Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 51/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERDAGANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Muhammad Hasan Basri untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014

Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon sebagaimana dalam Paragraf [3.7] di atas, maka permasalahan konstitusionalitas yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah apakah frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 bertentangan dengan UUD 194. Namun, sebelum mempertimbangkan permasalahan tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mengemukakan hal-hal sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan tujuan dan cita-cita pembentukan negara Indonesia yaitu menciptakan masyarakat adil dan Makmur. Cita-cita bangsa Indonesia ini, misalnya, dijabarkan ke dalam Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur terkait penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan mengusai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya, upaya mewujudkan cita-cita bangsa juga mendasar pada falsafah Pancasila yang dilakukan melalui sistem demokrasi, termasuk dalam hal perekonomian, yaitu melalui sistem demokrasi ekonomi. Sistem demokrasi ekonomi Pancasila berdasarkan kekeluargaan dan dijiwai oleh semangat gotong royong yang dibangun dalam pilar pembangunan ekonomi yang berorientasi keadilan, pemenuhan hak sosial rakyat, kesempatan yang sama bagi seluruh masyarakat, pemerataan pembangunan, dan menciptakan persatuan bangsa; Sistem ekonomi Pancasila tidak bersifat mengejar keberhasilan material dan kesejahteraan individu semata, mengejar keberhasilan material dan kesejahteraan bersama. Basis material yang dimiliki dimanfaatkan untuk memajukan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia melalui pengembangan kualitas hidup manusia serta memberikan akses yang adil terhadap upaya pencapaian. Oleh karena itu, mekanisme kerja demokrasi ekonomi Pancasila harus mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan individu/golongan atau pemilik modal demi terciptanya kondisi kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia dan menciptakan pemerataan pembangunan dengan tetap menjaga persatuan bangsa; [3.12.2] Bahwa pelaksanaan demokrasi ekonomi dilakukan melalui kegiatan perdagangan yang merupakan penggerak utama dalam pembangunan perekonomian nasional serta dapat memberikan daya dukung dalam meningkatkan produksi memeratakan pendapatan serta memperkuat daya saing produk dalam negeri [vide Konsideran Menimbang huruf b UU 7/2014]. Secara historis, perdagangan diatur dalam produk hukum masa kolonial Belanda yang selanjutnya dibentuk berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian yang bersifat parsial. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perdagangan memerlukan adanya harmonisasi dan sinkronisasi dalam kerangka kesatuan ekonomi nasional guna menyikapai perkembangan situasi perdagangan era globalisasi saat ini dan masa yang akan datang. Alasan-alasan tersebut yang melandasi terbentuknya UU 7/2014 yang berdasarkan asas kepentingan nasional, kepastian hukum, adil dan sehat, keamanan berusaha, akuntabel dan transparan, kemandirian, kemitraan, kemanfaatan, kesederhanaan, kebersamaan, dan berwawasan lingkungan [vide Penjelasan Umum UU 7/2014]; Salah satu fokus dalam mewujudkan tujuan dibentuknya UU 7/2014 adalah pengendalian terhadap ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai mutu yang baik, dan harga yang terjangkau oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bahkan dalam kondisi tertentu Pemerintah menetapkan Langkah pemenuhan ketersediaan, stabilisasi harga, dan distribusi barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting [vide Pasal 25 dan Pasal 26 UU 7/2014]. Hal ini terkait erat dengan hakikat perlindungan konsumen bagi seluruh masyarakat Indonesia. Upaya untuk meningkatkan kesajahteraan masyarakat masyarakat memiliki posisi sejajar dengan upaya melindungi konsumen dari hal-hal yang menurunkan tingkat kesejahteraan konsumen itu sendiri; [3.13] Bahwa setelah menegaskan hal-hal tersebut, selanjutnya Mahkamah mempertimbangkan masalah konstitusionalitas norma Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 sepanjang frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” yang menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena pada waktu dan situasi terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, frasa tersebut mangandung unsur kebolehan untuk menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Terhadap permasalahan konstitusionalitas norma yang dipersoalkan oleh Pemohon tersebut, menurut Mahkamah dalam mempertimbangkan rumusan frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 maka ketentuan norma a quo harusnya dibaca secara menyeluruh dalam satu kesatuan meliputi Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 maka ketentuan norma a quo harusnya dibaca secara menyeluruh dalam satu kesatuan meliputi Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU 7/2014 termasuk juga Penjelasan serta ketentuan pidana yang mengaturnya. Dibentuknya norma Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 ini telah ternyata dimaksudkan untuk menghindari adanya praktik penimbunan terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang-barang yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut. Dikarenakan penekanan dari Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 adalah menghindari adanya praktik penimbunan, maka hal penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana dapat mengetahui bahwa pelaku usaha itu sedang melakukan penyimpanan dan bukan penimbunan. Dengan demikian, perlu dipahami terlebih dahulu perbedaan pengertian antara kata “menyimpan” yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 dan pengertian kata “menimbun” yang menjadi dasar dinormakan Pasal a quo; Berkenan dengan kedua pengertian tersebut, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata” menyimpan” berasal dari kata dasar simpan yang artinya menaruh di tempat yang aman supaya jangan rusak, hilang, dan sebagainya. Sedangkan kata “menimbun” berasal dari kata timbun yang artinya tumpukan sesuatu. Adapun arti kata penimbunan adalah (1) proses, cara, perbuatan menimbun, pengumpulan barang-barang, (2) tempat menimbun. Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut dapat dipahami bahwa kegiatan menyimpan barang lebih menekankan kepada perlakuan terhadap barang dengan baik agar barang tersebut tetap dalam kondisi aman, baik dan tidak rusak atau hilang. Sedangkan kegiatan menimbun lebih bermakna kepada pengumpulan ataupun penyimpanan barang dalam jumlah besar; Dalam konteks perdangan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting terdapat perbedaan mendasar antara Tindakan penyimpanan dan Tindakan penimbunan. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting oleh pelak usaha yang akan digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau juga bahan persediaan untuk didistribusikan. Adapun Penimbunan adalah : kegiatan menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dengan maksud spekulasi untuk memperoleh keuntungan yang melebihi kewajaran terutama pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Penimbunan dilakukan dengan melebihi stok atau persediaan selama 3 (tiga) bulan berdasarkan rata-rata kebutuhan atau penjualan dalam kondisi normal, dengan berbagai cara termasuk dengan melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting (vide Risalah Sidang Perkara 51/PUU-XX/2022, Pada 28 Juni 2022 hlm. 5); Berdasarkan pemaknaan kata “menyimpan” dan kata “menimbun” sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dipahami bahwa diperlukan adanya Batasan kualifikasi terkait kapan pelaku usaha dapat dikatakan menyimpan barang dan kapan dikatakan menyimpan barang. Menurut Mahkamah, kualifikasi yang tepat untuk membedakan dua kegiatan ini adalah melalui perbedaan dari segi jumlah barang serta pemberian Batasan waktu. Ditinjau dari segi jumlah barang, diperlukan adanya pembatasan seberapa banyak jumlah barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting yang dapat dikategorikan merupakan Batasan yang wajar untuk dilakukan penyimpanan dengan tujuan memperlancar kegiatan perdagangan sehari-hari maupun sebagai bahan penolong kelanjutan proses produksi, sehingga jika jumlah barang ini telah melebihi batas yang ditentukan maka dapat dikategorikan telah terjadi penimbunan. Sementara itu, ditinjau dari segi Batasan waktu, diperlukan pembatasan berupa lama suatu barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat disimpan oleh para pelaku usaha sehingga Batasan waktu tersebut tidak menganggu jumlah peredaran barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting tersebut di pasar dan tidak mengganggu kesinambungan proses produksi. Selanjutnya, terkait dengan berupa banyaknya jumlah barang serta berapa lama suatu barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dapat disimpan sehingga tidak dikategorikan sebagai bentuk penimbunan yang merupakan Tindakan kejahatan ekonomi dan terancam pidana, menurut Mahkamah, hal ini harus diserahkan pengaturannya secara teknis kepada Lembaga terkait yang membidangi masing-masing komoditas yang termasuk dalam kriteria barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Hal ini dikarenakan daya tahan khususnya dari segi penyimpanan masing-masing komoditas barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting adalah berbeda-beda, dan instansi terkaitlah yang paling memahami keadaan ini; Bahwa Mahkamah dapat memahami permasalahan yang dialami Pemohon, sehingga Pemohon berkesimpulan bahwa frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” telah menyebabkan para pelaku usaha dapat melakukan penimbunan, khususnya penimbunan minyak goreng dalam keadaan tidak normal yang berakibat mengganggu usaha Pemohon. Dalam kaitan ini, perlu Mahkamah tegaskan bahwa UU 7/2014 dibentuk untuk mengakomodir cakupan yang luas, karena terdapat berbagai varian komoditas dalam perdagangan. Oleh karena, UU 7/2014 tidak dapat mengatur segala sesuatunya dengan sangat rinci dan mendetail karena jika diatur secara detail hal tersebut justru akan mengurangi fleksibilitas varian komoditas yang diatur. Dengan maksud untuk dapat menjangkau banyak hal maka pengaturan norma dalam UU 7/2014 harus dibuat lebih umum sedangkan pelaksanaannya diatur dalam produk hukum di bawahnya. Dengan demikian pula dengan ketentuan frasa “dalam jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) harus dipandang sebagai pengaturan secara umum terhadap berbagai jenis barang yang ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, yang mana masing-masing komoditas barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting memiliki karakteristik berbeda satu dan lainnya. Oleh karena itu, pengertian “jumlah dan waktu tertentu” bagi penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting menjadi substansi yang harus diatur dalam peraturan pelaksanaan UU 7/2014; Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, apabila Mahkmah mengakomodir permohonan Pemohon untuk menghilangkan frasa “jumlah dan waktu tertentu” dalam Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 maka segala bentuk penyimpanan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam situasi kelangkaan, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas menjadi dilarang tanpa pengecualian apapun. Hal demikian justru akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat serta menimbulkan ketidak pastina hukum karena tidak terdapat kriteria yang jelas kapan suatu penyimpanan itu dapat dikatakan sebagai suatu penimbunan dan hal tersebut dapat dikenakan sanksi pidana [vide Pasal 107 UU 7/2014]; Namun demikian, terhadap pelaksanaan norma tersebut berpotensi menimbulkan persoalan di lapangan, oleh karena itu perlu Mahkamah tegaskan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap penyimpanan dan pendistribusian khususnya terhadap barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam kondisi terjadinya kelangkaan barang, gejolak harga harga dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Pengawasan demikian diperlukan karena secaram umum masih terdapat celah bagi pelaku usaha maupun oknum penegakan hukum untuk menyalahgunakan ketentuan Pasal a quo. Oleh karena itu, diperlukan adanya pegawasan oleh penegakan hukum yang berintegritas dengan melibatkan peran serta masyarakat, khusus dalam hal ini adalah satuan sebagimana yang telah ditentukan dalam UU a quo; [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, norma Pasal 29 ayat (1) UU 7/2014 telah ternyata memberikan jaminan atas pekerjaan yang layak dan tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum;

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Oleh Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 62/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Rini Wulandari, S.E.,M.BA., Herman Saleh, Ir. Budiman Widyatmoko, Kristyawan Dwibhakti dengan memberi kuasa kepada Dr. Auliya Khasanofa,S.H.,M.H. dkk, advokat, konsultan, dan mahasiswa fakultas hukum kantor hukum ADHINATA LAW OFFICE, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 50 UU 20/2011

Pasal 28G ayat (1) dan 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal a quo UU 20/2011 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.13] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, permasalahan utama yang harus dijawab berdasarkan dalil permohonan para Pemohon sebagaimana telah diuraikan pada Paragraf [3.8] di atas adalah apakah norma Pasal 50 UU 20/2011 yang tidak mengakomodir fungsi “bukan hunian” bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Namun, sebelum menjawab permasalahan konstitusional tersebut, Mahkamah terlebih dahulu perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: [3.13.1] Bahwa norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan kepada setiap orang atas hak untuk hidup sejahtera lahir batin, “bertempat tinggal”, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengakuan hak atas tempat tinggal sebagai bagian dari hak setiap orang yang diatur dalam Konstitusi dilandasi pada pemikiran rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap insan, baik sebagai pribadi maupun sebagai suatu kesatuan dengan sesama dan lingkungan sekitar. Prinsip tempat tinggal sebagai bagian dari hak asasi manusia juga telah diakomodir dalam Agenda 21 (Fact Sheet Number 21) dari United Nation Centre for Human Settlement (UNCHS Habitat) mengenai The Right to Adequate Housing yang pada pokoknya menyatakan bahwa rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all). Selanjutnya pengakuan hak untuk bertempat tinggal ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU 39/1999) yang menentukan setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak [vide Pasal 40 UU 39/1999]. Pengaturan hak untuk bertempat tinggal dalam berbagai instrumen hukum tersebut menunjukkan bahwa rumah atau tempat tinggal, tidak dapat hanya dilihat sebagai sarana kebutuhan hidup semata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan tatanan hidup dan sangat berkait erat dengan pembentukan watak serta kepribadian suatu bangsa. Oleh karena itu, negara wajib melindungi hak setiap orang untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak dan menjamin penyelenggaraan perumahan yang layak bagi masyarakat, termasuk di dalamnya perlindungan atas hak milik serta perlakuan yang tidak diskriminatif terhadap akses setiap orang untuk memenuhi kebutuhan akan bertempat tinggal. [3.13.2] Bahwa mengacu kepada keberadaan rumah yang berkait erat dengan pembentukan watak serta kepribadian suatu bangsa, serta prinsip pemenuhan kebutuhan akan rumah adalah merupakan tanggung jawab setiap masyarakat, maka peran negara atau pemerintah adalah lebih sebagai fasilitator dan pendorong dalam upaya penyelenggaraan perumahan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal yang layak dan terjangkau sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya yang semakin kompleks. Isu strategis yang saat ini dihadapi adalah semakin meningkatnya kebutuhan lahan bagi perumahan di wilayah perkotaan yang cenderung mahal, sehingga keberadaan, misalnya, rumah susun yang dibangun secara vertikal dan dihuni bersama dalam jumlah relatif besar di lokasi yang relatif sempit dapat menjadi pilihan baru sebagai salah satu instrumen untuk membentuk struktur tata ruang perkotaan dengan tingkat kepadatan yang tinggi sekaligus sebagai suatu cara untuk peremajaan penataan wilayah perkotaan yang selalu dihadapkan dengan masalah pemukiman kumuh (slum area). Berdasarkan amanat konstitusi dan instrumen hukum yang mengatur hak untuk bertempat tinggal sebagaimana telah dijelaskan di atas serta untuk menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi masyarakat sesuai dengan tantangan sosial dan budaya yang semakin berkembang, khususnya di wilayah perkotaan, maka dibentuklah UU 20/2011 sebagai perubahan atas UU 16/1985 yang dianggap sudah tidak dapat lagi mengakomodir penyelenggaraan rumah susun sesuai dengan perkembangan tatanan sosial, budaya dan ekonomi yang keadaannya telah jauh berbeda dengan pada saat UU 16/1985 diberlakukan. Terhadap perubahan undang-undang yang mengatur mengenai rumah susun tersebut, selain dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum berdasarkan dinamika masyarakat, lebih penting lagi menurut Mahkamah, adalah keberadaan undang-undang rumah susun untuk memberikan jaminan dan memprioritas kan pengadaan rumah atau tempat tinggal yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat berpotensi termajinalisasi oleh meluasnya penguasaan sektor pembangunan perumahan oleh pengembang besar. Oleh karena itu, penyelenggaraan rumah susun berdasarkan UU 20/2011 diharapkan dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau di kawasan perkotaan bagi seluruh lapisan masyarakat sehingga mendorong perkembangan perkotaan yang serasi, seimbang yang memperhatikan prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga akan mengurangi terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan. [3.14] Menimbang bahwa selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan apakah tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah bertentangan dengan UUD 1945. Terhadap permasalahan tersebut, Mahkamah berpendapat, secara yuridis historis fungsi bukan hunian untuk rumah susun memang pernah diterapkan dalam UU 16/1985 sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan penjelasan, seperti dalam Penjelasan Umum, Penjelasan Pasal 1 angka 1, Penjelasan Pasal 3 ayat (2), serta Penjelasan Pasal 24 UU 16/1985. Desain pengaturan mengenai fungsi bukan hunian dalam UU 16/1985 a quo, menurut Mahkamah, merupakan fungsi pelengkap atau komplementer yang tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama rumah susun, yaitu sebagai fungsi hunian. Artinya, pembangunan rumah susun dengan fungsi bukan hunian yang dibangun secara terpisah adalah dimaksudkan untuk melengkapi secara fungsional sarana rumah susun utama (hunian) guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dalam satu pemukiman. Namun demikian, masih terbuka ruang bagi rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain dalam rezim UU 16/1985 karena berdasarkan Bab Ketentuan-Ketentuan Lain, Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU 16/1985 pada pokoknya menentukan ketentuan-ketentuan dalam UU 16/1985 berlaku dengan penyesuaian menurut kepentingannya terhadap rumah susun yang dipergunakan untuk keperluan lain yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UU 16/1985 yang menyatakan: “Undang-undang ini mengatur rumah susun terutama untuk tempat hunian. Mengingat bahwa dalam kenyataannya ada kebutuhan akan rumah susun yang bukan untuk hunian yang mendukung fungsi pemukiman dalam rangka menunjang kehidupan masyarakat, antara lain misalnya untuk tempat usaha, tempat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, perindustrian, maka untuk dapat menampung kebutuhan tersebut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini dinyatakan berlaku juga terhadap rumah susun bagi keperluan lain dengan penyesuaian seperlunya”. Selanjutnya, pengakuan atas fungsi bukan hunian bagi rumah susun dalam UU 16/1985 semakin jelas pasca diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut PP 4/1988) yang di dalamnya secara tegas mengatur rumah susun untuk hunian dan bukan hunian secara terpisah, sehingga dimungkinkan pembangunan rumah susun dalam suatu lingkungan yang digunakan sebagai bukan hunian saja. Dengan demikian, terlepas dari politik hukum serta kondisi dan situasi masyarakat pada saat UU 16/1985 dibentuk, rumah susun dengan fungsi bukan hunian seperti tempat usaha, tempat perbelanjaan, pertokoan, perkantoran, perindustrian, termasuk kondotel sebagaimana yang dimiliki oleh para Pemohon memiliki alas hukum berdasarkan UU 16/1985 dan PP 4/1988. [3.15] Menimbang bahwa seiring dengan dinamika masyarakat, khususnya di wilayah perkotaan, ternyata semakin menunjukkan adanya peningkatan laju urbanisasi dan industrialisasi sehingga menyebabkan kepadatan penduduk karena ketersediaan tanah untuk permukiman semakin terbatas. Rumah susun yang dalam UU 16/1985 didesain untuk mengatasi hal tersebut ternyata belum efektif dan malah salah sasaran. Penerima manfaat (beneficiary) dari keberlakuan UU 16/1985 ternyata lebih didominasi oleh kalangan masyarakat berpenghasilan menengah atas. Oleh karena itu, dibutuhkan perubahan UU 16/1985 karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang dalam penghunian, kepemilikan, dan pemanfaatan rumah susun…. Fungsi bukan hunian dalam UU 20/2011 sebenarnya bukan tidak diakomodir, tetapi diletakkan sebagai fungsi pendukung (supporting) dari fungsi rumah susun yang utama yaitu sebagai hunian. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 50 huruf b menyatakan, “Yang dimaksud dengan “fungsi campuran” adalah campuran antara fungsi hunian dan bukan hunian.” Bagi rumah susun dengan fungsi campuran maka ia merupakan hunian (fungsi utama). dan sekaligus memiliki fungsi lain (mix used) dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di rumah susun. Pemanfaatan fungsi rumah susun yang hanya terbagi atas hunian atau campuran tersebut bersandar pada pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 yang utamanya difungsikan sebagai hunian. Oleh karena itu, telah jelas bahwa fungsi bukan hunian bagi rumah susun yang dikonstruksikan dalam UU 20/2011 tidak berdiri sendiri sebagaimana dikotomi pemanfaatan rumah susun yang dianut dalam rezim pengaturan UU 16/1985 dan PP 4/1988. Perubahan pemanfaatan rumah susun menjadi fungsi campuran dalam UU 20/2011 adalah untuk mengatasi kurangnya ketersediaan rumah susun umum bagi masyarakat berpenghasilan menengah-rendah serta untuk menghilangkan “rumah tidak berpenghuni” (“ghost-building”) di mana banyak ditemui bangunan gedung atau rumah susun yang tidak terdapat aktivitas pada malam hari dikarenakan tidak memiliki fungsi sebagai hunian. Dalam kaitan ini, penting Mahkamah tegaskan, rumah susun dengan fungsi bukan hunian tidak menghilangkan fungsi utama rumah susun sebagai fungsi hunian dan tidak boleh menghilangkan sifat komplementer dari rumah susun tersebut. Dengan demikian, menurut Mahkamah, tidak diakomodirnya fungsi “bukan hunian” dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 adalah tidak bertentangan dengan norma Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. [3.16] Menimbang bahwa berdasarkan uraian mengenai desain pemanfaatan rumah susun dalam UU 20/2011 di atas, pertanyaan selanjutnya adalah apakah kondotel dapat dimasukkan dalam rezim pengaturan rumah susun berdasarkan UU 20/2011. Menurut Mahkamah, pengertian rumah susun sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 UU 20/2011 harus diartikan secara keseluruhan, mulai dari struktur bangunan, kepemilikan hingga pemanfaatannya yaitu terutama sebagai fungsi hunian. Berdasarkan Lampiran Keterangan DPR, Mahkamah menemukan pembahasan mengenai pemanfaatan rumah susun dengan fungsi bukan hunian telah dilakukan pada saat proses pembentukan UU 20/2011, yaitu sebagaimana pembahasan dalam Rapat Panitia Kerja Tim Perumus RUU tentang Rumah Susun yang pada pokoknya memberikan contoh misalnya terdapat suatu bangunan Gedung yang memiliki struktur dan kepemilikan sebagaimana pengertian rumah susun, namun dari 10 lantai, hanya 2 atau 3 lantai yang difungsikan sebagai hunian, maka bangunan gedung tersebut tidak termasuk dalam pengertian rumah susun [vide Risalah Rapat Panitia Kerja Tim Perumus RUU tentang Rumah Susun Komisi V DPR RI, tanggal 28 Juni 2011, hlm. 23 –31]. Berdasarkan risalah rapat pembahasan tersebut, maka UU 20/2011 memang mengkonstruksikan pengertian rumah susun yang mensyaratkan dominasi fungsi hunian, sedangkan fungsi lainnya adalah sebagai pendukung. Pemahaman demikian juga telah sesuai dengan pengertian bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam norma Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagaimana sebagiannya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pada pokoknya menentukan bangunan gedung memiliki fungsi yaitu sebagai hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Dalam kaitan ini, keberadaan kondotel sebagai bangunan Gedung yang memiliki fungsi usaha ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas PP dimaksud) yang menyatakan, “Yang dimaksud fungsi usaha meliputi: e. Bangunan Gedung perhotelan, seperti wisma, losmen, hostel, motel, rumah kos, hotel, dan kondotel.” Oleh karena itu, kondotel yang lebih memiliki fungsi kegiatan usaha memang tidak sesuai dengan pengertian rumah susun berdasarkan UU 20/2011 dan apabila dengan menambahkan fungsi bukan hunian dalam norma Pasal 50 UU 20/2011 sebagaimana permohonan para Pemohon, hal demikian justru akan menyebabkan ketidakharmonisan ketentuan dalam UU 20/2011 serta dengan peraturan perundang-undangan lain yang dapat berujung pada ketidakpastian hukum karena desain UU 20/2011 menempatkan fungsi utama rumah susun adalah sebagai tempat tinggal. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa Mahkamah memahami keberadaan kondotel sebagai jenis usaha atau bentuk investasi baru yang terus akan berkembang seiring dengan peningkatan kebutuhan akan layanan jasa perhotelan di Indonesia menjadikan kondotel harus memiliki payung hukum tersendiri sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan di atas, telah nampak bahwa kondotel memiliki struktur bangunan dan model kepemilikan yang sama dengan rumah susun. Akan tetapi, perbedaannya terletak pada fungsi kondotel yaitu sebagai salah satu kegiatan usaha. Keberadaan karakteristik yang demikian ternyata secara spesifik tidak terakomodir dalam hukum positif sehingga terdapat kekosongan hukum dalam pengaturannya. Oleh karena itu, Mahkamah mendorong pembentuk undang-undang untuk dapat segera menyusun undang-undang maupun peraturan pelaksana yang dapat dijadikan dasar hukum bagi penyelenggaraan rumah susun yang memiliki fungsi bukan hunian di Indonesia. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, norma Pasal 50 UU 20/2011 tidak menyebabkan hilangnya hak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah penguasaan, termasuk dalam hal ini hak kepemilikan, secara sewenang-wenang sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Oleh karenanya, permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Seluruhnya Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Ir. H. Said Iqbal, M.E. (Presiden) dan Febri Nurzarli, S.E., S.H. (Sekretaris Jenderal) dan Ramidi (Karyawan Swasta), Riden Hatam Aziz, S.H. (Karyawan Swasta), R. Abdullah (Karyawan Swasta), Agus Ruli Ardiansyah (Karyawan Swasta), Ilhamsyah (Karyawan Swasta), Sunandar (Karyawan Swasta), Didi Suprijadi (Dosen), dan Hendrik Hutagalung (Karyawan Swasta), yang dalam hal ini memberikan kuasa Said Salahudin, dkk. merupakan kuasa hukum/advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

aspek formil proses pembentukan UU 13/2022

aspek formil proses pembentukan UU 13/2022

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian aspek formil proses pembentukan UU 13/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.14] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” karena materi perubahan UU 13/2022 sangat terbatas untuk memberikan legitimasi terhadap UU 11/2020. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 13/2022 memberi pengertian yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; [3.14.2] Bahwa menurut Mahkamah, untuk melihat secara saksama tentang sejauhmana UU 13/2022 dibutuhkan dan juga bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membaca secara komprehensif seluruh dokumen yang terkait dengan proses pembentukan UU 13/2022, serta keseluruhan bagian dari UU a quo mulai dari bagian konsiderans menimbang sebagai dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis serta bagian penjelasan umum yang mendeskripsikan latar belakang pembentukan suatu UU, apakah benar memang mengabaikan asas tersebut; [3.14.3] Bahwa dalam Konsiderans Menimbang UU 13/2022 ditentukan pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kepastian hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan pembangunan hukum nasional [vide Konsiderans Menimbang huruf a UU 13/2022]. Kemudian, ditentukan pula UU a quo dibentuk untuk mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan sehingga dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau penetapan hingga pengundangan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan adanya perubahan atas UU 12/2011 jo. UU 15/2019 [vide Konsiderans Menimbang huruf b dan huruf c UU 13/2022]; [3.14.4] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan Sub-paragraf [3.14.3], Mahkamah berpendapat substansi Penjelasan Pasal 5 huruf e UU 13/2022 bukanlah substansi yang baru karena sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004), kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) telah ditentukan adanya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Berkenaan dengan asas tersebut setidaknya terdapat 2 (dua) kriteria untuk menilai apakah pembentukan suatu UU memenuhi asas dimaksud, yakni benar-benar dibutuhkan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Berkenaan dengan kriteria “benar-benar dibutuhkan”, kebutuhan dalam pembentukan undang-undang yaitu sebagai: pengaturan lebih lanjut dari perintah UUD 1945; perintah undang-undang untuk diatur lebih lanjut dengan undang-undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat [vide Pasal 10 UU 12/2011). Khusus berkenaan dengan tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi, pembentukan UU 13/2022 adalah perintah dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam hal ini, Sub-paragraf [3.20.3] Putusan Mahkamah Konstitusi a quo pada pokoknya menyatakan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut; Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf e UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kejelasan rumusan” karena dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) yang dimaksud dengan “kesalahan teknis penulisan” antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf f UU 13/2022 memberi pengertian yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya; [3.15.2] Bahwa berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo penting bagi Mahkamah untuk mengutip terlebih dahulu norma Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 yang menyatakan, “Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut”. Selanjutnya dalam Penjelasannya dinyatakan bahwa: “yang dimaksud dengan “kesalahan teknis penulisan” antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial.” Penormaan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 dibentuk karena perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang secara substansi memerlukan adanya pengaturan jikalau dalam proses perumusan norma dalam undang-undang terdapat kesalahan teknis penulisan maka diperlukan adanya batas toleransi kesalahan teknis penulisan tersebut. Hal demikian, karena Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan dalam Subparagraf [3.17.6] hlm. 391, sebagai berikut, “… jikapun terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena adanya kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna norma pasal atau substansi rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama”. Pertimbangan hukum tersebut telah diakomodir dalam Pasal 72 ayat (1a) dan Penjelasan UU 13/2022. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah dalil para Pemohon bahwa pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas kejelasan rumusan” sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf f UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar “asas keterbukaan”, karena proses perubahan UU 13/2022 tidak menerapkan partisipasi masyarakat dalam arti sesungguhnya (meaningful participation) sebagaimana dimaksud pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal ini didalilkan oleh para Pemohon dengan pembahasan perubahan undang-undang yang terbilang cepat hanya dibahas selama 6 (enam) hari di Badan Legislasi DPR RI. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.16.1] Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 13/2022, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk pemantauan dan peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan). Secara substansial, materi asas keterbukaan telah diatur sejak berlakunya UU 10/2004. Kemudian, materi dimaksud diatur kembali dalam UU 12/2011 yang menyatakan, “asas keterbukaan adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan” [vide Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011]. Menurut Mahkamah, substansi Penjelasan berkenaan dengan asas keterbukaan dalam UU 13/2022 jauh lebih luas dibandingkan dengan UU 12/2011. Penjelasan lebih luas demikian tidak dapat dilepaskan dari makna partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020; [3.16.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama Keterangan DPR yang telah disampaikan dalam persidangan pada 8 September 2022 berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU 13/2022, Mahkamah menemukan fakta sebagai berikut: 1. Telah dilakukan diskusi dan konsultasi publik pada tahap penyusunan Naskah Akademik dan RUU a quo yang melibatkan berbagai pakar di Provinsi Jawa Barat, Provinsi Lampung, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Sulawesi Selatan [vide Keterangan DPR hlm. 19 - 22]; 2. Telah dilakukan konsultasi publik dengan agenda mendengar paparan para narasumber dan diskusi yang diselenggarakan secara terbuka dan dihadiri oleh kelompok masyarakat yang terdampak langsung dengan perubahan materi pengaturan terkait dengan rancangan perubahan undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan [vide Keterangan DPR Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XII, Lampiran XIV, dan Lampiran XV]; 3. Telah dilakukan konsultasi publik terkait dengan isu-isu yang berkembang di berbagai media dan diskusi serta seminar yang diadakan oleh berbagai kalangan, seperti Indonesian Center for Legislative Drafting, Pusat Studi Hukum Konstitusi, dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial [vide Keterangan DPR hlm. 22 – 23]; 4. Telah diberikan akses bagi masyarakat untuk mengunduh konsep awal Naskah Akademik dan RUU a quo dalam laman https://pusatpuu.dpr.go.id/simaspuu/detail-na/id/187 dan https://pusatpuu.dpr.go.id/simas-puu/detail-ruu/id/188 [vide Keterangan DPR hlm. 28]; 5. Telah dilakukan rapat penyusunan dan pembahasan UU 13/2022 secara terbuka dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube dan tautan https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/276 [vide Keterangan DPR hlm. 28]; Berdasarkan fakta hukum tersebut di atas, keterangan disertai dengan bukti-bukti yang diajukan DPR telah menunjukkan bahwa selama proses pembentukan UU 13/2022 telah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Terlebih lagi, bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah bahwa proses pembentukan UU 13/2022 telah melanggar asas keterbukaan. Keraguan Mahkamah makin bertambah karena para Pemohon mendalilkan bahwa proses pembentukan UU 13/2022 dilakukan hanya selama 6 (enam) hari di Badan Legislasi DPR. Padahal, Badan Legislasi DPR sesuai dengan tugas dan fungsinya adalah salah satunya memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR [vide Pasal 105 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 66 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib]. Artinya, dalil para Pemohon yang menyatakan rancangan UU 13/2022 dibahas di Badan Legislasi DPR adalah tidak sesuai dengan proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22A UUD 1945 dan peraturan pelaksananya. Di samping itu, penting bagi Mahkamah menegaskan bahwa pembentukan UU 13/2022 adalah merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, pembentuk UU 13/2022 telah melakukan partisipasi publik sesuai dengan asas keterbukaan. Dengan demikian, dalil para Pemohon berkenaan dengan pembentukan UU 13/2022 tidak sesuai dengan Pasal 5 huruf g UU 13/2022 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat permohonan para Pemohon berkenaan dengan UU 13/2022 telah ternyata proses pembentukannya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, UU 13/2022 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.19] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 88/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Sulistya Tirtoutomo yang membeirkan kuasa kepada Dr. I Wayan Suka Wirawan, S.H., M.H., advokat pada Digesta Law Firm, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 2 ayat (4), Pasal 6 ayat (3) huruf e, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 52 UU Keterbukaan Informasi Publik

Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil UU Keterbukaan Informasi Publik dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah membaca secara saksama permohonan Pemohon, memeriksa bukti-bukti yang diajukan, dan mempertimbangkan argumentasi Pemohon, sebagaimana selengkapnya dimuat dalam bagian Duduk Perkara, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa Pemohon mendalilkan frasa "hak-hak pribadi" dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, frasa "isi akta otentik yang bersifat pribadi" dalam Pasal 17 huruf g, frasa "rahasia pribadi, yaitu kondisi keuangan, aset, pendapatan" dalam Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 inkonstitusional sepanjang dimaknai mengecualikan setiap informasi publik yang tercantum dalam sertifikat dan/atau warkah tanah yang dikuasai oleh setiap badan publik yang berwenang menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah, atau setidak-tidaknya tidak dimaknai mengecualikan bagi setiap subjek hukum yang berhak atas tanah termasuk berdasarkan titel harta bersama. Dalam mendalilkan inkonstitusionalitas tersebut Pemohon mengaitkannya dengan Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008. Berkenaan dengan dalil-dalil Pemohon a quo penting bagi Mahkamah menegaskan terlebih dahulu bahwa norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIV/2016 yang dalam pertimbangan hukum Sub-paragraf [3.7.2] menyatakan bahwa: [3.7.2] Bahwa selanjutnya sebelum mempertimbangkan tentang nota pemeriksaan PPK yang bersifat rahasia Mahkamah terlebih dahulu mempertimbangkan, apakah Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merugikan hak konstitusional para Pemohon untuk mendapatkan informasi sehingga bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Terhadap hal tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1 Dalam Penjelasan Umum UU 14/2008 disebutkan tujuan dibentuknya UU 14/2008 adalah untuk memberikan jaminan terhadap semua orang dalam memperoleh informasi, mengingat hak untuk memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia sebagai salah satu wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Keberadaan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan: (1) hak setiap orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi. Dari Penjelasan Umum tersebut dapat disimpulkan bahwa keterbukaan informasi publik perlu bagi pemenuhan hak asasi manusia, namun keterbukaan informasi publik tersebut tidak berarti sebebas-bebasnya tetapi ada pengecualian keterbukaan informasi publik yang bersifat ketat dan terbatas. 2 Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 memuat asas bahwa Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. Adapun kriteria informasi yang bersifat rahasia ditentukan dalam Pasal 17 UU 14/2008 yang menyatakan: Setiap Badan Publik wajib membuka akses bagi setiap Pemohon Informasi Publik untuk mendapatkan Informasi Publik, kecuali: a. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang dapat: 1 menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana; 2 mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana; 3 mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencanarencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional; 4 membahayakan keselamatan dan kehidupan penegak hukum dan/atau keluarganya; dan/atau 5 membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum. b. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat; c. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, yaitu: 1 informasi tentang strategi, intelijen, operasi, taktik dan teknik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri; 2 dokumen yang memuat tentang strategi, intelijen, operasi, teknik dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengakhiran atau evaluasi; 3 jumlah, komposisi, disposisi, atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya; 4 gambar dan data tentang situasi dan keadaan pangkalan dan/atau instalasi militer; 5 data perkiraan kemampuan militer dan pertahanan negara lain terbatas pada segala tindakan dan/atau indikasi negara tersebut yang dapat membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau data terkait kerjasama militer dengan negara lain yang disepakati dalam perjanjian tersebut sebagai rahasia atau sangat rahasia; 6 sistem persandian negara; dan/atau 7 sistem intelijen negara. d. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia; e. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan ketahanan ekonomi nasional: 1 rencana awal pembelian dan penjualan mata uang nasional atau asing, saham dan aset vital milik negara; 2 rencana awal perubahan nilai tukar, suku bunga, dan model operasi institusi keuangan; 3 rencana awal perubahan suku bunga bank, pinjaman pemerintah, perubahan pajak, tarif, atau pendapatan negara/daerah lainnya; 4 rencana awal penjualan atau pembelian tanah atau properti; 5 rencana awal investasi asing; 6 proses dan hasil pengawasan perbankan, asuransi, atau lembaga keuangan lainnya; dan/atau 7 hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang. f. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik, dapat merugikan kepentingan hubungan luar negeri : 1 posisi, daya tawar dan strategi yang akan dan telah diambil oleh negara dalam hubungannya dengan negosiasi internasional; 2 korespondensi diplomatik antarnegara; 3 sistem komunikasi dan persandian yang dipergunakan dalam menjalankan hubungan internasional; dan/atau 4 perlindungan dan pengamanan infrastruktur strategis Indonesia di luar negeri. g. Informasi Publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang; h. Informasi Publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada Pemohon Informasi Publik dapat mengungkap rahasia pribadi, yaitu: 1 riwayat dan kondisi anggota keluarga; 2 riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang; 3 kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang; 4 hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang; dan/atau 5 catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal i. memorandum atau surat-surat antar Badan Publik atau intra Badan Publik, yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan; j. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang. Ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 tersebut merupakan derivasi dari Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan. mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Selain itu, Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang a quo juga telah sesuai dengan International Covenant on Civil and Political Right 1966 Pasal 19 ayat (2) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik) yang isinya menyatakan: “Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice”. Hal senada juga terdapat di Amerika Serikat yang mengatur pengecualian terhadap informasi yang tidak dapat diakses, yaitu di dalam Freedom of Information Act yang digolongkan ke dalam sembilan pengecualian (exemption), yaitu: 1) keamanan nasional (National Security) dan politik luar negeri a) rencana militer, b) persenjataan, c) data iptek yang menyangkut keamanan nasional, dan data CIA, 2) ketentuan internal lembaga, 3) informasi yang secara tegas dikecualikan oleh Undang-Undang untuk dapat diakses publik, 4) informasi bisnis yang bersifat rahasia, 5) memo internal pemerintah, 6) informasi pribadi (personal privacy), 7) data yang berkenaan dengan penyidikan, 8) informasi lembaga keuangan, dan 9) informasi dan data geologis dan geofisik mengenai sumbernya. Harus diingat bahwa kekecualian di atas bersifat diskresioner, tidak wajib, dan diserahkan pada lembaga yang bersangkutan. Di Asia yang memiliki ketentuan serupa dengan di Amerika Serikat antara lain Thailand, yang dikenal dengan Official Information Act Tahun 1997, yang mengatur informasi yang tidak dapat di akses publik yaitu: a) dapat membahayakan istana, b) yang dapat membahayakan keamanan nasional, hubungan internasional atau keuangan nasional, c) menghambat penegakan hukum, d) merupakan informasi atau nasihat dari lembaga negara yang bersifat internal, e) yang dapat membahayakan keselamatan atau nyawa seseorang, f) informasi pribadi atau rekam medik yang publikasinya akan mengancam the right of privacy, dan g) informasi resmi yang dilindungi perundang-undangan atau yang diberikan oleh seseorang dan harus dijaga kerahasiaannya. 3 Pembatasan terhadap informasi yang dapat diakses seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan hal yang wajar dan dibolehkan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Right yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang menyatakan The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (1) For respect of the rights or reputations of others; (2) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals. Hal yang sama juga ditentukan dalam Pasal 28J UUD 1945 yang menyatakan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Dengan demikian, dalam mempergunakan hak memperoleh informasi, setiap orang juga tidak dapat sebebas-bebasnya memperoleh informasi dengan alasan hak tersebut diberikan langsung oleh UUD 1945, tetapi hak tersebut juga dibatasi dengan alasan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum, dan hukum dalam suatu masyarakat demokratis. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas, Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan ketentuan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945; Bahwa terkait dengan pertimbangan hukum di atas, sekalipun Pemohon dalam permohonannya memberikan alasan yang berbeda dengan Perkara Nomor 3/PUU-XIV/2016, namun pada intinya memiliki kesamaan esensi yang menghendaki tidak adanya pengecualian terhadap informasi publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c dan Pasal 17 huruf h angka 3 UU 14/2008. Dalam kaitan ini, penting ditegaskan bahwa Mahkamah tetap pada pendiriannya sebagaimana telah dipertimbangkan dalam kutipan pertimbangan hukum di atas bahwa pengecualian dalam norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 merupakan hal yang dapat dibenarkan dalam rangka memberikan perlindungan yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, meskipun setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik untuk masyarakat luas, namun terdapat pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas terhadap informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 dan Pasal 17 UU 14/2008. Salah satu informasi yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik adalah “informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi”. Menurut Mahkamah, apabila Informasi Publik dimaksud dibuka hal ini justru dapat menimbulkan dampak negatif. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum. Bahwa dengan telah dinyatakan oleh Mahkamah norma Pasal 2 ayat (4) UU 14/2008 konstitusional, maka dalil Pemohon berkenaan dengan frasa "hak-hak pribadi" dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, frasa "isi akta otentik yang bersifat pribadi" dalam Pasal 17 huruf g, frasa "rahasia pribadi, yaitu kondisi keuangan, aset, pendapatan" dalam Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 yang dimohonkan Pemohon agar diberi pemaknaan oleh Mahkamah untuk mengecualikan informasi publik yang telah dikecualikan dalam UU 14/2008, sesuai dengan kasus konkret yang dialami Pemohon, menurut Mahkamah tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Terlebih lagi, bukan merupakan ranah kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.12.2] Bahwa Pemohon juga mendalilkan kata "dapat" dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 inkonstitusional karena menyebabkan berlarut-larutnya proses penyelesaian sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon. Oleh karenanya, Pemohon memohon kepada Mahkamah agar kata ”dapat” dinyatakan inkonstitusional. Berkenaan dengan dalil Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: 1 Norma Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 pada pokoknya menyatakan proses penyelesaian sengketa informasi publik paling lambat dapat diselesaikan dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Menurut Pemohon frasa "paling lambat dapat" dalam Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 mengandung pertentangan dalam dirinya sendiri, karena frasa "paling lambat" jelas bermakna "harus", sedangkan kata "dapat" jelas bermakna "tidak harus". Menurut Mahkamah meskipun Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 dirumuskan dengan kata “dapat” telah direalisasikan melalui berbagai prosedur beracara dalam rangka memberikan jaminan penyelesaian sengketa paling lambat dalam waktu 100 (seratus) hari kerja. Terlebih lagi, secara doktriner penggunaan kata “dapat” dalam penormaan undang-undang merupakan hal yang lazim dilakukan karena “operator norma” tidak selalu dirumuskan dengan kata wajib atau harus, di mana norma wajib atau harus berkaitan dengan kewajiban yang telah ditetapkan dan apabila tidak dipenuhi kewajiban tersebut dikenakan sanksi. Sementara itu, secara normatif kata “dapat” mengandung sifat diskresioner (vide angka 267 dan angka 268 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2022, selanjutnya disebut UU 12/2011). Karena, sifat diskresioner tersebut maka norma “dapat” dalam pelaksanaannya dapat menjadi wajib untuk direalisasikan karena ada faktor-faktor yang mengharuskannya (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XVIII/2020, hlm. 121-122, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2020). 2 Sementara, berkaitan dengan sengketa informasi publik yang diajukan oleh Pemohon kepada Komisi Informasi, merupakan informasi publik yang telah dikecualikan oleh UU 14/2008 sebagaimana telah dipertimbangkan di atas. Namun demikian, perlu dijelaskan, proses pengajuan sengketa informasi publik ke Komisi Informasi dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana telah ditentukan dalam Bab VIII tentang Keberatan dan Penyelesaian Sengketa Melalui Komisi Informasi UU 14/2008. Artinya, tahapan keberatan harus dilalui terlebih dahulu, di mana setiap pemohon informasi Publik pada pokoknya dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan yang salah satunya adalah karena adanya penolakan atas permintaan informasi berdasarkan alasan pengecualian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 17 UU 14/2008 [vide Pasal 35 UU 14/2008]. Keberatan tersebut diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah ditemukannya alasan yang telah ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1) UU 14/2008. Selanjutnya, atasan pejabat memberikan tanggapan atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Informasi Publik dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya keberatan secara tertulis [vide Pasal 36 UU 14/2008]. Berkenaan dengan keberatan tersebut, UU a quo memberikan ruang untuk diadakannya penyelesaian secara musyawarah terlebih dahulu oleh pihak pemohon dan pejabat pengelola informasi publik atas keberatan yang diajukan karena alasan: (1) tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UU 14/2008; (2) tidak ditanggapinya permintaan informasi; (3) permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta; (4) tidak dipenuhinya permintaan informasi; pengenaan biaya yang tidak wajar; (5) dan/atau penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam UU 14/2008. Sedangkan, terhadap penolakan atas permintaan informasi karena alasan dikecualikan oleh UU tidak dibuka ruang musyawarah antar para pihak [vide Pasal 35 ayat (2) UU 14/2008]. Dalam hal permintaan informasi publik telah dilakukan sesuai dengan ketentuan maka atasan pejabat tersebut menyampaikan alasan tertulis disertakan dengan tanggapan yang menguatkan putusan yang telah ditetapkan oleh bawahannya [vide Pasal 36 ayat (3) UU 14/2008]. 3 Tahapan selanjutnya, pengajuan penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi baru dilakukan apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik [vide Pasal 37 ayat (1) UU 14/2008]. Dalam kaitan ini ditentukan, upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan tertulis dari atasan pejabat tersebut. Dalam konteks inilah, UU a quo merealisasikan asas penyelenggaraan informasi publik, salah satunya menghendaki setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh oleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana [vide Pasal 2 ayat (3) UU 14/2008]. Oleh karenanya, berkaitan dengan penyelesaian sengketa informasi publik Pasal 38 ayat (1) UU 14/2008 menegaskan bahwa “Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota harus mulai mengupayakan penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan penyelesaian Sengketa Informasi Publik”. Dalam kaitan ini, jika dikorelasikan dengan tidak dibukanya ruang untuk mediasi terhadap keberatan pemohon informasi atas permintaan informasi yang dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan maka dalam konteks ini pula mediasi dan ajudikasi pun tidak dilakukan untuk sengketa informasi publik yang diajukan karena informasi tersebut telah dikecualikan sebagaimana telah ditegaskan secara expressis verbis dalam Pasal 6 dan Pasal 17 UU 14/2008. Dengan demikian, norma Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 yang menurut Pemohon dilaksanakan secara berlarut-larut melebihi waktu 100 (seratus) hari merupakan dalil yang tidak beralasan karena proses penyelesaian sengketa informasi publik dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah ditentukan sepanjang hal tersebut bukan merupakan informasi publik yang memang dikecualikan. Namun demikian, sesuai dengan asas pelayanan yang cepat dan tepat, Komisi Informasi seharusnya memberikan pelayanan berupa tanggapan yang memadai terhadap setiap permohonan yang diajukan, termasuk terhadap informasi yang dikecualikan. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 38 ayat (2) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.12.3] Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 hanya memberikan kewenangan kepada badan publik untuk melakukan uji konsekuensi sebelum mengambil keputusan terhadap setiap permohonan dan menjadi tidak berwenang melakukan uji konsekuensi setelah badan publik menolak permohonan informasi. Berkenaan dengan dalil a quo, ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 pada intinya telah menentukan Badan Publik harus membuktikan hal-hal yang mendukung pendapatnya apabila menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan informasi tersebut termasuk dalam kriteria informasi yang dikecualikan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g UU 14/2008. Dalam hal ini, tanpa Mahkamah bermaksud menilai legalitas Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengklasifikasian Informasi Publik (selanjutnya disebut Perki Nomor 1 Tahun 2017) dan Peraturan Komisi Informasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar layanan Informasi Publik (selanjutnya disebut Perki Nomor 1 Tahun 2021) sebagai peraturan pelaksana UU 14/2008 menentukan dalam Pasal 4 ayat (1) Perki Nomor 1 Tahun 2017 bahwa dalam hal Badan publik menyatakan informasi publik tertentu yang dikecualikan maka pengecualian informasi publik tersebut harus didasarkan pada pengujian konsekuensi. Jika dilihat dari pengertiannya yang dimaksud pengujian konsekuensi adalah pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat dengan mempertimbangkan secara saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya [vide Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 6 Perki Nomor 1 Tahun 2017]. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Perki Nomor 1 Tahun 2021, pengujian Konsekuensi dapat dilakukan: a. sebelum adanya permohonan Informasi Publik; b. pada saat adanya permohonan Informasi Publik; atau c. pada saat penyelesaian sengketa Informasi Publik atas perintah Majelis Komisioner. Pejabat yang melaksanakan pengujian konsekuensi adalah Pejabat Pengelola Informasi Dan Dokumentasi (selanjutnya disingkat PPID) atas persetujuan pimpinan badan publik [vide Pasal 4 ayat (2) Perki Nomor 1 Tahun 2017 dan Pasal 10 ayat (1) huruf g Perki Nomor 1 Tahun 2021]. Bahwa terhadap dalil Pemohon yang meminta agar Komisi Informasi memerintahkan badan publik yang telah menolak memberikan informasi untuk melakukan uji konsekuensi berlaku surut, maka dalam kaitan ini telah diatur tugas dan wewenang Komisi Informasi dalam ketentuan Pasal 26 dan Pasal 27 UU 14/2008, sementara berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 telah ditentukan pula Putusan Komisi Informasi berupa: (1) Putusan Komisi Informasi tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisikan salah satu perintah di bawah ini: a. membatalkan putusan atasan Badan Publik dan memutuskan untuk memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik sesuai dengan keputusan Komisi Informasi; atau b. mengukuhkan putusan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk tidak memberikan informasi yang diminta sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. (2) Putusan Komisi Informasi tentang pokok keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g, berisikan salah satu perintah di bawah ini: a. memerintahkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi untuk menjalankan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini; b. memerintahkan Badan Publik untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau c. mengukuhkan pertimbangan atasan Badan Publik atau memutuskan mengenai biaya penelusuran. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, menurut Mahkamah ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008, adalah merupakan bentuk prinsip kehati-hatian, agar badan publik tidak dengan serta-merta dapat menyatakan tidak dapat memberikan informasi dengan alasan informasi tersebut dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 35 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf g UU 14/2008. Dalam hal ini, sebuah badan publik harus menyertakan alasannya mengenai tidak dapat diberikannya informasi publik yang dimohonkan. Begitu juga dengan putusan Komisi Informasi, telah diatur putusan apa yang dapat dijatuhkan oleh Komisi Informasi, baik bagi badan publik ataupun PPID, termasuk jika di dalam putusan yang bersangkutan mengandung perintah sebagaimana yang dimintakan oleh pemohon informasi publik. Jika dikaitkan dengan dalil Pemohon, yang menginginkan agar uji konsekuensi dapat juga dilakukan setelah sebuah badan publik menolak permohonan informasi yang diajukan seseorang dan meminta agar Komisi Informasi memerintahkan badan publik yang telah menolak memberikan informasi untuk melakukan uji konsekuensi berlaku surut, menurut Mahkamah dalil-dalil a quo adalah dalil yang berdasarkan pada kasus konkret Pemohon, sehingga tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut karena bukan merupakan kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikan kasus konkret yang dialami Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.12.4] Bahwa Pemohon selanjutnya mendalilkan frasa "pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)" dalam Pasal 52 UU 14/2008 inkonstitusional karena nilai denda tersebut lebih kecil jumlahnya daripada kerugian yang ditimbulkan oleh badan publik, hal ini akan mengakibatkan badan publik menghindari hukum secara tanpa hak dan hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Berkenaan dengan dalil a quo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada buku kesatu dalam BAB I Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Sementara, berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 ditentukan materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam undang-undang dan peraturan daerah. Berdasarkan kedua ketentuan a quo dimungkinkan untuk adanya ketentuan pidana dalam sebuah undang-undang, in casu UU 14/2008. Menurut Mahkamah, dengan adanya ketentuan pidana dalam Pasal 52 UU 14/2008 memberikan perlindungan kepada setiap orang yang dirugikan oleh perbuatan badan publik yang telah dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan UU 14/2008, ada batasan dan sanksi yang jelas ketika perbuatan-perbuatan tersebut dilanggar. Menurut Mahkamah, jika dikaitkan dengan dalil Pemohon bahwa frasa "pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)" dalam Pasal 52 UU 14/2008 inkonstitusional karena nilai denda tersebut lebih kecil jumlahnya daripada kerugian yang ditimbulkan oleh badan publik, ketentuan ini justru melindungi pihak-pihak yang membutuhkan informasi publik dari perbuatan badan publik yang dilakukan secara sengaja tidak menyediakan data informasi publik, dan hal ini tidak melanggar hak konstitusional untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya telah jelas apabila permohonan Pemohon a quo dikabulkan oleh Mahkamah, maka justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Terlebih lagi, selama ini Mahkamah selalu berpendirian, antara lain dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2020, Sub-paragraf [3.13.2], bahwa terhadap norma yang mengatur sanksi pidana dalam sebuah undang-undang merupakan bagian kebijakan pemidanaan (criminal policy) yang menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang menentukannya. Sebab, hal yang berkaitan dengan perampasan kemerdekaan atau pembatasan hak asasi warga negara diperlukan representasi dari kehendak rakyat melalui lembaga perwakilan rakyat untuk menentukannya. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan Pasal 52 UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, norma Pasal 2 ayat (4), Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 52 UU 14/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan tidak terlindunginya hak pribadi yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa berkenaan dengan hal-hal lain dalam permohonan Pemohon tidak dipertimbangkan karena tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 58/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Kamar Dagang dan Industri Kota Banjarmasin (KADIN Kota Banjarmasin) yang diwakili oleh Muhammad Akbar Utomo Setiawan, Syarifuddin Nisfuady, Ali, Hamdani dan Khariadi. untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengujikan proses Pembentukan UU Provinsi Kalimantan Selatan ketentuan sebagai berikut: • Proses pembentukan UU 8/2022 yang dianggap oleh Pemohon tidak melibatkan partisipasi masyarakat • Pembentukan UU 8/2022 yang dianggap oleh Pemohon bertentangan dengan beberapa asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dan asas keterbukaan.

Bahwa pengujian formil UU Provinsi Kalimantan Selatan dianggap Pemohon bertentangan dengan ketentuan proses pembentukan karena dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan bertentangan dengan beberapa asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yakni asas kejelasan tujuan; asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dan asas keterbukaan

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Formil UU Provinsi Kalimantan Selatan dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.15] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kejelasan tujuan karena ternyata terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan dalam proses penyusunannya yang terpublikasi. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.15.1] Bahwa Penjelasan Pasal 5 huruf a UU 12/2011 telah memberikan pengertian perihal apa yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan, yaitu setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Dalam kerangka politik hukum nasional, maka tujuan dari pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan, apapun bentuk peraturannya, harus diarahkan pada pemenuhan cita-cita bangsa dan tujuan negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan dinamika perkembangan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, keberadaan asas kejelasan tujuan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan memberikan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk, paling tidak, menjelaskan adanya kebutuhan atau urgensi dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Terkait hal demikian, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-XVIII/2019 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Oktober 2020 sebagai berikut: [3.15.4] … Berkenaan dengan asas kejelasan tujuan maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang telah menguraikan latar belakang, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang… … menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang di Penjelasan Umum maka telah memenuhi asas kejelasan tujuan, terlepas bahwa norma undang-undang tersebut apakah menyimpangi tujuan penyusunan undang-undang dan dikhawatirkan akan merugikan hak konstitusional warga negara tersebut terhadap hal demikian haruslah dipertimbangkan oleh Mahkamah melalui pengujian materiil suatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi bukan melalui pengujian formil. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka secara teknis, penjelasan pembentuk undang-undang berkaitan dengan keterpenuhan asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dilihat pada bagian konsiderans atau penjelasan umum suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, sepanjang peraturan perundang-undangan telah menjelaskan maksud, tujuan, atau urgensi penyusunannya secara jelas dalam bagian konsiderans atau penjelasan umum, maka telah terpenuhi pula asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. [3.15.2] Bahwa UU 8/2022 telah memuat maksud dan tujuan serta urgensi atau kebutuhan diperlukannya UU a quo sebagaimana tercantum dalam Konsiderans menimbang huruf c dan huruf d yang menyatakan: Menimbang: c. bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-Undang tentang Provinsi Kalimantan Selatan; Selain itu, penjelasan terkait dengan maksud, tujuan dan urgensi penyusunan UU 8/2022 juga terdapat dalam Penjelasan Umum UU a quo yang menyatakan: Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sejatinya adalah untuk mewujudkan salah satu tujuan Negara yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap banga Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dan penyesuaian terhadap dinamika perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah, serta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, diperlukan upaya untuk menegaskan kembali kedudukan provinsi, khususnya Provinsi Kalimantan Selatan dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Repiblik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk republik.” Berkaitan dengan itu, Undang-Undang ini dibentuk untuk mengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang memuat penyempurnaan dasar hukum, penyesuaian cakupan wilayah, penegasan karakteristik, serta sinkronisasi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, menurut Mahkamah, maksud, tujuan dan urgensi pembentukan UU 8/2022 telah jelas diuraikan dalam bagian konsiderans dan Penjelasan Umum UU 8/2022, antara lain, adanya kebutuhan untuk menyesuaikan dasar hukum pembentukan provinsi yang masih berdasar kepada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak cocok dengan konsep otonomi daerah saat ini serta dengan mencerminkan kekhasan dan arah pembangunan berdasarkan potensi dan karakteristik daerah. Sehingga, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kejelasan tujuan adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.15.3] Bahwa terkait dengan dalil para Pemohon yang menyatakan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kepastian hukum karena dalam proses penyusunannya terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan. Terhadap dalil para Pemohon a quo, meskipun hal demikian tidak berkaitan dengan asas kejelasan tujuan dalam proses pembentukan undang-undang, Mahkamah memandang perlu menjelaskan kembali secara singkat tahapan-tahapan dalam proses pembentukan undang-undang sesuai dengan UUD 1945 sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 25 November 2021 sebagai berikut: [3.17.2] Bahwa merujuk pengaturan dalam UUD 1945, pembentukan undang-undang (lawmaking process) adalah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan yang terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) pengajuan rancangan undang-undang; (ii) pembahasan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan (2) UUD 1945; (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden; (iv) pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang; dan (v) pengundangan; Secara teknis, pembentukan undang-undang (lawmaking process) sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tersebut kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU 12/2011 dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang kemudian menentukan proses pembentukan peraturan perundang-undangan terdiri dari 5 (lima) tahapan, yaitu: (i) perencanaan, (ii) penyusunan, (iii) pembahasan, (iv) pengesahan, dan (v) pengundangan. Pada tahapan penyusunan rancangan undang-undang, dalam hal ini yang diajukan atau atas usul inisiatif DPR, maka setelah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) terdapat beberapa proses yang harus dilalui oleh sebuah RUU untuk dapat diteruskan pada tahapan pembahasan, baik untuk RUU yang berasal dari anggota DPR maupun dari komisi, gabungan komisi, atau badan legislasi. Proses tersebut dimulai dari penyiapan RUU dan naskah akademik yang kemudian dilanjutkan pada kegiatan penyusunan konsep, pembahasan konsep hingga penyebarluasan RUU untuk selanjutnya dimintakan masukan dari masyarakat hingga diserahkan kepada badan legislasi guna dilakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsep RUU untuk kemudian disetujui oleh rapat paripurna agar dilakukan pembahasan dengan Presiden. Dalam setiap proses yang dilalui tersebut, masih terbuka ruang bagi DPR sebagai inisiator pengusul untuk melakukan penyempurnaan atas konsep RUU yang akan dibahas bersama dengan Presiden sehingga kemungkinan terdapat beberapa versi konsep RUU dalam tahapan penyusunan adalah merupakan rangkaian proses penyempurnaan RUU. Baru dalam tahapan pembahasan, khususnya setelah pembicaraan tingkat I yang telah ditentukan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Presiden, maka setiap perubahan substansial RUU harus melalui pembahasan bersama antara DPR dan Presiden. Dalam tahapan ini pun masih berpotensi muncul versi RUU baru sebagai hasil dari kesepakatan dalam pembahasan oleh pembentuk undang-undang. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, keberadaan lebih dari satu versi RUU dalam proses pembentukannya merupakan suatu yang tidak dapat dihindari sebagai akibat dari serangkaian proses penyempurnaan yang harus dilalui oleh sebuah RUU untuk kemudian menjadi undang-undang. [3.15.4] Bahwa berkaitan dengan pertimbangan hukum tersebut di atas, setelah Mahkamah mencermati dengan saksama bukti salinan RUU yang diajukan oleh para Pemohon dan Lampiran Keterangan DPR, Mahkamah menemukan fakta memang benar terdapat 3 (tiga) versi RUU Provinsi Kalimantan Selatan dalam proses pembentukan UU 8/2022. Pertama, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 58 Pasal dan sebanyak 50 halaman [vide bukti P-2b dan Lampiran 8 Keterangan DPR] merupakan draft RUU yang diserahkan oleh Komisi II selaku pengusul RUU kepada Baleg DPR pada 16 September 2021. Kedua, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 50 Pasal dan sebanyak 45 halaman [vide bukti P-4b dan Lampiran 14 Keterangan DPR] merupakan draft RUU hasil harmonisasi Baleg DPR pada 23 September 2021. Ketiga, RUU Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 8 Pasal [vide bukti P-9 dan Lampiran 24 Keterangan DPR] merupakan RUU yang disampaikan dalam rapat paripurna pada 15 Februari 2022 untuk diambil keputusan tingkat II. Dengan demikian menjadi jelas bahwa keberadaan tiga versi RUU sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon dalam proses pembentukan UU 8/2022 adalah merupakan hasil proses penyempurnaan RUU menjadi sebuah undang-undang sesuai dengan tahapan pembentukan suatu undang-undang. Selain itu, Mahkamah juga menemukan fakta bahwa dalam proses pembahasan, berdasarkan DIM yang disampaikan oleh Presiden, terlihat banyaknya posisi penolakan materi pasal RUU yang diusulkan. Hal demikian sekaligus menjawab pertanyaan dalam persidangan terkait adanya perbedaan jumlah pasal yang signifikan, antara RUU Provinsi Kalimantan Selatan awalnya berjumlah 50 Pasal kemudian hanya menjadi 8 Pasal dalam UU 8/2022. Dengan demikian, menurut Mahkamah, menjadi jelas bahwa proses pembentukan UU 8/2022 telah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan sehingga dalil para Pemohon adalah tidak berlasan menurut hukum. [3.16] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat serta asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan. Berkenaan dengan dalil para Pemohon a quo, Mahkamah memahami maksud dan tujuan para Pemohon yang pada pokoknya mendalilkan bahwa instrumen hukum yang seharusnya digunakan untuk pemindahan ibukota adalah dengan “Peraturan Pemerintah” sesuai dengan dengan ketentuan Pasal 48 ayat (3) UU 23/2014, bukan dengan “Undang-Undang” sebagaimana yang diatur dalam UU 8/2022, in casu Pasal 4 UU 8/2022. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.16.1] Bahwa sejak berlakunya UU 23/2014, segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah harus merujuk pada UU 23/2014, termasuk juga ketentuan mengenai penyesuaian daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (3) UU 23/2014 yang menentukan “Perubahan nama Daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibu kota, serta perubahan nama ibu kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e ditetapkan dengan peraturan pemerintah.” Sedangkan dalam UU 8/2022, pembentuk undang-undang memuat norma yang menentukan bahwa Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan adalah Kota Banjarbaru, yang sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (selanjutnya disebut UU 25/1956) bertempat di Kota Banjarmasin. Dengan adanya perubahan materi undang-undang tersebut, maka secara tidak langsung pembentuk undang-undang juga sekaligus memindahkan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tanpa sebelumnya menggunakan prosedur pemindahan Ibukota sebagaimana diatur dalam UU 23/2014 beserta turunannya, yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Nama Daerah, Pemberian Nama Ibu Kota, Perubahan Nama Daerah, Perubahan Nama Ibu Kota, Dan Pemindahan Ibu Kota (selanjutnya disebut Permendagri 30/2012). Terhadap permasalahan tersebut, menurut Mahkamah, prosedur pemindahan Ibukota sebagaimana ditentukan dalam UU 23/2014 dan Permendagri 30/2012 berlaku bagi pemindahan ibukota suatu daerah yang tanpa diikuti atau dibarengi dengan perubahan atas undang-undang daerah tersebut. Atau dengan perkataan lain, apabila hendak memindahkan lokasi ibukota di suatu daerah tanpa adanya perubahan terhadap undang-undang pembentukan daerah tersebut, maka berlaku prosedur sebagaimana ditentukan dalam UU 23/2014 dan Permendagri 30/2012. Namun apabila terdapat proses perubahan undang-undang suatu daerah yang di dalamnya mengatur perubahan lokasi ibukota suatu daerah, maka prosedur yang berlaku adalah pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011. Berkenaan dengan perubahan undang-undang a quo, berdasarkan Butir 223 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan bahwa “Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi”. Berdasarkan hal tersebut, telah jelas bahwa untuk dapat mengubah materi muatan yang sudah tidak sejalan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat atau dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, karena perubahan ibukota bersamaan dengan perubahan UU tentang Provinsi Kalimantan Selatan, in casu perubahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru melalui UU 8/2022, maka hal tersebut dapat dibenarkan. [3.16.2] Bahwa berkenaan dengan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Pasal 4 UU 8/2022, menurut Mahkamah bukanlah merupakan sebuah proses pemindahan ibukota yang baru ditentukan berdasarkan UU 8/2022 karena sebenarnya materi muatan Pasal 4 UU 8/2022 yang menentukan Kota Banjarbaru sebagai Ibukota lebih merupakan pemberian dasar hukum terhadap status Kota Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Mahkamah menemukan fakta berdasarkan Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 1 Keterangan DPR, bagian Latar Belakang] secara faktual, walaupun ibukota di Kota Banjarmasin, namun sejak tanggal 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru. Bahkan secara historis, gagasan untuk memindahkan Ibukota ke Kota Banjarbaru telah diinisiasi oleh dr. Murdjani, Gubernur ke-2 Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1950-an [vide keterangan DPR RI, hlm. 42] dan pada tahun 1964 usulan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dituangkan dalam resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964 terkait realisasi penetapan Kota Banjarbaru menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan [vide Keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, hlm. 22]. Oleh karena itu, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya bukanlah merupakan proses yang baru dilaksanakan dan pemberlakuan UU 8/2022 adalah dalam rangka memberikan dasar hukum atas dinamika dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat di Kalimantan Selatan. Selain itu, secara faktual, kantor-kantor pemerintahan telah dibangun dan aktivitas pemerintahan telah pula berjalan, sebagai bentuk “ibukota baru” sebelum pembentukan UU 8/2022. Bahkan secara faktual pula telah dilakukan pemindahan pusat pemerintahan ke Kota Banjarbaru yang proses pemindahannya melibatkan tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan [vide hlm. 40, Perbaikan Permohonan para Pemohon]. [3.16.3] Bahwa selain pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, penggunaan instrumen hukum berupa undang-undang dalam hal pemindahan ibukota sekaligus pada saat perubahan undang-undang tentang Provinsi Kalimantan Selatan memiliki kedudukan hukum yang lebih kuat daripada Peraturan Pemerintah. Selain itu, dari sisi materi muatan suatu undang-undang juga lebih umum dan kompleks daripada materi muatan suatu Peraturan Pemerintah sehingga membutuhkan pembahasan yang lebih substantif dan partisipasif. Terlebih lagi secara faktual, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru ternyata telah termuat juga dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 17 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2005- 2025 [vide bukti P.T-4]. Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2015-2035 juga telah mencerminkan bahwa Kota Banjarbaru telah dipersiapkan untuk menjadi Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi, industri nasional, perdagangan regional dan nasional, jasa transportasi udara nasional, dan pendidikan tinggi. Berdasarkan fakta tersebut, menurut Mahkamah, proses pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru bukanlah merupakan hal baru yang muncul pada saat pembentukan UU 8/2022, melainkan secara faktual telah dipersiapkan dan dilakukan secara bertahap oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dengan demikian, pengaturan mengenai pemindahan ibukota dalam proses pembentukan UU 8/2022 merupakan proses yang telah sesuai dengan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang berdasarkan UU 12/2011, sehingga dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17] Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan proses pembentukan UU 8/2022 telah melanggar asas keterbukaan karena tidak melibatkan tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan sebagaimana proses pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru yang dibentuk dan ditetapkan oleh Gubernur Kalimantan Selatan. Sedangkan dalam pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru dilakukan tanpa melibatkan tim sebagaimana pemindahan pusat pemerintahan dimaksud serta tanpa konsep yang jelas dan kajian yang transparan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Terhadap dalil para Pemohon a quo, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.17.1] Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 huruf g UU 12/2011, yang dimaksud dengan asas keterbukaan adalah dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pengertian tersebut, maka keterpenuhan asas keterbukaan secara formil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Mahkamah, adalah bertumpu pada sifat transparan dan terbukanya setiap tahapan pembentukannya. Sifat transparan tersebut membutuhkan adanya tindakan dari pembentuk undang-undang untuk memberitahukan, mengumumkan, atau mempublikasikan informasi dalam tahapan proses pembentukan undang-undang. Sedangkan sifat keterbukaan memberikan kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk tidak sekedar memberikan informasi, namun juga membuka ruang komunikasi 2 (dua) arah melalui diskusi atau dialog untuk mendapatkan saran dan masukan dari masyarakat. Oleh karena itu, untuk menentukan apakah asas keterbukaan secara formil telah terpenuhi, dapat dilihat dari upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pembentuk undang-undang untuk melakukan penyebaran informasi sekaligus membuka ruang diskursus publik, atau sebaliknya, ada atau tidaknya upaya dari pembentuk undang-undang yang dengan sengaja menghalangi atau menghambat upaya penyebaran informasi atau membuka ruang diskursus publik dalam proses pembentukan undang-undang, in casu UU 8/2022. Berkenaan dengan hal tersebut, ketentuan Pasal 96 ayat (2) UU 12/2011 menentukan beberapa pilihan metode atau sarana partisipasi masyarakat yang dapat dilakukan, yaitu dalam bentuk rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, atau diskusi. [3.17.2] Bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama Lampiran Keterangan DPR yang merupakan satu kesatuan dengan keterangan tertulis DPR yang telah disampaikan dalam persidangan pada 19 Juli 2022, Mahkamah menemukan fakta berkaitan dengan upaya penyebarluasan informasi dan penyediaan ruang diskursus publik dalam proses pembentukan UU 8/2022 sebagai berikut: 1 Pemuatan alur atau proses tahapan pembentukan UU 8/2022 disertai dengan dokumen berupa naskah akademik, RUU, dan beberapa laporan dalam laman resmi DPR sehingga masyarakat setiap saat dapat mengakses secara mudah seluruh data tersebut; 2 Diskusi pengumpulan data dalam rangka penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU Provinsi Kalimantan Selatan di Provinsi Kalimantan Selatan dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Akademisi FH dan FISIP Universitas Lambung Mangkurat, dan LSM Sasangga Banua yang diselenggarakan tanggal 20-23 Oktober 2020 [vide Lampiran 1 Keterangan DPR]; 3 Diskusi uji konsep RUU Provinsi Kalsel dengan Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dan Akademisi FH Universitas Lambung Mangkurat dalam tahap penyusunan Naskah Akademik dan Draf RUU Provinsi Kalimantan Selatan di Kalimantan Selatan pada 23 Maret 2021 [vide Lampiran 4 dan Lampiran 5 Keterangan DPR]; 4 Kunjungan Panitia Kerja Komisi II DPR terkait pembahasan 7 Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi di Kalimantan, tepatnya di Kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan, di Provinsi Kalimantan Selatan pada 26 Januari 2022 dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, DPRD Kalimantan Selatan, dan perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri dalam tahap pembahasan RUU Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 18 Keterangan DPR]. Berdasarkan uraian fakta-fakta tersebut di atas, menurut Mahkamah, telah jelas pembentuk undang-undang telah melakukan upaya dan kegiatan dalam rangka penyebaran informasi sekaligus membuka ruang diskursus publik dalam proses pembentukan UU 8/2022 sehingga dalil permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.17.3] Bahwa berkaitan dengan dalil para Pemohon yang menyatakan pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru dilakukan tanpa adanya konsep yang jelas dan kajian yang transparan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat karena tidak membentuk tim khusus dengan melibatkan 2 Walikota dan 11 Bupati serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, Mahkamah memahami keinginan para Pemohon agar dalam pembentukan UU 8/2022 dilakukan dengan mendengarkan berbagai pendapat, saran dan masukan dari semua stakeholders, khususnya terkait dengan materi yang mengatur tentang pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru. Terhadap dalil para Pemohon tersebut, menurut Mahkamah, pada tataran yang ideal, semua pihak yang berkaitan dengan undang-undang yang akan dibentuk, didengarkan pendapatnya oleh pembentuk undang-undang. Namun secara teknis prosedural, hal tersebut tidak mungkin dapat dilakukan secara maksimal dan justru menyebabkan proses pembentukannya menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh karena itu, berkaitan dengan siapa saja pihak yang dapat didengar masukannya dalam proses pembentukan undang-undang, ketentuan Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 telah membatasi hanya kepada orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian Penjelasan Pasal 96 ayat (3) UU 12/2011 menentukan yang termasuk dalam kelompok orang, antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Berdasarkan fakta sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.17.2] di atas, menurut Mahkamah, secara formal kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh DPR dengan melibatkan pemerintah provinsi, DPRD provinsi, akademisi, serta LSM telah sesuai dengan prosedur dan tata cara pembentukan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam UU 12/2011. Mahkamah juga perlu menegaskan, sekalipun tidak membentuk tim khusus dengan melibatkan 2 Walikota dan 11 Bupati serta 13 DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan, tidak menyebabkan proses pembentukan UU 8/2022 menjadi cacat formil. Adapun terkait dengan bukti berupa dokumen yang menunjukkan adanya penolakan pemindahan Ibukota dari berbagai unsur elemen masyarakat yang diajukan oleh para Pemohon [vide bukti P-8, bukti P-18 dan bukti P-19], menurut Mahkamah, hal demikian merupakan bagian dari dinamika berdemokrasi dan tidak dapat menentukan keabsahan formalitas dalam proses pembentukan suatu undang-undang karena akan selalu saja terbuka kemungkinan adanya kelompok yang pro dan kontra terhadap lahirnya suatu undang-undang yang merupakan bentuk kebebasan berpendapat, karena faktanya terdapat juga beberapa surat dukungan pemindahan Ibukota ke Kota Banjarbaru sebagaimana bukti P.T-6 sampai dengan bukti P.T-10.10. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon mengenai tidak dilibatkannya tim yang terdiri dari 2 (dua) Walikota dan 11 (sebelas) Bupati serta 13 (tiga belas) DPRD Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan sebagaimana proses pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru, dan pemindahan pusat pemerintahan dimaksud dilakukan tanpa konsep dan kajian yang jelas, serta tidak memperhatikan aspirasi masyarakat adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.18] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat, pembentukan UU 8/2022 telah memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945 sehingga dengan demikian, dalil para Pemohon yang menyatakan proses penyusunan UU 8/2022 tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf g UU 12/2011 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.