Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Ghea Giasty Italiane, S.H., Desy Febriani Damanik, S.H., dan Anyelir Puspa Kemala, S.H., untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 169 huruf n dalam UU Pemilu

Pasal 7, Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Pemilu dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.6] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum dan kerugian hak konstitusionalnya, sebagaimana diuraikan pada Paragraf [3.5] di atas, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.6.1] Bahwa norma yang diajukan para Pemohon berkenaan dengan ketentuan persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang sebelumnya belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Dalam mengajukan permohonan pengujian ketentuan tersebut, para Pemohon berkedudukan sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk [vide bukti P-7, P-10, dan P-11]. Para Pemohon menjelaskan memiliki hak konstitusional untuk memilih dan hak untuk memperoleh kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang dibatasi dan dianggap dirugikan dengan berlakunya Pasal a quo, sehingga para Pemohon membutuhkan kepastian apakah Presiden yang telah menjabat 2 (dua) periode dapat mencalonkan lagi sebagai calon Wakil Presiden. [3.6.2] Bahwa terkait dengan kualifikasi para Pemohon sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk memilih, menurut Mahkamah norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 sama sekali tidak membatasi atau menghilangkan hak konstitusional para Pemohon untuk menggunakan hak pilihnya karena masih terdapat pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang dapat dipilih oleh para Pemohon, sehingga para Pemohon tetap dapat menggunakan hak pilihnya. Artinya, selama dan sepanjang masih terdapat pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden, para Pemohon sama sekali tidak dibatasi atau kehilangan hak pilihnya untuk memilih pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. [3.6.3] Bahwa berkenaan dengan penjelasan syarat kerugian konstitusional para Pemohon apabila permohonan dikabulkan akan menjadikan warga negara memilih pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden tanpa adanya keraguan dan ketidakpastian hukum adalah kekhawatiran yang tidak relevan dikaitkan dengan kedudukan hukum para Pemohon yang berkedudukan sebagai perseorangan warga negara yang tetap dapat menggunakan hak pilihnya sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi keberadaan norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 sama sekali tidak menghilangkan hak konstitusional para Pemohon untuk menggunakan hak pilihnya. Karena, norma a quo diperuntukan bagi seseorang yang pernah atau sedang menjabat menjadi Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama dan memiliki kesempatan untuk dicalonkan kembali menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, menurut Mahkamah, keraguan dan ketidakpastian hukum yang dijelaskan para Pemohon tersebut hanya mungkin dapat dinilai telah menimbulkan anggapan kerugian konstitusional bagi perseorangan warga negara yang pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dan memiliki kesempatan untuk dicalonkan kembali menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, berlakunya Pasal 169 huruf n UU 7/2017 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. [3.7] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun dikarenakan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 102/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Hendra Juanda, Yuliana Efendi, dan Fredi Supriadi (Perangkat Desa dan Petani), dan Wibowo Nugroho dan Utep Ruspendi (Karyawan Swasta dan Petani) untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 1 angka 1 s.d. angka 4, Pasal 5 s.d Pasal 95 UU 6/2014

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1) s.d. ayat (3), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 1 angka 1 s.d. angka 4, Pasal 5 s.d Pasal 95 UU 6/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.3] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) dan pokok permohonan para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bahwa pasal atau norma UU 6/2004 yang di mohon kan para Pemohon untuk diuji konstitusionalitasnya berjumlah 95 (sembilan puluh lima) pasal yang dibagi ke dalam sebelas kelompok. Setelah dicermati secara saksama, dari semua pasal atau norma UU 6/2004 yang diuji konstitusionalitasnya, para Pemohon tidak menguraikan secara jelas pertentangan masing-masing norma atau pasal tersebut dengan UUD 1945. Bahkan, sebagian besar pasal atau norma yang diuji konstitusionalitasnya hanya ditulis redaksional isinya tanpa disertai uraian apapun mengenai isi pasal tersebut. Terlebih lagi para Pemohon tidak menguraikan sama sekali pertentangannya dengan UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. Hal demikian, mengakibatkan Mahkamah tidak dapat mengetahui dengan pasti pertentangan semua pasal atau norma yang diuji dengan UUD 1945; 2. Bahwa selain masalah sebagaimana termaktub dalam angka 1 di atas, terdapat ketidaksesuaian antara posita (duduk perkara) dengan petitum. Hal demikian menurut Mahkamah, salah satunya, bermula dari uraian pada bagian posita yang tidak menguraikan secara jelas pertentangan masing-masing norma atau pasal tersebut dengan UUD 1945 sehingga hal yang diinginkan oleh para Pemohon dalam petitum pun menjadi tidak jelas; 3. Bahwa salah satu bukti ketidakjelasan hal yang diinginkan para Pemohon dapat dibaca dari Petitum Nomor 2, yang dalam hal ini para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan, “Bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945”, namun para Pemohon tidak menyatakan secara spesifik norma atau pasal dan/atau ayat mana yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimaksud; 4. Bahwa selain tidak menyatakan secara spesifik norma atau pasal dan/atau ayat mana yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, dalam permohonan a quo para Pemohon juga menggunakan dasar pengujian Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015, yang menurut Mahkamah keduanya tidak tepat digunakan sebagai dasar pengujian pasal atau norma undang-undang; 5. Bahwa dengan uraian sebagaimana dikemukakan pada angka1, angka2, angka 3, dan angka 4 di atas, secara umum penyusunan permohonan khususnya uraian pada posita dan petitum tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, antara lain para Pemohon tidak menyatakan adanya pertentangan antara pasal dan/atau ayat yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945. Padahal untuk dapatnya suatu pasal dan/atau ayat undang-undang dinyatakan “tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”, terlebih dahulu pasal dan/atau ayat tersebut harus terbukti dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa hal tersebut di atas mengakibatkan Mahkamah tidak dapat memahami apa sesungguhnya yang dimohonkan para Pemohon, dan karenanya Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak jelas atau obscuur libel. [3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah tidak dapat memeriksa dan/atau mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 103/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2020 TENTANG PERUBAHAN KETIGA UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, S.H. yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 87 huruf b UU MK

Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 angka 1 dan angka 2 UU 7/2020, dan Pasal 87 huruf b UU MK dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: Dalam Provisi [3.7] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan provisi yang pada pokoknya menyatakan permohonan Pemohon sangat urgent untuk diputus karena berkaitan dengan independensi Hakim Konstitusi karena berkaitan dengan tindakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang melakukan pergantian Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dengan cara maupun prosedur di luar ketentuan Pasal 23 UU MK, sehingga perkara a quo perlu pemeriksaan sangat prioritas dan segera menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan yang bertujuan mengganti Hakim Konstitusi. Terhadap alasan permohonan Provisi Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat perkara a quo telah diperiksa dan diputus secara cepat, namun Mahkamah tidak sependapat bahwa alasan untuk mempercepat tersebut adalah dikarenakan adanya kasus konkret yang berkaitan dengan pemberhentian hakim yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 23 UU MK. Di samping itu, pendirian Mahkamah selama ini berkenaan dengan putusan provisi adalah dikarenakan adanya kepentingan mendesak untuk menangguhkan berlakunya suatu norma agar tidak semakin berdampaknya norma tersebut apabila dibiarkan tetap berlaku. Oleh karena itu, permohonan Provisi Pemohon tersebut harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. Dalam Pokok Permohonan [3.8]… [3.13] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 87 huruf b UU MK yang menurut Pemohon bertentangan secara bersyarat sebagaimana yang dimohonkan dalam petitum permohonan Pemohon dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana terurai pada Paragraf [3.8]. Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK yang pada pokoknya menjelaskan kewenangan Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 apabila tidak dimaknai termasuk pengaduan konstitusional (constitutional complaint) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk terlebih dahulu menegaskan bahwa terkait dengan persoalan pengaduan konstitusional, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XVII/2019 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 November 2019, mempertimbangkan sebagai berikut. [3.12] Menimbang bahwa sebelum memberikan pertimbangan lebih jauh terhadap pokok permohonan para Pemohon, terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan hal-hal yang berkait dengan fungsi Mahkamah sebagai penafsir konstitusi dan sebagai pelindung hak-hak konstitusional warga negara, dalam hal ini bukan hanya hak-hak konstitusional yang diturunkan dari hak-hak yang tergolong sebagai hak asasi manusia tetapi juga hak-hak lain yang oleh Konstitusi (in casu UUD 1945) dinyatakan sebagai hak konstitusional warga negara, baik secara eksplisit maupun implisit. Pertimbangan terhadap hal-hal tersebut harus diberikan karena para Pemohon menggunakannya sebagai titik tolak dalil-dalil yang dibangun dalam permohonannya. Atas dasar itu para Pemohon kemudian mendalilkan bahwa Mahkamah harus diberi kewenangan mengadili pengaduan konstitusional (constitutional complaint) dengan argumentasi bahwa pengaduan konstitusional adalah bagian dari pengujian undang-undang sehingga Mahkamah dapat “memperluas” kewenangannya yang karenanya mencakup kewenangan mengadili pengaduan konstitusional melalui penafsiran konstitusional terhadap penjelasan undang-undang. Dalam hubungan ini, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan hal-hal berikut: [3.12.1] Bahwa para Pemohon menyatakan Mahkamah sebagai penafsir konstitusi. Pernyataan demikian adalah benar adanya. Sesuai dengan prinsip supremasi konstitusi (supremacy of the constitution), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari syarat negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democratic state), secara umum berlaku postulat bahwa praktik penyelenggaraan negara tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Dengan kata lain, konstitusi harus benar-benar terjelma dalam praktik penyelenggaraan negara, bukan sekedar sebagai “dokumen suci” yang tertulis indah di atas kertas. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang akan menjaga bahwa konstitusi benar-benar ditaati dalam praktik penyelenggaraan negara? Kecuali di negara-negara yang menganut prinsip supremasi parlemen (parliamentary supremacy), jawaban atas pertanyaan itu adalah pengadilan – terlepas dari soal apakah pengadilan itu dilembagakan tersendiri ke dalam wujud mahkamah konstitusi atau tidak. Dari dasar pemikiran inilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution) berasal. Dari dasar pemikiran ini pula lahir ajaran atau doktrin supremasi pengadilan (judicial supremacy), ajaran yang saat ini telah umum diterima sebagai prinsip atau asas di negara demokrasi yang berdasar atas hukum yang menganut atau memberlakukan prinsip supremasi konstitusi, termasuk Indonesia. Prinsip supremasi pengadilan ini diterima dalam penafsiran konstitusi sebab jika semua lembaga negara sama-sama diberi kewenangan untuk menafsirkan masalah-masalah yang berkait dengan konstitusi maka yang akan terjadi adalah pertengkaran atau pertikaian politik (political bickering) tanpa akhir. Hal itu bukan berarti lembaga-lembaga atau organ-organ negara lainnya tidak boleh memberi penafsiran terhadap konstitusi dalam pelaksanaan kewenangannya. Hak demikian tetap ada pada setiap lembaga atau organ negara namun penafsiran terakhir yang mengikat adalah penafsiran yang dibuat oleh pengadilan, in casu Mahkamah Konstitusi. Peran menafsirkan konstitusi tidaklah dilakukan oleh pengadilan (Mahkamah Konstitusi) sebagai kegiatan tersendiri melainkan bersamaan dengan pelaksanaan kewenangannya mengadili perkara-perkara konstitusi yang termasuk ke dalam ruang lingkup kewenangannya. Menafsirkan konstitusi, secara umum, adalah kegiatan mengelaborasi pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi dan tujuan-tujuan yang hendak diwujudkannya melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepada pengadilan, in casu Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, melalui putusan-putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus-kasus yang berada dalam lingkup kewenangannya itulah ditemukan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas elaborasinya terhadap pengertian-pengertian yang terkandung dalam konstitusi. Dengan demikian, dalam menafsirkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dibatasi oleh kewenangan yang dimilikinya, meskipun kewenangan itu sendiri juga tunduk pada penafsiran Mahkamah Konstitusi karena acapkali konstitusi tidak memberi pengertian dan batas-batas yang tegas dari kewenangan dimaksud. [3.12.2] Bahwa para Pemohon menyatakan Mahkamah adalah pelindung hak-hak konstitusional warga negara. Pernyataan ini pun benar adanya. Sebab, tatkala suatu hak ditegaskan oleh atau dimasukkan ke dalam Konstitusi, in casu UUD 1945, hak-hak tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari Konstitusi. Oleh karena itu, seluruh cabang kekuasaan negara dan warga negara terikat oleh kewajiban konstitusional untuk taat kepadanya, dalam pengertian menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak dimaksud. Mahkamah, sebagaimana halnya mahkamah konstitusi di berbagai negara, dibentuk dengan maksud menjamin penaatan terhadap Konstitusi. Oleh karena itu, dengan sendirinya termasuk di dalamnya menjamin penaatan terhadap keberadaan hak-hak konstitusional dimaksud. Namun, dalam melaksanakan peran ini pun Mahkamah dibatasi oleh kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Konstitusi. [3.12.3] Bahwa para Pemohon menyatakan pengaduan konstitusional merupakan bagian dari pengujian undang-undang. Secara akademik, pernyataan ini juga benar adanya. Sebab, baik pengujian konstitusionalitas undang-undang maupun pengaduan konstitusional pada dasarnya adalah bagian dari pengujian konstitusional (constitutional review) yang merupakan fungsi utama mahkamah konstitusi di manapun di dunia. Dari fungsi constitutional review inilah diturunkan dua “tugas” utama Mahkamah Konstitusi. Pertama, menjamin bekerjanya hubungan saling mempengaruhi dan saling mengimbangi antarcabang kekuasaan negara, dengan kata lain menjaga bekerjanya mekanisme “checks and balances” antarcabang kekuasaan negara. Dalam konteks Indonesia, dari tugas inilah diturunkan kewenangan Mahkamah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Kedua, tugas untuk melindungi hak-hak individu warga negara dari kemungkinan pelanggaran oleh cabang-cabang kekuasaan negara. Dalam konteks Indonesia, dari tugas inilah diturunkan, antara lain, kewenangan Mahkamah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dalam sistem hukum sejumlah negara, dari tugas ini pula diturunkan kewenangan mengadili pengaduan konstitusional yang acapkali bertaut erat dengan kewenangan pengujian konstitusionalitas undang-undang. Mencermati pertimbangan hukum di atas, secara substansial, menurut Mahkamah pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XVII/2019 telah menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Mahkamah dalam kedudukannya adalah sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution) dan sekaligus pelindung hak-hak konstitusional (guardian of constitutional rights) memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun demikian, Mahkamah pun menyadari, pengaduan konstitusional merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal ini, pengaduan konstitusional merupakan suatu wadah bagi warga negara yang merasa hak konstitusionalnya atau hak yang diberikan oleh konstitusi dilanggar atau diabaikan dalam penyelenggaraan negara. Sekalipun menyadari arti penting pengaduan konstitusional, politik hukum ketentuan judicial review di Indonesia pada dasarnya menganut dua lembaga secara terpisah yang berwenang menilai atau menguji peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sementara itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Ihwal pengaduan konstitusional sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945. Meskipun dalam praktik, sejumlah fakta menunjukkan, beberapa perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke Mahkamah, secara substansi merupakan pengaduan konstitusional. Namun dikarenakan UUD 1945 dan UU MK termasuk sejumlah undang-undang dalam rumpun kekuasaan kehakiman tidak mengatur perihal kewenangan untuk menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional, Mahkamah menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa permohonan-permohonan dimaksud. Dengan telah adanya sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya telah berpendirian bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa permohonan pengaduan konstitusional, di satu sisi telah menyebabkan kekosongan hukum untuk memenuhi dan sekaligus menjawab kebutuhan dimaksud. Sementara di sisi lain, kebutuhan menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional adalah sebuah keniscayaan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga dan sekaligus sebagai salah satu wujud nyata pemenuhan prinsip negara hukum. Keniscayaan demikian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan dan sekaligus amanah dari norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, diperlukan dasar hukum yang jelas dan tegas berkenaan dengan pengaduan konstitusional dimaksud. Jikalau dibaca secara keseluruhan substansi permohonan perihal norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, Pemohon menghendaki agar norma a quo juga dimaknai termaktub pengaduan konstitusional di dalamnya. Dalam batas penalaran yang wajar, jika dimaknai sebagaimana yang dikehendaki Pemohon tersebut, maka Mahkamah secara langsung akan menambah kewenangan Mahkamah. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk saat ini Mahkamah berpendirian, menjadi lebih baik jika kewenangan pengaduan konstitusional dimaksud ditambahkan oleh pembentuk undang-undang dengan cara merevisi UU MK. Pilihan demikian menjadi masuk akal karena pengaduan konstitusional tidak hanya sekadar menambahkan kewenangan tetapi harus dipertimbangkan secara lebih komprehensif kemungkinan-kemungkinan konsekuensinya dalam desain besar penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman. Pertimbangan demikian lebih mungkin dilakukan oleh pembentuk undang-undang dengan melibatkan partisipasi berbagai pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap kekuasaan kehakiman. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK yang pada intinya menghendaki wewenang Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 termasuk dimaknai pengaduan konstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan frasa “amar putusan” dalam Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK inkonstitusional karena paradigma yang terbentuk saat ini pihak eksekutor hanya menjalankan apa yang ada dalam amar putusan tanpa memperhatikan pertimbangan putusan. Menurut Pemohon, pertimbangan hukum dalam judicial review memiliki kekuatan hukum mengikat yang sama dengan Amar Putusan untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum yang adil. Terhadap permasalahan konstitusionalitas tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1. Bahwa rumusan norma dalam Pasal 57 ayat (1) UU MK telah jelas dan tegas mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai menyatakan inkonstitusionalnya pengujian materiil suatu undang-undang terhadap UUD 1945, sedangkan Pasal 57 ayat (2) UU MK adalah mengatur Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai menyatakan inkonstitusionalnya pengujian formil suatu undang-undang. Dengan demikian, jika suatu undang-undang, baik materi muatan maupun pembentukannya, terbukti bertentangan dengan UUD 1945 maka guna menegakkan prinsip supremasi konstitusi yang dilaksanakan melalui pengadilan yang bebas dan merdeka, kepada Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk menyatakan undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat; 2. Bahwa terkait dengan Putusan Mahkamah, berdasarkan Pasal 48 ayat (2) UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat a. kepala putusan berbunyi; “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, b. identitas pihak, c. ringkasan permohonan, d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan, e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan, f. amar putusan; dan g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera. Dengan demikian, dalam menentukan Amar Putusan yang bersifat final and binding (terakhir dan mengikat) dibutuhkan dasar putusan yang terletak dalam pertimbangan hukum. Selain itu, pertimbangan hukum tersebut dapat dianggap sebagai tafsir atau interpretasi hakim terhadap suatu perkara berdasarkan UUD 1945; 3. Bahwa terdapat dua jenis pertimbangan hukum, pertama adalah ratio decidendi, yaitu pendapat hukum yang langsung berkaitan dengan kesimpulan dan amar sehingga tidak dapat dipisahkan dari amar putusan serta mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan kedua adalah obiter dictatum, yaitu pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan perkara maupun dengan amar putusan serta tidak mengikat. Oleh karenanya, jika dalam pertimbangan hukum telah ditemukan adanya persoalan konstitusionalitas norma maka akan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 4. Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah tidak ada permasalahan konstitusionalitas norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon serta tidak terdapat pula relevansinya dalil Pemohon dengan inkonstitusionalitas norma Pasal a quo. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, justru akan mengubah konstruksi norma UU MK karena berdampak pada norma lainnya. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai norma Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2) UU MK adalah tidak beralasan menurut hukum [3.13.3] Bahwa selanjutnya Pemohon memohon kepada Mahkamah agar norma Pasal 87 huruf b UU MK dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan lain dari yang termaktub dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 Paragraf [3.22] hlm. 130, yakni Hakim Konstitusi yang sedang menjabat melanjutkan masa jabatannya tanpa mengenal periodisasi sehingga tidak dapat digantikan atau diberhentikan di luar dari ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang a quo. Berkenaan dengan permohonan tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Secara normatif, Pasal 87 huruf b UU MK menyatakan, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: b. Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun”. Dalam perkembangannya, norma Pasal 87 huruf b UU MK tersebut diajukan pengujian konstitusionalitasnya oleh beberapa Pemohon, di antaranya dalam Permohonan Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Setelah melalui serangkaian persidangan, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan berkenaan dengan norma Pasal 87 huruf b UU MK. Artinya, Mahkamah Konstitusi menyatakan norma Pasal 87 huruf b UU MK adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusional). Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan norma Pasal 87 huruf b UU MK dapat ditelisik dalam Paragraf [3.18] yang antara lain menyatakan: “…, Mahkamah dapat memahami bahwa keberadaan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 adalah sebagai norma “jembatan/penghubung” dalam rangka memberlakukan ketentuan Pasal 15 UU 7/2020 yang mengubah Pasal 15 UU 8/2011. Dapat juga dikatakan bahwa dari sisi penafsiran sistematis, Pasal 87 huruf b UU 7/2020 merupakan “jembatan” yang mentransformasikan konsep lama menjadi konsep baru. Anutan konsep lama adalah periodisasi jabatan hakim, sedangkan anutan konsep baru adalah non-periodisasi jabatan hakim”. Berdasarkan pendapat tersebut, politik hukum pembentuk UU MK [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020)] dari masa jabatan hakim yang mengenal periodisasi menjadi non-periodisasi jabatan hakim adalah sesuatu yang konstitusional. Politik hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 Juli 2017, yang antara lain menyatakan independensi dan/atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman antara lain ditentukan oleh proses seleksi (the manner of the appointment or the mode of appointing judges) dan masa jabatan (term of office or the tenure judges). Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 ditegaskan lebih jauh bahwa masa jabatan (tenure of office) Hakim Konstitusi sebaiknya hanya satu periode dengan tenggat waktu lebih lama. Sebagaimana maksud dan substansi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman, in casu Mahkamah Konstitusi, pembentuk UU MK menghapus rezim periodisasi, yaitu masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya. Dengan hapusnya rezim periodisasi yang pemberlakuannya terhadap hakim yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) dijembatani oleh norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau konstitusional, Mahkamah merasa perlu memberitahukan berupa konfirmasi kepada masing-masing lembaga pengusul. Dalam hal ini Mahkamah menyatakan: Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung); Kemudian, beberapa waktu setelah pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, Mahkamah mengirim surat kepada lembaga pengusul (yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung), dengan perihal “Pemberitahuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020”, tertanggal 21 Juli 2022. Dalam surat Pemberitahuan dimaksud, sesuai dengan amar dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, mengharuskan Mahkamah untuk melaksanakan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga yang mengusulkan dan mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi dimaksud hanya mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung). Selain itu, untuk menghindari perdebatan dan kemungkinan adanya kekeliruan dalam memaknai perihal berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK, dalam Surat Pemberitahuan dimaksud Mahkamah memberitahukan masa jabatan masing-masing hakim konstitusi berdasarkan UU 24/2003 serta perubahan dan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi setelah tidak adanya periodisasi berdasarkan UU MK, yaitu sebagai berikut: Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan DPR, yaitu: 1. Arief Hidayat - berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 1 April 2013 sampai dengan 27 Maret 2023 - berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 03 Februari 2026 2. Aswanto - berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2024 - berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 21 Maret 2029 3. Wahiduddin Adams - berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 21 Maret 2014 sampai dengan 21 Maret 2024 - berdasarkan UU 7 Tahun 2020 menjabat sampai dengan 17 Januari 2024. Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan Presiden, yaitu: 1. Saldi lsra - berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 11 April 2017 sampai dengan 11 April 2022 - berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 11 April 2032 2. Enny Nurbaningsih - berdasarkan UU 24/2003 menjabat 13 Agustus 2018 sampai dengan 13 Agustus 2023 - berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 27 Juni 2032 3. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh - berdasarkan UU 24/2003 menjabat 7 Januari 2020 sampai dengan 7 Januari 2025 - berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 15 Desember 2034. Bagi Hakim Konstitusi yang diajukan Mahkamah Agung, yaitu: 1. Anwar Usman - berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 6 April 2011 sampai dengan 7 April 2021 - berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 7 April 2026 2. Suhartoyo - berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 7 Januari 2015 sampai dengan 7 Januari 2025 - berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 15 November 2029 3. Manahan M.P. Sitompul - berdasarkan UU 24/2003 menjabat mulai 28 April 2015 sampai dengan 8 Desember 2023 - berdasarkan UU 7/2020 menjabat sampai dengan 8 Desember 2023. Sekalipun Mahkamah telah menjelaskan dan menegaskan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi dimaksud, hal demikian tidak berarti hakim konstitusi tidak dapat diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan, yaitu sebelum mencapai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau sebelum selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Dalam hal ini pemberhentian hakim konstitusi dalam masa jabatannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU MK. Selain itu, sebagaimana diatur dalam UU MK, mulai dari UU 24/2003 sampai dengan UU 7/2020, pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan keputusan presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK. Seandainya terjadi alasan pemberhentian dalam masa jabatan tersebut, pemberhentian oleh Presiden baru dilakukan setelah adanya surat permintaan dari Ketua Mahkamah Konstitusi. Penegasan demikian perlu dinyatakan secara tegas karena proses penggantian hakim konstitusi oleh lembaga pengusul baru ditindaklanjuti setelah adanya keputusan presiden mengenai pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan. Dalam batas penalaran yang wajar, adanya pengaturan yang jelas dan tegas mengenai kemungkinan memberhentikan seorang hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan dimaksudkan untuk menjaga independensi dan sekaligus menjaga kemandirian serta kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Artinya, tindakan yang dilakukan di luar ketentuan norma Pasal 23 UU MK adalah tidak sejalan dengan UUD 1945. Hal demikian, selain potensial merusak dan menganggu independensi hakim konstitusi, tindakan di luar ketentuan tersebut juga merusak independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai benteng utama negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Apabila dikaitkan dengan dalil Pemohon, pertimbangan hukum tersebut di atas telah cukup untuk menjelaskan dan menegaskan keberadaan norma Pasal 87 huruf b UU MK dikaitkan dengan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Pertimbangan hukum dimaksud, sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan lainnya, memiliki kekuatan mengikat sehingga Hakim Konstitusi yang sedang menjabat hanya dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya sepanjang sesuai dengan norma dalam Pasal 23 UU MK. Dengan demikian, norma Pasal 87 huruf b UU MK tidak perlu dan tidak relevan dimaknai sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Selain telah ditegaskan dan dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, memberikan penegasan langsung ke dalam norma Pasal 87 huruf b UU MK, sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dapat menggeser makna norma a quo sebagai norma peralihan yang bersifat einmalig. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai kepastian hukum yang adil dalam menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 87 huruf b UU MK, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XIX/2021 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2019 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA NASIONAL UNTUK PERTAHANAN NEGARA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (KontraS), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Ikhsan Yosarie, S.IP., Gustika Fardani Jusuf, B.A., (Hons.), Leon Alvinda Putra yang diwakili oleh Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019

Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: Dalam Provisi [3.7] Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya mengajukan provisi yang pada pokoknya meminta Mahkamah untuk mengeluarkan putusan provisi (sela) yang menyatakan implementasi UU 23/2019 khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan ditunda pelaksanaannya sepanjang undang-undang a quo masih dalam proses pengujian di Mahkamah. Bahwa terhadap permohonan provisi para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah tidak terdapat urgensinya untuk menunda pelaksanaan UU 23/2019 terutama yang terkait dengan perekrutan komponen cadangan, karena para Pemohon tidak mengajukan bukti yang kuat berkaitan dengan perekrutan komponen cadangan serta dampak negatif yang ditimbulkan oleh perekrutan dimaksud. Selain itu, jika pelaksanaan undang-undang a quo ditunda justru dapat terjadi kekosongan hukum dalam pengelolaan sumber daya nasional untuk mewujudkan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, terutama dalam mempersiapkan pengadaan komponen cadangan yang terlatih, apabila suatu waktu dibutuhkan ketika negara dalam keadaan terancam. Oleh karenanya dibutuhkan komponen cadangan yang telah siap sedia, baik dari segi kemampuan dasar militernya maupun kemampuan kesiagaan ketika terjadi ancaman. Terlebih lagi, keterlibatan warga negara sebagai komponen cadangan bersifat sukarela. Dengan demikian, tidak terdapat urgensi untuk menunda pelaksanaan UU 23/2019. Oleh karena itu, menurut Mahkamah permohonan provisi para Pemohon tidaklah beralasan menurut hukum. Dalam Pokok Permohonan [3.14.1] Bahwa setelah mencermati secara saksama dalil para Pemohon dalam permohonannya, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 dan Pasal 79 UU 23/2019. Para Pemohon dalam permohonannya mendalilkan Pasal 75 UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah sebagaimana diatur oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, serta telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum sehingga bertentangan juga dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon a quo, sebelum mempertimbangkan lebih lanjut, Mahkamah terlebih dahulu mengutip Pasal 74 huruf b Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Udang (PMK 2/2021) yang pada pokoknya menyatakan, Mahkamah dapat menyatakan permohonan tidak jelas atau kabur antara lain karena: b. dalil tidak terdapat dalam posita tetapi ada dalam petitum atau sebaliknya. Dengan mendasarkan pada ketentuan a quo, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon a quo terdapat dalam posita atau pokok permohonan para Pemohon, namun tidak terdapat dalam petitum permohononan para Pemohon. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 UU 23/2019 harus dinyatakan tidak jelas atau kabur sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Dalam permohonannya, para Pemohon juga mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 79 UU 23/2019, namun dalam petitumnya terdapat ketidaksesuaian petitum, yakni antara petitum angka 5 dan angka 6 dengan petitum angka 7 dan angka 8, di mana dalam Petitum angka 5 dan angka 6, para Pemohon meminta antara lain Pasal 79 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dibaca “Warga Negara dan/atau komponen cadangan sumber daya manusia”. Namun, dalam petitum angka 7 dan petitum angka 8 para Pemohon juga meminta, antara lain Pasal 79 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Setelah mencermati secara saksama, pada satu sisi para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memberikan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 79 UU 23/2019 dan di sisi lain memohon kepada Mahkamah untuk dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Mahkamah, petitum yang demikian adalah petitum yang saling bertentangan yang hanya dapat dibenarkan kalau di antara keduanya dibuat secara pilihan (alternatif) bukan bersifat kumulatif. Oleh karenanya, petitum demikian menjadi tidak jelas atau kabur, sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut. [3.14.2] Bahwa selanjutnya, Mahkamah akan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas norma UU 23/2019 yang dipersoalkan oleh para Pemohon, yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Apakah benar norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 UUD 1945. 2. Apakah benar norma Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. 3. Apakah benar norma Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1), serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945. 4. Apakah benar norma Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 5. Apakah benar norma Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. [3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 telah menciptakan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas, terutama terkait dengan identifikasi bentuk-bentuk ancaman yang terdiri dari militer, nonmiliter, dan hibrida sehingga berpotensi multitafsir dalam implementasinya. Para Pemohon juga 306 mendalikan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 tidak sejalan atau disharmonis dengan ketentuan Pasal 7 UU 3/2002. … [3.15.1] Bahwa para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip kepastian hukum karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas. Selain itu, juga menurut para Pemohon ancaman dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU 23/2019 tidak sejalan atau disharmonis dengan pengaturan ancaman dalam ketentuan Pasal 7 UU 3/2002. Dalam hal ini, Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2002 pada pokoknya menentukan 307 bahwa ancaman militer dalam sistem pertahanan negara menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, serta ancaman nonmiliter dalam sistem pertahanan negara menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa. Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 4 UU 23/2019 ditentukan pada pokoknya 3 (tiga) jenis ancaman, yakni: (1) ancaman militer yang merupakan ancaman dengan menggunakan kekuatan bersenjata yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman militer terhadap integrasi nasional dapat berasal baik dari luar maupun dalam negeri. Misalnya ancaman dari luar negeri adalah mata-mata (spionase), agresi militer, aksi teror dari jaringan internasional pelanggaran wilayah oleh negara lain, sabotase (perusa akan milik pemerintah, dan sebagainya). Sedangkan, ancaman dari dalam negeri, berupa antara lain pemberontakan bersenjata, aksi kekerasan yang berbau SARA, konflik horisontal, gerakan separatis (upaya pemisahan diri untuk membuat negara baru [vide Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002]; (2) ancaman nonmiliter yang merupakan bentuk ancaman yang tidak menggunakan senjata. Namun, jika dibiarkan, bisa membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, serta keselamatan segenap bangsa. Pada hakikatnya, ancaman nonmiliter dinilai berpotensi membahayakan kedaulatan negara, kepribadian bangsa, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman ini salah satunya disebabkan oleh pengaruh negatif dari globalisasi yang menghilangkan sekat atau batas pergaulan antarbangsa, disadari atau tidak telah menimbulkan dampak negatif yang berpotensi menjadi ancaman bagi keutuhan sebuah negara. Ancaman nonmiliter mencakup dimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan hingga teknologi dan informasi; (3) ancaman hibrida sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU 23/2019 adalah ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Lebih lanjut, setelah Mahkamah mencermati secara saksama substansi Pasal 4 ayat (2) UU 23/2019, pada prinsipnya telah mengakomodasi prinsip prediktabilitas terhadap perkembangan berbagai bentuk ancaman yang sangat dinamis yang tentunya memiliki perbedaan situasi dan kondisi dibandingkan dengan pengaturan jenis ancaman pada saat UU 3/2002 diundangkan. Penambahan jenis ancaman hibrida dalam ketentuan Pasal a quo adalah untuk melengkapi lingkup ancaman yang diatur dalam UU 3/2002 yang belum mengatur perihal ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan ancaman nonmiliter. Selain itu, penambahan jenis ancaman dimaksud juga untuk mengantisipasi perkembangan ancaman yang bersifat multidimensional dan strategis sesuai dengan perkembangan global. Bertolak dari pendefinisian ancaman dan jenis-jenis ancaman terhadap negara sebagaimana telah diuraikan di atas, menurut Mahkamah dengan adanya jenis-jenis ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan negara yang tidak hanya berupa ancaman militer dan ancaman nonmiliter, termasuk juga ancaman hibrida, hal tersebut merupakan identifikasi terhadap hakikat ancaman yang sangat dinamis yang berbeda situasi dan kondisinya. Ancaman hibrida merupakan jenis ancaman yang juga harus diwaspadai dalam konteks perkembangan kekinian yang sebelumnya tidak diatur dalam UU 3/2002. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah jika pembentuk undang-undang hanya mengkomodasi pengaturan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara pada jenis ancaman militer dan ancaman nonmiliter sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU 3/2002, maka jika terjadi ancaman yang tidak terdapat dalam kedua jenis ancaman tersebut, hal demikian akan dapat menyebabkan terjadinya kekosongan hukum dalam menanggulangi ancaman yang bersifat multidimensional dan campuran antara ancaman militer dan nonmiliter. [3.15.2] Bahwa selanjutnya, para Pemohon juga mendalilkan mobilisasi komponen cadangan dan komponen pendukung yang diatur pada Pasal 29 UU 23/2019 hanya dapat dilakukan untuk menghadapi ancaman militer dengan adanya pernyataan keadaan bahaya. Dalam kaitan dengan dalil para Pemohon tersebut, penting untuk 311 dicermati secara saksama keterkaitan antara pasal-pasal dalam UU 23/2019. Dalam hal ini, Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 UU 23/2019 menyatakan: Pasal 63 (1) Dalam hal seluruh atau sebagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang, Presiden dapat menyatakan Mobilisasi. (2) Dalam menyatakan Mobilisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 64 (1) Mobilisasi dikenakan terhadap Komponen Cadangan. (2) Komponen Pendukung yang dikenai Mobilisasi harus ditingkatkan statusnya menjadi Komponen Cadangan. Pasal 65 (1) Komponen Pendukung yang tidak ditingkatkan statusnya menjadi Komponen Cadangan wajib memberikan dukungan pada saat Mobilisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan tugas dan fungsi. (2) Komponen Pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat nonkombatan. Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pernyataan mobilisasi yaitu pengerahan dan penggunaan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang telah dipersiapkan dan dibina sebagai komponen kekuatan pertahanan negara, tidaklah serta merta tetapi harus melewati prosedur yang ketat. Mobilisasi dilakukan dalam hal seluruh atau sebagian wilayah NKRI dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang. Dalam menyatakan mobilisasi, Presiden harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, Mobilisasi dikenakan terhadap komponen cadangan, dan bagi komponen Pendukung yang dikenai mobilisasi tidaklah serta merta, tetapi statusnya harus ditingkatkan terlebih dahulu menjadi komponen cadangan. Prosedur dalam UU 23/2019 yang menghendaki adanya persetujuan DPR dalam menghadapi ancaman militer telah sejalan pula dengan keberlakuan Pasal 14 UU 3/2002 dan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002. Karena ancaman militer yang dimaksudkan dalam Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Dengan demikian, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU 23/2019 telah menciptakan ketidakpastian hukum karena perumusannya ambigu dan tidak mengakomodasi prinsip prediktabilitas dalam penyusunannya sehingga berpotensi multitafsir dalam implementasinya serta dianggap tidak sejalan atau disharmonis dengan pengaturan ancaman dalam ketentuan Pasal 7 UU 3/2002 adalah dalil yang tidak beralasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 81, dan Pasal 82 UU 23/2019 telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Lebih lanjut, menurut para Pemohon pengaturan mengenai sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana prasarana lain sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung tidak diatur secara rigid dan rinci sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dengan alasan pertahanan negara. Oleh karena itu, menurut para Pemohon ketentuan pasal-pasal a quo bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dengan memperhatikan norma Pasal 1 angka 2 UU 3/2002 yang pada pokoknya menyatakan sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, maka dengan sifat kesemestaannya tersebut pemerintah harus mempersiapkan secara dini seluruh sumber daya nasional dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala macam ancaman. Sumber daya nasional dimaksud adalah bagian dari komponen cadangan yang terdiri dari warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana serta prasarana nasional yang telah ditentukan dalam Pasal 28 UU 23/2019 bahwa: (1) Komponen Cadangan terdiri atas: a. Warga Negara; b. Sumber Daya Alam; c. Sumber Daya Buatan; dan d. Sarana dan Prasarana Nasional (2) Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela. (3) Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d merupakan pemanfaatan dalam usaha Pertahanan Negara. Pembentukan komponen cadangan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional merupakan wujud dari pemanfaatan dalam usaha pertahanan negara setelah ditetapkan menjadi komponen cadangan melalui tahapan verifikasi dan klasifikasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 UU 23/2019 yang menyatakan: Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan menjadi Komponen Cadangan setelah melalui tahapan: a. verifikasi; dan b. klasifikasi. Verifikasi yang dimaksud adalah kegiatan pendataan terhadap sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah memenuhi syarat sebagai komponen cadangan. Selanjutnya, UU 23/2019 juga telah mengatur mengenai komponen cadangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 dan Pasal 51 sampai dengan Pasal 55 UU 23/2019 yang masing-masing menyatakan sebagai berikut: Pasal 23: Penetapan Komponen Pendukung tidak menghilangkan: Pasal 51 Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditetapkan menjadi Komponen Cadangan setelah melalui tahapan: a. verifikasi; dan b. klasifikasi. Pasal 52 (1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dilaksanakan melalui kegiatan pendataan terhadap Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang memenuhi syarat sebagai Komponen Cadangan. (2) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang ditetapkan sebagai Komponen pendukung. Pasal 53 Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional yang telah diverifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 diklasifikasikan melalui kegiatan pemilahan dan pengelompokan sesuai dengan kematraan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31. Pasal 54 (1) Setelah tahapan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional ditetapkan menjadi Komponen Cadangan. (2) Penetapan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. (3) Dalam menetapkan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri terlebih dahulu berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga terkait. (4) Penetapan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada pemilik atau pengelola Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional. Pasal 55 Penetapan Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 tidak menghilangkan: a. hak pemilik untuk mengalihkan hak kepemilikan, mengelola, dan/atau menggunakan; dan/atau b. hak pengelola untuk mengelola dan/atau menggunakan, terhadap Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional. Bahwa tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas peraturan pelaksana UU 23/2019, pelaksanaan pembentukan komponen cadangan tersebut juga telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PP 3/2021). Merujuk ketentuan-ketentuan tersebut di atas, menjadi jelas bahwa sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, selain harus dipersiapkan secara dini oleh pemerintah juga harus diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut tidak lain adalah dalam rangka menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala macam bentuk ancaman. Selain itu, penetapan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional telah dilakukan melalui serangkaian tahapan atau prosedur, antara lain proses verifikasi dan klasifikasi, sehingga penggunaan sumber daya tersebut terukur agar tidak melanggar hak asasi manusia dan hak kepemilikan pribadi atas sumber daya tersebut. Dengan cara tersebut negara tidak boleh mengambil alih kepemilikan properti warga negara secara sewenang-wenang. Dengan kata lain, penetapan Komponen Cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional tidak mengabaikan prinsip kesukarelaan karena sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional yang dikelola dengan baik oleh warga negara telah melewati serangkaian tahapan yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan dengan kesukarelaan dari pemilik, dan tetap memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, tidak akan membuka ruang potensi konflik sumber daya alam dan konflik pertanahan antara negara dan masyarakat. Oleh karena itu, penetapan sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional sebagai komponen cadangan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain. Dengan demikian, pembentukan komponen cadangan yang merupakan salah satu wadah keikutsertaan warga negara serta sarana dan prasarana nasional dalam usaha pertahanan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah (Kementerian) harus tetap menerapkan sistem tata kelola pertahanan negara yang demokratis, berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia serta mentaati peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu, untuk melakukan mobilisasi sumber daya nasional hanya dapat ditetapkan oleh Presiden setelah mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena keadaan darurat militer atau keadaan perang [vide Pasal 63 UU 23/2019]. Dalam hal telah dinyatakan oleh Presiden mengenai mobilisasi maka mobilisasi dikenakan kepada komponen cadangan. Pengunaan komponen cadangan ini adalah dalam rangka untuk memperbesar dan memperkuat komponen utama [vide Pasal 61 UU 23/2019]. Penting bagi Mahkamah menegaskan kembali bahwa keberadaan warga negara sebagai komponen cadangan dimaksud merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela [vide Pasal 28 ayat 2 UU 23/2019]. Selanjutnya, terhadap sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional milik pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, dan milik perseorangan yang telah selesai dimobilisasi wajib dikembalikan ke fungsi dan status semula melalui demobilisasi dengan disertai kompensasi sesuai dengan kemampuan negara berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 72 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU 23/2019 yang menyatakan: (1) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional milik Pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, dan milik perseorangan yang telah selesai di-Mobilisasi wajib dikembalikan ke fungsi dan status semula melalui Demobilisasi. (2) Pemerintah wajib mengembalikan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional milik Pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, milik perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan disertai kompensasi sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. (3) Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pemilik dan/atau pengelola setelah Demobilisasi paling lama 3 (tiga) tahun. Pasal 79 sampai dengan Pasal 83 UU 23/2019 yang dipersoalkan oleh para Pemohon melanggar prinsip conscientious objection karena aturannya yang tidak rigid. Terhadap hal tersebut, sebagaimana telah dikemukakan pada pertimbangan hukum di atas, dalam kaitan dengan ketentuan pidana ini, penting Mahkamah tegaskan bahwa norma hukum pidana tersebut merupakan kategori administrative penal law yakni produk legislatif berupa peraturan perundang undangan dalam lingkup administrasi negara yang memuat sanksi pidana. Hal ini mengingat, keberadaan ketentuan kewajiban yang telah diatur dalam norma Pasal 66 UU 23/2019 harus dibarengi dengan ketentuan pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara, karena kewajiban pemilik dan/atau pengelola menyerahkan pemanfaatan atas sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional telah disepakati untuk ditetapkan statusnya menjadi komponen cadangan. Oleh karena itu, ancaman sanksi pidana merupakan konsekuensi logis untuk menghindari adanya pengingkaran dan tipu muslihat [vide Pasal 77 sampai dengan Pasal 82 UU 23/2019]. Dengan adanya pengaturan sanksi pidana yang jelas dalam penegakannya, menurut Mahkamah akan mendorong percepatan pemulihan kembali keadaan dan demobilisasi. Terlebih lagi, proses penetapan menjadi komponen cadangan melewati prosedur yang ketat dengan adanya pernyataan Presiden untuk mobilisasi karena seluruh atau sebagian wilayah NKRI dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang dan pernyataan tersebut harus mendapatkan persetujuan DPR [vide Pasal 63 UU 23/2019]. Keadaan darurat militer atau darurat perang tersebut dapat terjadi karena negara menghadapi ancaman militer atau ancaman hibrida [vide Pasal 29 UU 23/2019]. Dalam kaitan dengan ancaman, khususnya ancaman hibrida untuk menyatakan mobilisasi, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang perlu segera mengatur secara lebih rinci dan komprehensif dalam undang-undang dengan cara mengharmoniskan dan mensinkronkan dengan undang-undang lainnya, antara lain UU 3/2002 dan UU 34/2004. Perubahan yang komprehensif tersebut perlu segera dilakukan mengingat ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU 23/2019 tidak terdapat kejelasan pembedaan antara ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Terlebih lagi, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU 23/2019 dijelaskan bahwa ancaman hibrida adalah sebagai ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan nonmiliter. Perubahan demikian menjadi penting karena telah ditetapkan sebagai salah satu RUU dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2022 [vide Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024]. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa pada pokoknya para Pemohon mendalilkan menjadikan warga negara secara langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1), serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 melanggar ketentuan Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 dan juga bertentangan dengan prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya), yang merupakan prinsip kardinal dalam pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan, yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia. Terhadap dalil para Pemohon a quo, menurut Mahkamah sebagaimana telah dipertimbangkan pada Paragraf [3.13] mengenai upaya bela negara dan keikutsertaan warga negara dalam pertahanan dan keamanan negara, telah diamanatkan dalam UUD 1945, khususnya dalam ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 UUD 1945. Dalam kaitan dengan ketentuan dimaksud dan mengingat perjalanan sejarah bangsa Indonesia, maka sebagaimana negara-negara lainnya juga memiliki cara sendiri untuk membangun sistem pertahanan negaranya, yaitu sistem pertahanan yang bersifat semesta dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, yang dipersiapkan secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala Ancaman [vide Penjelasan Umum UU 23/2019]. Dalam kaitan ini, lebih lanjut Pasal 9 UU 3/2002 menyatakan bahwa: (1) Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. (2) Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui: a. pendidikan kewarganegaraan; b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib; c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara sukarela atau secara wajib; dan (3) Ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran secara wajib, dan pengabdian sesuai dengan profesi diatur dengan undang-undang. Ketentuan dimaksud menguatkan bahwa upaya bela negara yang dilakukan oleh warga negara pada dasarnya adalah dalam rangka membentuk sikap dan tindak warga negara yang dilandasi oleh kecintaan kepada negara. Dalam hal ini, seluruh warga negara secara sadar sudah seharusnya cinta kepada negara yang diwujudkan dalam kesediaan untuk melindungi, mempertahankan, dan memajukan kehidupan bersama. Kesadaran bela negara tersebut pada hakikatnya adalah kesediaan berbakti pada negara dan berkorban untuk membela negara yang dapat diwujudkan dalam berbagai hal yang terbaik untuk negara. Persoalannnya adalah apakah bela negara yang dilakukan oleh warga negara yang bergabung sebagai komponen cadangan untuk pertahanan negara tidak memberikan perlindungan bagi warga negara jika ada warga negara yang menolak dengan alasan keyakinan dan hati nurani (conscientious objection) sehingga berpotensi menyebabkan kriminalisasi dan pelanggaran hak-hak asasi warga negara. Berkenaan dengan persoalan pokok di atas, penting dipahami secara saksama ketentuan dalam UU 3/2002, di mana dalam ketentuan Pasal 8 UU a quo menyatakan: (1) Komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. (2) Komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumberdaya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. (3) Komponen cadangan dan komponen pendukung, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan undang-undang. Dengan mendasarkan pada ketentuan tersebut, dibentuklah UU 23/2019 yang mengatur lebih lanjut mengenai keikutsertaan warga negara dalam sistem pertahanan negara sebagaimana amanat Pasal 30 UUD 1945. Warga negara pada pokoknya dapat ikut serta dalam usaha penyelenggaraan pertahanan negara sebagai komponen pendukung atau komponen cadangan [vide Pasal 17 dan Pasal 18 UU 23/2019]. Keikutsertaan demikian ditentukan oleh pembentuk UU a quo bersifat sukarela. Dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (2) UU 23/2019 dijelaskan bahwa yang dimaksud sukarela adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, partisipasi warga negara dalam membela negara tidak melanggar prinsip conscientious objection (hak untuk menolak untuk bergabung dalam dinas militer), karena negara tidak mewajibkan warga negaranya untuk menjadi komponen cadangan dan/atau komponen pendukung melainkan secara sukarela dalam usaha penyelenggaraan pertahanan negara sebagaimana ditentukan juga dalam Pasal 28 ayat (2) UU 23/2019 yang menyatakan, “Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela.” Hal tersebut juga tergambar jelas dalam tata cara perekrutan komponen cadangan yang ditentukan dalam Pasal 33 UU 23/2019 yang menyatakan: (1) Setiap Warga Negara berhak mendaftar menjadi calon Komponen Cadangan. (2) Setiap Warga Negara yang mendaftar menjadi calon Komponen Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. berusia minimal 18 (delapan belas) tahun dan maksimal 35 (tiga puluh lima) tahun; d. sehat jasmani dan rohani; dan e. tidak memiliki catatan kriminalitas yang dikeluarkan secara tertulis oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain itu, ketentuan tentang perekrutan komponen cadangan juga diatur dalam PP 3/2021 yang merupakan pelaksana UU 23/2019. Dengan telah ditentukannya tata cara perekrutan komponen cadangan sebagaimana termuat dalam PP 3/2021 tersebut maka telah jelas bahwa dalam hal perekrutan warga negara untuk bergabung dalam komponen cadangan tidak terdapat paksaan sama sekali kepada kepada warga negara. Dalam kaitan ini, proses perekrutan harus melalui beberapa tahapan, antara lain mendaftarkan diri dan mengikuti seleksi administrasi dan kompetensi. Oleh karena itu, dengan adanya ketentuan yang tidak mewajibkan bagi warga negara untuk ikut mendaftar dan bergabung dalam komponen cadangan dapat dikatakan bahwa UU a quo telah sejalan dengan prinsip conscientious objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya). Dengan demikian, kriteria atau persyaratan dalam perekrutan komponen cadangan yang telah ditentukan dalam UU 23/2019 tersebut ditujukan kepada setiap warga negara secara sukarela. Artinya, siapapun Warga Negara Indonesia dapat bergabung menjadi anggota komponen cadangan secara sukarela sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan [vide Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 UU 23/2019]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah sekalipun ada ketentuan yang mengatur proses rekrutmen calon komponen cadangan yang telah dinyatakan lulus administrasi dan kompetensi yang wajib mengikuti pelatihan dasar kemiliteran adalah perwujudan bentuk kesiap-siagaan negara apabila komponen cadangan dimaksud sewaktu-waktu dibutuhkan bagi kepentingan pertahanan dan keamanan negara Indonesia. Kewajiban mengikuti pelatihan dasar kemiliteran tersebut ditentukan dengan tetap menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara yang berasal dari unsur aparatur sipil negara, pekerja/buruh, dan mahasiswa. Apabila calon komponen cadangan tersebut dinyatakan lulus dalam pendidikan dasar kemiliteran diangkat dan ditetapkan menjadi komponen cadangan untuk memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama setelah adanya penyataan Presiden mengenai mobilisasi [vide Pasal 38, Pasal 66 dan Penjelasan Umum UU 23/2019]. Sementara itu, terkait dengan kekhawatiran para Pemohon dengan adanya ketentuan Pasal 18 UU 23/2019 yang pada pokoknya menyatakan “Komponen pendukung dapat digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida” bertentangan dengan prinsip conscientious objection dan dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019. Menurut Mahkamah, kekhawatiran para Pemohon a quo dapat dipahami, namun hal demikian telah diantisipasi dengan adanya pengaturan sedemikian rupa mengenai keikutsertaan warga negara untuk dapat dimobilisasi sesuai dengan tahapan-tahapan sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Termasuk juga UU a quo telah sejalan dengan prinsip conscientious objection. Terlebih lagi, penggunaan sumber daya nasional baik berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan dalam kedudukannya sebagai komponen pendukung untuk digunakan bagi kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan pertahanan negara dalam konteks sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, tidaklah serta merta, karena komponen pendukung yang dikenai mobilisasi harus ditingkatkan statusnya terlebih dahulu menjadi komponen cadangan [vide Pasal 64 ayat (2) UU 23/2019]. Dalam konteks sistem kesemestaan semua sumber daya nasional dapat didayagunakan untuk upaya pertahanan negara, baik sebagai komponen pendukung maupun sebagai komponen cadangan. Dalam hal ini, untuk komponen pendukung yang tidak ditingkatkan statusnya menjadi komponen cadangan wajib memberikan dukungan pada saat mobilisasi yang mekanismenya dikoordinasikan oleh kementerian/ lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya [vide Pasal 65 ayat (1) UU 23/2019]. Tujuan pengaturan demikian adalah untuk memberikan batasan-batasan yang jelas dan terukur dalam penggunaan komponen pendukung dan komponen cadangan pada saat mobilisasi. Sementara itu, pengaturan ketentuan pidana yang dipersoalkan oleh para Pemohon adalah berkaitan dengan setiap komponen cadangan yang dengan sengaja membuat dirinya tidak memenuhi panggilan mobilisasi atau melakukan tipu muslihat yang menyebabkan dirinya terhindar dari mobilisasi [Pasal 77 UU 23/2019]. Selanjutnya, Pasal 78 UU 23/2019 berkaitan dengan ketentuan pidana yang ditujukan bagi pemberi kerja/pengusaha atau lembaga pendidikan yang menghambat mobilisasi. Pengaturan sanksi pidana dalam keadaan mobilisasi yang telah dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan tidaklah bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Paragraf [3.16]. Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang mempersoalkan keterlibatan warga negara secara langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) serta Pasal 77 dan Pasal 78 UU 23/2019 bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 dan dengan prinsip conscientious objection adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18] Menimbang bahwa selanjutnya para Pemohon mendalilkan pada pokoknya Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 yang menempatkan anggota Kepolisian Negara RI (Polri) sebagai Komponen Pendukung yang setara dengan warga terlatih, salah satunya adalah anggota organisasi kemasyarakatan, merupakan perumusan norma yang keliru dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, karena mencampuradukkan kekuatan utama dan kekuatan pendukung dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Terhadap dalil para Pemohon a quo, penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa seiring dengan perubahan pengaturan Pertahanan dan Keamanan Negara dalam UUD 1945, yang juga telah ditentukan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000, dan Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 terjadi perubahan rumusan tugas, fungsi, dan peran Polri serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. Fungsi dan peran TNI dan Polri dalam Pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945 adalah: (3) Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. (4) Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Peran dan fungsi TNI dan Polri tersebut selanjutnya dijabarkan dalam undang-undang tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU 2/2002), yang menyatakan, “Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan 323 keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” [vide Pasal 2 UU 2/2002], dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU 34/2004) yang menyatakan, “TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara” [vide Pasal 5 UU 34/2004]. Adanya ketentuan yang membedakan tugas dan fungsi TNI dan Polri mulai dari UUD 1945 hingga undangundang merupakan wujud paradigma baru TNI dan Polri, di mana Polri tidak lagi menjadi bagian dari TNI, tetapi telah menjadi bagian dari masyarakat sipil (civil society). Adanya pengaturan yang dengan tegas membedakan fungsi TNI dan Polri berimplikasi pada berbagai peraturan terkait lainnya, salah satunya adalah UU 23/2019. Perubahan tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”. Bertolak pada ketentuan konstitusi tersebut, ditegaskan pula bahwa TNI dan Polri dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta adalah kekuatan utama sesuai dengan fungsinya masing-masing. Fungsi tersebut harus didasarkan pada paradigma baru Polri yang menempatkannya sebagai bagian dari masyarakat sipil, bukan lagi merupakan bagian yang terintegrasi dengan TNI. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2002 yang menyatakan: (2) Dalam keadaan darurat militer dan keadaan perang, Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan kepada Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. (3) Kepolisian Negara Republik Indonesia membantu secara aktif tugas pemeliharaan perdamaian dunia di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan berbagai ketentuan yang telah diuraikan di atas, Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, dalam komponen pertahanan negara TNI sebagai kekuatan utama adalah Komponen Utama yang berfungsi menangkal terhadap berbagai ancaman militer atau bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI. Sedangkan, Polri sekalipun disebut juga dalam UUD 1945 sebagai kekuatan utama keamanan dan ketertiban masyarakat, namun dalam sistem pertahanan negara bukan merupakan Komponen Utama tetapi Komponen Pendukung. Hal ini telah sejalan dengan paradigma baru Polri yang merupakan bagian dari masyarakat sipil. Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU 23/2019 dan Penjelasannya menyatakan bahwa anggota Polri merupakan bagian dari Komponen Pendukung yang dimaksudkan untuk memperkuat dan memperbesar Komponen Utama sehingga kedudukannya dalam sistem pertahanan negara sama dengan warga negara terlatih yang contohnya antara lain adalah: a. purnawirawan TNI dan Polri; b. anggota resimen mahasiswa; c. anggota satuan polisi pamong praja; d. anggota polisi khusus; e. anggota satuan pengamanan; f. anggota pelindungan masyarakat; dan g. anggota organisasi kemasyarakatan lain yang dapat dipersamakan dengan warga terlatih [vide Penjelasan Pasal 20 ayat (1) huruf b UU 23/2019]. Dengan demikian, menempatkan Polri dalam komponen pertahanan negara sebagai Komponen Pendukung yang disetarakan dengan warga terlatih tidak bertentangan dengan amanat Pasal 30 UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan Pasal 20 ayat (1) huruf a UU 23/2019 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.19] Menimbang bahwa para Pemohon juga mendalilkan Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan di muka hukum dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena terhadap komponen cadangan semestinya tetap diterapkan status subjek hukum sipil, yang sepenuhnya tunduk pada sistem dan mekanisme peradilan sipil (peradilan umum), mengingat kualifikasinya yang berbeda dengan komponen utama yaitu anggota TNI. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah terlebih dahulu mengutip kembali Pasal 46 UU 23/2019 yang menyatakan, “Bagi Komponen Cadangan selama masa aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) diberlakukan hukum militer”. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal a quo dinyatakan, “Yang dimaksud dengan "diberlakukan hukum militer" adalah Komponen Cadangan selama masa aktif tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi militer”. Dengan mendasarkan pada Pasal 44 ayat (1) UU 23/2019 yang dirujuk oleh Pasal 46 UU a quo, terdapat 2 (dua) kriteria Komponen Cadangan yang tunduk pada ketentuan yang berlaku bagi militer, yaitu: (1) Komponen Cadangan pada saat mengikuti pelatihan penyegaran; (2) Komponen Cadangan pada saat mobilisasi. Dalam kaitan dengan mengikuti pelatihan penyegaran yang dimaksud ditentukan oleh UU a quo sebagai salah satu bentuk kewajiban Komponen Cadangan [vide Pasal 41 UU 23/2019]. Dengan demikian, warga negara yang telah memenuhi seluruh persyaratan Komponen Cadangan tersebut dipersamakan dengan prajurit yang mengabdi secara sukarela dalam usaha pertahanan negara. Dalam hal Komponen Cadangan mengikuti pelatihan penyegaran, hal tersebut ditentukan sebagai masa aktif Komponen Cadangan sehingga terhadap mereka diberlakukan hukum militer. Demikian juga halnya jika Komponen Cadangan dimobilisasi karena seluruh atau sebagian wilayah Indonesia dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan dalam Pasal 63 UU 23/2019 maka terhadap Komponen Cadangan tersebut juga berlaku hukum militer. Dengan mendasarkan lebih lanjut pada Penjelasan Pasal 46 UU 23/2019 antara lain dijelaskan bahwa hukum militer adalah semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah mengutip norma Pasal 1 angka 15 UU 34/2004 yang menentukan bahwa “Prajurit Sukarela adalah warga negara yang atas kemauan sendiri mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan”. Jika norma a quo dikaitkan dengan ketentuan Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU 31/1997) telah ditentukan bahwa “Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang: 1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: a. Prajurit; b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit; c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang; d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pangadilan dalam lingkungan peradilan militer. Dalam konteks inilah, norma Pasal 46 UU 23/2019 merupakan unsur yang dimaksudkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c UU 31/1997. Artinya, pengadilan militer 326 tidak hanya ditujukan kepada Komponen Utama, yaitu TNI yang melakukan tindak pidana, melainkan juga bagi Komponen Cadangan baik pada saat mengikuti pelatihan penyegaran dan/atau pada saat dimobilisasi. Jika dicermati secara saksama, dalam ketentuan UU 23/2019 telah ternyata terdapat 2 (dua) istilah pelatihan kemiliteran yang diwajibkan bagi Komponen Cadangan, yakni: (1) pelatihan dasar kemiliteran yang merupakan bagian dari tahapan pembentukan Komponen Cadangan yang diwajibkan bagi calon Komponen Cadangan yang telah lulus seleksi administratif dan kompetensi. Di mana pelatihan dasar tersebut dilaksanakan selama 3 bulan [vide Pasal 32 huruf c dan Pasal 35 ayat (1) UU 23/2019]. Jika calon Komponen Cadangan lolos dalam mengikuti pelatihan dasar kemiliteran, dapat diangkat dan ditetapkan menjadi Komponen Cadangan [vide Pasal 38 ayat (1) UU 23/2019]. Artinya, tenggang waktu selama mengikuti pelatihan dasar kemiliteran tersebut didesain sebagai bagian dari proses seleksi calon Komponen Cadangan. Oleh karena itu, bagi mereka tidak diberlakukan hukum militer. Sementara itu, mengikuti pelatihan penyegaran merupakan kewajiban yang dibebankan kepada Komponen Cadangan yang telah diangkat, ditetapkan dan diambil sumpah/janjinya dan kepada mereka diberikan hak antara lain berupa uang saku selama menjalani pelatihan, rawatan kesehatan dan pelindungan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian [vide Pasal 42 UU 23/2019]. Tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP 3/2021, Komponen Cadangan yang telah dilantik dan mengucapkan sumpah/janji diberikan pangkat yang mengacu pada penggolongan pangkat TNI. Pangkat Komponen Cadangan dimaksud hanya digunakan pada masa aktif Komponen Cadangan [vide Pasal 58 PP 3/2021]. Lebih lanjut, UU 23/2019 menentukan status Komponen Cadangan pada saat mengikuti pelatihan penyegaran tersebut ditentukan sebagai masa aktif pengabdian yang siap digunakan untuk kepentingan pertahanan negara. Pelatihan penyegaran dimaksud merupakan latihan untuk memelihara dan meningkatkan serta menjaga kemampuan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan untuk kepentingan pertahanan negara. Adapun masa mengikuti pelatihan penyegaran paling singkat 12 (dua belas) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari serta dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Terdapat kemungkinan 3 (tiga) lokasi pelaksanaan pelatihan, yaitu di lembaga pendidikan di lingkungan TNI, di daerah latihan militer dan/atau di kesatuan TNI setingkat batalyon [vide Pasal 64 dan Pasal 65 ayat (2) PP 3/2021]. Dalam status masa aktif inilah diberlakukan bagi Komponen Cadangan hukum militer, yakni semua perundang-undangan nasional yang subjek hukumnya adalah anggota militer atau orang yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, segala hukum dan ketentuan perundang-undangan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan tugas TNI dalam melaksanakan fungsi pertahanan negara dikategorikan sebagai hukum militer [vide Penjelasan Pasal 64 UU 34/2004]. Hukum militer tersebut dibina dan dikembangkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Hingga saat ini, hukum militer yang masih diberlakukan adalah UU 31/1997. Berkenaan dengan UU a quo, menurut Mahkamah perlu dilakukan perubahan yang komprehensif sehingga dapat mengakomodasi berbagai bentuk perubahan dan kebutuhan hukum sesuai dengan semangat reformasi nasional dan reformasi TNI, tanpa mengabaikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan negara. Pentingnya segera dilakukan perubahan inipun sejalan dengan amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menghendaki adanya UU peradilan militer yang sesuai dengan semangat reformasi keamanan. Terlebih lagi, usulan perubahan UU 31/1997 pernah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014. Oleh karena itu, Mahkamah mengingatkan pembentuk undang-undang untuk segera merealisasikan reformasi undang-undang peradilan militer. Dengan demikian, sambil menunggu perubahan UU 31/1997 yang disusun secara komprehensif dan sesuai dengan semangat reformasi, menurut Mahkamah pemberlakuan UU 31/1997 bagi Komponen Cadangan dalam masa aktif baik pada saat mengikuti pelatihan penyegaran dan/atau mobilisasi, masih dapat dibenarkan karena status Komponen Cadangan dimaksud adalah subjek yang dipersamakan sebagai militer berdasarkan ketentuan UU 23/2019. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 46 UU 23/2019 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.20] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 75 dan Pasal 79 UU 23/2019 adalah kabur. Sementara itu, berkaitan dengan norma Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 77, Pasal 78, Pasal 81, serta Pasal 82 UU 23/2019 telah ternyata tidak menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan kedudukan di muka hukum dan dengan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta yang dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.21] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 32/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan yang diwakili oleh Martadinata, S.E., Ak., dalam hal ini memberikan kuasa kepada A.H. Wakil Kamal, S.H., M.H., Iqbal Tawakkal Pasaribu, S.H., M.H. dan Guntoro, S.H., M.H., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 21 huruf d, Pasal 25 huruf b dan huruf e UU 21/2008

Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) dalam UUD NRI Tahun1945.

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Perbankan Syariah dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.14] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh dalil-dalil pokok permohonan a quo, penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa perbankan syariah dibentuk dalam rangka pemenuhan atas permintaan sebagian warga negara akan tersedianya jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah untuk mewujudkan sistem perbankan yang terhindar dari praktik yang tidak sejalan dengan prinsip syariah. Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Dalam hal ini, prinsip syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal [vide Penjelasan Umum UU 21/2008]. [3.14.2] Bahwa dengan berlakunya UU 21/2008 tidak lagi menerapkan prinsip bagi hasil sebagaimana diatur dalam UU sebelumnya. Dalam hal ini, UU a quo mengakui keberadaan bank syariah serta membolehkan bank umum konvensional memberikan layanan syariah melalui mekanisme Islamic window dengan membuka unit usaha syariah. Berlakunya undang-undang yang mengakomodir kegiatan perbankan syariah tersebut maka perbankan Indonesia mulai menganut dual system banking di mana bank dapat melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu kegiatan perbankan berbasis bunga dan kegiatan perbankan berbasis syariah secara berdampingan di mana pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bagi bank yang mengkonversi dirinya menjadi perbankan syariah, seluruh mekanisme kerja mengikuti prinsip-prinsip perbankan syariah, sedangkan bagi yang melakukan keduanya, mekanisme kerja diatur sedemikian rupa terutama yang menyangkut interaksi kegiatan-kegiatan berbasis bunga yang merupakan kekhasan dari perbankan konvensional dengan kegiatan yang bebas bunga yang merupakan kekhasan dari perbankan syariah sehingga antar keduanya dapat dipisahkan. Oleh karena bank dengan prinsip syariah memiliki tujuan, mekanisme serta ruang lingkup yang berbeda dengan bank konvensional, maka UU 21/2008 memberikan pengaturan secara lebih khusus mengenai kegiatan, produk dan jasa bank syariah. Selain itu, UU a quo juga memperjelas perbedaan antara bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dengan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian, berlakunya UU 21/2008, maka bank syariah dan bank konvensional yang membuka layanan syariah secara khusus tunduk pada pengaturan dalam UU 21/2008. [3.14.3] Bahwa struktur perbankan syariah yang diatur dalam UU 21/2008 terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu: Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) [vide Pasal 18 UU 21/2008]. Struktur tersebut sama dengan model atau struktur yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU 7/1992), yaitu terdiri atas Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat [vide Pasal 5 ayat (1) UU 7/1992]. Oleh karena terdapat perbedaan prinsip perbankan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) dan UU 21/2008, maka nomenklatur dalam UU 21/2008 disesuaikan dengan prinsip syariah. Salah satu nomenklatur yang disesuaikan adalah istilah “perkreditan” pada Bank Perkreditan Rakyat menjadi istilah “pembiayaan” dalam UU 21/2008. Penyesuaian tersebut tidak dapat dilepaskan dari karakteristik transaksi kredit bank dalam perbankan konvensional mengenakan bunga atas pinjaman, sedangkan dalam prinsip syariah bunga atas pinjaman tersebut termasuk dalam kategori riba dan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena tidak dimungkinkannya penggunaan nomenklatur/istilah “perkreditan” tersebut, UU 21/2008 menggunakan 2 (dua) nomenklatur berbeda, yaitu: bank rakyat yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional disebut dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sedangkan bank rakyat yang menjalankan kegiatan atau usaha berdasarkan prinsip syariah disebut dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perihal nomenklatur BPR dan BPRS tidak hanya diatur dalam UU Perbankan tetapi juga diatur dalam UU 21/2008 sebagai berikut: Pasal 1 angka 4 UU 10/1998 Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 1 angka 6 UU 21/2008 Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pasal 1 angka 9 UU 21/2008 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Oleh karena ketiga norma tersebut mengatur perihal BPR maupun BPRS memiliki karakteristik yang sama, yaitu keduanya tidak dapat memberikan jasa dalam lalu lintas sistem pembayaran sebagaimana Bank Umum/Bank Umum Syariah. Berdasarkan karakteristik tersebut, UU Perbankan maupun UU 21/2008 mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan BPR dan BPRS yang meliputi kegiatan usaha maupun hal-hal yang dilarang bagi BPR dan BPRS sesuai dengan karakteristik dasarnya, yaitu merupakan bank yang tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas kata “tidak” dalam norma Pasal 1 angka 9, frasa “Melalui Rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS” dalam norma Pasal 21 huruf d, dan frasa “dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran” dalam norma Pasal 25 huruf b UU 21/2008 yang didalilkan Pemohon bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon mendalilkan norma a quo tidak relevan lagi karena membatasi BPRS dalam memberikan pelayanan kepada nasabah, menimbulkan perlakuan berbeda terhadap BPRS yang berbentuk perseroan terbatas, dan menghambat BPRS untuk berkembang. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa Perbankan Indonesia menjalankan fungsi utama dalam kegiatan intermediasi dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian. Sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, secara umum eksistensi perbankan bertujuan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat. Dalam fungsi demikian, perbankan memiliki peran strategis tidak hanya terkait dengan kegiatan intermediasi, tetapi sekaligus mendukung berbagai program Pemerintah dalam rangka mendukung ekonomi nasional, seperti skema kredit bagi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), penyaluran dana/bantuan Pemerintah kepada masyarakat, dan sebagainya. Karena itu, UU 7/1992 mengatur dan sekaligus menentukan struktur perbankan berdasarkan pada jenis dan kegiatan usahanya, yaitu meliputi Bank Umum dan BPR. Sebelum berlaku UU 7/1992 tidak dikenal istilah BPR. Dalam hal ini, terdapat beberapa jenis kegiatan usaha bank, yaitu: bank desa, bank pasar, bank pegawai, badan kredit desa, dan sebagainya. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut adalah untuk melayani kebutuhan transaksi keuangan mendasar masyarakat di pelosok Indonesia, yaitu menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat tersebut. Dengan diberlakukannya UU 7/1992, seluruh jenis lembaga keuangan yang diatur sebelumnya disatukan penamaannya menjadi BPR dengan tetap mempertahankan karakteristik, yaitu melayani kebutuhan transaksi keuangan mendasar masyarakat dengan tetap memperhatikan ketentuan terkait kekhasan permodalan, jenis usaha, dan cakupan wilayah usaha. Oleh karena hal tersebut menjadi sesuatu yang tumbuh dan bertahan di tengah masyarakat, karakteristik tersebut kemudian diatur dalam UU 21/2008 dengan menyesuaikan pelaksanaannya berdasarkan prinsip syariah yang tidak hanya mengubah kegiatan tetapi juga penamaan atau nomenklaturnya menjadi BPRS. Berdasarkan uraian tersebut, UU 21/2008 menentukan bank berdasarkan jenis dan kegiatan usaha menjadi 2 (dua), yaitu BUS dan BPRS. Dalam hal ini, BUS sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran [vide Pasal 1 angka 3 UU Perbankan], sedangkan BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran [vide Pasal 1 angka 4 UU Perbankan]. Pembedaan pengertian dan kegiatan usaha antara BUS dan BPRS tersebut dilakukan sesuai dengan filosofi pembentukannya. Dalam hal ini, meskipun kedua jenis bank dimaksud memiliki fungsi intermediasi dengan melakukan penghimpunan dana untuk kemudian menyalurkan dana tersebut dalam bentuk kredit yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian. Namun demikian, pembentukan BPRS lebih ditujukan sebagai “community (rural) bank” yang memiliki segmentasi pasar, yaitu masyarakat di sekitar BPR/BPRS dan UMKM termasuk di daerah yang belum terjangkau oleh layanan bank umum. Pembedaan tersebut memiliki tujuan agar BPR dan BPRS fokus pada kegiatan sebagai community bank yang melayani pembiayaan bagi masyarakat hingga berbagai pelosok. Dengan perbedaan desain antara Bank Umum dengan BPR, hal tersebut tercermin dalam perbedaan cakupan kegiatan usaha termasuk jenis produk yang berbeda. Berkenaan dengan perbedaan tersebut, lebih lanjut, Penjelasan Pasal 14 UU Perbankan menyatakan larangan kegiatan usaha tertentu bagi BPR yang antara lain larangan untuk menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di pedesaan. Karena filosofi pembentukannya ditujukan untuk kegiatan yang berbeda, pengaturan bagi BPR/BPRS dengan Bank Umum/Bank Umum Syariah tidak dapat disamakan. Dalam hal ini, pengaturan BPR/BPRS yang demikian tidak dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi atau menghambat pengembangan BPR/BPRS. Dalam batas penalaran yang wajar, pembedaan pengaturan tersebut selain lebih dikarenakan proporsionalitas tujuan pembentukannya juga disesuaikan dengan desain, sifat, serta fungsi BPR/BPRS sebagai community bank. [3.15.2] Bahwa larangan bagi BPR/BPRS untuk memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran tidak dapat dipisahkan dengan larangan bagi BPR/BPRS untuk menerima simpanan berupa giro sebagaimana diatur dalam Pasal 25 huruf b UU 21/2008 dan Pasal 14 huruf a UU Perbankan. Larangan tersebut berkenaan dengan karakteristik lain dari BPR/BPRS yang bukan merupakan Bank Pencipta Uang Giral (BPUG). Dengan penetapan BPR/BPRS bukan termasuk sebagai BPUG maka BPR/BPRS tidak dikenakan kewajiban pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) dan tidak memiliki rekening giro pada bank sentral, in casu Bank Indonesia (BI). Dalam hal ini, GWM merupakan instrumen kebijakan moneter tidak langsung karena sasaran kebijakannya adalah mempengaruhi kondisi pasar uang. Selain itu, GWM merupakan dana atau simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro yang ditempatkan di BI, dengan besarannya ditetapkan BI berdasarkan persentase dana dari pihak ketiga yang dihimpun perbankan. Pemenuhan GWM tersebut dilakukan agar likuiditas keuangan perbankan menjadi lebih terjaga terutama untuk terhindar dari krisis. Tanpa kepemilikan rekening giro di BI, BPR/BPRS sebagai non-BPUG, tidak dapat melakukan lalu lintas pembayaran secara langsung pada infrastruktur Sistem Pembayaran BI karena rekening giro di BI tersebut juga digunakan untuk aktivitas kliring dan settlement, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh Bank Umum. Konsekuensi lanjutannya adalah BPR/BPRS tidak dapat menjadi peserta Operasi Moneter (OM) yaitu pelaksanaan kebijakan moneter oleh BI dalam rangka pengendalian moneter melalui Operasi Pasar Terbuka dan Standing Facilities, termasuk tidak bisa melakukan aktivitas di pasar uang antarbank dan tidak berhak atas fasilitas OM, serta tidak dapat menjadi peserta Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS). Oleh karena itu, apabila BPR yang statusnya bukan sebagai BPUG diperbolehkan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran hal tersebut potensial meningkatkan risiko liquidity mismatch dalam hal terdapat perbedaan perhitungan dalam proses penyelesaian transaksi (settlement process) sehubungan dengan dilakukannya transaksi nasabah yang dapat mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan. [3.15.4] Bahwa pesatnya perkembangan teknologi informasi (TI) menuntut BPR dan BPRS dapat mengikuti perubahan ekosistem perekonomian. Namun, menurut Pemohon, BPRS tidak dapat menggunakan TI sebagaimana yang dilakukan oleh Bank Umum dan BUS. Keberlakuan Pasal 21 huruf d UU 21/2008, sebagaimana didalilkan Pemohon, membatasi BPRS untuk ikut serta dalam kegiatan transaksi keuangan. Berkenaan dengan hal tersebut, pembatasan dalam layanan lalu lintas pembayaran sebagaimana yang diatur dalam UU Perbankan dan UU 21/2008, yang merupakan larangan bagi BPR/BPRS yang bukan merupakan BPUG untuk terlibat dalam proses giralisasi tidak dapat dilepaskan dari lalu lintas giral yang hanya dilakukan melalui kliring di BI untuk Cek dan Bilyet Giro sebagai instrumen pembayaran yang dapat melakukan overdraft di bank. Dalam perjalanannya, produk tabungan perbankan berkembang dan dapat dilakukan transfer dana antar-rekening tabungan tanpa melalui kliring BI, melainkan dengan cara switching. Dalam hal ini, BPR/BPRS diperkenankan untuk memindahkan dana antar bank melalui rekening BPRS di Bank Umum Konvensional, BUS dan UUS (indirect participant) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf d UU 21/2008. Dengan demikian, sesungguhnya BPR dan BPRS dapat mengoptimalkan pelaksanaan transfer dana dengan memanfaatkan infrastruktur dan kerjasama dengan lembaga lain, seperti Bank Umum/BUS dan UUS. Bahkan, berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 23/6/PBI/2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran (PBI PJP), layanan jasa pembayaran yang dapat diberikan oleh Penyedia Jasa Pembayaran lain selain bank juga dilakukan melalui Bank Umum (indirect) dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan termasuk manajemen risiko dan performa dalam penyelenggaraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan [vide Keterangan BI, hlm 10]. Sehingga, dengan demikian BPR/BPRS juga dapat memberikan layanan dalam sistem pembayaran melalui kolaborasi dengan Bank Umum/BUS. Saat ini, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 25/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (POJK Produk BPR-BPRS), yang memenuhi persyaratan diperkenankan untuk memiliki layanan perbankan elektronik, seperti mobile banking dan internet banking, maupun penyelenggaraan akses ke sumber dana untuk pembayaran berupa penerbitan instrumen pembayaran seperti penerbitan kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan kartu debit. Selain itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 75/POJK.03/2016 tentang Standar Penyelenggaraan Teknologi Informasi bagi BPR dan BPRS (POJK 75/2016) memungkinkan BPR dan BPRS dapat bekerja sama dengan lembaga penyelenggara TI untuk mendukung pelaksanaan transfer dana seperti penyelenggara payment gateway, penyelenggara transfer dana, penerbit uang dan/atau dompet elektronik, atau Penyedia Jasa Teknologi Informasi (PJTI). Namun, dalam mengoptimalkan kegiatan transfer dana, BPRS perlu memerhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tetap memastikan adanya langkah mitigasi risiko yang mungkin timbul terkait pelaksanaan kerja sama maupun risiko terkait sistem TI yang digunakan. Merujuk pada Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, optimalisasi pemanfaatan TI oleh BPR dan BPRS dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan lembaga atau institusi lain. Salah satu bentuk optimalisasi dimaksud, BPR/BPRS dalam kegiatan penyaluran dana dapat berkolaborasi dengan platform fintech lending atau penyelenggara layanan pinjam-meminjam uang secara langsung antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman berbasis TI, seperti yang dilakukan PT BPR Lestari Bali dengan platform fintech lending Investree. Selain itu, pemanfaatan TI untuk optimalisasi layanan transaksi keuangan oleh BPR/BPRS dalam menghimpun dana pihak ketiga dapat dilakukan melalui aplikasi marketplace, seperti aplikasi DepositoBPR by Komunal. [vide Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, hlm. 61 sampai dengan hlm. 69] [3.15.6] Bahwa selain pertimbangan hukum tersebut di atas, khusus berkaitan dengan norma Pasal 1 angka 9 UU 21/2008, karena berkaitan dengan ketentuan umum sebuah undang-undang, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Secara normatif, Lampiran II, huruf C.1 angka 98 dan 107 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011), menjelaskan bahwa ketentuan umum berisi: (a) batasan pengertian atau definisi; (b) singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi; dan/atau (c) hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan tersendiri dalam pasal atau bab. Dengan demikian, ketentuan tersebut merupakan landasan bagi pasal-pasal berikutnya dalam suatu undang-undang, sehingga jika ketentuan umum diubah, baik langsung maupun tidak langsung, akan berakibat mengubah materi pasal-pasal yang diwadahi dengan ketentuan umum dimaksud. Apabila diikuti jalan pemikiran Pemohon untuk menghilangkan kata “tidak” dalam Pasal 1 angka 9 UU 21/2008, secara filosofi mengubah sifat karakteristik BPRS, sehingga dapat mengaburkan perbedaan antara BUS dan BPRS. [3.15.7] Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, telah ternyata BPR/BPRS dapat ikut serta dalam lalu lintas pembayaran melalui kerjasama dengan bank umum. Tidak hanya itu, BPR/BPRS juga dapat melakukan optimalisasi tranksaksi lalu lintas pembayaran melalui lembaga jasa keuangan lain dan penyelenggara layanan keuangan lain yang berbasis TI dengan memperhatikan karakteristik BPR/BPRS. Dalam hal ini, apabila Pemohon ingin menyelenggarakan kegiatan usaha lalu lintas pembayaran secara langsung, BPRS dapat meningkatkan kelembagaannya menjadi BUS sehingga tingkat kesehatan bank tetap terjaga, risiko liquidity mismatch dan risiko lain dapat dimitigasi, serta memiliki teknologi informasi yang handal yang jika digunakan tetap dapat menjaga kepercayaan masyarakat. Artinya, norma dalam pasal-pasal a quo tidak dimaksudkan untuk memperlakukan berbeda antara Bank Umum/BUS dengan BPR/BPRS tetapi lebih dimaksudkan sebagai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dana masyarakat. Dengan demikian, dalil yang menyatakan norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU 21/2008 membatasi hak konstitusional Pemohon dalam memberikan pelayanan kepada nasabah, menimbulkan perlakuan berbeda terhadap BPRS yang berbentuk perseroan terbatas, dan menghambat BPRS untuk berkembang adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon berkenaan dengan konstitusionalitas kata “umum“ dalam norma Pasal 13 UU 21/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pemohon mendalilkan norma Pasal 13 UU 21/2008 a quo merupakan norma yang memberikan batasan bagi BPRS untuk melakukan penawaran umum efek dan oleh karenanya merugikan Pemohon karena sumber permodalan atau keuangan BPRS menjadi terbatas yang mengakibatkan BPRS kesulitan menjaga kesehatan keuangannya. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Secara normatif, berdasarkan Pasal 13 UU 21/2008 membolehkan BUS melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang memenuhi syarat tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Berdasarkan ketentuan tersebut, ketika akan melakukan penawaran umum, BUS terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat menjadi emiten atau perusahaan publik yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, salah satunya memenuhi prinsip keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Namun berbeda dengan BUS, UU 21/2008 melarang BPRS melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal. Oleh karena itu, menghapus kata “umum“ dalam Pasal 13 UU 21/2008 sebagaimana yang didalilkan Pemohon tidak serta merta menjadikan BPRS sebagai perusahaan emiten yang dapat melepas saham di pasar modal. Hal demikian terjadi karena ketentuan norma Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 menentukan BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: (a) warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; (b) pemerintah daerah; atau (c) dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. Dengan demikian, ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 telah mengatur secara tegas bahwa BPRS hanya boleh dimiliki Warga Negara Indonesia. Sehingga, ketika BPRS menjadi emiten dan saham BPRS dilepas di pasar modal, maka terbuka kemungkinan untuk dimiliki pihak asing, baik oleh warga negara asing maupun badan hukum asing karena kegiatan jual beli saham di pasar modal tidak hanya melibatkan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia melainkan juga melibatkan warga negara asing dan badan hukum asing. Apabila kata “umum“ dihapus sebagaimana didalilkan Pemohon, larangan kepemilikan oleh warga negara asing dan badan hukum asing sebagaimana ditentukan Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 tidak dapat dipenuhi. Padahal kehadiran dan tujuan pembentukan BPRS dalam melayani transaksi keuangan masyarakat dan UMKM serta ketentuan mengenai kepemilikan BPRS oleh WNI dan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh WNI. Karena itu, sumber permodalan BPRS sengaja dirancang berasal dari pemegang saham pendiri, investor lokal lain di luar pasar modal, dan penguatan konsolidasi melalui proses penggabungan dan peleburan. Jika dana hasil penawaran umum efek di pasar modal digunakan untuk memperkuat modal BPRS sebagaimana keinginan Pemohon, maka penerbitan efek yang bersifat utang dan/atau sukuk tersebut justru tidak diperbolehkan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 66/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Berkenaan dengan keterbatasan penyediaan modal BPRS tidaklah serta merta menyebabkan usaha BPRS perlahan menjadi hilang. Merujuk fakta empiris sebagaimana dijelaskan OJK, sampai dengan Mei 2022, aset industri BPR dan BPRS tumbuh sebesar 9.5% (sembilan koma lima persen) dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequaty Ratio, CAR) BPR sebesar 32.47% (tiga puluh dua koma empat puluh tujuh persen) dan CAR BPRS sebesar 23.35% (dua puluh tiga koma tiga puluh lima persen). Selain itu, secara year-on-year, terdapat peningkatan jumlah dana pihak ketiga BPR dan BPRS sebesar 10.7% (sepuluh koma tujuh persen) dan penyaluran kredit/pembiayaan sebesar 8.6% (delapan koma enam persen). Begitu pula, sebagai community bank, penyaluran kredit dan pembiayaan oleh BPR dan BPRS kepada sektor UMKM mencapai 50.6% (lima puluh koma enam persen) [vide Keterangan OJK, hlm. 14 sampai dengan hlm. 15]. Dari fakta tersebut, rasio permodalan BPR dan BPRS menunjukkan ketahanan yang cukup baik dan mampu menopang risiko kredit dan pembiayaan yang menunjukkan kecenderungan meningkat. Sejalan dengan hal tersebut, rasio likuiditas dan profitabilitas BPR dan BPRS juga mencatatkan kinerja yang masih relatif terjaga. Lebih lanjut, sebagaimana keterangan OJK dalam persidangan, selama periode tahun 2016 hingga 2022, justru semakin banyak BPR/BPRS dengan modal yang lebih besar yang menunjukkan semakin kuatnya BPR/BPRS dalam mengembangkan bisnis dan memitigasi risiko kegiatan usahanya. Jikalaupun terdapat BPR/BPRS yang dicabut izin usahanya, tidak satupun disebabkan oleh ketidakcukupan modal namun dikarenakan adanya permasalahan tata kelola internal (mismanagement) BPR/BPRS yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta adanya fraud yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPR/BPRS [vide Risalah Sidang Perkara Nomor 32/PUU-XX/2022, tanggal 5 September 2022 dan Keterangan OJK hlm. 29]. Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan kata “umum” dalam norma Pasal 13 UU 21/2008 menyebabkan sumber permodalan atau keuangan BPRS menjadi terbatas yang mengakibatkan BPRS kesulitan menjaga kesehatan keuangannya adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon ihwal frasa “pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas” dalam norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Dalam hal ini, Pemohon mendalilkan frasa dalam norma a quo menyebabkan BPRS kesulitan memenuhi persyaratan permodalan dan hal tersebut memperlakukan secara berbeda antara BUS dengan BPRS yang berbentuk perseroan terbatas. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.17.1] Bahwa berkenaan dengan kegiatan penyertaan modal, Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.03/2017 tentang Prinsip Kehatian-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal, menyatakan penyertaan modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau surat investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Berdasarkan pengertian tersebut, oleh karena itu, Pasal 25 huruf e UU 21/2008 melarang BPRS melakukan penyertaan modal kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas. Menurut Mahkamah, norma yang berisi larangan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi BPRS sebagaimana didalikan Pemohon, melainkan suatu bentuk perlindungan agar BPRS terhindar dari berbagai masalah yang berisiko tinggi terhadap kelangsungan usaha sebagai akibat dari alokasi permodalan BPRS yang tidak sesuai dengan arah pengembangannya. Penyertaan Modal BPRS tersebut merupakan upaya negara membentuk jaring pengaman bagi bank pada saat mengalami kesulitan likuiditas. Apabila dibuka larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 huruf e UU 21/2008, hal ini juga perlu diikuti penyesuaian atas beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan permodalan BPRS. Tidak hanya itu, norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 adalah upaya untuk melindungi keberlanjutan BPRS serta perlindungan nasabah serta pihak-pihak lain yang memiliki hubungan hukum dengan BPRS. Dengan demikian, Pemohon telah salah dalam menyikapi maksud dari norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008. Dalam batas penalaran yang wajar, terutama dalam posisi sebagai community bank, larangan dimaksud bukanlah usaha negara untuk menghalangi BPRS mendapatkan sumber modal dari BPRS lainnya, melainkan upaya antisipasi negara dalam melindungi BPRS dan masyarakat yang menjadi nasabah BPRS. Terlebih lagi, norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 tidaklah menutup kemungkinan bagi BPRS untuk mendapatkan modal dari pihak lain, termasuk dari BUS selama memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon ihwal frasa “pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas” dalam Pasal 25 huruf e UU 21/2008 menyebabkan BPRS kesulitan memenuhi persyaratan permodalan dan diperlakukan secara berbeda BPRS yang berbentuk perseroan terbatas dengan BUS adalah dalil yang tidak dapat dibenarkan. Sebab, norma a quo merupakan norma yang diatur dengan mengikuti sifat kekhasan BPRS yang justru bertujuan memberikan perlindungan kepada BPRS serta nasabahnya. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon mengenai konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 21 huruf d, serta Pasal 25 huruf b dan huruf e UU 21/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak menghambat pengembangan diri, dan tidak membatasi untuk mendapatkan kesempatan yang sama sehingga tidak menghalangi BPRS untuk mencapai tujuan perekonomian nasional. Oleh karena itu, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.19] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak terdapat relevansinya.