Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dan Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 67/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Yayasan Mubaligh Indonesia Surabaya; Lembaga Algemene Research and Legal Development; Yayasan Pendidikan At-Taqwa; Yayasan Lentera Yatim Indonesia; Yayasan Pondok Pesantren Al Machmudi Bantani; Dr. Oheo Kaimuddin Haris, S.H., LL.M. M.Sc; Dr. Mohammad Mukhrojin, S.H., S.Pdi., M.Si; Dr. Prawitra Thalib, S.H., M.H; Insinyur H. Mohammad Aminudin Dahlan; Raden Mas Djoko Pikukuh Gunadi Hardjo Kusumo, Muhammad Afrizal Firmansyah, Sapto Yonara, S.E; Bambang Asmaradjati, Nailul Khuril Aini, Hj. Kesih Sukaesih, Fatimatul Fauziah; Yuyun Roikhatul Jannah, Fida Nisrina Iftiani, Lutfinida Kurniawati, Muhammad Ardian Ferdiansyah, Nodiva Yosi, Sigit Pramono, dan Bambang Miswanto, S.E, yang memberikan kuasa kepada Dr. HM. Anwar Rachman, S.H., M.H., Fahd Thoricky, S.H., M.H., dkk, Advokat dan Konsultan Hukum yang tergabung pada kantor hukum Anwar Rachman & Rekan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 5 ayat (3), Pasal 6, Pasal 29 ayat (1), Pasal 35, Pasal 42, dan Pasal 48 UU 33/2014 j.o UU 11/2020

Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29, Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dan Pasal 34 ayat (3) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 33/2014 dan UU 11/2020 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan para Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas norma Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali; [3.11.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.10] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. [3.11.2] Bahwa Mahkamah pernah memutus pengujian norma Pasal 5 dan Pasal 6 UU 33/2014, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-XVII/2019, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 30 September 2019, dengan amar menyatakan mengabulkan permohonan penarikan kembali. Dasar pengujian yang digunakan para Pemohon dalam perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019 adalah Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C, Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Alinea Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sedangkan untuk permohonan para Pemohon a quo yang dilakukan pengujian adalah Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 terhadap Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28E ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Bahwa terhadap persoalan di atas, setelah Mahkamah mencermati dalil permohonan para Pemohon dan pasal yang diujikan terdapat perbedaan karena untuk permohonan para Pemohon pasal yang diuji adalah Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014, dan persamaannya ada pada Pasal 6 UU 33/2014 dan permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019. Terlebih lagi, terhadap permohonan sebelumnya, Mahkamah juga belum menilai dalil pokok permohonan. Dengan demikian, terlepas secara substansial permohonan a quo beralasan atau tidak, secara formal permohonan a quo berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021 beralasan untuk dapat diajukan kembali. Oleh karenanya, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan lebih lanjut. [3.12] Menimbang bahwa isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada pokoknya berkenaan dengan kedudukan dan kewenangan BPJPH berdasarkan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 yang menurut para Pemohon adalah inkonstitusional. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 yang menyatakan “Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri”, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 28E ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Dalam mendalilkan pertentangan tersebut para Pemohon berargumentasi bahwa berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 yang berada di bawah Presiden adalah menteri yang menjalankan urusan pemerintahan. Keberadaan BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama RI yang membidangi urusan agama, menurut para Pemohon tidak tepat karena jika dilihat dari adanya unit kerja pada BPJPH, yakni Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal, dan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, merupakan hal yang tidak terkait dengan urusan pemerintahan bidang agama yang berada di bawah Kementerian Agama. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa diberlakukannya UU 33/2014 pada pokoknya hendak mengejawantahkan kehendak UUD 1945 yaitu menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Untuk itulah kemudian negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan terhadap kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat. Pemerintah menyadari jika selama ini produk yang beredar di masyarakat belum semuanya terjamin kehalalannya. Untuk itulah perlu dibentuk undang-undang yang secara khusus dan komprehensif mengatur jaminan produk halal, in casu UU 33/2014 [vide konsiderans Menimbang huruf a, huruf b, dan huruf c UU 33/2014]. Produk halal yang dimaksud adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam karena bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal yang akan dikonsumsi atau digunakan masyarakat. Dengan adanya jaminan produk halal tersebut akan meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha yang memproduksi dan menjual produk halal [vide Pasal 1 angka 2 dan Penjelasan Umum UU 33/2014]. Oleh karena itu, jaminan mengenai produk halal ini tidak dapat dilihat dari sisi teknis adanya pembidangan kerja dalam BPJPH dalam rangka proses memperoleh sertifikasi halal. Sebab, untuk memperoleh produk halal yang bersertifikasi tidak dapat dilepaskan dari bekerjanya Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal, Pusat Kerja Sama dan Standardisasi Halal, dan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal. Bahwa dikarenakan penentuan produk halal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam sebagaimana pertimbangan hukum di atas, dengan demikian maka tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dengan adanya penempatan BPJPH sebagai penyelenggara jaminan produk halal di bawah urusan Kementerian Agama sebagai bagian unsur pendukung. Dalam hal ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2015 tentang Kementerian Agama (Perpres 83/2015) dan Peraturan Menteri Agama Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama (Permen 42/2016) telah dinyatakan bahwa Kementerian Agama mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian Agama menyelenggarakan berbagai fungsi di antaranya adalah menyelenggarakan fungsi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal [vide Pasal 3 Perpres 83/2015 dan Pasal 3 Permen 42/2016]. Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mengatakan tugas pokok, fungsi dan kewenangan BPJPH bukanlah masalah agama yang menjadi tugas pokok, fungsi kewenangan Menteri Agama, khususnya terkait dengan tugas, fungsi dan kewenangan BPJPH mengenai standardisasi, akreditasi dan sertifikasi produk halal, menurut Mahkamah, telah jelas bahwa yang memiliki fungsi pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal adalah Kementerian Agama yang dalam pelaksanaannya diserahkan kepada sebuah badan yang merupakan unsur pendukung dari organisasi Kementerian agama yaitu BPJPH. Sementara itu, standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi produk halal merupakan bagian kewenangan BPJPH dalam rangka proses pemberian jaminan produk halal. Oleh karenanya, jika ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 dihilangkan karena dinyatakan inkonstitusional sebagaimana dalil para Pemohon, justru hal tersebut akan menyebabkan tidak terlindunginya hak-hak yang terdapat dalam ketentuan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 5 ayat (3) UU 33/2014 inkonstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.12.2] Bahwa para Pemohon mendalilkan juga ketentuan Pasal 6 UU 33/2014 yang menyatakan “Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang: a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; c. menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk; d. melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; f. melakukan akreditasi terhadap LPH; g. melakukan registrasi Auditor Halal; h. melakukan pengawasan terhadap JPH; i. melakukan pembinaan Auditor Halal; dan j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH, telah menyebabkan adanya kekaburan atau kerancuan antara fungsi regulasi, fungsi administratif dalam penyelenggaraan sertifikasi halal, dan fungsi substantif. Menurut para Pemohon yang berwenang menetapkan norma, standar, dan kriteria kehalalan produk sebagai wilayah substantif keagamaan adalah kewenangan Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), sedangkan untuk urusan standardisasi adalah kewenangan Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan untuk urusan Sertifikasi adalah kewenangan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), sehingga menurut para Pemohon karena hal di atas bukan merupakan kewenangan BPJPH maka BPJPH telah melakukan tindakan di luar kewenangannya dan monopolitif. Hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, setelah mencermati seluruh ketentuan UU 33/2014 secara komprehensif, menurut Mahkamah UU 33/2014 telah mendesain hubungan kelembagaan BPJPH dalam pelaksanaan wewenangnya. BPJPH tidak berdiri sendiri tetapi bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU 33/2014, kerjasama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga lain dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait. Bahwa jika dijabarkan lebih lanjut kerjasama BPJPH dengan kementerian/lembaga terkait dapat dicermati dari tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH [vide Pasal 9 UU 33/2014]. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJPH yang bekerjasama dengan MUI [vide Pasal 10 UU 33/2014]. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI yang didasarkan pada Fatwa MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. Dengan demikian, dalil para Pemohon yang meminta keterlibatan Lembaga Fatwa Majelis Ulama Indonesia sesungguhnya telah terakomodir karena lembaga yang dimaksud oleh para Pemohon tersebut adalah merupakan bagian dari MUI. Selanjutnya, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut [vide Penjelasan Umum UU 33/2014]. Berkaitan dengan proses atau tata cara dimaksud, tidak terbukti adanya sifat monopoli kewenangan BPJPH dalam menerbitkan sertifikasi halal produk. Bahkan, untuk menjaga agar jaminan produk halal tersebut tidak disalahgunakan, para Pemohon sebagai bagian dari kelompok masyarakat semestinya dapat turut berperan serta mengawasi penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk mengawasi produk dan produk halal yang berbeda, dengan misalnya melakukan sosialisasi melalui kegiatan lembaga atau organisasinya masing-masing sebagaimana hal tersebut ditentukan pula dalam UU 33/2014 [vide Pasal 53 UU 33/2014]. Oleh karena itu, dalil para Pemohon yang menyatakan norma Pasal 6 UU 33/2014 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 33 UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan permohonan pengujian Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014, Mahkamah perlu menegaskan kembali berkenaan dengan UU 11/2020 yang telah diputus pengujian formilnya oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021, yang amarnya menyatakan: 1. Menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima; 2. Mengabulkan permohonan Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI untuk sebagian; 3. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; 4. Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini; 5. Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen; 6. Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali; 7. Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); 8. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 9. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 berkenaan dengan pengujian formil UU 11/2020 tersebut, terdapat 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yang mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, dan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul. Mahkamah juga telah menegaskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 Januari 2022, Paragraf [3.11] yaitu: [3.11] Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon dalam permohonan a quo yang menyatakan walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dalam pengujian formil UU 11/2020 menyatakan UU a quo adalah inkonstitusional bersyarat, namun pengujian materiil masih dapat dilakukan sebab UU 11/2020 masih tetap berlaku. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, secara formil UU 11/2020 telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga secara formal tidak sah berlaku sampai ada perbaikan formil selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun dimaksud. Masa 2 (dua) tahun tersebut adalah masa perbaikan formil. Hal itu disebabkan karena dalam masa perbaikan formil tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Terlebih lagi, dalam amar Putusan a quo angka 7 Mahkamah menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon menjadi prematur. Pertimbangan demikian disebabkan oleh karena permohonan a quo diajukan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bertanggal 25 November 2021. Berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi di atas, telah jelas bahwa permohonan para Pemohon terhadap pengujian materiil Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014 adalah prematur karena diajukan selama masa tenggang waktu 2 (dua) tahun perbaikan formil UU 11/2020, dan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan atau perbaikan substansi yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, terkait pengujian norma Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 6 UU 33/2014 menurut Mahkamah telah ternyata sesuai dengan prinsip checks and balances dan prinsip-prinsip good governance serta tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 17 ayat (3), Pasal 28E ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Oleh karenanya, dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. Sedangkan, terkait dengan pengujian Pasal 48 angka 10 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 29 ayat (1) UU 33/2014, Pasal 48 angka 15 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 35 UU 33/2014, Pasal 48 angka 19 UU 11/2020 yang memuat perubahan atas norma Pasal 42 UU 33/2014, dan Pasal 48 angka 21 UU 11/2020 yang mengubah ketentuan norma Pasal 48 UU 33/2014, telah ternyata dalil permohonan para Pemohon adalah prematur.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 47/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2021 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Majelis Rakyat Papua diwakili oleh Timotius Murib (Ketua merangkap Anggota MRP); Yoel Luiz Mulait, S.H (Wakil Ketua I merangkap Anggota MRP); Debora Mote, S.Sos (Wakil Ketua II merangkap Anggota MRP), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Saor Siagian, S.H., M.H., dkk yang terbagung dalam Tim Hukum dan Advokasi MRP untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UU 2/2021; Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021; Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021; Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021; Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021; dan Pasal 77 UU 21/2001.

Pasal 17 ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1), Pasal 22D, Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UU 2/2021; Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021; Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021; Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021; Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021; dan Pasal 77 UU 21/2001 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa otonomi khusus bagi Papua pada dasarnya merupakan kewenangan khusus yang diakui dan diberikan bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi khusus Provinsi Papua pertama kali ditetapkan berdasarkan UU 21/2001 adalah dalam rangka melaksanakan amanat Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004 dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain, menekankan pentingnya segera merealisasikan otonomi khusus melalui penetapan suatu Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Irian Jaya dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tersebut merupakan kebutuhan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain [vide Penjelasan Umum UU 21/2001]. Kekhususan yang diberikan bagi Provinsi Papua tersebut pada prinsipnya merupakan bentuk kebijakan afirmatif, oleh karenanya pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua semestinya tidak bersifat permanen. Sebab, kebijakan afirmatif pada prinsipnya hanya diterapkan kepada kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu yang mengalami ketidaksetaraan atau ketidakadilan sehingga dengan adanya perlakuan khusus tersebut kelompok/golongan tertentu memeroleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain sehingga apabila ketidaksetaraan dan ketidakadilan dimaksud telah berhasil diatasi, berarti raison d’etre bagi kebijakan afirmatif itu pun menjadi tiada [vide Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 14 Juli 2016, hlm. 26]. Untuk mengimplementasikan kebijakan afirmatif tersebut pembentuk undang-undang sesuai dengan amanat Ketetapan MPR menghendaki agar menempatkan Orang Asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama dalam penyelenggaraan otonomi khusus. Oleh karena itu, kepada mereka perlu diberikan pelayanan dan kesempatan yang memadai serta pemberdayaan rakyat karena mengingat pelaksanaan pembangunan sebelum diberikannya otonomi khusus belum setara dengan daerah-daerah otonom lainnya. Dengan demikian, diperlukan langkah strategis yang tepat dan cepat untuk mengejar kesetaraan dan keseimbangan di Provinsi Papua melalui kebijakan afirmatif. [3.12.2] Bahwa UU 21/2001 yang mengatur pelaksanaan otonomi khusus Papua telah dilakukan perubahan pertama melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang (UU 35/2008), karena adanya kebutuhan untuk mengatur pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua Barat [vide konsiderans Menimbang huruf b UU 35/2008]. Selanjutnya, setelah otonomi khusus Papua berjalan selama lebih dari 20 (dua puluh) tahun, perlu dilakukan penyempurnaan kembali beberapa substansi yang terkait dengan kekhususan Papua, termasuk dalam hal ini adalah jaminan keberlanjutan pemberian dana otonomi khusus untuk Provinsi Papua. Hal ini dikarenakan Pasal 34 ayat (3) huruf e juncto ayat (6) UU 21/2001 menentukan penerimaan anggaran dalam rangka otonomi khusus yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional, yang terutama ditujukan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan, berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Batas waktu 20 (dua puluh) tahun dimaksud dihitung sejak UU 21/2001 diundangkan, yaitu pada 21 November 2001. Dalam hal ini, UU 2/2021 sebagai penyempurnaan atas UU 21/2001 menentukan kembali batas waktu pemberian dana otonomi khusus untuk seluruh provinsi dan kabupaten/kota di wilayah Papua sampai dengan tahun 2041 [vide Pasal 34 ayat (8) UU 2/2021]. Dengan adanya alokasi dana otonomi khusus tersebut diharapkan makin mempercepat pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik serta kesinambungan dan keberlanjutan pembangunan di wilayah Papua [vide konsiderans Menimbang huruf b UU 2/2021]. Dalam upaya percepatan tersebut maka melalui UU 2/2021 ditambahkan materi baru untuk menyesuaikan dengan perkembangan kondisi politik, ekonomi, dan sosial budaya di masyarakat, termasuk materi baru yang diatur adalah berkaitan dengan anggota DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum dan diangkat dari unsur Orang Asli Papua [vide Penjelasan Umum UU 2/2021]. [3.12.3] Bahwa perubahan kedua UU 21/2001 melalui UU 2/2021 dimaksudkan juga untuk memberikan kepastian hukum dalam rangka melindungi, menjunjung harkat martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak dasar Orang Asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial-budaya. Orang Asli Papua dimaksud adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai Orang Asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri [vide konsiderans Menimbang huruf a juncto Pasal 1 angka 22 UU 2/2021]. [3.12.4] Bahwa sebagai implikasi diberikannya Otonomi Khusus Provinsi Papua berarti memberikan tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-sebesarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial budaya dan perekonomian masyarakat Papua termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan yang diwujudkan melalui Majelis Rakyat Papua (MRP) [vide Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua]. [3.12.5] Bahwa berkenaan dengan kelembagaan MRP, kedudukannya merupakan organisasi yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-IX/2011 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 29 September 2011, di mana dalam Paragraf [3.21] menyatakan bahwa: [3.21] Menimbang bahwa, menurut Mahkamah, dengan pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua seharusnya akan diakui, dijamin, dan dilindungi hak-hak masyarakat hukum adat yang ada dan tetap hidup di Provinsi Papua. Hak masyarakat hukum adat tersebut seharusnya tidak boleh dikurangi atau dieliminasi dengan adanya keberadaan MRP, karena MRP bukanlah bentuk dari kesatuan masyarakat hukum adat yang lahir secara alamiah dan MRP tidak membawahi berbagai kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua, tetapi merupakan salah satu lembaga pemerintahan daerah bentukan negara berdasarkan Undang-Undang. Selain itu, menurut Mahkamah, MRP tersebut dibentuk oleh negara sebagai perwakilan kultural yang mewakili masyarakat adat, kelompok agama, dan kelompok perempuan yang ada di Provinsi Papua sehingga tidak mungkin mewakili seluruh masyarakat hukum adat yang ada di Papua. Oleh karena itu, menurut Mahkamah hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat mengenai kriteria, mekanisme, dan prosedur seseorang untuk menjadi anggota kesatuan masyarakat hukum adat haruslah didasarkan pada ketentuan internal dari kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan bukan atas keputusan MRP. Keberadaan MRP akan bertentangan dengan semangat lahirnya otonomi khusus bagi Provinsi Papua, jika dalam menjalankan tugas dan kewenangannya justru mengabaikan hak-hak asli masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua. Pengakuan atas hak-hak tradisional suku-suku asli sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua adalah salah satu bentuk perlindungan konstitusional atas kekhususan Provinsi Papua sebagaimana diatur dalam UU 21/2001 dan sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) serta Pasal 28I ayat (3) UUD 1945;. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian-uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4); Pasal 38 ayat (2), Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A ayat (2), dan Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021, serta Pasal 77 UU 21/2001, yang dipersoalkan oleh Pemohon. Terhadap persoalan konstitusionalitas tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), serta Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) UU 2/2021 telah merugikan Orang Asli Papua karena pengangkatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) dari unsur Orang Asli Papua bersifat diskriminatif di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang dalam memperoleh kesempatan yang sama. Selain itu, menurut Pemohon, adanya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam norma Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5), serta Pasal 6A ayat (4) dan ayat (5) UU 2/2021 dapat menciptakan ketidakpastian hukum sehingga seharusnya frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dimaksud dimaknai menjadi “perdasus” dan “perdasi”. Apabila dipelajari secara saksama, berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon a quo pada pokoknya bermuara karena adanya unsur anggota DPRP dan DPRK yang diangkat dari unsur Orang Asli Papua. Substansi UU 21/2001 belum mengatur ketentuan mengenai adanya anggota DPRK (kabupaten/kota) yang diangkat dari Orang Asli Papua. Dalam rangka melindungi dan meningkatkan harkat dan martabat Orang Asli Papua, UU 2/2021 sebagai perubahan dari UU 21/2001, menambahkan pasal baru terkait dengan komposisi DPRK yang sebelumnya hanya terdiri atas anggota DPRD kabupaten/kota yang dipilih melalui pemilihan umum, diubah menjadi terdiri atas anggota DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum dan yang diangkat dari Orang Asli Papua [vide Penjelasan Umum UU 2/2021]. Dengan demikian, setelah berlakunya UU 2/2021 lembaga perwakilan rakyat daerah di Provinsi Papua, yaitu DPRP di provinsi serta DPRK di kabupaten/kota ditentukan sebanyak ¼ (satu per empat) kali dari jumlah anggota DPRP atau anggota DPRK adalah diangkat dari unsur Orang Asli Papua [vide Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (2) UU 2/2021]. Berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2021, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1.1] Bahwa terhadap dalil Pemohon mengenai Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b UU 2/2021 menurut Pemohon dengan adanya unsur yang diangkat dari Orang Asli Papua dalam lembaga dewan perwakilan rakyat menimbulkan diskriminasi di antara Orang Asli Papua sendiri dalam persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta jaminan kepastian bagi semua orang untuk memperoleh kesempatan yang sama. Berkenaan dengan hal ini penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu pertimbangan hukum beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 yang telah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 1 Februari 2010, Mahkamah telah memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.16.3] Bahwa pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua untuk ikut serta merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan. Salah satu peran serta masyarakat asli Papua dalam merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan terutama dalam bidang sosial politik adalah menjadi anggota DPRP. Sehubungan dengan hal tersebut, Penjelasan Umum UU 21/2001 secara tegas mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan Provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Penjelasan Umum UU 21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan; [3.16.4] Bahwa UU 21/2001 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat. [3.16.5] Bahwa keanggotaan DPRP yang diangkat dengan kuota ditentukan oleh Pasal 6 ayat (4) UU 21/2001 yang menyatakan bahwa jumlah anggota DPRP adalah 1¼ (satu seperempat) kali dari jumlah anggota DPRD Provinsi Papua, adalah bentuk perlakuan khusus yang tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”, merupakan kebijakan afirmatif. Perlakuan khusus seperti itu diterapkan juga untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu diberikannya hak bagi masyarakat Aceh untuk mendirikan partai politik lokal;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 106/PUU-XVIII/2020 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dwi Pertiwi, Santi Warasyuti, Nafiah Murhayanti, S.Md, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), yang dalam hal ini memberika kuasa kepada Erasmus Abraham Todo Napitupulu, dkk Advokat yang tergabung dalam kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika

Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU Narkotika dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa berkaitan dengan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon pada esensinya adalah berkenaan dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 sebagaimana selengkapnya dinyatakan dalam Petitum Permohonan para Pemohon pada Paragraf [3.7] angka 6 di atas. Namun demikian, sebelum lebih lanjut mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dimohonkan oleh para Pemohon tersebut di atas, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa semangat yang terkandung dalam UU 35/2009 sebagaimana diuraikan dalam Konsideran dan Penjelasan Umum Undang-Undang a quo, antara lain menegaskan bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk derajat kesehatannya. Selain itu, untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang dimungkinkan dibutuhkan sebagai obat dan/atau terapi pada penyakit tertentu serta melakukan pencegahan dan pemberantasan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, terlebih jenis narkotika tertentu. Berkaitan dengan pemanfaatan narkotika, di satu sisi narkotika untuk jenis tertentu merupakan obat atau bahan yang bermanfaat untuk pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan di sisi lain narkotika jenis tertentu dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat tinggi pada pengguna dan dapat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Bahwa lebih lanjut dalam Penjelasan Umum UU 35/2009 juga ditegaskan, narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa. Terlebih, terhadap narkotika jenis tertentu lainnya yang oleh undang- undang benar-benar masih dilarang penggunaannya, selain apa yang secara tegas diperbolehkan, seperti halnya jenis Narkotika Golongan I yang hanya diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Hal tersebut akan sangat merugikan jika pembatasan tersebut justru ada penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya akan dapat merusak generasi bangsa dan bahkan melemahkan ketahanan nasional. [3.12.2] Bahwa meskipun pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara, antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, Israel, Italia, Belanda, Norwegia, Peru, Polandia, Romania, Kolombia, Swiss, Turki, Inggris, Bulgaria, Belgia, Prancis, Portugal, Spanyol, Selandia Baru, dan Thailand, namun fakta hukum tersebut tidak serta-merta dapat dijadikan parameter, bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara. Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda, baik jenis bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Dalam perspektif ini, untuk negara Indonesia, walaupun diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin “dapat” disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu, namun hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan, khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia. Terlebih, berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan Narkotika Golongan I di Indonesia harus diukur dari kesiapan unsur-unsur sebagaimana diuraikan tersebut di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan untuk pemanfaatannya. [3.13] Menimbang bahwa setelah menguraikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan isu konstitusionalitas yang dipersoalkan oleh para Pemohon, yaitu berkaitan dengan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009, yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”, serta ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Terhadap hal tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa terhadap dalil para Pemohon terkait dengan inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 agar dibaca “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”, menurut Mahkamah pengelompokkan narkotika ke dalam tiga jenis golongan sebagaimana dimaksud dalam UU 35/2009, yaitu Narkotika Golongan I, Narkotika Golongan II, dan Narkotika Golongan III merupakan hal yang penting dilakukan, mengingat sifat dari ketiga jenis golongan narkotika tersebut mempunyai dampak yang berbeda. Demikian halnya berkenaan dengan akibat hukum yang ditimbulkan, jika terjadi penyalahgunaan pemanfaatan narkotika yang dapat menimbulkan bahaya, tidak hanya berkaitan dengan ancaman jiwa, akan tetapi juga kehidupan manusia yang lebih luas. Oleh karenanya, sangat relevan pembagian jenis golongan narkotika tersebut tetap dipertahankan untuk dijadikan rujukan dalam membuat regulasi terkait dengan penggunaan, pengkajian dan penelitian, serta penegakan hukumnya ketika terjadi penyalahgunaan. Bahwa oleh karena setiap jenis golongan narkotika memiliki dampak yang berbeda-beda, khususnya dalam hal tingkat ketergantungannya, maka di dalam menentukan jenis-jenis narkotika yang ditetapkan ke dalam suatu jenis golongan narkotika tertentu dibutuhkan metode ilmiah yang sangat ketat. Dengan demikian, terkait dengan adanya keinginan untuk menggeser/mengubah pemanfaatan jenis narkotika dari golongan yang satu ke dalam golongan yang lain maka hal tersebut juga tidak dapat secara sederhana dilakukan. Oleh karena itu, untuk melakukan perubahan sebagaimana tersebut di atas dibutuhkan kebijakan yang sangat komprehensif dan mendalam dengan melalui tahapan penting yang harus dimulai dengan penelitian dan pengkajian ilmiah. Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan berkaitan dengan jenis Narkotika Golongan I telah ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 hanya dapat dipergunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, dari pembatasan imperatif dimaksud secara sederhana dapat dipahami bahwa Narkotika Golongan I adalah jenis narkotika yang mempunyai dampak paling serius dibandingkan dengan jenis narkotika golongan lainnya. Dengan demikian, dalam hal pemanfaatan Narkotika Golongan I tidak dapat dilepaskan dari keterpenuhan syarat-syarat yang sangat ketat tersebut, terlebih apabila akan dilakukan perubahan pemanfaatannya ke dalam pemanfaatan lain (berbeda) yang potensial menimbulkan korban nyawa manusia, jika tidak dilakukan terlebih dahulu pengkajian dan penelitian secara ilmiah. Bahwa berkaitan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon, hal tersebut sama halnya dengan keinginan untuk mengubah pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I yang secara imperatif hanya diperbolehkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Pembatasan pemanfaatan demikian tidak terlepas dari pertimbangan bahwa jenis Narkotika Golongan I tersebut mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh dalam persidangan, telah ternyata keinginan para Pemohon untuk diperbolehkannya jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi belum terdapat bukti telah dilakukan pengkajian dan penelitian bersifat komprehensif dan mendalam secara ilmiah di Indonesia. Dengan belum adanya bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif tersebut, maka keinginan para Pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Sementara itu, berkenaan dengan fakta- fakta hukum dalam persidangan yang menegaskan bahwa beberapa negara telah secara sah menurut undang-undangnya memperbolehkan pemanfaatan narkotika secara legal, hal tersebut tidak serta-merta dapat digeneralisasi bahwa negara- negara yang belum atau tidak melegalkan pemanfaatan narkotika secara bebas kemudian dapat dikatakan tidak mengoptimalkan manfaat narkotika dimaksud. Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah dapat memahami dan memiliki rasa empati yang tinggi kepada para penderita penyakit tertentu yang “secara fenomenal” menurut para Pemohon dapat disembuhkan dengan terapi yang menggunakan jenis Narkotika Golongan I, sebagaimana yang dialami oleh anak Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III. Namun, mengingat hal tersebut belum merupakan hasil yang valid dari pengkajian dan penelitian secara ilmiah maka dengan mengingat efek atau dampak yang dapat ditimbulkan apabila Mahkamah menerima argumentasi para Pemohon a quo. Oleh karenanya tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk mendorong penggunaan jenis Narkotika Golongan I dengan sebelumnya dilakukan pengkajian dan penelitian secara ilmiah berkaitan dengan kemungkinan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Selanjutnya, hasil pengkajian dan penelitian secara ilmiah tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang di dalam merumuskan kemungkinan perubahan kebijakan berkenaan dengan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I. Bahwa pengkajian dan penelitian sebagaimana dimaksud di atas dapat diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun swasta setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU 35/2009, yang menyatakan “Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri”. Lebih lanjut ditegaskan mengenai syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan Narkotika sebagaimana dimaksud didasarkan pada Peraturan Menteri, sesuai dengan semangat Pasal 13 ayat (2) UU 35/2009. Artinya, lembaga pemerintah dan swasta secara bersama-sama atau pemerintah secara tersendiri melakukan pengkajian dan penelitian untuk menelaah secara ilmiah berkaitan dengan jenis Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan ataupun terapi. Lebih lanjut, pengkajian dan penelitian yang dilakukan terhadap jenis Narkotika Golongan I secara konkret dilakukan berdasarkan standar profesi penelitian kesehatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Di samping hasil pengkajian dan penelitian tersebut dapat memberikan telaahan secara ilmiah yang membuktikan kebenaran “hipotesis” tersebut, yaitu penggunaan atau pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I dapat diperuntukkan guna keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi untuk pengobatan penyakit tertentu, yang kemudian dilanjutkan dengan menguji penerapannya untuk kepentingan praktis. [3.13.2] Bahwa selanjutnya penting dijelaskan, diperlukannya kepastian jenis Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi melalui pengkajian dan penelitian dimaksud, di satu sisi juga bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum dan keselamatan kepada masyarakat dari bahaya penggunaan jenis Narkotika Golongan I yang berpotensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Oleh karena itu, secara imperatif sebelum ada hasil pengkajian dan penelitian, jenis Narkotika Golongan I hanya benar-benar digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Bahkan bagi penyalahguna jenis Narkotika Golongan I yang secara tidak sah diancam dengan pidana penjara sangat berat (vide Pasal 111 sampai dengan Pasal 116 UU 35/2009). Sanksi ancaman pidana penjara yang sangat berat dimaksud disebabkan karena negara benar-benar ingin melindungi keselamatan bangsa dan negara dari bahaya penyalahgunaan narkotika, khususnya jenis Narkotika Golongan I. Dengan demikian, perlindungan kepada masyarakat dapat benar-benar diwujudkan karena jenis Narkotika Golongan I tetap harus dipandang sebagai jenis narkotika paling berbahaya, khususnya apabila dikaitkan dengan dampak ketergantungannya yang sangat tinggi. Bahwa oleh karena tingkat ketergantungan jenis Narkotika Golongan I sangat tinggi dan berbahaya untuk kesehatan, maka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Narkotika Golongan I dilarang juga digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi. Sebab, pemberian pelayanan kesehatan yang aman kepada masyarakat merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan, “Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif” dan “Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Oleh karena itu, Negara dalam konteks pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I khususnya, dan jenis Narkotika Golongan II serta jenis Narkotika Golongan III pada umumnya, wajib melakukan pengawasan secara ketat agar penggunaan narkotika tidak disalahgunakan. Di samping pertimbangan hukum tersebut di atas, negara juga wajib menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan pemenuhan hak dalam pelayanan kesehatan, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dalam konteks inilah rasionalitas sesungguhnya yang menjadi salah satu alasan sangat penting dilakukannya pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I yang dimungkinkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, termasuk dalam hal ini untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan dan rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) UU 35/2009 (vide keterangan Presiden bertanggal 22 Juni 2021, hlm. 17). Bahwa lebih lanjut dapat dijelaskan, sesungguhnya kebutuhan akan adanya kepastian dapat atau tidaknya jenis Narkotika Golongan I digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi sudah sejak lama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya fakta hukum dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang sudah mencantumkan “larangan secara tegas penggunaan jenis Narkotika Golongan I untuk terapi”. Dengan kata lain, sesungguhnya “fenomena” perihal kebutuhan terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU 35/2009 diundangkan. Dengan demikian, melalui Putusan a quo, Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti Putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan, termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud. Sebab, penyerahan kewenangan oleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang didasarkan karena UU 35/2009 a quo tidak hanya mengatur tentang penggolongan jenis narkotika akan tetapi termasuk di dalamnya juga mengatur tentang sanksi-sanksi pidana. Oleh karena terhadap undang-undang yang di dalamnya memuat substansi hal-hal yang berkenaan dengan pemidanaan (kriminalisasi/dekriminalisasi), Mahkamah dalam beberapa putusannya telah berpendirian hal-hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy). Sehingga, terhadap UU 35/2009 inipun oleh karena di samping mengatur tentang pemanfaatan narkotika yang diperlukan pengaturan yang sangat rigid dan secara substansial narkotika adalah persoalan yang sangat sensitif, serta karena alasan UU 35/2009 memuat sanksi-sanksi pidana, maka cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya. [3.13.3] Bahwa terhadap hasil pengkajian dan penelitian apabila ternyata jenis Narkotika Golongan I dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi dan diperlukannya peraturan-peraturan pelaksana, maka pemerintah bersama-sama dengan para pemangku kepentingan harus mengatur secara detail tentang antisipasi kemungkinan adanya penyalahgunaan jenis Narkotika Golongan I. Oleh karena itu, melalui Putusan a quo Mahkamah juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang, termasuk pembuat peraturan pelaksana harus benar-benar cermat dan hati-hati dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus menerus. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan telah ternyata ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 telah memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalill permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa selanjutnya dalil para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 yang menurut para Pemohon telah mengakibatkan hilangnya hak para Pemohon untuk mendapatkan manfaat dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berupa manfaat kesehatan dari jenis Narkotika Golongan I sebagaimana diatur dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil permohonan para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan, sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa dalam menilai inkonstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 sebagaimana didalilkan para Pemohon, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, berkaitan dengan penilaian konstitusionalitas keberlakuan norma Pasal a quo tidak dapat dipisahkan dengan ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang telah dipertimbangkan sebelumnya oleh Mahkamah. Adapun ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 masing-masing selengkapnya sebagai berikut: Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009: “Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ‘Narkotika Golongan I’ adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan” Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009: “Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan” [3.15.2] Bahwa oleh karena ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 esensinya adalah menegaskan tentang larangan pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan, sementara itu Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 menegaskan tentang pembatasan pemanfaatan narkotika hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan larangan penggunaan atau pemanfaatan jenis Narkotika Golongan I untuk terapi. Dengan demikian, oleh karena di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009, Mahkamah telah berpendirian agar segera dilakukan pengkajian dan penelitian terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat atau tidaknya dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, di mana terapi juga merupakan bagian dari kesehatan maka penegasan Mahkamah tersebut berkaitan agar segera dilakukannya pengkajian dan penelitian terhadap jenis Narkotika Golongan I, yang dimungkinkan dapat dipergunakan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi, maka hal tersebut juga berlaku di dalam mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 a quo. Sehingga, Mahkamah berpendapat pertimbangan hukum di dalam menilai konstitusionalitas Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 dimaksud menjadi satu kesatuan dan dipergunakan dalam mempertimbangkan konstitusionalitas norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009. Dengan demikian, oleh karena Mahkamah telah berpendirian Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 adalah konstitusional maka sebagai konsekuensi yuridisnya terhadap ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 inipun harus dinyatakan konstitusional. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan telah ternyata ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, hak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, serta demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia, sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, ketentuan tersebut juga telah memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, sebagaimana di antaranya dimaksud dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas ketentuan norma Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan dalil-dalil dan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dr. Abdullah Hehamahua, M.H; Dr. Marwan Batubara, M.Sc; Dr. H. Muhyiddin Junaidi, M.A; Habib Muhsin Ahmad Alatas; KH. Agus Solachul AAM; Jend. TNI (Purn) Tyasono Sudarto; Letjen. TNI Mar (Purn) Suharto; Jend. TNI (Purn) Yayat Suderajat; Mayjen TNI (Purn) Prijanto; Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD; Kol. TNI (Purn) Sugeng Waras; Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D; Dr. Syamsul Balda, S.E., M.M. MBA; Dr. Taufik Bahaudin, S.E; Dr. Masri Sitanggang, MP; Ir. Irwansyah; Didin S. Maolani, S.H; Agus Muhammad Maksum; Drs. H. M. Mursalim R; H. M. Rizal Fadillah, S.H; Agung Mozin; Gigih Guntoro; Mudrick Setiawan M. Sangidu; dan Muhammad Haikal Firzuni yang memberikan kuasa kepada Viktor Santoso Tandiasa, S.H., M.H., dkk., yang tergabung dalam kantor Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN), untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

pengujian formil UU 3/2022

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian formil UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: DALAM PROVISI: [3.15] Terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa pengujian undang-undang bukanlah bersifat adversarial dan bukan merupakan perkara yang bersifat interpartes atau bukan merupakan sengketa kepentingan para pihak, melainkan menguji keberlakuan suatu undang-undang yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh warga negara. Oleh karena itu, terhadap permohonan provisi a quo, haruslah dipertimbangkan secara tersendiri dan kasuistis sepanjang hal tersebut relevan dan mendesak untuk dilakukan. Namun, setelah Mahkamah mencermati secara saksama alasan permohonan provisi yang diajukan oleh para Pemohon lebih berkaitan erat dengan materi muatan UU 3/2022 sehingga tidak tepat apabila dijadikan sebagai alasan permohonan provisi dalam pengujian formil. Terlebih lagi, Mahkamah tidak menemukan adanya alasan yang kuat untuk menunda keberlakuan UU a quo. Di samping itu, Mahkamah juga telah memberikan batasan waktu yang singkat untuk memutus perkara pengujian formil sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.9] di atas. Dengan demikian, permohonan provisi para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. DALAM POKOK PERMOHONAN: [3.22] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 3/2022 tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan yaitu mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi/legislasi, perencanaan keuangan negara dan pelaksanaan pembangunannya sehingga pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asasasas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan dengan “asas kejelasan tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011. Terhadap dalil para Pemohon a quo, terlebih dahulu Mahkamah akan menegaskan maksud “asas kejelasan tujuan” sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai [vide Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 12/2011]. Sekalipun UU Nomor 12 Tahun 2011 diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (selanjutnya disebut UU 13/2022) namun pengertian asas kejelasan tujuan tersebut masih tetap dirumuskan sama [vide Pasal 5 huruf a UU 13/2022]. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas norma UU 3/2022, karena berkenaan dengan keterpenuhan syarat formil pembentukan undang-undang tidak dapat dilepaskan dari asas kejelasan tujuan. Berkaitan dengan hal ini, dalam UU 3/2022 telah dicantumkan tujuan dibentuknya UU a quo sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa: “Ibu Kota Nusantara memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk: a. menjadi kota berkelanjutan di dunia; b. sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan; dan c. menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Terkait dengan tujuan tersebut dijelaskan pula dalam Penjelasan Umum UU 3/2022 yang menyatakan bahwa: “Pembangunan dan pengelolaan Ibu Kota Nusantara memiliki visi Ibu Kota Negara sebagai kota dunia untuk semua yang bertujuan utama mewujudkan kota ideal yang dapat menjadi acuan (role model) bagi pembangunan dan pengelolaan kota di Indonesia dan dunia. Visi besar tersebut bertujuan untuk mewujudkan Ibu Kota Nusantara sebagai: a. kota berkelanjutan di dunia, yang menciptakan kenyamanan, keselarasan dengan alam, ketangguhan melalui efisiensi penggunaan sumber daya dan rendah karbon; b. penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, yang memberi peluang ekonomi untuk semua melalui pengembangan potensi, inovasi, dan teknologi; serta c. simbol identitas nasional, merepresentasikan keharmonisan dalam keragaman sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika” [vide Penjelasan Umum UU 3/2022]. Lebih lanjut, masih berkaitan dengan tujuan pembentukan UU 3/2022 pada Penjelasan Pasal 2 huruf a UU a quo dijelaskan maksud dari "kota berkelanjutan di dunia" adalah kota yang mengelola sumber daya secara tepat guna dan memberikan pelayanan secara efektif dalam pemanfaatan sumber daya air dan energi yang efisien, pengelolaan sampah berkelanjutan, moda transportasi terpadu, lingkungan layak huni dan sehat, dan lingkungan alam dan binaan yang sinergis, yang di dalamnya juga menetapkan Ibu Kota Nusantara sebagai kota di dalam hutan (forest city) untuk memastikan kelestarian lingkungan dengan minimal 75% (tujuh puluh lima persen) kawasan hijau, serta rencana Ibu Kota Nusantara dijalin dengan konsep masterplan yang berkelanjutan untuk menyeimbangkan ekologi alam kawasan terbangun, dan sistem sosial yang ada secara harmonis. Demikian pula dengan Penjelasan Pasal 2 huruf b UU 3/2022 yang berkaitan dengan tujuan "penggerak ekonomi Indonesia di masa depan" dijelaskan maksudnya adalah sebagai kota yang progresif, inovatif, dan kompetitif dalam aspek teknologi, arsitektur, tata kota, dan sosial. Artinya, IKN menetapkan strategi ekonomi superhub yang terkait dengan strategi tata ruang untuk melampaui potensi saat ini, memastikan sinergi yang produktif antara tenaga kerja, infrastruktur, sumber daya, dan jaringan, serta memaksimalkan peluang kerja bagi seluruh penduduk kota. Terakhir, berkaitan dengan tujuan pembentukan UU 3/2022 sebagai “simbol identitas nasional" dijelaskan maksudnya adalah kota yang mewujudkan jati diri, karakter sosial, persatuan, dan kebesaran bangsa yang mencerminkan kekhasan Indonesia [vide Penjelasan Pasal 2 huruf a, huruf b, dan huruf c UU 3/2022]. [3.22.1] Bahwa berkenaan dengan tujuan pembentukan IKN sebelum dituangkan dalam UU 3/2022 telah dicantumkan atau masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang pada prinsipnya menjabarkan secara bertahap Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (vide Keterangan Pemerintah hlm. 19-20) dan Visi Indonesia 2033 yang secara eksplisit menyatakan adanya pemindahan episentrum Nusantara ke Kalimantan (vide bukti PK-20), yang pada pokoknya menyatakan pembentukan Ibu Kota Negara masuk sebagai salah satu rencana Proyek Prioritas Strategis (Major Project) RPJMN 2020-2024 (vide Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020- 2024 selanjutnya disebut Perpres 18/2020). Pembentukan Ibu Kota Negara tersebut dilatarbelakangi salah satunya guna meningkatkan pembangunan kawasan timur Indonesia untuk pemerataan wilayah. Selain itu, RUU IKN juga masuk dalam agenda pembangunan pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah di Indonesia [vide Bab IX Kaidah Pelaksanaan Bagian Kerangka Regulasi Lampiran I Perpres 18/2020 pada hlm. 273 = IX.7] [3.22.2] Bahwa lebih lanjut, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan RUU IKN tidak memiliki perencanaan legislasi, penting pula bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud perencanaan legislasi dalam UU 12/2011 yang tidak dapat dilepaskan dari pengertian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yaitu instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis [vide Pasal 1 angka 9 UU 12/2011]. Berkenaan dengan hal tersebut, UU 12/2011 menghendaki penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional [vide Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011]. Prolegnas dimaksud memuat program pembentukan undang-undang dengan judul rancangan undang-undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya [vide Pasal 19 ayat (1) UU 12/2011]. Dengan merujuk pada Lampiran I Perpres 18/2020 menyatakan pada pokoknya untuk pembentukan Ibu Kota Negara perlu dasar hukum. Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah mengusulkan kepada DPR untuk memasukkan RUU tentang Ibu Kota Negara dalam Prolegnas yang kemudian diundangkan menjadi UU 3/2022 sebagai landasan pelaksanaan perpindahan Ibu Kota Negara. Terkait dengan pencantuman RUU IKN ke dalam Prolegnas, DPR menerangkan bahwa RUU IKN telah masuk Prolegnas jangka menengah 2020-2024 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 yang ditetapkan tanggal 17 Desember 2019 [vide Lampiran 1. Keterangan DPR] sebagaimana tercantum pada nomor 131. Selanjutnya, setiap tahun selalu masuk dalam Prolegnas prioritas tahunan yaitu pada tahun 2020 dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum pada Nomor 46 [vide Lampiran 2 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 ditetapkan tanggal 22 Januari 2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan UndangUndang Prioritas Tahun 2020 = PK-1.Pemerintah]; pada tahun 2021 diajukan kembali sebagai Prolegnas Prioritas sebagaimana tercantum dalam nomor 28 [vide Lampiran 3 Surat Keputusan DPR RI Nomor 1/DPR RI/IV/2020-2021 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 ditetapkan tanggal 23 Maret 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Tahun 2020-2024 = PK-25.Pemerintah]. Ketika ada pembahasan evaluasi Prolegnas Prioritas tahun 2021, RUU IKN tetap diprioritaskan sebagaimana tercantum dalam nomor 29 [vide Lampiran 4 Surat Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR RI/I/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2021 yang ditetapkan tanggal 30 September 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024]; dan pada saat pembahasan prioritas tahunan 2022, RUU IKN dimasukkan kembali dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2022 sebagaimana tercantum dalam Nomor 33 [vide Lampiran 5 berdasarkan Surat Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 ditetapkan tanggal 7 Desember 2021 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 = PK-25.Pemerintah]. Seluruh proses pangajuan Prolegnas Prioritas tahunan ini pun dilakukan sesuai dengan ketentuan UU 12/2011 yakni diajukan sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) [vide Pasal 20 ayat (5) UU 12/2011]. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan suatu undang-undang mendapatkan kejelasan dari sisi penganggarannya, tidak hanya berkaitan dengan anggaran pembentukan undang-undangnya, namun juga diperhitungkan dampak undang-undang tersebut bagi keuangan negara, oleh karenanya harus dibahas dan ditetapkan usulan RUU dalam Prolegnas sebelum RUU APBN ditetapkan. Terlebih lagi, dalam keterangannya, Pemerintah dan DPR menerangkan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara ke luar Jawa diharapkan dapat mendorong percepatan pengurangan kesenjangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah di luar Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia. Selain itu, hadirnya UU 3/2022 merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia, juga untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan serta menjadi acuan bagi pembangunan dan penataan wilayah lainnya di Indonesia dan hal tersebut juga merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan tujuan bernegara, sekaligus sebagai upaya mewujudkan salah satu cita-cita dalam visi Indonesia 2045 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022]. [3.22.3] Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut di atas telah ternyata perencanaan pembentukan IKN merupakan bagian dari program sistem perencanaan pembangunan nasional yang telah tercantum dalam Lampiran Perpres 18/2020 dan telah pula dituangkan dalam Prolegnas jangka menengah 2020-2024 dan telah diprioritaskan setiap tahunnya sejak tahun 2020 sehingga semakin menegaskan bahwa pembentukan IKN telah benar-benar memiliki kejelasan tujuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011. Terlepas dari adanya dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa rencana pembentukan IKN ini seolah-olah “disusupkan” dalam RPJMN tahun 2020-2025, menurut Mahkamah alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon tidak cukup membuktikan bahwa dalil a quo benar adanya, apalagi untuk dapat mematahkan argumentasi atau fakta hukum serta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, untuk melihat secara menyeluruh tujuan dan kejelasan sebuah undang-undang haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang tersebut yang selanjutnya apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang dalam UU 3/2022 dan dijelaskan secara komprehensif dalam Penjelasan Umum sebagaimana hal tersebut juga telah dinyatakan dalam Perpres 18/2020 mengenai RPJMN maka tujuan pembentukan UU 3/2022 pada prinsipnya telah memenuhi “asas kejelasan tujuan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas kejelasan tujuan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf a UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.23] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan UU 3/2022 banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan pelaksana, sehingga menurut para Pemohon pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bertentangan dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011. Terhadap dalil a quo, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan terlebih dahulu maksud asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan [vide Penjelasan Pasal 5 huruf c UU 12/2011]. Berkaitan dengan jenis dan hierarki dimaksud harus dikaitkan dengan Pasal 7 UU 12/2011 yang menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan terdiri atas: a). UUD 1945; b). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d). Peraturan Pemerintah; e). Peraturan Presiden; f). Peraturan Daerah Provinsi; dan g). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan, berkaitan dengan materi muatan untuk masing-masing jenis peraturan perundang-undangan tersebut ditentukan dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 UU 12/2011. Dalam hal ini, khusus terkait dengan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang berisi: a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c) pengesahan perjanjian internasional tertentu; d) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sementara itu, materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Hal ini dijelaskan maksudnya bahwa penetapan peraturan pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang atau untuk menjalankan undang-undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan [vide Pasal 12 UU 12/2011 dan Penjelasannya]. Berkenaan dengan peraturan presiden ditentukan muatannya berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Artinya, Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya [vide Pasal 13 UU 12/2011 dan Penjelasannya]. Berkaitan dengan aturan pendelegasian yang didalilkan para Pemohon merupakan segala hal yang bersifat strategis sehingga seharusnya diatur dalam materi muatan undang-undang bukan dalam aturan pelaksana. Berkenaan dengan dalil a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan cakupan pendelegasian yang terdapat dalam UU 3/2022, apakah benar materi muatannya memang harus ada dalam undang-undang bukan dalam peraturan pelaksana. Setelah Mahkamah memeriksa secara saksama keseluruhan ketentuan dalam UU 3/2022 yang terdiri dari 44 (empat puluh empat) pasal di mana pendelegasian pengaturan lebih lanjut terdapat di antaranya dalam (tanpa Mahkamah bermaksud menilai konstitusionalitas norma pasal-pasal UU 3/2022): 1. Pasal 7 ayat (4) yang memerintahkan pengaturan perincian Rencana Induk Ibu Kota Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden. 2. Pasal 7 ayat (6) yang memerintahkan perubahan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara diatur dengan Peraturan Presiden. 3. Pasal 12 ayat (3) ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan khusus Otorita Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR. 4. Pasal 14 ayat (2) ketentuan mengenai pembagian wilayah Ibu Kota Nusantara ke dalam beberapa wilayah yang bentuk, jumlah, dan strukturnya diatur dalam Peraturan Presiden. 5. Pasal 15 ayat (2) memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai Rencana Tata Ruang KSN Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Presiden. Dengan penjelasan bahwa Rencana Induk Ibu Kota Nusantara menjadi acuan bagi penyusunan pengaturan penataan ruang Rencana Tata Ruang KSN Ibu Kota Nusantara. 6. Pasal 22 ayat (5) memerintahkan mengenai pemindahan Lembaga Negara, aparatur sipil negara, perwakilan negara asing, dan perwakilan organisasi/lembaga internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. 7. Pasal 24 ayat (7) memerintahkan mengenai pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 8. Pasal 25 ayat (3) memerintahkan pengaturan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Ibu Kota Nusantara diatur dalam Peraturan Pemerintah. 9. Pasal 26 ayat (2) memerintahkan tata cara pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (l) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 10. Pasal 35 memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Barang Milik Negara dan aset dalam penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 diatur dalam Peraturan Pemerintah. 11. Pasal 36 ayat (7) memerintahkan ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dengan merujuk pada Lampiran II UU 12/2011, pada angka 198 ditentukan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Selanjutnya, pada angka 199 ditentukan bahwa pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Sementara itu, pada angka 200 Lampiran II a quo ditentukan pula bahwa pendelegasian kewenangan mengatur harus menyebut dengan tegas: a) ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b) jenis Peraturan Perundang-undangan [vide Lampiran II UU 12/2011 dalam Bab II Hal-Hal Khusus, Huruf A. PENDELEGASIAN KEWENANGAN]. Dengan mendasarkan pada ketentuan teknik pendelegasian dalam UU 12/2011, pengaturan pendelegasian oleh UU 3/2022 telah sejalan dengan teknik pendelegasian dimaksud. Dalam hal ini, jika yang dipersoalkan oleh para Pemohon mengenai pengaturan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara maka materi muatan pokok atas Rencana Induk Ibu Kota Nusantara telah ditentukan sebagai materi muatan UU a quo yang meliputi paling sedikit: a. pendahuluan; b. visi, tujuan, prinsip dasar, dan indikator kinerja utama; c. prinsip dasar pembangunan; dan d. penahapan pembangunan dan skema pendanaan. Materi muatan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara tersebut telah tercantum dalam Lampiran II UU 3/2022 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU a quo. Sementara itu, pembentuk undang-undang menghendaki pengaturan lebih lanjut yang bersifat rincian dari materi muatan pokok dalam UU a quo agar diatur dengan peraturan presiden. Pendelegasian demikian ini telah sejalan dengan teknik pendelegasian sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011. Artinya, apabila segala hal ihwal teknis seluruhnya harus diatur dalam UU maka justru akan timbul persoalan di kemudian hari, jika ihwal demikian tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan ke depannya. Terlebih lagi, proses mengubah suatu undang-undang jauh lebih sulit dibandingkan dengan mengubah peraturan pelaksana. Oleh karena itu, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan adanya peraturan pelaksana yang tidak seharusnya mengatur muatan undang-undang tanpa memberi dasar argumentasi dan bukti-bukti yang meyakinkan bagi Mahkamah, maka apa yang para Pemohon persoalkan tersebut lebih merupakan bentuk kekhawatiran atas implementasi UU 3/2022. Dalam kaitan ini, hal yang terpenting adalah peraturan pelaksana tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang mendelegasikannya (dari peraturan yang lebih tinggi). Andaipun ada persoalan pertentangan demikian, quod non, sistem hukum pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia pun telah mengatur penyelesaiannya oleh lembaga yang diberi kewenangan untuk itu [vide Pasal 24A UUD 1945]. Berkaitan dengan hal ini, Mahkamah memandang penting pula untuk menegaskan bahwa dengan telah diberlakukannya UndangUndang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU 12/2011 (UU 13/2022) DPR, Presiden, dan DPD diberi kewenangan untuk melakukan pemantauan dan peninjauan atas pelaksanaan undang-undang yang berlaku [vide Pasal 95A UU 13/2022]. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf c UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.24] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan, pembentukan UU 3/2022 telah bertentangan dengan “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011. Hal tersebut menurut para Pemohon, salah satunya akibat adanya pandemi Covid-19 yang berdampak juga terhadap perekonomian nasional dan global sehingga faktor ekonomi mestinya turut dipertimbangkan oleh Pemerintah dalam menyusun kebijakan pemindahan IKN. Selain itu, menurut para Pemohon, UU 3/2022 dalam pembentukannya tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat secara sosiologis. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting pula bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud “asas dapat dilaksanakan” dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011 bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Terkait dengan hal tersebut sebagaimana telah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 4 Mei 2021 yang pada pokoknya terkait dengan asas dapat dilaksanakan haruslah didalami lebih lanjut pasal demi pasal yang apabila menurut para Pemohon tidak jelas atau memiliki penafsiran yang berbeda atau bertentangan isinya antara pasal yang satu dengan pasal lainnya sehingga tidak dapat dilaksanakan, maka terkait dengan norma tersebut bukan merupakan bagian dari penilaian Mahkamah dalam pengujian formil a quo [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVII/2019 hlm. 366-367]. Terlepas dari pertimbangan di atas, setelah Mahkamah mencermati secara saksama argumentasi dan bukti yang diajukan, telah ternyata para Pemohon dalam mendalilkan adanya persoalan asas dapat dilaksanakan yang tidak diterapkan dalam pembentukan UU 3/2022, tanpa memberikan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah. Karena, setelah Mahkamah mencermati Naskah Akademik RUU IKN telah dengan jelas menguraikan kebutuhan UU 3/2022 baik secara filosofis, sosiologis, dan yuridis. Dalam hal ini, secara sosiologis pada pokoknya diuraikan dalam Naskah Akademik adalah: Bahwa perpindahan IKN disebabkan adanya beberapa permasalahan karena IKN yang saat ini berkedudukan di Provinsi DKI Jakarta, sudah tidak lagi dapat mengemban perannya secara optimal. Jakarta tidak secara optimal menjadi kota yang menjamin warganya senantiasa aman, terhindar dari bencana alam, atau untuk mendapatkan kondisi hidup layak dan berkelanjutan. Hal itu disebabkan dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi lingkungan, dan tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun. Selain itu, juga terdapat masalah ketidakmerataan persebaran pertumbuhan ekonomi di luar Jakarta dan Pulau Jawa dengan wilayah lain. Ketidakmerataan tersebut perlu diatasi agar tidak menimbulkan konflik. Kondisi-kondisi tersebut tak lain adalah beban yang bersumber dari sejarah yang panjang, yang telah menjadikan Jakarta sebagai pusat segalanya sejak dahulu kala. Beban itu bertambah ketika Jakarta menjalankan fungsi ganda, selain sebagai daerah otonom provinsi juga disematkan fungsi sebagai IKN. Alhasil, tata kelola IKN harus senantiasa menyesuaikan kondisi Jakarta, tidak bisa serta merta mengatur secara utuh dan ideal. Dengan demikian ada kebutuhan menyelesaikan permasalahan IKN secara komprehensif, yang sekiranya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum dalam aspek ekonomi dan bisnis, penataaan ruang, penatagunaan tanah, pemerintahan, lingkungan hidup, ketahanan terhadap bencana yang mumpuni, dan kebutuhan lainnya. Lebih besar lagi ada kebutuhan negara untuk mengadakan tata kelola IKN yang lebih baik lagi sehingga jalannya pemerintahan secara keseluruhan dapat menjadi lebih baik lagi [vide Lampiran 7.DPR = PK-2. Pemerintah - Naskah Akademik RUU IKN] Selain itu, berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mengaitkan aspek sosiologis tersebut dengan adanya trend kenaikan penularan Covid-19 karena menyatakan pembentuk undang-undang seolah-olah tidak memiliki perhatian terhadap semakin meningginya penularan Covid-19 pada saat dilakukannya pembahasan UU a quo. Terhadap dalil ini pun para Pemohon tidak memberikan argumentasi dan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah korelasi antara kenaikan penularan Covid-19 dengan pembahasan RUU IKN. Menurut Mahkamah, dengan mencermati tujuan dibentuknya UU 3/2022 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas serta uraian aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam Naskah Akademik RUU IKN, Pembentuk Undang-Undang telah memperhitungkan dampak pembangunan IKN terhadap masyarakat setempat yang sudah mendiami wilayah tersebut sebelum rencana pemindahan IKN dilakukan, sehingga pembangunan dan pengelolaan IKN dapat berlangsung secara terukur sesuai dengan tujuan dibentuknya IKN. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan hal tersebut telah dilakukan oleh Pemerintah dengan membuat kajian secara komprehensif perihal rencana pemindahan ibu kota tersebut [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 25/PUU-XX/2022, tanggal 21 April 2022]; Dengan demikian menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas dapat dilaksanakan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf d UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.25] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pembentukan UU 3/2022 bertentangan dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan”. Hal tersebut dikarenakan, tingginya penolakan masyarakat terhadap perpindahan IKN yang juga didasarkan pada hasil survei dari Kedai Kopi, sehingga menurut para Pemohon UU 3/2022 tidak benar-benar dibutuhkan karena yang dibutuhkan masyarakat adalah pemulihan ekonomi masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum jelas kapan akan berakhir. Oleh karena itu, menurut para Pemohon UU 3/2022 bertentangan dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menjelaskan terlebih dahulu maksud "asas kedayagunaan dan kehasilgunaan" bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara [vide Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 12/2011]. Menurut Mahkamah, untuk melihat secara saksama tentang sejauhmana IKN dibutuhkan dan juga bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membaca secara komprehensif seluruh dokumen yang terkait dengan pembentukan UU 3/2022, serta keseluruhan bagian dari UU a quo mulai dari bagian konsiderans menimbang sebagai dasar filosofis dan sosiologis serta bagian penjelasan umum yang mendeskripsikan latar belakang pembentukan suatu UU, apakah benar memang mengabaikan asas tersebut. Dalam kaitan ini pun para Pemohon tidak memberikan bukti-bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah atas tidak berdayaguna dan berhasilgunanya UU 3/2022. [3.25.1] Bahwa jika dikaitkan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam permohonannya yang pada pokoknya hasil survei tersebut mengindikasikan bahwa sebanyak 61,9% orang tidak setuju Ibu Kota dipindahkan dengan alasan utama adanya potensi pemborosan anggaran negara. Menurut Mahkamah, survei tersebut tidak dapat dijadikan acuan bahwa UU 3/2022 telah melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Mahkamah dapat memahami kekhawatiran dari para Pemohon berkenaan dengan penularan Covid-19, namun kekhawatiran tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak dilakukannya atau menghentikannya pembahasan atas suatu RUU. Terlebih lagi, di tengah kondisi pandemi Covid-19 di mana setiap orang harus mematuhi ketentuan atau protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah maka upaya yang dapat dilakukan salah satunya dengan menjaga jarak (physical distancing). Oleh karenanya, pembahasan atas suatu RUU pun tetap dapat dilakukan secara daring (dalam jaringan), tanpa harus menghentikan seluruh proses yang telah ditentukan. Selain itu, berkenaan dengan pendanaan pembangunan IKN yang dikhawatirkan para Pemohon akan menghambat pemulihan ekonomi masyarakat akibat pandemi Covid-19, sesungguhnya tidaklah berkorelasi dengan persoalan konstitusionalitas proses pembentukan UU 3/2022, di mana proses tersebut harus didasarkan pada undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan amanat Pasal 22A UUD 1945. [3.25.2] Bahwa selanjutnya, penting pula bagi Mahkamah untuk menjelaskan penggunaan APBN sebagai salah satu sumber pendanaan dalam rangka mendukung persiapan, pembangunan, dan pemindahan serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN merupakan hal yang lazim dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, sepanjang hal tersebut dilakukan dengan benar dan telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi menurut Mahkamah, dalam Lampiran II UU 3/2022 telah memberikan gambaran secara utuh bahwa pendanaan IKN tidak sepenuhnya menggunakan anggaran dari APBN, namun juga dengan menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha, skema partisipasi badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki negara, termasuk BUMN/swasta murni, skema dukungan pendanaan/pembiayaan internasional, skema pendanaan lainnya (creative financing), dan skema melalui pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN), seperti sewa, kerja sama pemanfaatan, Bangun Guna Serah (BGS), dan Bangun Serah Guna (BSG) [vide Lampiran II UU 3/2022 hlm. 123-124]. Dalam kaitan ini, Mahkamah perlu menegaskan bahwa seluruh kerja sama yang berkaitan dengan pendanaan IKN, jika hal tersebut benar maka berkaitan dengan pendanaan tersebut seyogyanya tidak mengurangi kedaulatan dan kemandirian negara dalam mengambil keputusan terhadap setiap kebijakan strategis negara. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.26] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan pula pembentukan UU 3/2022 telah bertentangan dengan “asas keterbukaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011. Hal tersebut menurut para Pemohon, dibuktikan dengan adanya 28 (dua puluh delapan) tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, di mana hanya ada 7 (tujuh) agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses, sedangkan 21 (dua puluh satu) agenda lainnya informasi dan dokumennya tidak dapat diakses publik sehingga representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangatlah parsial dan tidak holistik. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah untuk menjelaskan terlebih dahulu maksud "asas keterbukaan" yang semula dijelaskan dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011 adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Terkait hal tersebut, tanpa Mahkamah bermaksud menilai substansinya, dengan telah diberlakukannya UU 13/2022 terdapat perubahan maksud asas keterbukaan tersebut menjadi adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan, memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan) [vide Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022]. [3.26.1] Bahwa ketentuan Pasal 5 huruf g UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 13/2022 tidak dapat dilepaskan dari ketentuan Pasal 96 UU 12/2011 yang semula mengatur mengenai partisipasi publik sebagai berikut: (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Sementara itu, sekali lagi, tanpa Mahkamah bermaksud menilai substansinya, dengan berlakunya UU 13/2022 ketentuan Pasal 96 UU 12/2011 telah diubah seluruhnya sehingga menjadi sebagai berikut: (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan. (2) Pemberian masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara daring dan/atau luring. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Naskah Akademik dan/atau Rancangan Peraturan Perundang-undangan, dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. (5) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan menginformasikan kepada masyarakat tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. (6) Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau d. kegiatan konsultasi publik lainnya. (7) Hasil kegiatan konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (8) Pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden. Namun demikian, dikarenakan UU 13/2022 diundangkan pada 16 Juni 2022, jauh setelah UU 3/2022 diundangkan pada 15 Februari 2022 maka untuk menilai proses pembentukan UU 3/2022 apakah telah memenuhi asas keterbukaan tetap mendasarkan pada UU 12/2011. [3.26.2] Bahwa berkenaan dengan keterpenuhan asas keterbukaan ini, penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengungkapkan fakta-fakta hukum dalam persidangan sebagai berikut: 1. Bahwa pada tahun 2017-2019, Pemerintah (Bappenas) telah melakukan kajian pemindahan ibu kota negara yang ditindaklanjuti dengan melaksanakan dialog nasional secara tematik untuk memperoleh masukan dari berbagai stakeholders, pakar-pakar, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan juga lembagalembaga kajian terkait Penyusunan Rencana Induk Ibu Kota Negara dilakukan dengan Kelakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) [vide PK1.Pemerintah]. 2. Bahwa Pemerintah telah menerima berbagai masukan dan aspirasi dari publik terkait IKN baik yang disampaikan langsung ke Pemerintah Pusat maupun yang disampaikan melalui Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten di lokasi Ibu Kota Nusantara dan telah pula melakukan lokakarya yang mengundang pakar-pakar hukum ketatanagaraan untuk memberikan masukan dari sudut pandang konstitusi dan proses pembentukan undang-undang. [vide bukti PK-5, PK6.Pemerintah] 3. Bahwa Dewan Perwakilan Rakyat telah melakukan beberapa kegiatan guna menjaring masukan dari masyarakat baik secara lisan/tulisan yaitu kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan kunjungan kerja dalam rangka pembahasan RUU IKN yang merupakan salah satu proses pembentukan UU IKN, di antaranya: a. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Dr. Wicipto Setiadi (Perspektif Hukum Tata Negara); Dr. Hendricus Andy Simarmata (perspektif hukum lingkungan); Wicaksono Sarosa (perspektif hukum lingkungan); Dr. Asep Sofyan (perspektif lingkungan); dan Dr. Nurkholis (perspektif ilmu ekonomi) yang diselenggarakan tanggal 8 Desember 2021 (vide Lampiran 11). b. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Prof Paulus (Perspektif Sosial Kemasyarakatan); Anggito Abimanyu (Perspektif Ekonomi dan Pendanaan Berkelanjutan); Erasmus Cahyadi Terre (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara); Dr. Fadhil Hasan (Perspektif Ekonomi dan Governance); dan Avianto Amri (Masyarakat Peduli Bencana Indonesia) yang diselenggarakan tanggal 9 Desember 2021 (vide Lampiran 17). c. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (5 orang Pakar), yakni Robert Endi Jaweng (ex KPPOD) dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal serta Kelembagaan Daerah Virtual; Dr. Master P. Tumangor dalam Perspektif Ekonomi, Investasi Pendanaan dan Pengalihan Aset Pansus B; Dr. Mukti Ali, Dosen FT Univ Hasanuddin dalam Perspektif Perencanaan Wilayah dan GIS Virtual; M. Djailani, AORDA Kalteng (Audiensi) Pansus B; dan Suharyono, IMPI (Audiensi) Virtual yang diselenggarakan pada tanggal 10 Desember 2021 (vide Lampiran 23). d. RDPU Pansus RUU tentang Ibu Kota Negara dengan Pakar (4 orang Pakar), yakni Prof. Satya Arinanto, SH.MH Pakar Hukum HTN FHUI IKN dalam Perspektif Hukum Tata Negara Hadir/Virtual; Dr. Chazali H. Situmorang Pakar Kebijakan Publik Unas IKN dalam Perspektif Kebijakan Publik; Dr. Aminuddin Kasim, SH.MH Pakar HTN Universitas Tadulako Sulteng IKN dalam Perspektif Kelembagaan Negara Virtual; dan Dr. Pratama Dahlian Persadha Chairman Lembaga Riset Keamanan Si dan Komunikasi CISSReC (Communication and Information System Security Research Center Virtual), yang diselenggarakan tanggal 11 Desember 2021 (vide Lampiran 29). e. RDPU tentang Ibu Kota Negara dengan 7 orang pakar, yakni Prof. Maria S.W. Soemardjono, S.H., MCL, MPA selaku Pakar Hukum Pertanahan UGM; Ananda B. Kusuma selaku Pakar Sejarah Ketatanegaraan IKN; Dr. Yayat Supriatna selaku Pakar Tata Ruang Univ. Trisakti; Dr. Arief Anshory Yusuf selaku Pakar Ekonomi; Prof. Haryo Winarso selaku Pakar Planologi ITB; Siti Jamaliah Lubis selaku Presiden Kongres Advokat Januari; Juniver Girsang selaku Ketua Perhimpunan Advokat Januari-Suara Advokat Januari yang diselenggarakan pada tanggal 12 Desember 2021 (vide Lampiran 34); f. Audiensi dengan Forum Dayak Bersatu tanggal 17 Desember 2021 (vide Lampiran 47); g. Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik Universitas Mulawarman – Januari Timur yang diselenggarakan tanggal 11 Januari 2022 (vide Lampiran 55). h. Konsultasi Publik Anggota Pansus dengan Civitas Akademik Universitas Hasanuddin – Sulawesi Selatan dan Universitas Sumatera Utara yang diselenggarakan tanggal 12 Januari 2022 (vide Lampiran 57). i. Kunjungan Anggota Pansus ke kawasan calon Ibu Kota Negara di Penajam Paser Utara – Januari Timur yang diselenggarakan pada tanggal 14 Januari 2022 (vide Lampiran 61). 4. Bahwa data terkait dengan proses pembentukan UU IKN dapat diakses di laman Dewan Perwakilan Rakyat yakni https//:www.dpr.go.id/uu/detail/kt/368. 5. Bahwa dalam penyusunan UU 3/2022 telah dilakukan public hearing dengan mengundang masyarakat dan akademisi yang bertempat di beberapa Universitas di Indonesia, antara lain Universitas Sam Ratulangi, Universitas Indonesia, UPN Veteran Jakarta, Universitas Mulawarman, Universitas Hasanuddin, Universitas Sumatera Utara [vide lampiran keterangan tambahan Pemerintah PK-6 sampai dengan PK-19, PK-24] yang dapat di akses melalui laman youtube sebagai berikut: [3.26.3] Bahwa berdasarkan uraian fakta-fakta hukum tersebut di atas, terbukti Pemerintah dan DPR telah melakukan berbagai kegiatan untuk menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik dari tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, pakar hukum tata negara, dan kelompok masyarakat adat. Terkait dengan adanya berbagai kegiatan tersebut, Mahkamah tidak menemukan fakta hukum bahwa para Pemohon berupaya untuk melibatkan diri dan/atau terlibat secara pro-aktif dan responsif dalam memberikan masukan terhadap proses pembentukan UU 3/2022, yang sebenarnya hal demikian tanpa diminta atau diundang pun para stakeholders tetap dapat bertindak dan bersikap pro-aktif untuk berperan serta sebagai bagian dari upaya mewujudkan partisipasi masyarakat. Menurut Mahkamah, keterlibatan masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam proses pembentukan undang-undang merupakan suatu keniscayaan dalam upaya mengawal agar undang-undang yang akan dibentuk benar-benar sesuai dengan harapan masyarakat. Terkait dengan keterlibatan secara aktif masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang seringkali pembebanan tanggung jawab untuk melakukan hal tersebut dalam proses pembentukan undang-undang dibebankan kepada masyarakat yang berpotensi terkena imbas dari pembentukan sebuah undang-undang, padahal seharusnya masyarakat secara keseluruhan justru juga harus mengambil beban tanggung jawab bersama untuk terlibat secara aktif, tanpa terkecuali para Pemohon dalam perkara a quo, kecuali undang-undang menentukan lain. Hal tersebut bertujuan agar efek negatif yang kemungkinan akan timbul akibat dibentuknya sebuah undang-undang dapat dihindari sehingga undang-undang yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang telah melewati verifikasi secara menyeluruh oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai pemilik kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. [3.26.4] Bahwa terlepas dari ada atau tidaknya fakta para Pemohon untuk terlibat aktif memberikan masukan perihal pembentukan UU 3/2022, Mahkamah juga tidak menemukan adanya rangkaian bukti lain dari para Pemohon yang dapat membuktikan bahwa Pemerintah dan DPR telah benar-benar berupaya menutup diri atau tidak terbuka kepada publik terkait dengan pembentukan UU 3/2022. Berkenaan dengan 2 (dua) alat bukti yang diajukan oleh para Pemohon yakni screenshoot laman Rekam Jejak Pembentukan UU 3/2022 di website DPR RI (vide bukti P-43) dan bukti Surat Permohonan Data/Berkas bertanggal 9 Mei 2022 tentang pembentukan UU IKN ke Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Hukum dan HAM dan DPR RI melalui sekretaris Jenderal DPR RI [vide bukti P-44], tidak cukup membuktikan adanya tendensi bahwa Pemerintah dan DPR telah melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 3/2022 telah melanggar “asas keterbukaan” adalah tidak beralasan menurut menurut hukum; [3.27] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan tahapan pembentukan UU 3/2022 dilakukan dengan pola “Fast Track Legislation” yang tergambarkan dalam tabel yang dapat diakses pada laman https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368 di mana menurut para Pemohon tahapan pembentukan UU 3/2022 dari sejak tanggal 3 November 2021 sampai dengan 18 Januari 2022 hanya memakan waktu 42 hari. Menurut para Pemohon, tahapan ini tergolong sangat cepat untuk pembahasan sebuah RUU yang berkaitan dengan IKN yang sangat strategis dan berdampak luas dan tidak memperhatikan partisipasi publik yang bermakna sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Selain itu, menurut Pemohon, pembahasan UU 3/2022 yang menggunakan pola “Fast Track Legislation”, menambah panjang daftar UU yang dibuat dengan cara cepat oleh Pemerintah yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi UndangUndang, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lebih lanjut menurut para Pemohon, pola fast track legislation berimplikasi pada tidak terwujudnya proses deliberatif dalam pembentukan undang-undang sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, terlepas dari tidak adanya bukti yang relevan yang diajukan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah proses pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari berapa lama atau cepat dan lambatnya pembahasan, namun proses pembentukan undang-undang wajib mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 dan perubahannya yang meliputi proses dalam tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Menurut Mahkamah, sepanjang semua proses dalam tahapan tersebut telah terpenuhi dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian oleh pembentuk undang-undang dengan berpatokan kepada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, meliputi asas: kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan [vide Pasal 5 UU 12/2011], maka terkait dengan waktu penyelesaian dan pembahasan yang terkesan seperti cepat atau fast track legislation merupakan bagian dari upaya pembentuk undang-undang untuk menyelesaikan undang-undang pada umumnya, termasuk dalam hal ini UU 3/2022, yaitu sejak suatu RUU diusulkan masuk dalam Prolegnas jangka menengah. Terlebih lagi, menurut Mahkamah, terkait dengan frame waktu pembentukan sebuah undang-undang, UU 12/2011 dan perubahannya sampai saat ini tidak memberikan ketentuan yang definitif kapan suatu RUU yang telah masuk dalam Prolegnas akan diselesaikan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon mengenai digunakannya pola “fast track legislation” dalam pembentukan UU 3/2022 sehingga bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 34/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Prof. Dr. Azyumardi Azra, M. Sirajuddin Syamsuddin, Prof. Dr. Nurhayati Djamas, Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Jilal Mardhani, Drs. Mas Achmad Daniri, TB. Massa Djaafar, Abdurahman Syebubakar, Achmad Nur Hidayat, M.PP., Dr. Shabriati Aziz, M.Pd.I., Ir. Moch. Nadjib. YN, M.Sc., Dr. Engkur, SIP., M.M., Dr. Mohamad Noer, M. Hatta Taliwang, Reza Indragiri Amriel, Mufidah Said Bawazir, S.E., M.M, M Ramli Kamidin, Nazaruddin Sjamsuddin, Iroh Siti Zahroh, M.Si., Faidal Yuri Bintang, Achmed Roy, yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. Dr. Syaiful bakhri, S.H., M.H, dkk, untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pengujian Formil

-

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian proses pembentukan UU 3/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.20] Menimbang bahwa sebelum menjawab dalil para Pemohon, Mahkamah memandang perlu untuk mempertimbangkan beberapa hal yang berkaitan dengan pembentukan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2011 dan perubahannya. Adapun hal-hal tersebut telah diuraikan dan dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 yang telah diucapkan sebelumnya dan dengan demikian segala uraian dan pertimbangan hukum Mahkamah berkenaan dengan hal tersebut, khususnya Paragraf [3.21] dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 tersebut mutatis mutandis berlaku pula sebagai bagian dari pertimbangan hukum putusan ini. Selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan dalil para Pemohon sebagai berikut: [3.20.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan dalam proses pembentukan UU 3/2022 tidak terpenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Berkenaan dengan hal tersebut, persoalan mengenai hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan sangat berkaitan dengan pelaksanaan asas keterbukaan dalam proses pembentukan undang-undang. Dalam pembentukan UU 3/2022, persoalan asas keterbukaan telah dipertimbangkan Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XX/2022 yang telah diucapkan sebelumnya, khususnya pada Paragraf [3.26], sehingga pertimbangan tersebut mutatis mutandis berlaku pula untuk putusan ini. [3.20.2] Bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan tidak dipertimbangkannya pendapat ahli oleh pembentuk undang-undang dalam proses pembentukan UU 3/2022, terhadap dalil tersebut berdasarkan keterangan DPR yang terungkap dalam persidangan, bahwa dalam pembentukan UU 3/2022, DPR dalam upaya memudahkan masyarakat memberikan masukan telah membuka akses kepada masyarakat untuk mendapatkan Naskah Akademik dan RUU IKN sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011). Dalam hal ini, Naskah Akademik dan RUU tersebut dapat diakses dan diunduh pada situs resmi DPR, yaitu pada tautan https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/368. Dalam laman situs internet tersebut, masyarakat dapat membaca dan mengunduh dokumen-dokumen terkait dengan pembentukan RUU IKN. Informasi yang dapat dibaca dan dipelajari dalam laman tersebut termasuk informasi RUU, Rekam Jejak dan dilengkapi dengan form masukan atau feedback. Selain itu, DPR menerangkan dengan didukung dokumen yang terlampir dalam keterangannya bahwa pembahasan UU a quo telah dilakukan secara terbuka, transparan, melibatkan berbagai pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan sesuai dengan fakta-fakta sebagaimana telah diuraikan di dalam persidangan. Terkait dengan hal tersebut, maka pembentuk undang-undang telah melibatkan partisipasi publik/masyarakat dengan mempertimbangkan pihak-pihak mana saja yang dimintai pendapat/pemikirannya dalam penyusunan Naskah Akademik dan RUU IKN, karena tidak mungkin jika setiap orang atau setiap kelompok masyarakat/organisasi diundang hadir dalam suatu rapat besar untuk menyusun suatu kebijakan. Dengan demikian, pelibatan atau partisipasi masyarakat telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Dari keterangan dan lampiran keterangan DPR a quo, dapat diketahui bahwa dalam proses pembentukan UU 3/2022, pembentuk undang-undang telah berusaha untuk memenuhi kriteria partisipasi yang lebih bermakna sebagaimana pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dengan melakukan kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), audiensi, konsultasi publik, dan kunjungan kerja khususnya dengan stakeholder masyarakat yang memiliki kepentingan atas substansi RUU IKN dan telah langsung menindaklanjutinya ke dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Fraksi. Hal itu membuktikan bahwa pembentuk undang-undang telah berupaya memenuhi hak masyarakat untuk didengar dan dipertimbangkan pendapatnya, serta dijelaskan atau dijawab atas pendapat yang diberikan. Dalam keterangan tertulisnya DPR juga telah menguraikan dalam tabel yang berisi berbagai pendapat dan masukan dari masyarakat serta ahli yang ditanggapi dan ditindaklanjuti oleh DPR [vide Keterangan DPR hlm. 47 sampai dengan hlm. 71]. Pada tabel tersebut, terdapat uraian mengenai berbagai pendapat/masukan masyarakat yang diakomodir oleh DPR dalam DIM dan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU IKN. Fakta tersebut menunjukkan bahwa DPR telah melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) terhadap keterangan atau pendapat ahli serta masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Telah disediakannya akses terhadap Naskah Akademik dan RUU IKN berarti masyarakat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan tanggapan dan masukan terhadap RUU tersebut. Dalam konteks hak untuk berpartisipasi dan memberikan pendapat dalam pembentukan undang-undang, sepanjang masyarakat telah diberikan akses terhadap Naskah Akademik dan RUU IKN maka yang selanjutnya harus dilakukan adalah masyarakat tersebut diharapkan secara aktif menyampaikan pendapat terhadap RUU tersebut, akses inipun telah diberikan dalam laman resmi DPR dalam bentuk pengisian form pendapat dan masukan secara daring (online). Sedangkan, berkenaan dengan bagaimana pembentuk undang-undang seharusnya menanggapi pendapat serta tanggapan yang masuk dalam rangka memenuhi hak untuk mendapatkan penjelasan, menurut Mahkamah selanjutnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menindaklanjuti tanggapan atau pendapat-pendapat tersebut dalam proses pembahasan RUU. Dalam hal ini, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang tidak terbukti telah mengesampingkan hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk mendapatkan penjelasan, karena telah dibukanya akses kepada masyarakat sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan tidak dipenuhinya hak untuk dipertimbangkan (right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) dalam proses pembentukan RUU IKN yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.20.3] Bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan dalam pembentukan UU 3/2022, Lampiran II UU 3/2022 tidak pernah ada (terlampir) dan/atau tidak pernah dibahas serta tersedia pada saat persetujuan bersama. Terhadap dalil tersebut Mahkamah perlu menguraikan mengenai posisi Lampiran II UU 3/2022 dalam proses pembentukan UU 3/2022 sebagaimana fakta hukum yang terungkap dalam persidangan sebagai berikut: [3.20.3.1] Bahwa RUU IKN pada awalnya disampaikan oleh Pemerintah melalui Surat Presiden Nomor R-44/Pres/09/2021 tertanggal 29 September 2021. Dalam RUU IKN yang disampaikan tersebut, hanya terdapat 1 lampiran yang melekat dengan RUU IKN, yaitu terkait dengan Peta Delineasi Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Negara. Adapun mengenai Rencana Induk IKN pada awalnya akan diatur dengan Peraturan Presiden sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (2) RUU IKN yang disampaikan oleh Pemerintah [vide Lampiran 8 Keterangan DPR]. Selanjutnya, dalam Rapat Panja Pansus RUU IKN pada tanggal 14 Desember 2021, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Dr. (H.C.) Ir. H. Suharso Monoarfa) menyampaikan pendapatnya mengenai Rencana Induk IKN yang memungkinkan mengalami perubahan. Dalam rapat tersebut, terdapat pertanyaan mengenai apakah rencana induk tersebut sebaiknya dibahas sebagai bagian yang melekat dengan undang-undang atau diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya dan jika disepakati dalam bentuk peraturan perundang-undangan lainnya, apa sebaiknya bentuk peraturan tersebut, apakah peraturan pemerintah atau peraturan presiden. [3.20.3.2] Bahwa selanjutnya dalam Rapat Tim Perumus Pansus RUU IKN yang dilaksanakan pada 11 Januari 2022 dan bersifat terbuka, Pemerintah menyampaikan bahwa terdapat rumusan yang mengalami perubahan berdasarkan masukan dari fraksi, salah satunya adalah berkaitan dengan Pasal 7 ayat (3) yang pada pokoknya mengatur mengenai pelekatan atau penempatan Rencana Induk IKN dalam Lampiran II RUU IKN. Oleh karena perubahan rumusan dalam Pasal 7 tersebut bersifat substansi, maka pembahasan dan pendalaman lebih lanjut dilakukan dalam Rapat Panja. Dalam Rapat Panja RUU IKN pada 13 Januari 2022, pembentuk undang-undang kembali membahas substansi RUU IKN yang dibagi ke dalam 4 (empat) klaster, yaitu kelembagaan otorita dan implikasinya, pendanaan atau anggaran, rencana induk, dan pertanahan [vide Lampiran 59 dan 60 Keterangan DPR]. Selanjutnya, dalam Rapat Panja RUU IKN pada tanggal 17 Januari 2022, DPR, DPD, dan Pemerintah telah menyetujui klaster rencana induk dalam Pasal 1 angka 13, Pasal 7, dan Pasal 15 dengan catatan [vide Lampiran 62 Keterangan DPR]. Adapun terkait dengan pelekatan rencana induk IKN dalam Lampiran II dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (3). Dalam Rapat Panja tersebut, DPR dan Pemerintah menyepakati Rencana Induk Ibu Kota Negara ditetapkan sebagai lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan RUU IKN agar memiliki posisi hukum yang kuat sebagai acuan pelaksanaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. Namun demikian, disepakati bahwa terhadap rencana induk tersebut tetap dibuka ruang untuk dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan kebutuhan di masa mendatang. Hal tersebut mengacu pada rumusan Pasal 7 ayat (5) huruf a RUU IKN. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila Rencana Induk Ibu Kota Negara akan dilakukan perubahan, maka perlu dikonsultasikan dengan DPR. Terbentuknya rumusan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (5) RUU IKN tersebut juga menunjukkan telah terjadi perubahan yang signifikan dari rumusan Pasal 7 draft RUU IKN yang disampaikan pada awalnya bersamaan dengan Surat Presiden Nomor R-44/Pres/09/2021 perihal penyampaian Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara [vide Lampiran 8 Keterangan DPR] yang semula terdiri atas 2 (dua) ayat menjadi 6 (enam) ayat [vide Lampiran 51 Keterangan DPR]. Dengan demikian, isi Rencana Induk sebagaimana dalam Lampiran II RUU IKN telah mengalami perubahan dalam pembahasan RUU IKN. Selanjutnya, Lampiran II UU 3/2022 yang berupa Rencana Induk IKN tersebut telah terlampir dan dapat diakses pada laman resmi Sekretariat Negara, yaitu pada tautan: https://jdih.setneg.go.id/Produk dan pada laman resmi DPR, yaitu pada tautan: https://www.dpr.go.id/jdih/index/id/1791. [3.20.3.3] Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut, dapat disimpulkan Lampiran II UU 3/2022 merupakan Rencana Induk Ibu Kota Negara di mana rencana tersebut pada tahap awal diusulkan akan diatur dalam Peraturan Presiden kemudian disepakati bersama sebagai bagian dari Lampiran II UU 3/2022. Rencana Induk tersebut telah disampaikan oleh Presiden kepada DPR dan telah dibahas oleh Panja Pansus RUU IKN bersama Presiden diwakili oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Meskipun dalam Laporan Pansus tanggal 18 Januari 2022 terdapat fraksi yang menyatakan bahwa Lampiran II tersebut belum dibahas, namun demikian berdasarkan risalah Rapat Paripurna tertanggal 18 Januari 2022, dapat diketahui bahwa seluruh peserta sidang paripurna menyetujui RUU IKN beserta lampirannya untuk disahkan menjadi undang-undang. [vide Lampiran 64 hlm. 73 Keterangan DPR]. Lagipula dalam pembahasan tingkat II, agenda yang dilakukan adalah persetujuan dan pengesahan RUU IKN, bukan pembahasan norma pasal secara terperinci, termasuk substansi Lampiran RUU a quo. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa Lampiran II RUU IKN yang kemudian disahkan sebagai UU 3/2022 tidak pernah dibahas pada saat persetujuan bersama adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian formil UU 3/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya dan dengan demikian proses pembentukan UU 3/2022 a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 3/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [3.22] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.