingga berhenti bekerja dan iurannya juga berhenti (vide Pasal 35 UU 40/2004). [3.10.2] Bahwa selanjutnya dengan uraian fakta hukum tersebut di atas, persoalan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah, apakah dengan demikian norma-norma yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon menjadi tidak berkeadilan dan tidak berkepastian hukum serta diskriminatif karena tidak mengakomodir pekerja, yang terkena pemutusan hubungan kerja dan mengundurkan diri, untuk mendapatkan pembayaran/pemberian jaminan hari tua. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan bahwa esensi mendasar tujuan jaminan hari tua adalah diperolehnya manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, dan cacat total tetap. Sehingga dengan demikian bagi peserta yang sudah tidak mempunyai penghasilan lagi, disebabkan karena pensiun, atau bagi yang meninggal dunia untuk keluarga yang ditinggalkan, dan peserta yang mengalami cacat total tetap, uang pembayaran jaminan hari tua tersebut sesungguhnya dapat menjadi bekal bagi peserta yang bersangkutan atau ahli warisnya dalam mempertahankan derajat kehidupan yang layak. Bahwa oleh karena itu, titik krusial manfaat dari jaminan hari tua sebenarnya terletak pada saat peserta menghadapi masa pensiun, meninggal dunia, atau cacat total tetap yang berakibat “tertutupnya” kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan bekerja kembali. Dengan demikian, pembayaran uang tunai yang berasal dari jaminan hari tua sangat bermanfaat untuk menyambung biaya kehidupan peserta dan keluarga/ahli warisnya, khususnya dalam mempertahankan derajat kehidupan yang layak. Hal ini berbeda dengan peserta yang berhenti bekerja karena alasan-alasan lain, seperti karena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri, yang masih dimungkinkan mendapatkan kesempatan bekerja di tempat lain. Bahwa oleh karena itu lebih lanjut dapat dipertimbangkan, menjadi tidak sepadan apabila pembayaran jaminan hari tua yang diproyeksikan sebagai bekal dalam menyongsong kehidupan setelah peserta tidak mampu lagi bekerja karena usia lanjut atau cacat total tetap, bahkan meninggal dunia, dipersamakan dengan yang berhenti karena alasan-alasan lain. Namun demikian, karena iuran yang dipergunakan untuk membayar jaminan hari tua sejatinya sebagian juga dari pekerja, maka terhadap pekerja yang berhenti membayar iuran jaminan hari tua karena terkena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri haruslah tetap dipertimbangkan untuk diberikan haknya sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam arti pemberian pembayaran jaminan hari tua tersebut tidak menggeser tata cara pembayaran sebagaimana ditentukan dalam skema pembayaran yang diatur dalam peraturan pelaksana atau dalam norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Penegasan Mahkamah tersebut didasarkan pertimbangan hukum, yaitu apabila peserta yang berhenti bekerja karena terkena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri dipersamakan dengan peserta yang diberikan pembayaran jaminan hari tua karena pensiun, meninggal dunia, atau cacat total tetap. Bahwa mempersamakan kedua hal demikian dikhawatirkan Mahkamah akan berdampak pada pergeseran makna jaminan hari tua. Bahkan kebijakan mempersamakan demikian bisa berkembang menjadi “modus” peserta untuk mendapatkan pembayaran jaminan hari tua dan dipergunakan untuk keperluan lain yang tidak sejalan dengan tujuan jaminan hari tua sebagai bentuk perlindungan konstitusional terhadap nasib pekerja yang perlu dicampuri urusannya oleh negara, meskipun konsep jaminan hari tua termasuk ranah privat. [3.10.3] Bahwa dengan merujuk uraian fakta-fakta hukum tersebut di atas, selanjutnya penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan persoalan yang berpotensi dialami oleh Pemohon dengan eksistensi Pasal 35 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004. Lebih lanjut apabila dicermati, konteks berhenti bekerja selain karena meninggal dunia, pensiun, atau cacat total tetap, dapat pula disebabkan karena mengundurkan diri atau karena terkena pemutusan hubungan kerja. Dalam perspektif ini UU 40/2004 tidak mengatur secara tegas bahwa yang dimaksud berhenti bekerja adalah termasuk mengundurkan diri atau karena terkena pemutusan hubungan kerja, namun istilah pensiun pada UU 40/2004 apabila merujuk pada pengertian pensiun secara umum adalah suatu kondisi ketika seseorang “tidak bekerja lagi krn masa tugasnya sudah selesai” [vide Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Depdiknas, 2008:1047)]. Dengan demikian, adalah kurang tepat jika mengundurkan diri dari pekerjaan atau terkena pemutusan hubungan kerja yang mendasarkan pada kontrak/perjanjian kerja berjangka waktu relatif pendek akan dikategorikan sebagai pensiun. Adapun frasa “mengalami cacat total” atau “meninggal dunia” jelas tidak mungkin ditafsirkan meliputi makna mengundurkan diri dari pekerjaan atau pemutusan hubungan kerja. [3.11] Menimbang bahwa dalam kaitannya dengan potensi permasalahan yang dihadapi Pemohon, Mahkamah berpendapat meskipun UU 40/2004 tidak secara tegas mengakomodir permasalahan yang berpotensi merugikan peserta jaminan hari tua yang mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja, namun apabila ditelisik lebih detail permasalahan tersebut telah terakomodir di dalam peraturan pelaksana UU 40/2004, yaitu Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, bertanggal 2 Februari 2022, yang diundangkan pada 4 Februari 2022. Peraturan a quo kemudian dicabut dan digantikan oleh Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2022 tentang Tata Cara Dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, bertanggal 26 April 2022 (selanjutnya disebut Permenaker 4/2022), dan diundangkan pada tanggal yang sama. Bahwa sebelum lebih lanjut mengutip dan mempertimbangkan substansi Permenaker tersebut, Mahkamah harus menegaskan bahwa pengutipan dan pertimbangan demikian bukan berarti Mahkamah menilai legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apalagi menjadikan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang sebagai parameter/batu uji bagi pengujian konstitusionalitas undang-undang. Pengutipan dan/atau rujukan yang demikian diperlukan Mahkamah untuk mengetahui keberagaman penafsiran atas suatu undang-undang, terutama penafsiran oleh pelaksana undang-undang yang dalam hal ini Pemerintah. Dengan kata lain, pengutipan dan/atau rujukan demikian diletakkan oleh Mahkamah sebagai substansi yang dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari fakta hukum yang mengemuka dalam persidangan terkait dengan perkara pengujian undang-undang. Bahwa terkait peraturan dimaksud, dalam Pasal 4 junctis Pasal 5, Pasal 8, dan Pasal 9 Permenaker 4/2022 diatur sebagai berikut: Pasal 4 “Manfaat JHT dibayarkan kepada Peserta jika: a. mencapai usia pensiun; b. mengalami cacat total tetap; atau c. meninggal dunia.” Pasal 5 “ (1) Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a termasuk juga Peserta yang berhenti bekerja. (2) Peserta yang berhenti bekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Peserta yang mengundurkan diri; b. Peserta yang terkena pemutusan hubungan kerja; dan c. Peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.” Pasal 8 “Manfaat JHT bagi Peserta yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak diterbitkan keterangan pengunduran diri dari pemberi kerja.” Pasal 9 “Pengajuan pembayaran manfaat JHT bagi Peserta yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan oleh Peserta kepada BPJS Ketenagakerjaan, dengan melampirkan: a. Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan; b. kartu tanda penduduk atau bukti identitas lainnya; dan c. keterangan pengunduran diri dari pemberi kerja tempat Peserta bekerja.” Bahwa beberapa ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja memaknai istilah “pensiun” dalam UU 40/2004 meliputi pula seseorang “yang berhenti bekerja”. Sehingga, konsep peserta BPJS Ketenagakerjaan yang pensiun meliputi juga peserta BPJS Ketenagakerjaan yang berhenti bekerja. Selanjutnya, konsep berhenti bekerja tersebut dimaknai meliputi peserta BPJS Ketenagakerjaan yang mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja, atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Bahwa dengan adanya pengaturan yang demikian, maka permasalahan yang dihadapi Pemohon dalam perkara a quo, secara normatif sebenarnya sudah terselesaikan. Artinya, pencairan dana/manfaat jaminan hari tua bagi peserta yang mengundurkan diri dari pekerjaan dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat, jika dilakukan sesuai prosedur yang diatur Permenaker 4/2022. Namun demikian, sekali lagi Mahkamah harus menegaskan bahwa norma Permenaker bukan merupakan norma undang-undang, yang artinya kekuatan hukum norma Permenaker lebih rendah dibandingkan dengan norma undang-undang. Dalam kaitannya dengan perbedaan hierarki norma tersebut, fungsi/kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi adalah menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD 1945. Artinya, dalam suatu perkara pengujian konstitusionalitas undang-undang, ketika suatu undang-undang tidak mengatur isu tertentu namun peraturan pelaksana undang-undang tersebut mengatur atau menafsirkan dengan lebih rinci isu tersebut, hal demikian tetap tidak dapat dianggap sebagai materi/substansi undang-undang. [3.12] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan keberadaan UU 40/2004 yang tidak mengatur pencairan manfaat/dana jaminan hari tua bagi peserta jaminan hari tua yang berhenti bekerja karena mengundurkan diri atau mengalami pemutusan hubungan kerja sebelum waktu pensiun, serta telah mempertimbangkan pula keberadaan Permenaker yang memungkinkan adanya perubahan makna/tafsir terkait pencairan manfaat/dana jaminan hari tua di atas, Mahkamah berpendapat tidak perlu adanya perluasan makna Pasal 35 ayat (2) juncto Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004. Namun demikian, melalui putusan ini Mahkamah menegaskan agar solusi hukum atas hal-hal yang potensial dialami Pemohon diakomodir dalam peraturan pelaksana, dengan tidak boleh merugikan hak peserta jaminan hari tua sepanjang pengunduran diri dan pemutusan hubungan kerja yang dialaminya benar-benar berakibat terhentinya yang bersangkutan untuk tidak bekerja kembali atau karena alasan-alasan yang bersifat adanya “keadaan memaksa” (force majeure), seperti halnya dalam kondisi pandemi Covid-19. Lebih lanjut, perluasan makna lebih detail dalam peraturan pelaksana demikian ditujukan agar dapat mengakomodir hak peserta jaminan hari tua, yaitu hak untuk mendapatkan manfaat jaminan hari tua dalam hal peserta dimaksud berhenti bekerja karena mengundurkan diri atau karena mengalami pemutusan hubungan kerja sebelum tercapai usia pensiun sewajarnya. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU 40/2004 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan diskriminasi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, sedangkan hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Partai Gelombang Rakyat Indoensia (Partai Gelora Indonesia) yang diwakili oleh H. M. Anis Matta, LC (Ketua Umum Partai Gelora Indonesia) dan Drs. Mahfuz Sidik, M.Si. (Sekretaris Jenderal Partai Gelora Indonesia) dengan memberikan kuasa kepada Dr. Guntur F. Prisanto, S.E., S.H., M.Hum., M.H., dkk, advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian frasa “secara serentak” pada Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017
Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 167 ayat (3), dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.9] Menimbang bahwa oleh karena permohonan a quo telah jelas maka dengan bersandar pada Pasal 54 UU MK, Mahkamah berpendapat tidak terdapat urgensi dan relevansinya untuk mendengar keterangan pihak-pihak sebagaimana disebut dalam Pasal 54 UU MK dimaksud; [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut dalil permohonan Pemohon a quo Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon berkaitan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dimohonkan kembali. Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Terhadap persoalan tersebut Mahkamah mempertimbangkan ketentuan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan masing-masing amarnya menyatakan Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Setelah dipelajari secara saksama, telah ternyata Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 menggunakan dasar pengujiannya adalah Alinea 4 Pembukaan UUD 1945, Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, dan Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 dasar pengujiannya adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945. Sementara itu, Pemohon a quo menggunakan dasar pengujiannya adalah Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Selanjutnya, berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan, Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019 adalah penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019 yang dinilai tidak memberikan perlindungan atas diri pribadi bagi masyarakat dan pembengkakan anggaran Pemilu Serentak Tahun 2019 sehingga mengancam agenda pemerintahan dalam peningkatan kesejahteraan. Kemudian, Perkara Nomor 55/PUU-XVII/2019 menggunakan alasan penyelenggaraan Pemilu Serentak Lima Kotak sebagaimana yang diselenggarakan tahun 2019 adalah inkonstitusional karena tidak dilakukan antara pemisahan Pemilu Nasional dengan Pemilu lokal. Sementara itu, Perkara Nomor 16/PUU-XIX/2021 menggunakan alasan pemilihan lima kotak secara bersamaan pada Pemilu Tahun 2024 menyebabkan beratnya beban kerja yang dialami oleh petugas penyelenggara pemilu. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah penyelenggaraan Pemilu serentak Tahun 2024 yang dilaksanakan pada hari yang sama telah menghalangi Pemohon untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden; Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian maupun alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019, Nomor 55/PUU-XVII/2019, dan Nomor 16/PUU-XIX/2021 dengan dasar pengujian maupun alasan konstitusional permohonan a quo. Dalam perkara a quo, salah satunya menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 37/PUU-XVII/2019, Nomor 55/PUU-XVII/2019, dan Nomor 16/PUU-XIX/2021. Sementara itu, alasan pengujian “penyelenggaraan Pemilu serentak Tahun 2024 yang dilaksanakan pada hari yang sama telah menghalangi Pemohon untuk mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden” pun belum digunakan dalam ketiga permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali; [3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dan mempelajari secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi pokok yang didalilkan, telah ternyata yang intinya dipersoalkan oleh Pemohon adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas frasa “secara serentak” yang termaktub dalam norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017. Sebagaimana didalilkan Pemohon, frasa dalam kedua norma a quo potensial menghalangi memajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara guna mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bagi Pemohon, waktu Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang diselenggarakan berbeda dari waktu penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah tetap konstitusional sepanjang dilaksanakan pada tahun yang sama, meskipun bukan pada hari yang sama. Model yang demikian tetap dapat dikatakan sebagai model Pemilu Serentak dengan basis keserentakan tahun penyelenggaraan. Ihwal permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa berkenaan dengan penyelenggaraan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah perlu menegaskan kembali perkembangannya sejak pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.” Karena reformasi konstitusi (1999-2002) tuntas pada tahun 2002, amanat Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 tersebut dilaksanakan dalam Pemilu 2004. Dalam praktiknya, waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan terpisah dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Ketika itu, Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan lebih awal (dahulu) dibandingkan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Setelah Pemilu 2004 tersebut, waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dipisahkan dari waktu penyelenggaraan Pemilu Presiden dan wakil Presiden dipersoalkan atau diuji konstitusionalitasnya ke Mahkamah melalui Perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Setelah perkara tersebut diperiksa, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 18 Februari 2009, Mahkamah pada intinya menyatakan Pemilu anggota lembaga perwakilan (anggota DPR, DPD, dan DPRD) yang dilaksanakan lebih dulu dari Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai sesuatu yang konstitusional. Karena pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tersebut, Pemilu 2009 dan Pemilu 2014 tetap diselenggarakan seperti Pemilu 2004, yaitu Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD diselenggarakan lebih awal (dahulu) dibandingkan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Perkembangan selanjutnya, meskipun Pemilu 2014 penyelenggaraannya tetap terpisah antara Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, namun beberapa waktu menjelang penyelenggaraan Pemilu 2014, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Januari 2014, Mahkamah menggeser pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008. Pada intinya, Mahkamah menyatakan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD yang terpisah (tidak serentak) dengan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak sejalan dengan prinsip konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan Pemilu yang terpisah tersebut dinyatakan inkonstitusional. Namun demikian, sekalipun penyelenggaraan Pemilu yang terpisah tersebut dinyatakan inkonstitusional, secara faktual Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 diucapkan berdekatan dengan tahap pemungutan suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2014, sehingga Mahkamah mempertimbangkan dan menyatakan penyelenggaraan Pemilu serentak tersebut baru dilaksanakan pada Pemilu 2019. Kemudian, setelah berbagai pengalaman penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, Mahkamah tetap dengan pendiriannya ihwal keserentakan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah konstitusional dengan memberikan beberapa alternatif pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak sebagaimana termaktub dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, dalam Paragraf [3.16], sebagai berikut: “Bahwa setelah menelusuri kembali original intent perihal pemilihan umum serentak; keterkaitan antara pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem pemerintahan presidensial; dan menelusuri makna pemilihan umum serentak dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, terdapat sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945, yaitu: 1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; 2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; 5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; 6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Berdasarkan uraian di atas, meskipun Mahkamah memberikan beberapa kemungkinan alternatif pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak, namun demikian pilihan model pelaksanaan Pemilu serentak tersebut tetap harus menjaga sifat keserentakan Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sikap dan pendirian Mahkamah demikian telah didasarkan kepada original intent UUD 1945, doktriner dan praktik dengan basis argumentasi keserentakan Pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan konsekuensi logis dari upaya penguatan sistem pemerintahan presidensial. Artinya, meskipun terbuka kemungkinan untuk menggeser pendiriannya, namun sampai sejauh ini Mahkamah belum memiliki alasan yang kuat untuk menggeser pendiriannya sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 dimaksud. Terlebih lagi, keinginan Pemohon untuk “memisahkan waktu penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dilaksanakan pada hari yang sama tetapi pada tahun yang sama dengan penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD dilaksanakan lebih dahulu dibandingkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden” sama saja dengan mengembalikan kepada model penyelenggaraan Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014 yang telah tegas dinilai dan dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah. Bahkan, sikap demikian telah Mahkamah tegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 24 November 2021. Oleh karena itu, belum terdapat alasan hukum dan kondisi yang secara fundamental berbeda bagi Mahkamah untuk menggeser pendiriannya terhadap isu pokok yang berkaitan dengan frasa “secara serentak” sehingga norma Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU 7/2017 haruslah tetap dinyatakan konstitusional; [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 37/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
A. Komarudin, Eny Rochayati, Hana Lena Mabel, Festus Manasye Asso, Yohanes G. Raubaba, dan Prilia Yustiati Uruwaya, dalam hal ini diwakili oleh kuasa hukumnya Nurkholis Hidayat, S.H., L.L., M. dkk, Advokat dan Konsultan hukum tergabung dalam Lokataru Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10), dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016
Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10), dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.13] Menimbang bahwa sebelum lebih jauh mempertimbangkan permohonan a quo, oleh karena norma pasal undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon berkaitan erat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, kesemuanya diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022. Dari ketiga putusan a quo, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 sebagian substansi yang dimohonkan para Pemohon adalah sama dengan norma yang dimohonkan dalam permohonan a quo, yaitu norma Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016. Sekalipun Pemohon dalam Perkara Nomor 15/PUU-XX/2022 tidak memohonkan pengujian norma Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, namun dalam pertimbangannya, karena keterkaitan substansi yang tidak dapat dipisahkan sama sekali, Mahkamah pun telah mempertimbangkan norma Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dimaksud. Pertimbangan Mahkamah terhadap ketiga norma a quo dapat dibaca dalam Sub-paragraf [3.14.1], Sub-paragraf [3.14.2], dan Subparagraf [3.14.3] sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa pengaturan adanya penjabat gubernur/bupati/walikota untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang pemilihannya ditunda sampai dengan pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024 telah diatur dalam Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016. Berdasarkan norma a quo, maka untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang telah berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023, akan diangkat penjabat gubernur/bupati/walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota berdasarkan hasil Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2024. Untuk itu telah ditentukan pengisian Penjabat Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan Penjabat Bupati atau Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama; [3.14.2] Bahwa di era otonomi daerah saat ini, kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah sangat besar dalam mengambil keputusan pemerintahan sehingga kepala daerah memegang peran dan posisi sentral dalam memajukan daerahnya. Kepemimpinan kepala daerah dalam birokrasi memegang peran penting untuk menciptakan governance yang kuat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya, keberhasilan suatu pemerintah daerah di dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Dalam doktrin universal hukum ketatanegaraan, pengisian jabatan negara merupakan salah satu unsur penting dalam hukum tata negara dan administrasi negara. Tanpa adanya pejabat yang mengisi jabatan, maka fungsi dari jabatan tersebut tidak dapat dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan sebuah keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Berbagai instrumen hukum juga telah mengakomodir adanya pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kosong, mulai dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hingga Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Perangkat hukum tersebut juga telah diaplikasikan dalam praktik pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah selama ini. Justru dengan adanya pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, hak warga negara untuk mendapatkan layanan publik akan tetap terakomodir serta stabilitas politik dan keamanan daerah akan tetap terjaga. Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon terhadap penjabat kepala daerah tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah, Mahkamah mempertimbangkan bahwa legitimasi dalam konteks penjabat kepala daerah diturunkan dari amanat atau perintah undang-undang [vide Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016]. Oleh karena itu, meskipun secara terbatas makna legitimasi artinya memperoleh dukungan langsung dari pemilih, namun dalam perspektif yang luas, legitimasi dapat diperoleh dari undang-undang yang dibentuk oleh wakil rakyat yang merupakan representasi rakyat. Dengan demikian, dalam hal untuk mengisi penjabat kepala daerah yang merupakan keniscayaan untuk mengisi jabatan pada masa transisional dan sepanjang penjabat yang ditunjuk adalah yang memenuhi kualifikasi oleh undang-undang serta kinerjanya dapat dievaluasi oleh pejabat yang berwenang setiap waktu dan bahkan mungkin dapat dilakukan penggantian apabila dipandang tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik, maka Mahkamah berpendapat pengisian penjabat kepala daerah tersebut dapat dibenarkan; [3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif. Selanjutnya, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXX/2022, terkait dengan norma Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016, pertimbangan Mahkamah pada pokoknya adalah sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa dalam menjelaskan persoalan konstitusional norma yang didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu mengenai pasal yang dimohonkan pengujian tersebut merupakan bagian dari “Ketentuan Peralihan” yang telah mengalami tiga kali perubahan, semula diatur dalam UU 1/2015 diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan (UU 12/2011), dinyatakan dalam Lampiran II ihwal “Ketentuan Peralihan” sebagaimana dimaktubkan pada angka 127 bahwa: “Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundangundangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Artinya, sejalan dengan tujuan “Ketentuan Peralihan” tersebut, keberadaan Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pada prinsipnya dimaksudkan untuk menuju pada kebijakan hukum Pilkada serentak nasional tahun 2024 karena telah ternyata masa jabatan kepala daerah tidak berakhir pada waktu yang sama sehingga perlu desain konstitusional yang dituangkan dalam materi muatan ketentuan peralihan agar dapat menghantarkan pada tujuan yang dimaksud. Oleh karenanya, berlakunya ketentuan peralihan tidak untuk selamanya namun bersifat transisional atau sementara dan sekali saja serta dengan memberi perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak karena berlakunya kebijakan hukum pilkada serentak nasional tahun 2024. Jika masa jabatan kepala daerah tidak sampai 5 (lima) tahun sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 162 UU 10/2016 maka kepala daerah yang bersangkutan sebagai kepala daerah yang terdampak memeroleh kompensasi. Oleh karena itu pula jika masa jabatan kepala daerah tersebut pada akhirnya berkurang maka harus pula oleh ketentuan peralihan ditentukan pengaturan yang dapat menjamin tidak terjadinya kekosongan hukum. [3.13.2] Bahwa berkenaan dengan hak konstitusional para Pemohon dalam menentukan pilihan kepala daerah sesungguhnya telah diimplementasikan pada waktu penyelenggaraan Pilkada di masing-masing daerah sejalan dengan asas-asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam rangka mengaktualisasikan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Namun, tidak dilaksanakannya Pilkada berikut setelah masa jabatan kepala daerah berakhir untuk Pilkada tahun 2022 dan 2023 sesuai dengan agenda menuju kenormalan karena adanya kebijakan hukum Pilkada serentak nasional 2024, di mana hal demikian tidaklah melanggar hak konstitusional para Pemilih. Terlebih, Mahkamah telah pula menyatakan Pilkada serentak nasional adalah konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 pada Paragraf [3.18]. Oleh karena itu, bagi kepala daerah yang telah dipilih oleh para Pemohon dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 dan tahun 2023 dan tidak diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan hukum jabatan kepala daerah hingga Pilkada serentak nasional 2024 sebagaimana dalil para Pemohon, bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Hal ini disebabkan sejatinya masa jabatan kepala daerah terpilih tersebut telah berakhir. Terlebih lagi, kepala daerah yang berakhir masa jabatan pada 2022 dan tahun 2023 dan para pemilih telah mengetahui sedari awal desain pilkada serentak nasional sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peralihan mulai dari UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016. Sebagai ketentuan peralihan yang sifatnya transisional atau sementara, apabila ketentuan peralihan tersebut telah dilaksanakan maka untuk Pilkada selanjutnya kembali menerapkan keseluruhan ketentuan umum penyelenggaraan Pilkada, termasuk di dalamnya penentuan masa jabatan yang kembali pada ketentuan Pasal 162 UU 10/2016, yakni 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Demikian pula halnya jika terjadi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhalangan sehingga terjadi kekosongan jabatan telah pula ditentukan mekanisme normal pengisian jabatan yang kosong tersebut tidak lagi menggunakan ketentuan peralihan [vide Pasal 173, Pasal 174, Pasal 175, dan Pasal 176 UU 1/2015 yang diubah dengan UU 8/2015 dan terakhir diubah dengan UU 10/2016]. [3.13.3] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar pengisian jabatan kepala daerah yang berakhir tahun 2022 dan tahun 2023 diisi oleh kepala daerah terpilih yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan tahun 2023 menjadi penjabat kepala daerah agar kebijakan di daerah dapat terus dilaksanakan sesuai dengan RPJP daerah dan penjabat yang bersangkutan dapat mempersiapkan pilkada serentak 2024, sehingga hak konstitusional para Pemohon tetap dijamin karena jabatan tersebut diisi oleh kepala daerah hasil pemilihan sebelumnya. Terkait dengan dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional 2024 oleh pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur [vide Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016] dan oleh pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016] merupakan kebijakan pembentuk undangundang. Mahkamah dapat memahami kebijakan dimaksud karena pada prinsipnya masa jabatan kepala daerah terpilih telah berakhir sesuai dengan ketentuan undang-undang. Namun demikian, dalam kaitan dengan pengangkatan pejabat pimpinan tinggi madya untuk jabatan gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama untuk jabatan bupati/walikota, Mahkamah perlu terlebih dahulu merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yang menentukan jabatan pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama dimaksud adalah bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Dalam kaitan ini pula Mahkamah dapat memahami istilah yang para Pemohon gunakan dalam menguraikan alasan-alasan permohonan (posita) dengan menggunakan istilah “pejabat ASN”, padahal yang dimaksud adalah jabatan ASN. Lebih lanjut, UU 5/2014 menyatakan “Jabatan ASN diisi dari Pegawai ASN dan Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Pengisian Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit TNI dan anggota Polri dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002) [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 5/2014]. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 47 UU 34/2004 ditentukan pada pokoknya prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Sementara itu, prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Dalam hal prajurit aktif tersebut akan menduduki jabatan-jabatan tersebut harus didasarkan atas permintaan pimpinan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen (kementerian) dan lembaga pemerintah nondepartemen dimaksud. Sedangkan, dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 ditentukan anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. “Jabatan di luar kepolisian" dimaksud adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Polri. Ketentuan ini sejalan dengan UU 5/2014 yang membuka peluang bagi kalangan non-PNS untuk mengisi jabatan pimpinan tinggi madya tertentu sepanjang dengan persetujuan Presiden dan pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden [vide Pasal 109 ayat (1) UU 5/2014]. Selain yang telah ditentukan di atas, UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama [vide Pasal 19 ayat (1) UU 5/2014]. Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Berkenaan dengan jabatan pimpinan tinggi tersebut, UU 5/2014 juga telah menentukan fungsinya yaitu:1) memimpin dan memotivasi setiap pegawai ASN pada instansi pemerintah melalui kepeloporan dalam bidang keahlian profesional, analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; 2) pengembangan kerja sama dengan instansi lain; dan 3) keteladanan dalam mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN [vide Pasal 19 ayat (2) UU 5/2014]. Artinya, pejabat pimpinan tinggi madya yang diangkat sebagai penjabat gubernur dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat sebagai penjabat bupati/walikota harus dapat menjalankan amanat fungsi tersebut dalam lingkup jabatannya, termasuk ketika diangkat sebagai penjabat gubernur/bupati/walikota, agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu, penjabat gubernur/bupati/walikota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asasasas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas yakni setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah untuk menjamin terjaganya netralitas ASN tersebut. Bahwa dari semua hal tersebut di atas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur/bupati/walikota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Selain itu, yang bersangkutan juga harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masing-masing sehingga masyarakat dapat mengapresiasi kepemimpinan penjabat tersebut meskipun kepemimpinannya hanya sementara. Terlebih lagi, penjabat gubernur/bupati/walikota harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam proses mengangkat penjabat kepala daerah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU 10/2016 pemerintah terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang. Sehingga, dengan demikian akan menghasilkan para Penjabat Daerah yang berkualitas dalam memimpin daerahnya masingmasing untuk waktu sementara sampai adanya kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif berdasarkan hasil Pilkada serentak nasional tahun 2024. Sementara itu, penerapan prinsip “secara demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dalam Sub-paragraf [3.14.3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022, Mahkamah antara lain mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.3] Bahwa terkait dengan pengisian penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa proses pengisian kekosongan jabatan kepala daerah juga masih dalam ruang lingkup pemaknaan “secara demokratis” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, perlu menjadi pertimbangan dan perhatian bagi pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah. Selain itu, dengan peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan pemberian kewenangan penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju Pilkada serentak secara nasional yang sama dengan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif. [3.14] Menimbang bahwa pertimbangan hukum sebagaimana dikutip dalam Paragraf [3.13] yang pada pokoknya berasal dari pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 telah cukup jelas menjawab isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon dalam perkara a quo, menurut Mahkamah, para Pemohon seharusnya bisa memahami secara utuh ketiga putusan Mahkamah a quo sehingga kekhawatiran para Pemohon mengenai adanya ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi para Pemohon akibat penunjukan penjabat Kepala Daerah, tidaklah akan terjadi. Sebab, pada prinsipnya Mahkamah telah memberikan guidelines terkait mekanisme dan prosedur penunjukan Kepala Daerah yang akan dilakukan oleh Pemerintah. [3.15] Menimbang bahwa sekalipun para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya dalam mengajukan permohonan a quo lebih dikarenakan oleh adanya kepentingan para Pemohon sebagai pemilih yang tidak dapat mengawal terselenggaranya penunjukan penjabat kepala daerah yang demokratis, tidak ada legitimasi dari masyarakat terhadap penunjukan penjabat kepala daerah, adanya potensi pembangunan daerah yang tidak berkesinambungan dan tidak efektif akibat ditunjuknya penjabat kepala daerah, adanya potensi masa jabatan penjabat kepala daerah yang menggantikan melebihi masa jabatan kepala daerah definitif, serta adanya potensi tidak mempertimbangkan kekhususan untuk penjabat kepala daerah yang ditunjuk di Provinsi Papua dan Papua Barat. Namun, berdasarkan putusan-putusan Mahkamah tersebut, substansi norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 justru untuk memberikan kepastian hukum dalam hal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Maka, dalam masa peralihan, sebagaimana salah satu substansi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, menegaskan perihal pengisian jabatan kepala daerah yang kosong merupakan keniscayaan dalam rangka menjamin tetap terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. [3.16] Menimbang bahwa berkenaan dengan pengisian Penjabat Kepala Daerah pada masa peralihan (transisi) menuju penyelenggaraan Pilkada Serentak Nasional 2024, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, Mahkamah telah menegaskan beberapa hal mendasar yang harus dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengisian penjabat kepala daerah. Hal tersebut harus dituangkan Pemerintah dengan menerbitkan peraturan pelaksana sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas. Pertimbangan mendasar tersebut antara lain: 1. Penjabat kepala daerah harus memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik; 2. Penjabat yang ditunjuk memenuhi kualifikasi dan syarat yang ditentukan undangundang; 3. Pejabat yang berwenang dapat mengevaluasi penjabat kepala daerah setiap waktu (terus-menerus) dan dapat dilakukan penggantian apabila tidak mempunyai kapabilitas untuk memberikan pelayanan publik; 4. Pengisian penjabat tidak mengabaikan (memperhatikan) prinsip demokrasi dan pengisian berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel; 5. Penjabat kepala daerah merupakan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja untuk rakyat demi mencapai kemajuan daerah; 6. Dengan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan untuk memberi kewenangan kepada penjabat kepala daerah yang sama dengan kewenangan yang dimiliki kepala daerah definitif; 7. Penjabat kepala daerah harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat di daerahnya masingmasing; 8. Penjabat kepala daerah harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan 9. Sebelum pengisian penjabat kepala daerah, terlebih dahulu dibuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah, sehingga mampu menjalankan visi, misi, dan RPJP daerah bersangkutan. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan pengisian penjabat kepala daerah sebagaimana dikemukakan dalam Paragraf [3.16] di atas, tidak terdapat keraguan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 telah mempertimbangkan secara komprehensif konstitusionalitas ketentuan peralihan menuju Pilkada Serentak Secara Nasional Tahun 2024. Dengan demikian, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. [3.18] Menimbang bahwa sebelum sampai pada kesimpulan, Mahkamah perlu mempertimbangkan bagian Petitum permohonan a quo. Ihwal ini, para Pemohon dalam Petitum angka 2 memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan: frasa “diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024” dalam Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Begitu pula dalam Petitum angka 3, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan “Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945. Namun di sisi lain, berkenaan dengan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, pada Petitum angka 5 para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan frasa “diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur, dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024” dalam Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 konstitutional bersyarat (conditionally constitutional) sepanjang dimaknai: a. diangkat melalui mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah yang demokratis yang diatur kembali dalam UU atau Perppu; b. Calon Penjabat Kepala Daerah memiliki legitimasi dan penerimaan yang paling tinggi dari masyarakat; c. Penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota merupakan Orang Asli Papua untuk Pejabat Kepala Daerah di Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Papua dan Papua Barat; d. Melalui proses penilaian yang mempertimbangkan usulan dan rekomendasi dari Majelis Rakyat Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua, DPRD, Lembaga Masyarakat Hukum Adat, dan tokoh agama; e. Ada ketentuan yang jelas yang mengatur persyaratan-persyaratan sejauh mana peran, tugas dan kewenangan dari Penjabat Kepala Daerah yang ditunjuk; f. Dapat memperpanjang masa jabatan kepala Daerah yang sedang menjabat dan/atau habis masa baktinya pada tahun 2022 dan 2023; dan g. Independen dan bukan merupakan merepresentasikan kepentingan politik tertentu dari Presiden atau Pemerintah Pusat. Dalam batas penalaran yang wajar, konstruksi perumusan petitum demikian, dapat dikatakan sebagai permohonan (petitum) yang saling bertentangan. Karena, di satu sisi para Pemohon menghendaki agar Mahkamah menyatakan Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945, sementara di sisi lain para Pemohon menghendaki Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Petitum demikian hanya dapat dibenarkan jika dibuat atau diformulasikan secara alternatif. Tidak hanya terhadap Pasal 201 ayat (9) UU 10/2016 dan Penjelasannya, petitum yang saling bertentangan juga terjadi dalam permohonan terhadap Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016. Dengan penyusunan petitum demikian, permohonan tidak memenuhi syarat formil permohonan. [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan para Pemohon tidak memenuhi syarat formil sehingga permohonan a quo harus dinyatakan kabur. Andaipun permohonan tidak kabur, quod non, berdasarkan pertimbangan pada Paragraf [3.13] sampai dengan Paragraf [3.17] telah ternyata norma Pasal 201 ayat (9) dan Penjelasannya, Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11) UU 10/2016 tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon, sehingga permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum
INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Dinyatakan Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 44/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIL UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
E. Ramos Petege, Yanuarius Mote, Elko Tebai dan Muhammad Helmi Fahrozi yang yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. dkk, yang kesemuanya merupakan tim pada dari Kantor Hukum “Leo & Partners”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.
Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d dan ayat (2) UU 2/2011
Pasal 6A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.
Bahwa terhadap pengujian Pasal Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d dan ayat (2) UU 2/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca dengan saksama permohonan para Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, isu konstitusional yang dipersoalkan oleh para Pemohon dalam permohonan a quo adalah apakah ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d, serta ayat (2) UU 2/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dikarenakan penentuan bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui partai politik dinilai mengabaikan prinsip demokratis dan terbuka sesuai dengan Anggaran Dasar (AD)/Anggaran Rumah Tangga (ART) partai politik serta peraturan perundang-undangan. [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 29 ayat (1) huruf c yang menentukan rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui partai politik yang hanya ditentukan oleh elite partai politik tanpa melibatkan pemilih dalam pemilihan pendahuluan, menurut Mahkamah dalam kaitan dengan dalil tersebut, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2007, pada Sub-paragraf [3.15.8], Sub-paragraf [3.15.9], Subparagraf [3.15.10], Sub-paragraf [3.15.11], Sub-paragraf [3.15.13], Sub-paragraf [3.15.16], dan Sub-paragraf [3.15.17], telah mempertimbangkan terkait dengan diperbolehkannya pengajuan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui partai politik/gabungan partai politik yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.15.8] Bahwa terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d UU Pemerintahan Aceh yang membuka kesempatan bagi calon perseorangan dalam proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah, Mahkamah berpendapat hal demikian tidaklah bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Pemberian kesempatan kepada calon perseorangan bukan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan karena keadaan darurat ketatanegaraan yang terpaksa harus dilakukan, tetapi lebih sebagai pemberian peluang oleh pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah agar lebih demokratis. Pembentuk undang-undang baik dalam merumuskan Pasal 56 Ayat (1) UU Pemda maupun Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh tidak melakukan pelanggaran terhadap Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Suatu perbuatan dilakukan karena adanya keadaan darurat ketatanegaraan apabila perbuatan tersebut perlu untuk dilakukan, padahal perbuatan itu sendiri pada dasarnya merupakan perbuatan onrecht, sehingga perbuatan karena keadaan darurat adalah perbuatan yang onrecht word recht. [3.15.9] Bahwa Mahkamah berpendapat, antara Pasal 56 Ayat (2) juncto Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemda dan Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh keduanya bersumber pada dasar hukum yang sama yaitu Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Hubungan antara pasal yang terdapat dalam UU Pemerintahan Aceh dan yang terdapat dalam UU Pemda tersebut tidaklah dapat diposisikan sebagai hubungan antara hukum yang khusus di satu pihak, yaitu Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh, dan hukum yang umum di pihak lain, yaitu Pasal 56 Ayat (2), juncto Pasal 59 Ayat (1) dan Ayat (2), karena ketentuan Pasal 67 Ayat (2) bukan termasuk dalam keistimewaan Pemerintahan Aceh menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. Oleh karena tidak dalam posisi hubungan antara hukum yang khusus dengan hukum yang umum, adanya Pasal 67 Ayat (2) harus dimaknai sebagai penafsiran baru oleh pembentuk undang-undang terhadap 55 ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Apabila kedua ketentuan tersebut berlaku bersama-sama tetapi untuk daerah yang berbeda maka akan menimbulkan akibat adanya dualisme dalam melaksanakan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Dualisme tersebut dapat mengakibatkan ketiadaan kedudukan yang sama antara warga negara Indonesia yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam dan yang bertempat tinggal di wilayah provinsi Indonesia lainnya. Warga Negara Indonesia yang bertempat tinggal di provinsi lain selain Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam akan menikmati hak yang lebih sedikit karena tidak dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah secara perseorangan dan oleh karenanya berarti tidak terdapatnya perlakuan yang sama di depan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945; [3.15.10] Mahkamah berpendapat agar supaya terdapat persamaan hak warga negara sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (3) UUD 1945 tidaklah dapat dilakukan dengan cara menyatakan bahwa pengajuan calon perseorangan yang ditentukan oleh Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh sebagai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak berlaku, karena memang senyatanya pencalonan secara perseorangan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, persamaan hak tersebut dapat dilakukan dengan mengharuskan UU Pemda menyesuaikan dengan perkembangan baru yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang sendiri yaitu dengan memberikan hak kepada perseorangan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui parpol atau gabungan parpol sebagaimana ditentukan oleh Pasal 67 Ayat (2) UU Pemerintahan Aceh. [3.15.11] Bahwa Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan ketentuan yang mengatur calon perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 Ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak undang-undang ini diundangkan. Dengan adanya Pasal tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa apabila pasal tersebut dilaksanakan justru akan menimbulkan perlakuan yang tidak adil karena jelas pasal ini akan menguntungkan pihakpihak perseorangan tertentu yang dapat mencalonkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah pada saat pertama kali 56 dilaksanakan pemilihan. Lebih-lebih lagi apabila ketentuan tersebut memang dimaksudkan demikian, karena akan merugikan perseorangan yang akan mencalonkan secara perseorangan pada pemilihan kedua dan seterusnya. Pembatasan yang ditentukan oleh Pasal 256 UU Pemerintahan Aceh dapat menimbulkan akibat terlanggarnya hak warga negara yang bertempat tinggal di Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam yang dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (4) UUD 1945. Sebagaimana pendapat Mahkamah yang telah dinyatakan di atas bahwa membuka kesempatan bagi perseorangan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa melalui parpol, bukan suatu hal yang bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan bukan pula merupakan suatu tindakan dalam keadaan darurat (staatsnoodrecht); [3.15.13] Bahwa menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dinyatakan dalam Konsideran ”Menimbang” huruf d yang berbunyi, ”bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi...”, sehingga adalah wajar apabila dibuka partisipasi dengan mekanisme lain di luar parpol untuk penyelenggaraan demokrasi, yaitu dengan membuka pencalonan secara perseorangan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah jabatan perseorangan, sehingga syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal 58 UU Pemda adalah syarat bagi perseorangan. Terlebih lagi, dalam Pasal 59 Ayat (3) dinyatakan bahwa parpol atau gabungan parpol wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud melalui mekanisme yang demokratis dan transparan; [3.15.16] … pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah selain melalui parpol, sebagaimana telah diatur oleh UU Pemda dalam Pasal 56 Ayat (2), juga harus dibuka pencalonan secara perseorangan… [3.15.17] Bahwa agar calon perseorangan tanpa melalui parpol atau gabungan parpol dimungkinkan dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka menurut Mahkamah beberapa pasal UU Pemda yang dimohonkan pengujian harus dikabulkan sebagian dengan cara menghapuskan seluruh bunyi ayat atau bagian pasal sebagai berikut: a. Pasal 56 Ayat (2) berbunyi, ”Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik” dihapus seluruhnya, 58 karena menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, dengan hapusnya Pasal 56 Ayat (2), Pasal 56 menjadi tanpa ayat dan berbunyi, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”; b. Pasal 59 Ayat (1) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”, karena akan menjadi penghalang bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol. Sehingga, Pasal 59 Ayat (1) akan berbunyi, ”Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon”; c. Pasal 59 Ayat (2) dihapus pada frasa yang berbunyi, ”sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”, hal ini sebagai konsekuensi berubahnya bunyi Pasal 59 Ayat (1), sehingga Pasal 59 Ayat (2) akan berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15% (lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”. Dengan demikian, Pasal 59 Ayat (2) ini merupakan ketentuan yang memuat kewenangan parpol atau gabungan parpol dan sekaligus persyaratannya untuk mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada; d. Pasal 59 Ayat (3) dihapuskan pada frasa yang berbunyi, ”Partai politik atau gabungan partai politik wajib”, frasa yang berbunyi, ”yang seluasluasnya”, dan frasa yang berbunyi, ”dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud”, sehingga Pasal 59 Ayat (3) akan berbunyi, ”Membuka kesempatan bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.” Dengan demikian, terbukalah kesempatan bagi calon perseorangan tanpa lewat parpol atau gabungan parpol; [3.12] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah telah berpendirian pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak harus melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik. Artinya, warga negara termasuk para Pemohon yang memiliki hak memilih dan hak untuk dipilih dapat menyalurkan aspirasinya untuk memilih ataupun mencalonkan diri menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerahnya melalui jalur perseorangan tanpa harus melalui jalur partai politik maupun gabungan partai politik. Dalam kaitan ini, tata cara perekrutan, mekanisme pencalonan, dan pendaftarannya untuk calon perseorangan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tanpa menghilangkan hak warga negara yang memiliki hak memilih dan dipilih. Oleh karena itu, bagi warga negara Indonesia, termasuk para Pemohon yang merasa memiliki kandidat bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat mendorong kandidatnya tersebut untuk menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa harus melalui jalur partai politik maupun gabungan partai politik, melainkan melalui jalur perseorangan (independen) dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, para Pemohon tidak perlu khawatir lagi bahwa semua bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah harus diusung oleh partai politik maupun gabungan partai politik. [3.13] Menimbang bahwa berkenaan dengan kewenangan partai politik untuk melakukan rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c UU 2/2011 merupakan bentuk pengejawantahan tujuan dan fungsi partai politik. Dalam kaitan ini, tujuan khusus partai politik adalah meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan [vide Pasal 10 ayat (2) huruf a UU 2/2008]. Selain tujuan khusus tersebut, proses rekrutmen oleh partai politik ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi partai politik yakni sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender [vide Pasal 11 ayat (1) huruf e UU 2/2008]. Bagaimana proses rekrutmen tersebut harus dilakukan, hal tersebut diserahkan pengaturan sepenuhnya dalam AD atau peraturan dasar partai politik dan ART yang akan menjabarkan lebih lanjut AD partai politik [vide Pasal 1 angka 2 dan angka 3 serta Pasal 2 ayat (4) UU 2/2011]. [3.14] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (1) huruf d yang terkait dengan rekrutmen terhadap warga negara oleh partai politik untuk menjadi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden, penting pula bagi Mahkamah untuk menegaskan kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-VI/2008 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 17 Februari 2009, pada Sub-paragraf [3.15.3] angka 4, dan angka 7, Paragraf [3.16] angka 2, huruf a dan huruf b, Paragraf [3.17] dan Paragraf [3.18], yang telah mempertimbangkan mengenai pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui partai politik atau gabungan Partai politik yang pada pokoknya sebagai berikut: A. Paragraf [3.15.3]: 4. Bahwa frasa “partai politik atau gabungan partai politik”, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 secara tegas bermakna bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politiklah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. Dengan demikian, frasa dimaksud tidak memberi peluang adanya interpretasi lain, seperti menafsirkannya dengan kata-kata diusulkan oleh perseorangan (independen) apalagi pada saat pembicaraannya di MPR telah muncul wacana adanya Calon Presiden secara independen atau calon yang tidak diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, tetapi tidak disetujui oleh MPR. Kehendak awal (original intent) dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 jelas menggambarkan bahwa hanya partai politik atau gabungan partai politik sajalah yang dapat mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (vide Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku IV “Kekuasaan Pemerintahan Negara” Jilid 1, halaman 165 – 360); 7. Bahwa jika Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menjadi sumber rumusan pasalpasal yang diuji dari UU 42/2008, dapat ditafsirkan lain dan lebih luas sehingga 33 menampung Calon Presiden dan Wakil Presiden perseorangan, maka hal itu merupakan perubahan makna dari yang dimaksudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, artinya jika membatalkan pasal a quo, Mahkamah telah melakukan perubahan UUD 1945, yang berarti bertentangan dengan kewenangan Mahkamah dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; B. Paragraf [3.16]: a. Kehendak awal (original intent) pembuat UUD 1945 tentang Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sudah jelas bahwa “Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Berdasarkan original intent tersebut, UUD 1945 hanya mengenal adanya Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, ...; b. ... Dengan perkataan lain, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan); C. Paragraf [3.17]: ... Dalam pelaksanaan Pemilu maka setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan kedaulatannya tersebut untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,... D. Paragraf [3.18]: Menimbang bahwa berkait dengan calon perseorangan dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah dalam Putusan Nomor 007/PUUII/2004 tanggal 23 Juli 2004, Putusan Nomor 054/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dan Putusan Nomor 057/PUU-II/2004 tanggal 6 Oktober 2004, dalam pertimbangan hukumnya (pada pokoknya) telah mengemukakan, bahwa untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan dalam melaksanakan hak termaksud Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menentukan tata caranya yaitu harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Diberikannya hak konstitusional untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kepada partai politik oleh UUD 1945 bukanlah berarti hilangnya hak konstitusional warga negara, in casu para Pemohon, untuk menjadi Calon Presiden atau Calon Wakil Presiden karena hal itu dijamin oleh UUD 1945, sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 apabila warga negara yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 6 dan dilakukan menurut tata cara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, persyaratan mana merupakan prosedur atau mekanisme yang mengikat terhadap setiap orang yang berkeinginan menjadi Calon Presiden Republik Indonesia. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, telah jelas pendirian Mahkamah terhadap pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus melalui partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sehingga dengan demikian yang memiliki otoritas untuk proses rekrutmen calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik/gabungan partai politik. Hal ini sejalan dengan fungsi partai politik yang salah satunya adalah melakukan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Oleh karena esensi pokok dalil para Pemohon ini sama dengan yang telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Paragraf [3.13] di atas maka pertimbangan hukum tersebut mutatis mutandis berlaku juga untuk dalil para Pemohon yang mempersoalkan Pasal 29 ayat (1) huruf d UU 2/2011. [3.16] Menimbang bahwa selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 karena dianggap tidak demokratis dan terbuka dalam proses rekrutmen warga negara untuk menjadi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden dengan memohon kepada Mahkamah petitum yang bersifat alternatif. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 pada prinsipnya menentukan proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. Frasa “secara demokratis dan terbuka” tersebut mulai muncul pengaturannya pertama kali pada pasal yang sama dalam UU yang lama (UU 2/2008). Dalam kaitan dengan proses yang demokratis dan terbuka tersebut memang tidak diberikan penjelasan lebih lanjut, namun didasarkan pada AD dan ART partai politik. Jika ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 5 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU 8/2015), maka rekrutmen bakal calon sejatinya bukan merupakan bagian dari tahapan dalam pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini, tahapan pemilihan kepala daerah mencakup tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. Dalam tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, penyelenggara, in casu komisi pemilihan umum daerah, melakukan kegiatan yang dimulai dengan pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dilanjutkan di antaranya dengan kegiatan pendaftaran [vide. Pasal 5 ayat (3) huruf c dan huruf d UU 8/2015]. Sementara itu, jika dikaitkan dengan Pasal 167 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) juga tidak menentukan rekrutmen bakal calon merupakan bagian dari penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Dengan demikian, proses rekrutmen sepenuhnya merupakan ranah otorisasi partai politik sebagaimana pertimbangan di atas. [3.17] Menimbang bahwa berkaitan dengan makna demokratis sebagaimana ditentukan dalam Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011, tidak dapat dilepaskan secara doktriner dari asal katanya yaitu “demos” dan “kratos” yang mengandung arti pemerintahan rakyat atau pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Jika dikaitkan dengan konteks dalil para Pemohon maksudnya memberikan ruang bagi masyarakat pemilih, yang nantinya akan memilih langsung calon-calonnya, untuk ikut serta dalam proses pencarian bakal calon yang memenuhi syarat sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan untuk dikontestasikan oleh partai politik dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta pemilihan presiden dan wakil presiden. Proses yang demikian sesungguhnya sejalan dengan fungsi partai politik yakni sebagai sarana rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender [vide Pasal 11 ayat (1) huruf e UU 2/2008]. Pelaksanaan fungsi tersebut merupakan bagian dari tujuan khusus partai politik untuk meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan [vide Pasal 10 ayat (2) huruf a UU 2/2008]. Artinya, dengan terimplementasikannya maksud yang terkandung dari rekrutmen secara demokratis dan terbuka maka akan dihasilkan bakal calon yang sejalan dengan fungsi partai politik. Dalam kaitan ini, tidak ada persoalan konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 karena telah sejalan dengan amanat konstitusi yang meletakkan dasar demokrasi dalam proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden. Untuk mengejawantahkan maksud Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011 diserahkan sepenuhnya pada AD/ART masing-masing partai politik. Artinya, AD/ART sebagai aturan main yang menggerakkan roda organisasi partai politik harus benar-benar mengatur proses rekrutmen tersebut yang berpijak pada prinsip demokrasi dan terbuka [vide Pasal 2 ayat (4) huruf g UU 2/2011]. Oleh karena itu, apakah akan digunakan mekanisme pemilihan pendahuluan atau konvensi dalam proses rekrutmen bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta bakal calon presiden dan wakil presiden, semua itu menjadi ranah kewenangan partai politik untuk mengaturnya dalam AD/ART masing-masing partai politik. Dengan demikian, AD/ART dari masing-masing partai politik tersebut dalam implementasinya perlu ditinjau atau diperhatikan agar senantiasa selalu berkesesuaian dengan prinsip demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011. Berkenaan dengan implementasi prinsip tersebut dalam AD/ART dapat menjadi ranah perhatian masyarakat untuk turut menilainya. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma terhadap Pasal 29 ayat (1) huruf c dan huruf d serta Pasal 29 ayat (2) UU 2/2011. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.