Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 61/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Octolin H. Hutagalung, S.H., M.H. dkk, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Rika Irianti, S.H.,, dkk, Advokat yang tergabung dalam Pusat Bantuan Hukum PERADI Jakarta Selatan, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 54 UU HAP

Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU HAP dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya Pasal 54 KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena hak pembelaan hukum hanya ditafsirkan dan ditujukan secara limitatif bagi Tersangka dan Terdakwa saja dan tidak mengakomodir Saksi dan Terperiksa. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan selengkapnya, sebagai berikut: [3.16.1] Bahwa norma Pasal 54 KUHAP yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon menyatakan, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini” adalah norma yang mengatur mengenai hak tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum (advokat) dalam rangka kepentingan pembelaan pada semua tingkat pemeriksaan. Pemberian hak tersebut merupakan salah satu perwujudan dari prinsip due process of law yang memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Tersangka atau terdakwa, pada dasarnya ditempatkan dalam posisi yang belum tentu bersalah (presumption of innocence) namun terhadap tersangka atau terdakwa telah dapat dilakukan tindakan upaya hukum yang bersifat memaksa dan berpotensi pada perampasan kemerdekaan terhadap orang ataupun barang. Oleh karena itu, bantuan hukum dalam kaitan dengan pembelaan terhadap tersangka atau terdakwa tersebut merupakan suatu bentuk perlindungan hukum oleh negara terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia. Perlindungan hukum pada tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP a quo diberikan berkenaan dengan posisi tersangka atau terdakwa yang sedang berhadapan dengan hukum yang kepadanya diancam dengan suatu pidana/akibat hukum yang dapat membatasi hak asasi manusianya sehingga tersangka atau terdakwa tersebut perlu mempertahankan hak-haknya dan termasuk dalam hal ini melakukan pembelaan agar dibebaskan dari perbuatan yang disangkakan atau didakwakan atas dirinya. [3.16.2] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan eksistensi saksi, sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon keberadaan Pasal 54 KUHAP menimbulkan ketidakpastian hukum karena hak pembelaan hukum hanya ditafsirkan dan ditujukan secara limitatif bagi tersangka dan terdakwa saja serta tidak mengakomodir saksi dan terperiksa. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri [vide Pasal 1 angka 26 KUHAP]. Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu [vide Pasal 1 angka 27 KUHAP]. Oleh karena itu, apabila dicermati secara saksama dari terminologi pengertian tentang saksi dan keterangan saksi tersebut dapat dimaknai saksi adalah subjek hukum atau pihak yang keberadaannya diperlukan untuk memberi keterangan atas adanya suatu tindak pidana yang didengar, dilihat dan dialami sendiri oleh saksi yang bersangkutan. Dengan demikian, pemberian keteranganseseorang sebagai saksi dalam semua tingkatan pemeriksaan (penyidikan, penuntutan, dan peradilan) sesungguhnya secara limitatif dalam perspektif memberi kejelasan atas adanya tindak pidana yang disaksikan oleh saksi yang bersangkutan. Lebih lanjut, berkaitan dengan saksi, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 8 Agustus 2011, telah memberikan pemaknaan saksi yang lebih luas dalam perspektif saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa (saksi a de charge) dan saksi yang memberatkan tersangka atau terdakwa (saksi a charge), Mahkamah berpendirian pada pokoknya, saksi tidak hanya yang mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas adanya peristiwa pidana, akan tetapi menjadi kewajiban penyidik sejak tingkat pemeriksaan penyidikan untuk mengakomodir saksi-saksi yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa sepanjang dapat membantu meringankan kesalahan tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, sejak di tingkat penyidikan saksi yang meringankan tersangka atau terdakwa meskipun tidak mendengar, melihat dan merasakan sendiri atas peristiwa pidana yang bersangkutan, namun apabila sepanjang yang didengar, dilihat dan dirasakan dapat memberikan keuntungan bagi tersangka atau terdakwa, maka keterangannya dapat dikategorikan sebagai keterangan saksi. Dengan demikian, meskipun telah ada pemaknaan yang lebih luas dari Mahkamah tentang terminologi saksi dan keterangan saksi sebagaimana yang diatur di antaranya dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP, namun dalam perspektif untuk dapat atau tidaknya diberikan bantuan hukum oleh advokat/penasihat hukum bagi saksi sebagaimana yang didalilkan para Pemohon berkaitan dengan Pasal 54 KUHAP adalah tidak ada relevansinya secara langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi tentang perluasan pemaknaan saksi dan keterangan saksi tersebut di atas. [3.16.3] Bahwa selanjutnya berkaitan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 54 KUHAP tidak mengakomodir bantuan hukum atau pendampingan oleh penasihat hukum/advokat bagi saksi sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum, menurut Mahkamah kehadiran saksi dalam pemeriksaan di semua tingkatan pemeriksaan adalah untuk memberikan kejelasan tentang adanya peristiwa pidana. Oleh karena itu, saksi sebagai salah satu alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan dalam norma Pasal 184 KUHAP mempunyai peran yang fundamental untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana dan siapa pelakunya. Lebih jauh dari itu, atas keterangan para saksilah sesungguhnya kesalahan seorang tersangka atau terdakwa dapat dirumuskan oleh penyidik, penuntut umum dan pada akhirnya ditentukan oleh hakim. Dengan demikian, dari keterangan saksi itu pula pada akhirnya putusan pemidanaan yang berupa perampasan kemerdekaan dapat djatuhkan oleh hakim. Bahwa mengingat pentingnya keterangan saksi dalam proses pemeriksaan perkara pidana maka tatacara pemeriksaan saksi dalam semua tingkat pemeriksaan, kecuali pemeriksaan di pengadilan, sebab pemeriksaan saksi di pengadilan telah dilakukan dalam persidangan terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain, perlu dilakukan secara transparan dan mengedepankan asas perlindungan hukum agar saksi selama dalam pemeriksaan di depan penyidik maupun penuntut umum dapat memberikan keterangan secara bebas yang sebenar-benarnya dan tidak dalam tekanan atau paksaan. Sebab, apabila keterangan saksi diberikan dalam keadaan tertekan atau terpaksa maka substansi keterangan yang diberikan oleh saksi tersebut dapat menjadikan putusan pengadilan yang dijatuhkan oleh hakim menjadi putusan yang mengandung kebohongan dan tipu muslihat yang berujung pada keadilan semu (ilusi). Oleh karena itu, urgensi keinginan para Pemohon agar terhadap saksi diperlukan adanya pendampingan atau bantuan hukum adalah sebatas agar dapat diawasinya proses pemeriksaan saksi oleh penyidik dan penuntut umum secara transparan sehingga diperoleh hasil pemeriksaan saksi secara objektif, hal tersebut menjadi substansi yang penting untuk diakomodir dalam KUHAP a quo, sepanjang diatur secara khusus pada bab dan atau pasal yang mengatur tentang tatacara pemeriksaan saksi dan bentuk perlindungan hukumnya. [3.17] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, setelah Mahkamah mencermati permohonan para Pemohon berkenaan dengan pembelaan terhadap tersangka atau terdakwa sebagaimana yang diatur dalam norma Pasal 54 KUHAP juga dimasukkan pula pembelaan untuk saksi, dengan cara menyisipkan perlindungan hukum untuk saksi agar diperbolehkannya dilakukan bantuan hukum atau setidak-tidaknya pendampingan pada saksi pada saat diperiksa oleh penyidik maupun penuntut umum ke dalam Pasal a quo. Namun demikian, setelah Mahkamah mencermati pula keberadaan Pasal 54 KUHAP yang secara tegas mengatur tentang pembelaan bagi tersangka atau terdakwa yang secara sistematika, Pasal 54 KUHAP berada dalam Bab VI yang mengatur tentang tersangka dan terdakwa, baik mengenai pemeriksaan terhadap tersangka dan terdakwa maupun mengenai hak tersangka dan terdakwa secara keseluruhan. Oleh karena itu, memasukkan pengaturan mengenai hak saksi dalam bab khusus terkait tersangka dan terdakwa tersebut, in casu BAB VI KUHAP, justru akan membuat substansi, format, dan sistematika KUHAP menjadi tidak jelas dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait materi muatan dari Bab VI KUHAP dimaksud. Sebab, pengertian tersangka atau terdakwa mempunyai perbedaan yang signifikan dengan pengertian saksi, baik sifat maupun akibat yuridis atas jenis dan tatacara pemeriksaan serta jika akan diberikan hak perlindungan hukumnya. Dengan demikian, pengaturan saksi yang dijadikan satu dengan tersangka atau terdakwa, selain hal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga tidak sejalan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. [3.18] Menimbang bahwa dengan demikian, berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, sebelum sampai pada kesimpulan Mahkamah berkaitan dengan dalil para Pemohon yang mendalilkan norma Pasal 54 KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena hak pembelaan hukum hanya ditafsirkan dan ditujukan secara limitatif bagi tersangka dan terdakwa saja serta tidak mengakomodir saksi dan terperiksa, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.18.1] Bahwa terlepas dalil para Pemohon mengenai norma Pasal 54 KUHAP sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah pada Paragraf [3.16] dan Paragraf [3.17] di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan lebih lanjut terkait dengan bantuan hukum ataupun pendampingan bagi saksi yang menurut para Pemohon belum terakomodir dalam KUHAP. Terhadap hal tersebut, dapat dijelaskan, bahwa KUHAP merupakan salah satu implementasi dari penegakan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai ketentuan konstitusional dalam UUD 1945 sehingga baik tersangka atau terdakwa maupun saksi seharusnya mendapatkan hak perlindungan hukum yang sama sesuai sifat dan kedudukannya masing-masing. Terlebih, terhadap kedudukan saksi sebagai pihak yang berpotensi menjadi tersangka, sepanjang belum dijadikan tersangka sebagai pelaku tindak pidana, maka dalam pemeriksaan harus menerapkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Sehingga, dengan adanya asas-asas tersebut maka pemeriksaan saksi harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang semestinya dan tanpa adanya pelanggaran terhadap hak asasi saksi dimaksud. Selain itu, sebagai negara hukum, prinsip due process of law sebagai perwujudan pengakuan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh semua pihak, terutama bagi lembaga penegak hukum. Sehingga, perlindungan terhadap saksi dalam ranah perlindungan hak asasi manusia sejatinya tidak hanya dilakukan oleh penasihat hukum (advokat) saja melainkan juga oleh penegak hukum lainnya sebagai representasi kepentingan umum dalam penegakan hukum pidana, in casu penegak hukum yang melakukan pemeriksaan baik pada tahap penyidikan maupun penuntutan [3.18.2] Bahwa perlindungan hukum terhadap saksi, khususnya terkait dengan bantuan hukum ataupun pendampingan, yang dilakukan oleh penasihat hukum (advokat) tidak dapat disamakan dengan bantuan hukum ataupun pendampingan yang dilakukan oleh penasihat hukum (advokat) kepada tersangka atau terdakwa, karena saksi belum menjadi subjek hukum yang dapat dikenakan tindakan paksa (pro justisia) yang dapat berakibat hukum perampasan kemerdekaan atau barang sebagaimana halnya tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, bantuan hukum/pendampingan oleh advokat bagi seorang tersangka atau terdakwa adalah sebuah keniscayaan, terlebih tersangka atau terdakwa diancam dengan ancaman pidana tertentu [vide Pasal 56 KUHAP]. Dengan adanya perbedaan tersebut maka dalam memberikan keterangan pada tahap pemeriksaan saksi, penasihat hukum (advokat) dapat memberikan bantuan hukum kepada saksi, terbatas hanya berupa pendampingan terhadap saksi. Hal ini dikarenakan sejatinya saksi berkewajiban untuk memberikan keterangan sesuai dengan fakta yang terjadi yang dilihat, dirasakan dan dialaminya dalam keadaan bebas tanpa tekanan. Oleh karena itu, kehadiran penasihat hukum (advokat) diperlukan untuk memastikan bahwa pemeriksaan yang dilakukan terhadap saksi dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan memastikan bahwa tidak terjadi intimidasi dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan penegak hukum yang dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak saksi sehingga saksi dapat memberikan keterangan dalam keadaan bebas dan tenang guna menjadikan suatu perkara pidana menjadi terang. Di sisi lain, terhadap penasihat hukum (advokat) yang mendampingi saksi dalam proses pemeriksaan tidak boleh memengaruhi saksi dalam memberikan keterangan dan harus dalam kerangka menegakkan keadilan secara objektif dengan tetap menjunjung tinggi integritas dan kode etik advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum. [3.18.3] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.18.1] dan Sub-paragraf [3.18.2] di atas serta untuk menghindari kemungkinan terjadinya intimidasi dan tindakan sewenang-wenang yang dapat melanggar hak asasi saksi dan karenanya berpengaruh pada tidak tercapainya tujuan peradilan pidana yaitu memeroleh kebenaran materiil maka ketentuan mengenai saksi dan pendampingan saksi harus diatur dalam bab atau sub-bab tersendiri dalam KUHAP. Terkait dengan hal tersebut, DPR dalam keterangannya yang disampaikan dalam persidangan menyatakan bahwa revisi KUHAP telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020-2024, Nomor Urut 294 [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 61/PUU-XX/2022, bertanggal 14 Juli 2022, halaman 10] sehingga demi memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi saksi, pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi KUHAP penting untuk memasukkan materi mengenai tatacara pemeriksaan saksi dan bantuan hukum atau pendampingan bagi saksi dalam satu bab atau sub-bab tersendiri. [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, pendampingan saksi oleh penasihat hukum (advokat) dalam pemeriksaan perkara pidana adalah sesuatu yang penting untuk diatur, namun materi dimaksud tidak tepat dimuat dalam Pasal 54 KUHAP. Karena, Pasal 54 KUHAP khusus mengatur mengenai bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, ketentuan norma Pasal 54 KUHAP tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut, karena dipandang tidak ada relevansinya

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 63/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG HAK CIPTA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Gumilang Ramadhan (Direktur), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Prof. DR. Otto Hasibuan, S.H., M.M. dkk, Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum Otto Hasibuan & Associates yang bertindak secara bersama-sama dan/atau sendiri-sendiri, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undnag-Undang beserta jajaran di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU Hak Cipta dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.18] Menimbang bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas yang didalilkan Pemohon sebagai berikut: [3.18.1] Bahwa Pemohon mendalilkan pada pokoknya menyatakan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 menciptakan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan 28H ayat (4) UUD 1945 karena perumusannya yang memerintahkan pengembalian hak cipta kepada pencipta dan/atau pelaku pertunjukan setelah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun sejak perjanjian jual putus dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu disepakati. Pemohon juga mendalilkan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 melanggar asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Dalam hal ini, norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 pada pokoknya menentukan bahwa adanya sebuah mekanisme yang memerintahkan pengembalian hak cipta, in casu hak ekonomi kepada pencipta dan pelaku pertunjukan yang didasarkan kepada jangka waktu perjanjian pengalihan hak cipta yang telah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun. Perjanjian pengalihan hak cipta dimaksud adalah perjanjian dalam bentuk jual putus (sold flat) dan/atau perjanjian tanpa pengalihan batas waktu. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.18.1.1] Bahwa ketentuan norma Pasal 18 UU 28/2014 pada pokoknya menyatakan ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Sementara itu, dalam Penjelasannya hanya dinyatakan, “Yang dimaksud dengan "jual putus" adalah perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas Ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat”. Sejalan dengan pengaturan dalam Pasal 18 UU 28/2014, Pasal 30 UU a quo juga menyatakan bahwa “Karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak ekonominya beralih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun”. Berkenaan dengan ketentuan di atas, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.17], tujuan dibentuknya UU 28/2014 salah satunya adalah untuk melindungi para pencipta buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks, serta pelaku pertunjukan yang memiliki karya berupa lagu dan/atau musik agar tidak terkikis motivasinya untuk berkreasi. Oleh karenanya terhadap perjanjian terkait dengan ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang telah diserahkan atau dialihkan seluruhnya kepada pihak pembeli tanpa batas waktu karena pencipta telah menerima sejumlah pembayaran lunas (cash money), sebagaimana konsep perjanjian jual beli pada umumnya, telah ternyata tidaklah memberikan jaminan perlindungan hukum yang seimbang. Dalam konteks perjanjian pengalihan hak cipta, sebelum diberlakukan UU 28/2014, posisi tawar para pencipta dan pelaku pertunjukan seringkali tidak seimbang (lemah) ketika berhadapan dengan produser fonogram, seperti Pemohon, yang pada umumnya memiliki kekuatan ekonomi lebih besar dibanding Pencipta dan Pelaku Pertunjukan. Sementara, saat itu kondisi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan pada umumnya tidak sepenuhnya dalam keadaan ekonomi yang baik, sehingga Produser Fonogram cenderung dapat melakukan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dengan memanfaatkan posisi tawarnya yang lebih kuat untuk menentukan isi perjanjian kepada Pencipta dan Pelaku Pertunjukan tersebut. Dalam kaitan inilah perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu suatu karya cipta merugikan kepentingan Pencipta dan Pelaku Pertunjukan. Terlebih lagi, di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, di mana teknologi dapat dijadikan sebagai alat bagi produser fonogram atau pembeli hak cipta untuk mendistribusikan ciptaan atau salinan yang telah dialihkan kepemilikannya untuk mendapatkan manfaat yang optimal [vide Pasal 11 UU 28/2014]. Artinya, dengan kemajuan teknologi hak ekonomi atas ciptaan dapat dioptimalkan untuk mendapatkan keuntungan atas pembelian pengalihan hak cipta tersebut. Dalam kaitan inilah, penentuan jangka waktu dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 dirumuskan karena telah ternyata perjanjian jual putus telah merugikan kepentingan Pencipta dan Pelaku Pertunjukan. Pihak pembeli hak cipta pada umumnya mempunyai kepentingan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari sistem sold flat karena beralihnya hak ekonomi dari pencipta kepada si pembeli hak cipta. Kondisi inilah yang harus dilindungi dan diseimbangkan dengan cara memberikan pembatasan terhadap perjanjian atau pengalihan hak ekonomi suatu ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Setelah jangka waktu tersebut berakhir, kepemilikan hak ekonomi beralih kembali kepada si pencipta. Dalam praktik internasional pembatasan pengalihan hak ekonomi kepada pencipta dan pelaku pertunjukan dikenal dengan istilah reversionary right. Secara doktrinal, reversionary right adalah pengembalian hak cipta kepada pencipta dalam jangka waktu tertentu setelah diserahkan haknya kepada pihak lain. Artinya, pengembalian hak ekonomi dilakukan terhadap setiap pengalihan hak dalam bentuk perjanjian tertulis maupun tidak tertulis baik berupa perjanjian jual putus dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu. Peralihan kembali hak cipta kepada pencipta maupun pelaku pertunjukan dimaksud merupakan wujud peran negara dalam memberikan jaminan dan perlindungan atas hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta maupun pelaku pertunjukan. Oleh karena itu, pengaturan pembatasan pengalihan hak cipta melalui peralihan kembali hak cipta bukanlah suatu tindakan hukum baru, karena praktik demikian sudah diterapkan di negara-negara pelopor perlindungan kekayaan intelektual khususnya di 181 (seratus delapan puluh satu) negara anggota Konvensi Bern [vide Keterangan Presiden, hlm. 9, yang dibacakan dalam persidangan Mahkamah pada 14 Maret 2022]. Dalam kaitan inilah, pembentuk UU 28/2014 berupaya memberikan jaminan perlindungan dan keseimbangan kepada pencipta dan pelaku pertunjukan atas hak cipta yang dimilikinya secara eksklusif, khususnya pengembalian hak ekonomi. Sehingga, pencipta dan pelaku pertunjukan juga dapat merasakan manfaat ekonomi dari hasil ciptaannya secara berkelanjutan. Hal ini, dilakukan agar pencipta dan pelaku pertunjukan dapat terus menghasilkan karya cipta atau ciptaan yang berkualitas dan mampu berkompetisi secara nasional maupun internasional. [3.18.1.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan adanya pengaturan pembatasan jangka waktu perjanjian jual putus dan/atau pengalihan ciptaan bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena menurut Pemohon dengan perjanjian yang telah disepakati sebelum berlaku UU 28/2014 hak ekonomi atas ciptaan tersebut telah beralih kepada pembeli hak cipta. Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa pada prinsipnya hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena: pewarisan; hibah; wakaf; wasiat; perjanjian tertulis; atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [vide Pasal 16 UU 28/2014]. Dari semua alasan pengalihan hak cipta tersebut, pengalihan melalui perjanjian tertulis merupakan salah satu alasan yang sering digunakan dalam pengalihan hak cipta. Sejalan dengan itu, dalam praktiknya, pengalihan hak cipta dilakukan melalui perjanjian dalam bentuk jual putus (sold flat) dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu. Dalam membuat suatu perjanjian, para pihak tidak dapat melepaskan diri dari pemberlakuan asas kebebasan berkontrak. Artinya, kebebasan bagi para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian dan kebebasan para pihak untuk menentukan isi, subjek hingga objek perjanjian. Hingga saat ini asas kebebasan berkontrak tetap menjadi asas penting dalam setiap perjanjian. Namun demikian, seiring dengan perkembangan asas kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas (unlimited freedom). Di Indonesia telah terdapat sejumlah pembatasan terhadap pemberlakuan asas kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Secara doktriner, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya pembatasan asas kebebasan berkontrak yaitu karena: pertama, menguatnya pengaruh ajaran iktikad baik (good faith), di mana iktikad baik tidak hanya pada pelaksanaan perjanjian, tetapi juga harus ada pada saat dibuatnya perjanjian; kedua, berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden); ketiga, berkembangnya lapangan ekonomi yang membentuk persekutuan-persekutuan dagang, badan-badan hukum, perseroan-perseroan dan golongan masyarakat lain, seperti buruh, tani, dan musisi; keempat, berkembangnya aliran dalam masyarakat yang menginginkan kesejahteraan sosial; dan kelima, keinginan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum atau pihak yang lemah. Selain faktor tersebut, perlu Mahkamah tegaskan, asas kebebasan berkontrak dapat dibatasi oleh undang-undang. Tidak berbeda halnya dengan perjanjian pada umumnya, faktor-faktor pembatasan asas kebebasan berkontrak juga berlaku bagi perjanjian pengalihan hak cipta dalam bentuk jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Sebagai sebuah payung hukum dalam pengalihan hak cipta, perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu juga harus didasarkan pada ajaran iktikad baik yang berlandaskan kepada kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang sebagaimana dimuat dalam Pasal 1338 ayat (3) dan Pasal 1339 KUHPerdata. Jika dikaitkan dengan substansi yang diatur dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014, dapat dipahami pengaturan pembatasan pengalihan hak cipta tersebut karena objek yang diperjanjikan dalam pengalihan hak cipta sebagai benda bergerak yang tidak berwujud mengandung hal yang bersifat khusus sebagaimana telah diuraikan di atas. Oleh karena itu, pembatasan jangka waktu terhadap perjanjian jual putus atau tanpa batas waktu atas pengalihan ciptaan atau karya pelaku pertunjukan, sekalipun telah diperjanjikan sebelum UU 28/2014, haruslah dipahami secara utuh hanya dalam konteks UU 28/2014, bukan dalam konteks perjanjian atas hak kebendaan pada umumnya. Pengaturan demikian merupakan upaya negara dalam memberikan jaminan perlindungan dan keseimbangan bagi pencipta dan pelaku pertunjukan yang berlandaskan pada faktor-faktor pembatasan asas kebebasan berkontrak. Dalam hal ini, negara memandang perlu mengatur pembatasan terhadap pemanfaatan hak ekonomi atas ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks sebagaimana ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014. Sebab, sebagaimana fakta hukum yang terungkap dalam persidangan [vide risalah persidangan Perkara Nomor 63/PUUXIX/2021, 27 September 2022, hlm. 7], membuktikan posisi tawar antara pihak pencipta dan/atau pelaku pertunjukan sering kali tidak seimbang karena berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak produser, sehingga hal tersebut berpotensi menimbulkan penyalahgunaan keadaan yang berujung pada tidak dirasakannya pemanfaatan hak ekonomi secara berkelanjutan, berupa imbalan dalam bentuk royalti oleh pencipta dan/atau pelaku pertunjukan. Berkenaan dengan pertimbangan di atas, menurut Mahkamah pencipta dan/atau pelaku pertunjukan seharusnya dilindungi hak ciptanya. Salah satu bentuk perlindungan hak ekonomi dan hak moral bagi pencipta dan/atau pelaku pertunjukan adalah dengan adanya pembatasan pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Pembatasan pengalihan dimaksud untuk mencegah praktik penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian pengalihan hak cipta dalam bentuk jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Oleh karena itu, melalui UU 28/2014, negara menjamin perlindungan dan kepastian hukum hak ekonomi dan hak moral pencipta dan pemilik hak terkait agar tidak mengikis motivasi pencipta dan pemilik hak terkait untuk berkreasi. Oleh karenanya, dalil Pemohon yang mempertentangkan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) dan 28H ayat (4) UUD 1945 karena perumusannya yang memerintahkan pengembalian hak cipta kepada pencipta dan/atau pelaku pertunjukan setelah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun sejak perjanjian jual putus dan/atau perjanjian pengalihan tanpa batas waktu, disepakati, serta melanggar asas kebebasan berkontrak adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18.2] Bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan pada pokoknya norma Pasal 122 UU 28/2014 melanggar asas non-retroaktif karena ketentuan untuk mengembalikan hak cipta kepada Pencipta seharusnya tidak dapat diterapkan terhadap perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat antara Pemohon dengan Pencipta sebelum UU 28/2014 ini berlaku, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu perihal norma Pasal 122 merupakan bagian dari Ketentuan Peralihan yang menyatakan: “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perjanjian atas Ciptaan buku dan/ atau hasil karya tulis lainnya serta lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat sebelum berlakunya Undang-Undang ini dikembalikan kepada Pencipta dengan ketentuan sebagai berikut: a. Perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya Undang-Undang ini telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta 2 (dua) tahun sejak berlakunya UndangUndang ini; b. Perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya Undang-Undang ini belum mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta setelah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun sejak ditanda tanganinya perjanjian jual putus dimaksud ditambah 2 (dua) tahun”. Berkenaan dengan ketentuan peralihan sebagai bagian materi muatan dari batang tubuh suatu peraturan perundang-undangan adalah bersifat opsional atau pilihan. Dalam perumusan peraturan perundang-undangan, in casu undang-undang dapat dirumuskan ketentuan peralihan tatkala terdapat keperluan sebagai norma transisi. Sebaliknya, tidak perlu dirumuskan jika memang tidak diperlukan, sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran II, Bagian C.4. yang berjudul “Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)”, khususnya angka 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011). Tujuan dirumuskannya Ketentuan Peralihan adalah untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Dalam kaitan ini, Ketentuan Peralihan dalam UU 28/2014 tidak hanya diatur dalam norma Pasal 122, namun juga dalam norma Pasal 121 yang berkaitan dengan kondisi ketika diatur berdasarkan UU 19/2002 untuk dihantarkan dalam pengaturan baru dalam UU 28/2014. Hal tersebut sesuai dengan tujuan Ketentuan Peralihan, sehingga ketika norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 diterapkan tidak terjadi persoalan hukum di kemudian hari. Misalnya, terkait dengan pencatatan ciptaan dan produk hak terkait yang masih dalam proses pada saat mulai berlaku UU 28/2014 dan perikatan jual beli terhadap hak ekonomi atas ciptaan berupa lagu dan/atau musik yang dilakukan sebelum UU 28/2014 tetap berlaku sampai dengan jangka waktu perikatan berakhir [vide Pasal 121 huruf a dan huruf c UU 28/2014]. Namun, ketentuan dalam norma Pasal 121 huruf c UU a quo masih diikuti dengan norma Ketentuan Peralihan dalam Pasal 122 UU 28/2014 yang pada pokoknya menentukan proses peralihan sebagai akibat berlakunya norma baru berkaitan dengan ciptaan buku dan/atau semua hasil karya tulis lainnya, lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, hak cipta tersebut ditentukan beralih kembali kepada Pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun [vide Pasal 18 UU 28/2014]. Begitu pula halnya dengan ketentuan mengenai karya Pelaku Pertunjukan berupa lagu dan/atau musik yang dialihkan dan/atau dijual hak ekonominya maka kepemilikan hak ekonomi tersebut ditentukan juga beralih kembali kepada Pelaku Pertunjukan setelah jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun [vide Pasal 30 UU 28/2014]. Dengan demikian, diberlakukannya Pasal 122 Ketentuan Peralihan merupakan konsekuensi hukum yang logis dari berlakunya ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 yang memerlukan kepastian hukum agar tidak terjadi kondisi kekosongan ketika harus diimplementasikan. Oleh karena itu, diperlukan ketentuan yang menjembatani kondisi hukum yang terjadi sebelum diberlakukan UU 28/2014, in casu terhadap perjanjian pengalihan ciptaan buku dan/atau hasil karya tulis lainnya serta lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan dalam perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang telah dibuat sebelum berlakunya UU 28/2014 untuk dikembalikan kepada Pencipta. Ketentuan pengembalian tersebut diatur apabila perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya UU 28/2014 telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan hak ciptanya kepada Pencipta dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya UU 28/2014 [vide Pasal 122 huruf a UU 28/2014]. Berikutnya, apabila perjanjian jual putus yang pada saat diberlakukannya UU 28/2014 belum mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dikembalikan Hak Ciptanya kepada Pencipta setelah mencapai 25 (dua puluh lima) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian jual putus dimaksud ditambah 2 (dua) tahun” [vide Pasal 122 huruf b UU 28/2014]. Bahwa pengaturan pengembalian hak sebagaimana ketentuan norma Pasal 122 a quo adalah dalam rangka mengembalikan hak ekonomi karena dalam jangka waktu berlangsungnya perjanjian pengalihan hak cipta, penerima pengalihan telah mendapatkan nilai kemanfaatan (hak ekonomi), yang secara konstitusional pencipta juga memeroleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan antara hak moral dan hak ekonomi, sebagaimana dijamin oleh Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Bahwa pengembalian hak ekonomi berdasarkan hal yang semula belum diatur dengan pengaturan yang telah ada bukan merupakan pelanggaran asas nonretroaktif karena perjanjian atas benda bergerak yang tidak berwujud merupakan bagian dari perjanjian yang bersifat khusus, yang tidak dapat dipersamakan dengan perjanjian kebendaan pada umumnya. Oleh karena itu, keberlakuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 harus diletakkan dalam konteks UU a quo yang memiliki sifat kekhususan. Dengan demikian, pengalihan kembali karya cipta dan karya pertunjukan yang telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 yang kemudian ditentukan mekanisme pengalihan kembali dalam masa transisi dari undang-undang yang lama ke UU 28/2014 adalah wujud penegasan perlindungan hukum atas hak moral dan hak ekonomi pencipta dan pelaku pertunjukan. Pengaturan demikian tidak dimaksudkan untuk mengabaikan hak pembeli yang telah menerima nilai manfaat (nilai ekonomi) dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun perjanjian pengalihan. Oleh karena itu, dalil Pemohon yang mengaitkan norma Pasal 122 UU 28/2014 yang memberlakukan surut perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu untuk dikembalikan kepada pencipta dengan batasan waktunya tersebut bukanlah merupakan bentuk kesewenang-wenangan negara. Substansi Pasal a quo sejatinya merupakan bentuk pencegahan akibat pengalihan hak cipta dengan bentuk perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang dimaknai secara absolut oleh salah satu pihak dengan memanfaatkan kondisi yang tidak seimbang sebelum diberlakukan UU 28/2014. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan peralihan Pasal 122 UU 28/2014 yang menurut Pemohon merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18.3] Bahwa Pemohon juga mendalilkan ketentuan norma Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU 28/2014 menimbulkan multitafsir apabila dikaitkan dengan Pasal 63 ayat 1 huruf (b) UU 28/2014 sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara seksama isu konstitusional yang didalilkan Pemohon di atas sesungguhnya masih bermuara pada persoalan perjanjian pengalihan hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud, sebelum berlaku UU 28/2014, yang merupakan "perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu". Rumusan frasa "perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu" dalam norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 adalah bukan untuk mengizinkan praktik pengalihan hak cipta tersebut, namun agar UU a quo memberikan perlindungan hukum yang seimbang antara pencipta yang telah mengalihkan hak ciptanya dengan penerima pengalihan tersebut yang telah menikmati nilai ekonomi atas pengalihan melalui jual putus. Hal ini sejalan dengan maksud “jual putus” dalam Penjelasan Pasal 18 UU 28/2014 adalah perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat. Ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014 merumuskan pembatasan waktu 25 (dua puluh lima) tahun bagi perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu agar hak ekonomi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan dapat kembali seperti semula. Setelah itu, produser fonogram dengan Pencipta atau Pelaku Pertunjukan dapat menyepakati kembali perjanjian dalam posisi yang setara demi mengatur hak dan kewajibannya berlandaskan iktikad baik untuk kemanfaatan bersama sesuai dengan ketentuan UU 28/2014. Sementara itu, jika dikaitkan dengan substansi norma Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 pada prinsipnya justru menentukan perlindungan hak ekonomi bagi produser fonogram, yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak fonogram difiksasi. Artinya, norma Pasal a quo hanya mengatur mengenai jangka waktu pemberlakuan hak ekonomi produser fonogram. Oleh karenanya, penting untuk diketahui apa yang menjadi hak ekonomi bagi produser fonogram sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 24 ayat (2) UU 28/2014 yang menyatakan: “(2) Hak ekonomi Produser Fonogram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak melaksanakan sendiri, memberi izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: a. Penggandaan atas fonogram dengan cara atau bentuk apapun; b. Pendistribusian atas fonogram asli atau salinanya; c. Penyewaan kepada publik atas salinan fonogram; dan d. Penyediaan atas fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik” Dengan konstruksi norma hukum demikian, produser fonogram memiliki hak ekonomi sebatas kepada pengaturan ketentuan Pasal a quo, sehingga perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu terhadap hak ekonomi dari pencipta dan pelaku pertunjukan yang selama ini terjadi, jelas tidak memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pencipta dan pelaku pertunjukan, karena kepemilikan hak ekonomi produser fonogram melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan, in casu norma Pasal 24 ayat (2) UU 28/2014. Dalam konteks itu, hak ekonomi produser fonogram diberikan jangka waktu 50 (lima puluh) tahun dalam rangka melakukan fiksasi fonogram, dan bukan pemanfaatan hak ekonomi pencipta dan pelaku pertunjukan secara mutlak (absolut), sebagaimana perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Dalam kaitan ini, perjanjian antara Produser Fonogram dengan Pencipta dan/atau Pelaku Pertunjukan yang sesuai dengan UU 28/2014 adalah perjanjian untuk melakukan fiksasi fonogram, bukan perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Dengan adanya perjanjian untuk melakukan fiksasi fonogram, maka Produser Fonogram mendapatkan pelindungan hak ekonomi seperti dimaksud Pasal 24 ayat (2) UU 28/2014 yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak fonogram difiksasi sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat 1 huruf (b) UU 28/2014. Dalam konteks pertimbangan di atas, menurut Mahkamah keterkaitan ketentuan norma Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU 28/2014 dengan Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 adalah upaya negara dalam memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang seimbang dan adil dalam hubungan hukum antara pencipta dan pelaku pertunjukan dengan produser fonogram. Pada dasarnya, ketentuan norma Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 memiliki norma yang berbeda dengan ketentuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014. Norma Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 lebih berkaitan dengan substansi Pasal 58 ayat (1), di mana Pasal 63 ayat (1) huruf b memberikan perlindungan hak ekonomi, sedangkan Pasal 58 ayat (1) memberikan Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan, perlindungan hak ekonomi atas Pertunjukan dan Produser Fonogram selama 50 (lima puluh) tahun. Sedangkan perlindungan Hak Cipta atas Ciptaan berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun. Oleh karena itu, Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014, sebagai landasan dan kepastian hukum Pelindungan hak ekonomi selama 50 (lima puluh) tahun dan Pasal 58 ayat (1) sebagai landasan dan kepastian hukum Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan selama 70 tahun. Oleh karena ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf b UU 28/2014 memiliki norma yang berbeda dengan ketentuan Pasal 18 dan Pasal 30 UU 28/2014, maka tidak terdapat kontradiksi pemahaman yang berujung pada multitafsir penerapan norma sebagaimana dalil Pemohon, serta tidak pula merugikan hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai telah ternyata norma Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU 28/2014 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.20] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2008 TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Rega Felix (Advokat), untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 25 UU SBSN

Pasal 28 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materill Pasal 25 UU SBSN beserta penjelasannya dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah memeriksa dalil-dalil pokok permohonan Pemohon masalah konstitusional yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah: 1. Apakah benar frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “prinsip syariah”; 2. Apakah benar frasa “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan UUD 1945; 3. Apakah frasa “yang dimaksud dengan “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah” adalah Majelis Ulama Indonesia” dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 konstitusional apabila dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”. 4. [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memerhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 inkonstitusional apabila tidak dimaknai “prinsip syariah”, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.11.1] Bahwa konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya yakni syariah Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist serta Ijma, instrumen pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat. Selain itu, transaksi dalam keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari unsur larangan berikut: (1) Riba, yaitu unsur bunga atau return yang diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir, yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang antara lain terkait dengan penyerahan, kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan adanya transaksi pendukung (underlying transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda dengan transaksi keuangan pada umumnya. Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang diterbitkan oleh korporasi maupun negara adalah Surat Berharga berdasarkan prinsip syariah atau lebih dikenal dengan istilah Sukuk. Instrumen keuangan syariah ini berbeda dengan surat berharga konvensional. Salah satu perbedaan prinsipnya adalah digunakannya konsep imbalan dan diperlukannya sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan transaksi dengan menggunakan akad berdasarkan prinsip syariah [vide Paragraf 3 dan Paragraf 4 Penjelasan Umum UU 19/2008]. Dengan demikian, sukuk atau lebih dikenal sebagai obligasi syariah adalah instrumen keuangan berupa surat berharga yang merupakan bukti kepemilikan atas aset, baik itu berupa tangible, intangible ataupun kontrak proyek dari aktivitas tertentu yang mewajibkan emiten membayar pendapatan bagi hasil kepada pemegang sukuk dan membayar kembali sukuk sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang sudah disepakati. Sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi konvensional, yaitu dalam kegiatan mulai dari transaksi diterbitkannya sampai pada aktivitas penyerahan hasil harus sesuai dengan prinsip syariah, antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat serta harus terbebas dari berbagai unsur larangan, antara lain riba, maysir, dan gharar. Berdasarkan hal tersebut, maka penerbitan Sukuk Negara atau SBSN harus memenuhi prinsip syariah. Tujuan penerbitan Sukuk Negara adalah mendapatkan dana masyarakat di luar pajak yang kemudian kumpulan dana tersebut digunakan untuk membiayai program pembangunan nasional. Penerbitan Sukuk Negara tidak hanya bermanfaat bagi negara tetapi juga bagi warga negara karena dapat digunakan sebagai sarana berinvestasi sekaligus membantu pemerintah dalam menyelesaikan program pembangunan nasional. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan penerbitan sukuk dan untuk mendukung perkembangan keuangan syariah maka pemerintah kemudian membentuk UU 19/2008 yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN. Dengan berlakunya UU 19/2008 maka menjadi dasar hukum (legal basis) bagi penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan menggunakan Sukuk Negara dalam berinvestasi berdasarkan prinsip syariah di mana hak warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam dalam menjalankan sistem ekonominya mengacu pada Al Qur’an, Hadist, dan Ijma pun menjadi lebih dilindungi oleh negara. [3.11.2] Bahwa terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan apakah frasa “prinsip-prinsip syariah“ dalam Pasal 25 UU 19/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah, secara umum prinsip syariah dalam transaksi keuangan terdiri dari Ta’awun yaitu prinsip kemitraan, Kemaslahatan yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat, Tawazun yaitu prinsip kesatuan dan saling bekerja sama, prinsip saling ridho yaitu tidak ada paksaan dalam menjalani perjanjian yang telah ditetapkan, dan Rahmatan lil ‘Alamiin yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat bagi siapa saja. Salah satu prinsip syariah yang diterapkan dalam Sukuk Negara atau SBSN adalah transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat sebagaimana yang dimuat dalam Penjelasan Umum UU 19/2008 yang telah diuraikan pada Sub-paragraf [3.11.1]. Sehingga, jika dicermati secara substansi maka frasa “prinsip syariah” atau frasa “prinsip-prinsip syariah” sebenarnya adalah sama, yaitu menunjukan sesuatu yang jamak dan tidak tunggal. Penggunaan frasa “prinsip syariah” dalam arti jamak juga digunakan dalam Peraturan Pelaksanaan dari UU 19/2008, yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Dengan Cara Bookbuilding Di Pasar Perdana Dalam Negeri menyebutkan bahwa dalam melakukan kegiatan penerbitan dan penjualan SBSN dengan cara bookbuilding harus mencantumkan pernyataan kesesuaian SBSN dengan prinsip syariah dalam dokumennya. Oleh karena itu, UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, karena secara substansi keseluruhan UU 19/2008 adalah bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional warganya yang diamanahkan oleh UUD 1945. Terlebih lagi, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak menjadikan Pemohon tidak dapat melaksanakan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pemohon tetap dapat melakukan transaksi keuangan berupa pembelian Sukuk Negara sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagai pelaksanaan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, menurut Mahkamah, penggunaan frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. [3.12] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan inkonstitusional frasa “yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” dan frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dalam Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 22 Agustus 2022 dalam pertimbangan hukum halaman 220 menyatakan: “ Bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama tidak terlepas dari ketentuan konstitusi, dalam hal ini norma Pasal 29 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, seluruh umat beragama, termasuk umat Islam berhak menjalankan agama dan beribadah menurut agamanya… dst” Lebih lanjut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XIX/2021, Mahkamah telah pula menjelaskan berkait dengan tugas MUI, yaitu: Bahwa MUI yang merupakan wadah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim adalah lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Pemberian atau penetapan fatwa MUI dilakukan atas permintaan (istifta) dari peminta fatwa (mustafti) baik secara pribadi, organisasi masyarakat, atau pemerintah. Dalam menetapkan fatwa di bidang keuangan syariah, hal ini dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Tugas DSN MUI adalah untuk menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa di lembaga perekonomian, keuangan, dan bisnis syariah serta mengawasi penerapannya guna menumbuhkembangkan usaha di bidang keuangan, bisnis, dan ekonomi syariah. Selain dilakukan secara kolektif oleh DSN MUI, penetapan fatwa dalam hal tertentu melibatkan tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Adapun DSN MUI ini diisi oleh para ulama, praktisi, dan para pakar yang memenuhi kualifikasi tertentu di bidang Fiqh, Ushul Fiqh, Fiqh Muqorin, keuangan, bisnis, 223 perekonomian syariah, dan berkemampuan dalam penetapan hukum (istinbath hukum). Produk hukum yang dihasilkan oleh DSN MUI kemudian ditetapkan sebagai fatwa MUI yang didasarkan pada Al-Quran, Sunnah (Al-Hadis), Ijma, dan Qiyas serta dalil lain yang kokoh (mu’tabar). Tegasnya penetapan fatwa MUI dilakukan oleh para ahli yang memenuhi kualifikasi mujtahid dan dilakukan secara kolektif. Fatwa DSN MUI bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif. Persyaratan, sifat, metode, serta prosedur penetapan fatwa yang sedemikian ketat adalah agar diperoleh hasil yang akan bermanfaat bagi kemaslahatan umum (maslahatul ammah) dan sesuai dengan intisari ajaran agama Islam (maqashid al-syariah)…dst. Melalui pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUXIX/2021 tersebut, Mahkamah memberikan penegasan bahwa penempatan urusan penentuan prinsip syariah sebagai otoritas agama merupakan bagian dari pelaksanaan konstitusi khususnya Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Terkait dengan hal itu, Mahkamah menegaskan pula bahwa MUI merupakan lembaga yang berkompeten menjawab dan merespon permintaan fatwa, pertanyaan dari pemerintah, lembaga, atau organisasi sosial mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan, salah satunya adalah permasalahan di bidang keuangan syariah. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 yang menyebutkan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah salah satunya MUI adalah sudah tepat karena salah satu tugas MUI adalah memberi fatwa di bidang keuangan syariah. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberi legitimasi kepada Pemerintah untuk menunjuk lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah selain MUI dan hal itu tidak dimaksudkan untuk membuat ketidakjelasan tetapi justru memberikan kepastian hukum terhadap fatwa yang diberikan dengan syarat sepanjang lembaga tersebut merupakan lembaga yang dimintai pendapatnya oleh Pemerintah. Setelah Mahkamah membaca secara saksama dalil Pemohon a quo, hal yang diinginkan Pemohon justru telah diakomodir oleh pembentuk undang-undang melalui Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 di mana norma a quo memberikan landasan dan legitimasi kepada Pemerintah ketika akan membentuk lembaga lain selain MUI untuk memberi fatwa dalam rangka penerbitan Sukuk Negara. Sehingga, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 memberikan kepastian hukum bagi warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam apabila ingin menggunakan Sukuk Negara sebagai instrumen investasinya. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 25 UU 19/2008 khususnya frasa “lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah“ dan frasa “Yang dimaksud dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia” tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, telah ternyata tidak terdapat persoalan ketidakpastian hukum, ketidakterlindunginya hak dalam menjalankan kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaannya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.14] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 95/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

H. Muhammad Ja’far Sukhairi Nasution (Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara) dan Atika Azmi Utammi (Wakil Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Adi Mansar, SH., M.Hum., dkk, para Advokat dan Penasihat Hukum pada “Adi Masar Law Institute” Legal: Consultant, Election & Research”, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 10/2016 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.11] Menimbang bahwa setelah membaca dan mempelajari secara saksama dalil para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.7] di atas, Mahkamah ternyata telah pernah memutus perkara pengujian konstitusionalitas substansi norma Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 yang pada pokoknya mengatur mengenai masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak pada bulan November 2024, yaitu antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 26 Februari 2020, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 20 April 2022. Oleh karena itu, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permohonan a quo, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan para Pemohon memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021); [3.12] Menimbang bahwa Pasal 60 UU MK juncto Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: Pasal 60 UU MK (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah diuji, tidak dapat diajukan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali; (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Berdasarkan ketentuan tersebut, terhadap pasal yang telah dilakukan pengujian konstitusionalitasnya dan telah diputus oleh Mahkamah hanya dapat dimohonkan pengujian kembali apabila terdapat dasar pengujian dan/atau alasan permohonan yang berbeda. Terhadap hal tersebut, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama permohonan para Pemohon, ternyata dasar pengujian yang digunakan dalam permohonan a quo, yaitu Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang belum pernah digunakan sebagai dasar pengujian dalam permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebagaimana telah disebutkan di atas. Selain itu, terdapat perbedaan alasan permohonan para Pemohon dengan permohonan-permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah sebelumnya, antara lain, yang membedakan karena dalam perkara a quo pada pokoknya para Pemohon menguraikan mengenai rezim Pemilu dengan waktu lima tahun sekali dan Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi peserta Pemilihan Kepala Daerah tahun 2020. Dengan demikian, menurut Mahkamah, terdapat perbedaan dasar pengujian dan alasan yang digunakan dalam permohonan a quo dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya oleh Mahkamah sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK juncto Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, sehingga permohonan a quo dapat diajukan kembali; [3.13] Menimbang bahwa oleh karena terhadap permohonan a quo dapat diajukan kembali, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo, yaitu apakah pengaturan masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dilaksanakan serentak secara nasional pada bulan November tahun 2024 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi para Pemohon sehingga pasal tersebut harus dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945. [3.14] Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon terkait dengan masa jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta pelakasanaan Pemilihan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah serentak pada bulan November tahun 2024 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016, Mahkamah telah mempertimbangkan hal tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021, yang pada pokoknya sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa pengaturan norma mengenai Pilkada dalam BAB VI tentang Pemerintahan Daerah di luar Bab VIIB tentang Pemilihan Umum dalam UUD 1945 memiliki beberapa implikasi. Salah satunya adalah perbedaan terkait waktu penyelenggaraan pemilihan, di mana siklus 5 (lima) tahun sekali yang telah ditentukan oleh konstitusi adalah untuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam norma Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 serta untuk pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 18 ayat (3) juncto Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Sedangkan, terkait dengan Pilkada, penetapan waktu pemilihan sepenuhnya diatur dengan undang-undang yang selanjutnya diaktualisasikan dalam UU 10/2016 yang menentukan penyelenggaraan Pilkada secara nasional dilaksanakan secara serentak pada bulan November 2024. Norma a quo merupakan bagian dari ketentuan peralihan (transitional provision) yang memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lama, in casu pengaturan mengenai jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak nasional yang semula ditetapkan pada tahun 2027 berdasarkan Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 8/2015) diubah menjadi tahun 2024. Pengaturan norma dalam ketentuan peralihan demikian telah sesuai dengan butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; [3.12.2] Bahwa dalam rangka penyesuaian tahapan penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional terdapat beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya diundur dan terdapat pula beberapa daerah yang waktu penyelenggaraan Pilkadanya dimajukan. Dalam konteks masa peralihan yang demikian, tidak dapat dihindari dampak adanya penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) dalam Pilkada. Namun demikian, Mahkamah menilai penundaan atas pemenuhan hak warga negara dimaksud tidak berarti menghilangkan hak warga negara tersebut dan telah sesuai dengan konsep pembatasan hak yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Sebab, hak warga negara untuk memilih dan dipilih pada hakikatnya merupakan hak yang pemenuhannya dapat dibatasi oleh negara melalui undang-undang. Berkenaan dengan hal tersebut Mahkamah dalam beberapa putusan telah mempertimbangkan terkait konstitusionalitas pembatasan pemenuhan atas hak konstitusional warga negara berdasarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan ukuran yang selalu digunakan oleh Mahkamah dalam menilai konstitusionalitas pembatasan hak warga negara adalah keseimbangan (balancing) antara pembatasan hak individu warga negara dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara. Dalam konteks demikian, Mahkamah menilai, penundaan atas pemenuhan hak warga negara untuk memilih (right to vote) dan hak untuk dipilih (right to be candidate) pada sebagian Pilkada dalam rangka menuju pelaksanaan Pilkada serentak secara nasional tahun 2024 adalah masih dalam kerangka pembatasan hak konstitusional warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Terlebih, setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan untuk mengikuti kontestasi Pilkada, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah, tetap terakomodir hak konstitusionalnya dalam Pilkada serentak tahun 2024 mendatang. … [3.13.1] Bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif (Anggota DPR, DPD dan DPRD) serta eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019 telah mendorong pembentuk undang-undang untuk mendesain ulang penyelenggaraan pemilu, termasuk pula Pilkada. Selanjutnya, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, pemerintah menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat karena proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi [vide Alinea ke-3 Penjelasan Umum UU 1/2015] yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang melalui UU 1/2015. Lebih lanjut Pasal 3 ayat (1) UU 1/2015 menentukan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Oleh karena itulah sejak saat itu Pilkada serentak secara nasional beserta segala aspek penyelenggaraannya mulai ditetapkan secara bertahap dari yang awalnya akan dilaksanakan pada tahun 2027 kemudian berdasarkan UU 10/2016 diubah menjadi bulan November tahun 2024; [3.13.2] Bahwa dalam perkembangannya terkait dengan desain keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, bertanggal 26 Februari 2020 telah memberikan sejumlah pilihan model keserentakan pemilihan umum yang tetap dapat dinilai konstitusional, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Paragraf [3.16] Putusan a quo, sebagai berikut: 1. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD; 2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota; 4. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota; 5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota; dan 6. Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan pelaksanaan pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Namun demikian, dalam memutuskan pilihan model atas keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum, pembentuk undang-undang perlu mempertimbangkan beberapa hal, antara lain, yaitu: (1) pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan umum; (2) kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; (3) pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas; (4) pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan (5) tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah telah mempertimbangkan bahwa dengan tersedianya berbagai kemungkinan model pemilihan umum serentak sebagaimana dikemukakan di atas, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah kewenangan pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Pertimbangan pandangan Mahkamah terhadap penentuan model keserentakan yang dipilih merupakan domain pembentuk Undang-Undang tersebut juga kembali ditegaskan dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah terkait pilihan model keserentakan secara nasional dan lokal sebagaimana pertimbangan hukum Paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-XIX/2021, bertanggal 24 November 2021, sebagai berikut: Dalam konteks demikian, keinginan para Pemohon untuk lebih memfokuskan kepada salah satu model tersebut tidak lagi berada dalam kewenangan Mahkamah, tetapi telah diserahkan menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Dengan pendirian demikian, jikalau Mahkamah menentukan salah satu model dari pilihan model yang ditawarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, secara implisit, Mahkamah akan terperangkap untuk menyatakan model lain yang tidak dipilih sebagai sesuatu yang bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional). Oleh karena itu, sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Berkenaan dengan hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, semua pilihan yang dikemukakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 merupakan gagasan yang muncul (original intent) selama perubahan UUD 1945. Sebagai the sole interpreter of the constitution, sekalipun bukan satu-satunya penafsiran yang dipakai untuk menentukan pilihan model atau desain keserentakan pemilihan umum, Mahkamah tidak dapat sepenuhnya melepaskan diri dari penafsiran original intent sebagai salah satu metode untuk memahami konstitusi. Dengan demikian, menjadi jelas pendirian Mahkamah bahwa pembentuk Undang-Undang memiliki kewenangan untuk menentukan rancang bangun penyelenggaraan pemilu serentak, termasuk juga penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional sesuai dengan batas-batas konstitusional (constitutional boundary) yang telah diatur dan ditetapkan sebagaimana dijelaskan pada Sub-paragraf [3.11.2] di atas; [3.13.3] Bahwa dalam rangka mewujudkan Pilkada serentak secara nasional, sebenarnya telah disusun desain penyelenggaraan transisi yang terdiri atas 4 (empat) gelombang, yaitu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018, tahun 2020, dan November 2024. Oleh karena itu, sepanjang Pikada serentak tetap dipertahankan, desain penyelenggaraan Pilkada transisi demikian merupakan proses integrasi jadwal penyelenggaraan Pilkada yang waktunya saling terpisah satu sama lain menuju penyelenggaraan Pilkada serentak secara nasional setiap 5 (lima) tahun yang akan dimulai pada tahun 2024 dan seterusnya. Berdasarkan tahapan transisi tersebut, maka desain pemilihan umum serentak secara nasional yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang pada tahun 2024 adalah pemilu serentak dalam 2 (dua) tahap, yaitu: (i) pemilihan umum serentak untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan Anggota DPRD serta (ii) beberapa waktu setelahnya dilaksanakan Pilkada serentak secara nasional. Dengan mengacu pada pilihan model keserentakan pemilihan umum sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tersebut di atas, maka pilihan model pemilihan umum serentak yang ditentukan tersebut termasuk dalam kategori pilihan keenam, yaitu “Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden”, sehingga pilihan keserentakan tersebut adalah telah sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dan tentunya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian selanjutnya Mahkamah telah mempertimbangkan pula dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022, yang pada pokoknya mempertimbangkan sebagai berikut: [3.10.1] Bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati dan walikota serentak nasional pada awalnya diatur dalam Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 8/2015) yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada tahun 2027.” Waktu penyelenggaraan tersebut kemudian diubah dengan ketentuan Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.” Perubahan waktu penyelenggaraan tersebut diikuti dengan perubahan waktu penyelenggaraan pemilihan serentak bertahap yang dimulai pada 2015, 2017, 2018, dan terakhir pada 2020, sehingga berakibat gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 hanya menjabat sampai dengan tahun 2024 [vide Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016]; [3.10.2] Bahwa keberadaan ayat (7) yang dipersoalkan para Pemohon tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat lainnya dalam Pasal 201 UU 10/2016 yang secara keseluruhan merupakan ketentuan peralihan agar penyelenggaraan kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dapat terselenggara secara serentak nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada November 2024 [vide Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016]. Untuk itu, pada ayat-ayat sebelumnya termasuk yang dipersoalkan para Pemohon ditentukan waktu pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak yang dilakukan secara bertahap pada 2015, 2017, dan 2018 serta 2020 sesuai berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota [vide Pasal 201 ayat (1) sampai dengan ayat (7) UU 10/2016]. Dengan pengaturan tersebut tidak dapat dihindarkan akan terdapat provinsi dan kabupaten/kota yang mengalami kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, yakni yang menyelenggarakan pemilihan pada 2017 dan 2018, sehingga akan diisi oleh penjabat yang berasal dari aparatur sipil negara yang memegang jabatan pimpinan tinggi madya bagi penjabat gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama bagi penjabat bupati/walikota [vide Pasal 201 ayat (9) sampai dengan ayat (11) UU 10/2016]. Adapun bagi provinsi dan kabupaten/kota yang gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan pada 2020 dan dilantik pada 2021 yang seharusnya berakhir masa jabatannya pada 2026 terkena pemotongan (cut off) masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sehingga tidak sampai 5 (lima) tahun, akan tetapi harus berakhir masa jabatannya pada 2024. Berdasarkan ketentuan peralihan tersebut, pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang diselenggarakan secara serentak nasional dalam rangka untuk meminimalkan biaya baik sosial, politik maupun ekonomi dan diharapkan lebih efisien dari segi waktu dapat terselenggara pada 2024. Dengan demikian, semua provinsi dan kabupaten/kota (kecuali Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) akan mengadakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota bersamaan waktunya pada November 2024 dan untuk pemilihan seterusnya setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (1) UU 10/2016. Mengenai keserentakan waktu penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menurut Mahkamah tidak hanya merujuk pada waktu pemungutan suara (voting time) melainkan juga waktu pelantikan (inauguration time) yang juga perlu diatur dan disinkronkan keserentakannya. Karena, keserentakan tersebut merupakan langkah awal bagi gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota terpilih untuk mensinergikan kebijakan pemerintah daerah dengan pemerintah pusat serta mensinkronkan tata kelola pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Dengan disinkronkannya waktu penyelenggaraan baik pemungutan suara maupun pelantikan pasangan calon terpilih maka diharapkan tercipta efektivitas dan efisiensi kebijakan pembangunan antara daerah dan pusat. [3.10.3] Bahwa berkenaan dengan kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 UU 10/2016 adalah bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024, sehingga di pemilihan-pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional. Bahwa selain merupakan ranah kebijakan pembentuk undang-undang, pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia. Sebagai hak politik maka hak tersebut terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang berarti hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yakni (a) dilakukan dengan undang-undang; (b) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain; dan (c) untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Menurut Mahkamah, hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, in casu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional. Selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif. … [3.10.5] Bahwa sebagai ketentuan peralihan, sebagaimana juga telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 bertanggal 20 April 2022 yang diucapkan sebelumnya, Pasal 201 UU 10/2016 dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, sehingga menurut Mahkamah telah memenuhi pemuatan ketentuan peralihan sebagaimana ditentukan dalam Butir 127 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). Menurut Butir 127 Lampiran II UU 12/2011 ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara. Khusus mengenai kepastian hukum, adanya pengaturan bahwa masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024 telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016. Dalam batas penalaran yang wajar ketentuan dimaksud sudah pasti diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2020. Artinya, pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota sudah diketahui secara pasti oleh masing-masing pasangan calon. Berkenaan dengan hal di atas, dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal adanya fiksi hukum (presumptio iures de iure) yang dijelaskan dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya [vide Penjelasan Pasal 81 UU 12/2011]. Menurut Mahkamah para Pemohon telah mengetahui masa jabatan pemilihan bupati dan wakil bupati yang diikuti para Pemohon pada 2020 tidak sampai 5 (lima) tahun, bahkan sebelum mencalonkan diri sebagai pasangan calon, sehingga menjadi tidak relevan untuk dipersoalkan setelah para Pemohon terpilih dan dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara. Terlebih lagi, masa jabatan tidak sampai 5 (lima) tahun juga dialami oleh seluruh gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, jadi bukan hanya para Pemohon. Mahkamah juga tidak menemukan bukti ketentuan pemotongan atau pengurangan masa jabatan yang dialami para Pemohon sebagai bupati dan wakil bupati hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 menyebabkan para Pemohon tidak dapat menjalankan visi dan misinya. Terkait dengan hal ini, visi dan misi yang dijanjikan calon kepala daerah yang nantinya akan dijabarkan dalam rencana pembangunan daerah dan alokasi anggaran seharusnya disesuaikan juga dengan masa jabatan yang telah diketahui sebelum penyusunan visi dan misi. Sementara itu, berkenaan dengan perlindungan hukum sebagai akibat dari tidak terpenuhi masa jabatan sampai dengan 5 (lima) tahun, undang-undang pun telah mengantisipasi secara jelas. Dalam hal ini, pihak yang terkena dampak dari berkurangnya masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota), menurut Mahkamah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang masa jabatannya tidak sampai 5 (lima) tahun, diberikan kompensasi. Berkenaan dengan hal ini, jauh sebelum penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, yaitu sejak pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak pada 2018, kompensasi yang diterima gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang terkurangi masa jabatannya telah diatur dalam Pasal 202 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU 1/2015). Bentuk kompensasi yang akan diperoleh oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2018 berupa diberikan uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode. Selanjutnya untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional pada 2024, kompensasi yang diterima oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkurangi masa jabatannya mengikuti ketentuan Pasal 202 UU 8/2015 yang menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang tidak sampai satu periode akibat ketentuan Pasal 201 diberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XX/2022 sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah oleh karena esensi permohonan a quo sama dengan permohonan-permohonan yang telah diputus tersebut, maka pertimbangan kedua putusan Mahkamah tersebut menjadi mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum putusan perkara a quo. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut mahkamah, telah ternyata Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU 10/2016 sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, Pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Permohonan Para Pemohon Tidak Dapat Diterima Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI SUMATERA BARAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Dedi Juliasman (Pelajar/Mahasiswa), Wahyu Setiadi (Karyawan Swasta), Dicky Christopher (Petani/Pekebun) dan Basilius Naijiu (Pelajar/Mahasiswa), dalam hal ini memberikan kuasa kepada Dr. Rinto Wardana, S.H., M.H., CRA., dkk., Advokat dan Advokat Magang pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Rinto Wardana Law Firm untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 5 huruf c UU Provinsi Sumatera Barat

Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang beserta jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 5 huruf c UU Provinsi Sumatera Barat, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, Mahkamah mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut: Bahwa para Pemohon dalam menjelaskan kualifikasinya sebagai perorangan Warga Negara Republik Indonesia yang sama-sama penduduk dan berdomisili di Kabupaten Kepulauan Mentawai menganggap hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin oleh Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), serta Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 dianggap dirugikan karena berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022 yang menyatakan, “Provinsi Sumatera Barat memiliki salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat”. Para Pemohon menjelaskan selama ini aktif melakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk pengenalan budaya tato Mentawai, pembuatan film dokumenter tentang adat-istiadat budaya Mentawai, serta aktif menyelenggarakan seminar atau diskusi publik terkait dengan pemberdayaan, penguatan adat-istiadat Mentawai, pengelolaan budaya dan pelestarian budaya yang menjadi ciri khas daerah Mentawai. Oleh karena itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah mengabulkan permohonannya (petitum) secara bersyarat dengan mengecualikan berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022 “bagi Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki adat-istiadat, nilai falsafah, kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat, ritual, upacara adat, situs budaya dan kearifan lokal yang berbeda karakteristiknya dengan 11 kabupaten dan 7 kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat”. Bahwa setelah Mahkamah mencermati secara saksama uraian kedudukan hukum para Pemohon di atas, telah ternyata para Pemohon tidak dapat menguraikan secara spesifik adanya hubungan sebab akibat (causal verband) perihal berlakunya ketentuan Pasal 5 huruf c UU 17/2022 yang dianggap telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Setidak-tidaknya, dalam batas penalaran yang wajar, para Pemohon tidak dapat menguraikan potensi anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami dengan berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022 yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, para Pemohon dalam menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusionalnya mengatasnamakan kepentingan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Dalam kaitan ini, penting untuk ditegaskan sebagaimana pendirian Mahkamah dalam beberapa putusannya, di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 25 November 2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIX/2021, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 15 Desember 2021, yang dapat mengajukan permohonan pengujian atas nama kepentingan pemerintahan daerah, in casu kepentingan Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai. Selain itu, karena negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang [vide Pasal 18B ayat (2) UUD 1945] maka masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK dapat mengajukan diri sebagai pemohon sepanjang berkenaan dengan kepentingan masyarakat hukum adat dan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan yang diatur dalam undang-undang. Berkenaan dengan permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan bukti bahwa para Pemohon adalah kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud ketentuan a quo, melainkan hanya perorangan warga negara Indonesia yang concern terhadap adat-istiadat, pengelolaan dan pelestarian budaya yang menjadi ciri khas Mentawai. Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, para Pemohon bukanlah pihak yang relevan untuk mempersoalkan adanya kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU 17/2022. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan.