Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 59/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2022 TENTANG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Kamar Dagang dan Industri Kota Banjarmasin, dkk., dalam hal ini memberi kuasa kepada Dr. Muhamad Pazri, S.H., M.H., Muhammad Mauliddin Afdie, S.H., M.H., Hidayatullah, S.H., Matrosul, S.H., dan Muhammad Iqbal, S.H., M.H., kesemuanya Advokat, Pengacara, Konsultan Hukum berkantor pada Kantor Hukum BORNEO LAW FIRM untuk selanjutnya disebut Para Pemohon.

Pasal 4 UU 8/2022

Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 4 UU 8/2022 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut: [3.13] Menimbang bahwa setelah memeriksa secara saksama permohonan para Pemohon bukti surat/tulisan, keterangan ahli dan saksi yang diajukan para Pemohon, kesimpulan para Pemohon, keterangan DPR, keterangan Presiden, keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, bukti surat/tulisan Pihak Terkait, kesimpulan Pihak Terkait, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas norma Pasal 4 UU 8/2022 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana yang terurai pada Paragraf [3.8]. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa pemindahan ibukota merupakan bagian dari penataan daerah. Berdasarkan Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014), penataan daerah sebagai pelaksanaan desentralisasi bertujuan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik, meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan, meningkatkan daya saing nasional dan daya saing daerah, serta memelihara keunikan adat istiadat, tradisi dan budaya daerah, yang terdiri atas Pembentukan Daerah dan Penyesuaian Daerah. Penyesuaian Daerah dapat berupa perubahan batas wilayah daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama dan perubahan nama bagian rupa bumi, pemindahan ibukota, dan/atau perubahan nama ibukota [vide Pasal 48 ayat (1) UU 23/2014]; Bahwa secara historis, Provinsi Kalimantan Selatan adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur (UU 25/1956). Provinsi Kalimantan Selatan pernah dipecah menjadi Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Provinsi Kalimantan Tengah. Selanjutnya sebagian wilayah Kabupaten Kotabaru dimasukkan ke dalam wilayah Kalimantan Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II Di Kalimantan Sebagai Undang-Undang. Kemudian pada akhirnya Provinsi Kalimantan Selatan memiliki undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2022 tentang Provinsi Kalimantan Selatan (UU 8/2022); Dalam Naskah Akademik RUU Provinsi Kalimantan Selatan, UU 8/2022 disusun dengan latar belakang dasar pembentukannya yang telah kadaluwarsa karena dibentuk pada masa Indonesia masih menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 sehingga banyak materi muatan yang tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan. Beberapa materi muatan yang sudah tidak sejalan lagi di antaranya adalah mengenai nomenklatur status daerah, susunan pemerintahan, dan pola relasi dengan pemerintahan pusat. Oleh karena itu, perlu membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur tentang Provinsi Kalimantan Selatan sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian dan berkebudayaan. Lebih lanjut, dalam Bab V, Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan, disebutkan bahwa Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di Kota Banjarbaru [vide Keterangan DPR hlm. 30]. Berkenaan dengan perubahan undang-undang Provinsi Kalimantan Selatan, berdasarkan Butir 223 Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) menyatakan bahwa: “Peraturan Perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi”. Berdasarkan hal tersebut di atas, telah jelas bahwa untuk dapat mengubah materi muatan yang sudah tidak sejalan dalam suatu peraturan perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang setingkat atau dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian menurut Mahkamah, pengaturan perubahan mengenai Provinsi Kalimantan Selatan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang telah sesuai dengan ketentuan dalam UU 12/2011. Kemudian berdasarkan Pasal 5 dan Pasal 20 UUD 1945, Presiden dan DPR mempunyai kewenangan untuk membentuk Undang-Undang. Pembentukan UU 8/2022 telah dilakukan melalui persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Salah satu fokus utama bagi pembentuk undang-undang adalah melakukan penyesuaian sehingga pembangunan di Provinsi Kalimantan Selatan dapat terselenggara secara terpola, menyeluruh, terencana, dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah untuk mewujudkan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dan berkebudayaan. [vide Keterangan Presiden, hlm. 15]. Adapun materi muatan mengenai pengaturan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu kesepakatan pembentuk undang-undang pada saat pembahasan, dan bukan merupakan satu-satunya materi muatan dalam UU 8/2022. Oleh karena itu, menurut Mahkamah pengaturan pembaruan mengenai Provinsi Kalimantan Selatan dalam UU 8/2022 yang juga di dalamnya mencantumkan Kota Banjarbaru sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun hal tersebut adalah baru dan berbeda dengan UU 25/1956 karena letak ibukota berada di Banjarmasin, hal demikian itu adalah tetap konstitusional. Sementara itu, terkait dengan pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan, Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-XX/2022 yang telah diputus sebelumnya, pada Sub-paragraf [3.16.2] mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa berkenaan dengan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan Pasal 4 UU 8/2022, menurut Mahkamah bukanlah merupakan sebuah proses pemindahan ibukota yang baru ditentukan berdasarkan UU 8/2022 karena sebenarnya materi muatan Pasal 4 UU 8/2022 yang menentukan Kota Banjarbaru sebagai Ibukota lebih merupakan pemberian dasar hukum terhadap status Kota Banjarbaru sebagai pusat pemerintahan sebagaimana yang telah berjalan selama ini. Mahkamah menemukan fakta berdasarkan Laporan Hasil Pengumpulan Data Dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Draft RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan [vide Lampiran 1 Keterangan DPR, bagian Latar Belakang] secara faktual, walaupun ibukota di Kota Banjarmasin, namun sejak tanggal 14 Agustus 2011, sebagian aktivitas pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan berpindah ke Kota Banjarbaru. Bahkan secara historis, gagasan untuk memindahkan Ibukota ke Kota Banjarbaru telah diinisiasi oleh dr. Murdjani, Gubernur ke-2 Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 1950-an [vide keterangan DPR RI, hlm. 42] dan pada tahun 1964 usulan pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dituangkan dalam resolusi DPRD-GR Kalimantan Selatan tertanggal 27 Juli 1964 No. 18a/DPRD-GR/KPT/1964 terkait realisasi penetapan Kota Banjarbaru menjadi Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan [vide Keterangan Pihak Terkait Walikota Banjarbaru, hlm. 22]. Oleh karena itu, rencana pemindahan Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru sebenarnya bukanlah merupakan proses yang baru dilaksanakan dan pemberlakuan UU 8/2022 adalah dalam rangka memberikan dasar hukum atas dinamika dan kebutuhan yang berkembang di masyarakat, khususnya masyarakat di Kalimantan Selatan. Selain itu, secara faktual, kantor-kantor pemerintahan telah dibangun dan aktivitas pemerintahan telah pula berjalan, sebagai bentuk “ibukota baru” sebelum pembentukan UU 8/2022. Dengan demikian, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon perihal pemindahan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru sebagaimana substansi Pasal 4 UU 8/2022 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum; [3.14] Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 4 UU 8/2022 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah memberikan perlindungan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, permohonan para Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak ada relevansinya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 76/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Ir. Barid Effendi, Dedy Dani Ardi, S.E., M.E., Riris Munadiya, S.E., M.E., untuk selanjutnya disebut sebagai Para Pemohon.

Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999

Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum pada pokoknya sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa setelah membaca secara saksama permohonan Pemohon beserta bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, sebelum menilai konstitusionalitas Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 terlebih dahulu Mahkamah akan mempertimbangkan permohonan Pemohon dikaitkan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat diajukan kembali. Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. Bahwa pengujian norma Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 pernah diajukan pengujian ke Mahkamah dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 26 Oktober 2020 dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam perkara Nomor 54/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan adalah pengujian Pasal 34 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UU 5/1999 terhadap Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Sedangkan, untuk permohonan Pemohon a quo yang dimohonkan pengujiannya adalah Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999, tidak termasuk ayat (1), terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, meskipun terdapat pasal yang diujikan sama yakni Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 namun permohonan a quo tidak menguji ayat (1) dan terdapat pula dasar pengujian yang berbeda yakni terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, terdapat pula perbedaan pada rumusan petitum inkonstitusional bersyarat dalam permohonan a quo dengan permohonan sebelumnya. Oleh karena perkara a quo memiliki dasar pengujian yang berbeda dan juga memiliki alasan yang berbeda, maka terlepas terbukti atau tidaknya secara substansial permohonan a quo, secara formal permohonan a quo berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021, dapat diajukan kembali. [3.11] Menimbang bahwa pokok permohonan yang didalilkan Pemohon telah ternyata pada pokoknya berkenaan dengan status kelembagaan sekretariat KPPU dan pengaturan lebih lanjut sekretariat KPPU dengan Keputusan Komisi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999. Untuk itu penting bagi Mahkamah terlebih dahulu mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 terkait dengan sekretariat KPPU yang mempertimbangkan sebagai berikut: “ …, sekretariat KPPU merupakan unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas KPPU yang susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur berdasarkan keputusan Komisi. Oleh karena itu, adanya keinginan para Pemohon yang meminta agar sekretariat KPPU dimaksud ditafsirkan sebagai sekretariat jenderal, menurut Mahkamah, dalam menentukan pembentukan unit organisasi sekretariat jenderal, diperlukan kajian yang mendalam dari segala sisi yang dikaitkan dengan fungsi, tugas, dan wewenang KPPU, karena pada dasarnya pembentukan sekretariat jenderal memiliki konsekuensi yang luas, bukan hanya terkait dengan anggaran, yang dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi juga mengakibatkan ruang lingkup kewenangan organisasi menjadi lebih besar. Bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon yakni dengan meningkatkan status kesekretariatan jenderal pada KPPU, quod non, hal tersebut sama halnya memaksa Mahkamah harus melakukan analisa tentang ruang lingkup kewenangan kelembagaan dan jabatan-jabatan yang melekat terkait dengan kesekretariatan-jenderal KPPU, namun sesungguhnya hal tersebut bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah. Selain itu, Mahkamah juga tidak dapat menggambarkan konsekuensi anggaran atau biaya yang akan dikeluarkan oleh negara jika permohonan para Pemohon dikabulkan. Dengan kata lain, hal ini menegaskan bahwa permasalahan kesekretariatan KPPU akan ditingkatkan menjadi kesekretariatan jenderal ataukah bukan, hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya, melainkan menjadi kewenangan pemerintah dan lembaga terkait untuk menentukannya. Oleh karena itu, setelah secara kelembagaan kesekretariatan dapat ditingkatkan menjadi sekretariat jenderal maka hal tersebut baru mempunyai korelasi dengan peraturan yang mengaturnya, apakah tetap diatur dengan keputusan presiden ataukah dengan peraturan presiden, penyesuaian tersebut sangat tergantung pada sifat dan kebutuhan kelembagaannya. Bahwa penegasan berkenaan penentuan status kelembagaan kesekretariatan KPPU yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah, sesungguhnya juga dipahami oleh para Pemohon sebagaimana disampaikan para Pemohon dalam salah satu dalil permohonannya yang menyatakan penyempurnaan UU 5/1999 merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang, oleh karena itu para Pemohon memohon agar Mahkamah setidak- tidaknya dapat memberikan landasan konstitusional sebagai arah penyempurnaan UU 5/1999, sehingga rancangan undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masuk dalam daftar prolegnas rancangan undang-undang prioritas dan segera dilaksanakan (vide permohonan para Pemohon hlm. 28, huruf e). Terhadap hal tersebut, Mahkamah dapat memahami bahwa oleh karena penyempurnaan UU 5/1999 dapat juga merupakan bagian penegasan terhadap kedudukan dan kewenangan kelembagaan kesekretariatan KPPU maka dengan mempertimbangkan, bahwa lembaga KPPU dibentuk dengan tujuan untuk mencegah dan menindak adanya praktik monopoli dan untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat kepada para pelaku usaha di Indonesia, KPPU sebagai lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden seperti yang disebutkan pada Pasal 30 UU 5/1999, dan ditambah dalam perjalanannya selama ini KPPU mampu menjawab tantangan untuk mengawal penerapan UU 5/1999 dan mencegah adanya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di berbagai sektor perekonomian Indonesia. Maka, melalui putusan ini Mahkamah penting menegaskan status kelembagaan KPPU, apabila memiliki urgensi dan telah dilakukan pengkajian yang komprehensif serta telah disesuaikan dengan kebutuhan kewenangan, ruang lingkup tugas dan fungsinya, dapat saja disesuaikan dan tidak menjadi penghalang KPPU untuk berkembang menjadi lembaga yang sesuai dengan kebutuhan.” Lebih lanjut, dalam Putusan a quo Mahkamah juga telah mempertimbangkan terkait dengan pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat KPPU, sebagai berikut: “Bahwa uraian pertimbangan hukum Mahkamah di atas juga berlaku (mutatis mutandis) terhadap dalil para Pemohon yang meminta agar frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 ditafsirkan sebagai “Peraturan Presiden.” Hal ini dikarenakan norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 juga bersifat konkret, individual, dan sekali selesai, yakni terkait dengan susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja dalam KPPU yang merupakan kewenangan komisi untuk mengaturnya. Dengan demikian tidaklah tepat apabila mempermasalahkan norma dari Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) UU 5/1999 yang merupakan norma delegasi dari undang-undang, sementara substansi yang diperintahkan adalah memang berkaitan dengan hal yang bersifat individual, konkret, dan sekali selesai. Dengan kata lain norma Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) UU 5/1999 merupakan delegasi untuk pembentukan komisi dan susunan organisasi, tugas dan fungsi lembaga KPPU serta ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja dalam KPPU. Sehingga apabila norma pasal-pasal a quo pada frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 dan frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “Peraturan Presiden”, maka hal tersebut sama saja dengan menggeser pembentukan KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya serta susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja pada lembaga KPPU diatur dengan perpres, maka akan menggeser pula alasan historis dan substansi pembentukan KPPU yang dijadikan rujukan ketika dibentuk. Di mana oleh pembentuk undang-undang berkenaan pembentukan komisi cukup diatur dengan keppres sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999, sedangkan berkaitan dengan ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur dengan keputusan Komisi, sebagaimana diatur dalam norma Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999. Di samping hal tersebut bertentangan dengan sifat dari perpres yang merupakan ketentuan pengaturan terhadap hal-hal yang bersifat umum, abstrak dan terus-menerus, juga terdapat “contradictio in terminis” antara substansi yang diatur dengan norma yang semestinya mengatur dalam norma yang bersangkutan. Terlebih, tidak semua keppres dapat serta-merta dimaknai dan diberlakukan sebagaimana perpres, karena hanya terhadap keppres yang bersifat “mengatur” (regeling) yang dapat dimaknai sebagai perpres. Sementara itu frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 yang berkaitan dengan pembentukan lembaga KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya merupakan keppres yang berisi norma bersifat “mengatur” (regeling) ataukah “menetapkan” (beschikking) hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya.” Berkenaan dengan pokok permohonan Pemohon a quo, menurut Mahkamah, pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 sesungguhnya telah secara jelas dan tegas menjawab bahwa mengenai penentuan status kelembagaan sekretariat KPPU dan substansi pengaturan lebih lanjut sekretariat KPPU bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menentukannya. Meskipun Mahkamah menyatakan demikian, namun pada bagian lain dalam pertimbangan hukum putusan tersebut Mahkamah juga memerintahkan secara implisit kepada addressat putusan Mahkamah agar menindaklanjutinya. Bahwa putusan Mahkamah tidak hanya berupa amar putusan, namun terdiri dari identitas putusan, duduk perkara, pertimbangan hukum, dan amar putusan bahkan berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga dapat saja Mahkamah memberikan perintah (judicial order) di dalam bagian pertimbangan hukum yang harus dilaksanakan juga oleh addressat putusan Mahkamah. Dalam konteks perkara a quo, meskipun dalam bagian amar putusan tersebut Mahkamah menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, namun dalam bagian pertimbangan hukum Mahkamah terdapat perintah kepada pemerintah dan lembaga terkait. Perintah tersebut yakni untuk terlebih dahulu melakukan penilaian atau kajian yang komprehensif mengenai urgensi perlunya penyesuaian kebutuhan lembaga KPPU. Lebih lanjut, agar lembaga KPPU termasuk sekretariatnya berkembang sesuai dengan kebutuhan, pemerintah dan lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan mengingat rujukan pembentukan KPPU termasuk kesekretariatannya tidak dapat dilepaskan dari saat dibentuknya ketentuan tersebut, sehingga eksistensi lembaga KPPU dan sekretariat KPPU saat ini masih memberlakukan UU 5/1999. Sementara itu, sekarang ini rujukan yang berkaitan dengan UU 5/1999 tersebut sudah berubah dan berkembang, seperti terkait dengan nomenklatur yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat perubahan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Demikian juga berkenaan dengan pegawai suatu lembaga atau institusi-institusi negara sekarang ini telah berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah berkenaan dengan penentuan status kesekretariatan KPPU termasuk juga status pegawai KPPU selain menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XVIII/2020 maka melalui putusan ini Mahkamah menambahkan perlunya segera dilakukan penyesuaian penataan kelembagaan sekretariat KPPU oleh pembentuk undang-undang dengan mendasarkan pada perkembangan sekretariat suatu lembaga atau institusi-institusi negara dengan menggunakan rujukan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyesuaian tersebut sejalan dengan maksud pembentuk undang-undang yang telah memasukkan rencana perubahan atau penyempurnaan UU 5/1999 dalam Program Legislasi Nasional periode 2014-2019 sebagaimana disebutkan dalam Keputusan DPR Nomor 19/DPR RI/I/2018-2019 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2019 dan Perubahan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2015-2019 dan disebutkan lagi dalam Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024. Terlebih lagi, dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan disebutkan lagi dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 yang menegaskan pentingnya penguatan kelembagaan KPPU sehingga dapat semakin berperan mendorong pertumbuhan ekonomi dan merangsang penciptaan lingkungan yang kondusif bagi kegiatan ekonomi di pasar domestik atau luar negeri. Oleh karenanya, menurut Mahkamah proses perencanaan legislasi penyempurnaan UU 5/1999 dapat disegerakan sesuai dengan target Prolegnas. [3.12] Menimbang bahwa berkenaan dengan petitum Pemohon yang memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan kata “sekretariat” dalam Pasal 34 ayat (2) UU 5/1999 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “sekretariat yang ditetapkan oleh Presiden”. Demikian juga frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Peraturan Komisi setelah mendapat persetujuan dari Presiden”, tidak dapat dikabulkan oleh Mahkamah karena rumusan petitum demikian tidaklah lazim. Namun demikian, substansi apa yang dimohonkan Pemohon merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyesuaian yang nantinya akan dilakukan terhadap kelembagaan KPPU sebagaimana pertimbangan hukum di atas. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Ditolak dan Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 77/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN MATERIIL UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Ahmad Amin, SST., untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

pengujian terhadap Konsideran Mengingat UU 14/2005

Pasal 1 ayat (3), Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian materiil Konsideran Mengingat UU 14/2005 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.3] Menimbang bahwa meskipun Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo, namun sebelum mempertimbangkan kedudukan hukum Pemohon dan pokok permohonan, Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan permohonan Pemohon sebagai berikut: [3.3.1] Bahwa Mahkamah telah memeriksa permohonan a quo dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan pada 22 Agustus 2022. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU MK ayat (2), Majelis Panel sesuai dengan kewajibannya telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan permohonan Pemohon sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 2/2021); [3.3.2] Bahwa Pemohon telah memperbaiki permohonannya sebagaimana telah diterima Mahkamah pada 5 September 2022 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada 5 September 2022 dan Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan dengan sistematika: Judul, Identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Hukum Pemohon, Alasan Permohonan (Posita), dan Petitum; [3.3.3] Bahwa meskipun format perbaikan permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada Sub-paragraf [3.3.2] pada dasarnya telah sesuai dengan format permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021, namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas berlakunya UU 14/2005 yang dimohonkan pengujian dan yang dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berkaitan dengan konsideran UU 14/2005. Selain itu menurut Pemohon, UU 14/2005 merupakan usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait dengan pendidikan telah menimbulkan kerugian hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. [3.3.4] Bahwa uraian dimaksud sama sekali tidak menjelaskan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian tetapi sebaliknya Pemohon justru menguraikan adanya ketidakpastian hukum kewenangan antarlembaga tinggi negara yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu berkenaan dengan kewenangan DPD dalam mengajukan rancangan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Apabila dikaitkan dengan kewajiban untuk menguraikan kerugian hak konstitusional sebagai salah satu syarat formal yang harus diuraikan Pemohon, dalam kapasitas apa sesungguhnya Pemohon menguraikan proses pembentukan dan keberadaan UU 14/2005 yang dimohonkan pengujian dikaitkan dengan kewenangan lembaga negara, in casu DPD. Dalam hal ini, Mahkamah merujuk pada dalil permohonan Pemohon (perbaikan permohonan hlm. 5 angka 18 huruf c) yang antara lain menyatakan: “…Pemohon memutuskan untuk memilih isu kewenangan legislasi lembaga negara DPD dalam perannya mengusulkan Rancangan Undang-undang Guru dan Dosen a quo, terkait pendidikan. Hal ini dengan mempertimbangkan berikut: 1) Peran DPD dalam pembentukan UU 14/2005 a quo secara jelas tertulis dalam materi muatan bagian dasar hukum yang menyatakan sebagai lembaga yang berwenang menyusun Undang-Undang terkait pendidikan yaitu Pasal 31 UUD 1945. 2) Kewenangan legislasi DPD dalam mengajukan RUU kepada DPR telah diatur dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. 3) Materi muatan UU 14/2005 a quo yang menyatakan peran DPD pembentukan UU 14/2005 a quo dapat diuji langsung dengan materi muatan norma Konstitusi Pasal 22D ayat (1) UUD 1945.” 4) Mahkamah belum merumuskan tata cara pengujian undang-undang yang diduga melanggar Pasal 22D UUD 1945 kewenangan lembaga negara maka Pemohon berpedoman pada Indonesia adalah negara hukum, dimana lembaga negara menjalankan kekuasaan negara berdasar ketentuan UUD 1945, sehingga melakukan kekuasaan negara di luar ketentuan UUD 1945 dianggap perbuatan melanggar Konstitusi UUD 1945.” [3.3.5] Bahwa setelah membaca dan mencermati secara saksama uraian dalam kedudukan hukum dan alasan-alasan mengajukan permohonan tersebut, menurut Mahkamah uraian kerugian hak konstitusional tidak berkaitan dengan alasan-alasan permohonan Pemohon dimaksud. Terlebih lagi, jika alasan-alasan permohonan dimaksud dikaitkan dengan Petitum Pemohon, permohonan a quo lebih mengesankan sebagai pengujian formil dibandingkan dengan pengujian materiil. Hal ini dapat dibaca dalam petitum Pemohon yang memohonkan agar Mahkamah menyatakan UU 14/2005 adalah inkonstitusional dan batal demi hukum serta tidak berkekuatan hukum mengikat. Menurut Mahkamah Petitum demikian sesungguhnya Pemohon lebih mempersoalkan kewenangan lembaga negara pembentuk undang-undang, in casu DPD, dalam mengajukan rancangan undang-undang di bidang pendidikan, yang apabila diletakkan dalam kerangka doktriner pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang menyangkut kewenangan lembaga adalah merupakan pengujian formil. Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, permohonan Pemohon adalah tidak jelas (kabur) karena tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021. [3.4] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, meski Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena permohonan Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi persyaratan formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang yang Ditolak Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 78/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Partai Buruh yang diwakili oleh Ir. Said Iqbal, M.E. (Presiden Partai Buruh) dan Ferri Nurzali (Sekretaris Jenderal Partai Buruh) yang dalam hal ini memberikan kuasa kepada Said Ssalahudin, M.J, dkk, Kuasa Hukum/Advokat, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017

Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (5), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 sebagaimana telah dimaknai oleh Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020, Pasal 177 huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.10] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon, oleh karena terhadap pengujian konstitusionalitas khusus norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, telah pernah diajukan permohonan pengujian, maka Mahkamah terlebih dahulu akan mempertimbangkan apakah permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 2/2021), sehingga terhadap norma a quo dapat dilakukan pengujian kembali. [3.10.1] Bahwa terkait dengan pertimbangan pada Paragraf [3.11] di atas, Pasal 60 UU MK menyatakan: (1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Kemudian Pasal 78 PMK 2/2021 menyatakan: (1) Terhadap materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang atau Perppu yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda atau terdapat alasan permohonan yang berbeda. [3.10.2] Bahwa sehubungan dengan hal tersebut, Mahkamah beberapa kali telah pernah memutus pengujian norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Selain itu, pernah diajukan sebelumnya dan telah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 24 November 2021, dengan amar putusan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 7 Juli 2022, dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XX/2022 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 31 Agustus 2022, dengan amar putusan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, yang amar putusan-putusan tersebut memperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Selanjutnya, setelah Mahkamah mempelajari secara saksama, Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (2) juncto Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD 1945; Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; serta Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 menggunakan dasar pengujian Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Adapun permohonan a quo menggunakan dasar pengujian Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (3) dan ayat (5), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945. Kemudian berkenaan dengan alasan konstitusional yang digunakan dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021 menggunakan alasan syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik yang lolos ambang batas parlemen dengan partai politik peserta pemilu 2019 yang tidak lolos ambang batas parlemen, baik partai politik yang memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Selanjutnya, alasan konstitusional dalam Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022 adalah syarat verifikasi partai politik menciptakan perlakuan yang berbeda (unequal treatment) antara partai politik peserta pemilu 2019 yang lolos ambang batas parlemen dan memiliki wakil-wakil di DPR RI dengan partai politik yang sama sekali baru dan belum pernah mengikuti pemilu. Sementara, alasan kontitusional dalam permohonan 64/PUU-XX/2022 adalah pembedaan metode verifikasi faktual antara parpol yang lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada pemilu tahun 2019 dan parpol yang tidak lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold pada pemilu tahun 2019 merupakan bentuk diskriminasi. Sedangkan, alasan konstitusional dalam permohonan a quo adalah secara doktriner dalam perspektif toetsingrecht (hak uji materiil) dan wettelijk regeling (peraturan perundang-undangan) [vide perbaikan permohonan Pemohon angka 38, hlm. 26], pemaknaan yang telah diberikan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya dalam batas tertentu sesungguhnya dapat dikatakan sebagai norma hukum positif baru. Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan dasar pengujian dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021, Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022, dan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 dengan dasar pengujian permohonan a quo, yaitu dalam permohonan a quo, menggunakan dasar pengujian Pasal 22E ayat (5), Pasal 28E ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 yang tidak digunakan sebagai dasar pengujian dalam Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021, Perkara Nomor 57/PUUXX/2022, dan Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022. Selain itu, terdapat pula perbedaan alasan konstitusional dalam permohonan Perkara Nomor 48/PUU-XIX/2021, Perkara Nomor 57/PUU-XX/2022, serta Perkara Nomor 64/PUU-XX/2022 dengan alasan konstitusional permohonan a quo. Oleh karena itu, terlepas secara substansial permohonan Pemohon beralasan menurut hukum atau tidak, berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 ayat (2) PMK 2/2021, permohonan a quo dapat diajukan kembali. [3.11] Menimbang bahwa oleh karena permohonan Pemohon berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021 dapat diajukan kembali, Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon lebih lanjut. [3.12] Menimbang bahwa setelah membaca dan memeriksa secara saksama permohonan Pemohon dan memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka isu konstitusional yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah: 1. Apakah ketentuan norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 sepanjang kata “verifikasi” harus dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “verifikasi secara administrasi”, sehingga ketentuan Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 berbunyi: “Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang telah lulus verifikasi secara administrasi oleh KPU”; 2. Apakah frasa “Penduduk pada setiap kabupaten/kota” dalam ketentuan Pasal 177 huruf f UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara bersyarat apabila tidak dimaknai “Penduduk yang beralamat di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) atau Kartu Keluarga (KK) atau Penduduk yang berdomisili di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”; 3. Apakah ketentuan norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”. Terhadap isu konstitusional tersebut, Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: [3.12.1] Bahwa berkenaan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017, Mahkamah perlu mengutip kembali pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUUXVIII/2020 dalam Paragraf [3.15], Paragraf [3.16], dan Paragraf [3.17], sebagai berikut: [3.15] … bahwa posisi Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, bertanggal 29 Agustus 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, bertanggal 11 Januari 2018 terkait dengan verifikasi partai politik sudah sangat jelas, yakni semua partai politik diharuskan mengikuti verifikasi untuk menjadi peserta Pemilu selanjutnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari pemberlakuan syarat yang berbeda (unequal treatment) kepada peserta suatu kontestasi (pemilihan umum) yang sama. Posisi dan standing Mahkamah dalam memberlakukan ketentuan terkait kewajiban verifikasi terhadap semua partai politik, baik yang telah lolos ketentuan parliamentary threshold maupun yang tidak lolos ketentuan ini, tetapi telah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya dengan partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu selanjutnya merupakan upaya untuk menegakkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) akan tetapi cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda; [3.16] … bahwa pada prinsipnya, verifikasi terhadap partai politik untuk menjadi peserta Pemilu menjadi bagian yang sangat penting dan strategis. Sebab, partai politik merupakan manifestasi perwujudan aspirasi rakyat. Melalui partai politik ini lah rakyat menyalurkan aspirasinya. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi perwakilan seperti hal nya Indonesia. Namun demikian, tidak semua partai politik dapat menjadi peserta Pemilu. Hanya partai politik yang memenuhi syarat lah yang memiliki kesempatan menjadi peserta Pemilu. Di dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017, partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut: …. [3.17] Bahwa persyaratan untuk menjadi partai politik peserta Pemilu sebagaimana diuraikan di atas, merupakan ujian yang cukup berat. Sebab, partai politik peserta Pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional (terkecuali partai politik lokal di Provinsi Aceh). Oleh karena itu, struktur kepengurusan partai politik harus berada di seluruh provinsi (skala nasional), memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu dan persyaratan lainnya. Tantangannya tidak selesai sampai di situ, setelah menjadi peserta Pemilu pada Pemilu serentak 2019, ada partai politik yang lolos Parliamentary Threshold sehingga memiliki wakil di DPR dan ada pula partai politik yang tidak lolos parliamentary threshold sehingga tidak memiliki wakil di DPR, tetapi boleh jadi memiliki wakil di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan ada pula partai politik peserta Pemilu yang tidak memiliki wakilnya baik di tingkat DPR maupun di tingkat DPRD Prov/Kabupaten/Kota. Melihat dinamika dan perkembangan capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik pada suatu kontestasi Pemilu, maka pertanyaannya adalah apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta Pemilu pada “verifikasi” kontestasi Pemilu selanjutnya? Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda. Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta Pemilu, baik partai politik peserta Pemilu pada Pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold tetap diverifikasi secara adimistrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru. Dengan demikian Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang menyatakan,”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Partai Politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos/memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual, adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan Parliamentary Threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru”. Dengan demikian berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. [3.12.2] Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum atas Perkara Nomor 55/PUU-XVIII/2020 di atas dan telah diperkuat kembali melalui beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi yang terakhir dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XX/2022, telah ternyata Mahkamah dalam pendiriannya sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Sementara itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XIX/2021, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-XX/2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XX/2022, Mahkamah telah menolak permohonan Pemohon dan memperkuat kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020. Dengan demikian, pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 tersebut mutatis mutandis berlaku dalam pertimbangan hukum Putusan a quo. Oleh karenanya, permohonan Pemohon sepanjang norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020 adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.13] Menimbang bahwa selanjutnya Pemohon mendalilkan sepanjang frasa “Penduduk pada setiap kabupaten/kota” dalam ketentuan Pasal 177 huruf f UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 secara bersyarat apabila tidak dimaknai “Penduduk yang beralamat di satu Kabupaten/Kota sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) atau Kartu Keluarga (KK) atau Penduduk yang berdomisili di satu Kabupaten/kota sesuai dengan surat keterangan kependudukan dari instansi yang berwenang di bidang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil”. Lebih lanjut, Pemohon mendalilkan bahwa berkaitan dengan keanggotaan partai politik hanya dapat dibuktikan dengan KTP-el atau KK [vide Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah], walaupun pada kenyataannya ada masyarakat yang berdomisili atau bertempat tinggal di luar wilayah KTP-el atau KK yang bersangkutan, sehingga menurut Pemohon telah terjadi hambatan hak konstitusional untuk berserikat atau berkumpul yang dijamin UUD 1945. Bahwa berkaitan dengan dalil Pemohon tersebut, penting bagi Mahkamah mempertimbangkan terlebih dahulu ihwal Penduduk yang pengertiannya adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar negeri [vide Pasal 1 angka 32 UU 7/2017]. Penduduk yang mempunyai hak untuk terlibat dalam Partai Politik adalah penduduk yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin [vide Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik]. Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya setiap anggota partai politik diwajibkan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Tanda Penduduk Elekronik (KTP-el). Hal demikian dikarenakan KTP-el merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang. KTP-el ini untuk menunjukkan sebagai jati diri tunggal, sehingga dapat digunakan sebagai identitas diri selama berada di wilayah geografis Republik Indonesia. Kaitannya dengan keanggotaan partai politik adalah bahwa Pasal 177 huruf f UU 7/2017 telah menentukan salah satu dokumen persyaratan pendaftaran bagi partai politik untuk menjadi peserta pemilu adalah kewajiban menyerahkan bukti keanggotaan partai minimal 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kabupaten/kota; Bahwa terhadap argumentasi Pemohon agar Surat Keterangan Tempat Tinggal/domisili dapat digunakan sebagai bukti keanggotaan partai, Mahkamah berpendapat bahwa surat keterangan tempat tinggal tersebut hanyalah digunakan dalam keadaan sementara. Oleh karena itu, dalam waktu yang bersamaan tidak tertutup kemungkinan pemegang surat keterangan tempat tinggal juga memiliki KTP-el atau KK di kabupaten/kota lain. Apabila surat keterangan tempat tinggal diterima sebagai bukti keanggotaan partai, maka dalam batas penalaran yang wajar hal tersebut akan memberi peluang terjadinya keanggotaan ganda partai politik yang didasarkan pada surat keterangan tempat tinggal/domisili dan juga berdasarkan KTP-el atau KK dari yang bersangkutan sehingga dapat mengacaukan proses verifikasi faktual partai politik. Hal demikian justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum; Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 177 huruf f UU 7/2017 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan ketidakbebasan bagi Pemohon dalam mendaftarkan partai politik sebagai peserta pemilu yang dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa selanjutnya berkenaan dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dimaknai “dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya tidak bersifat mengikat”. Terhadap dalil a quo penting bagi Mahkamah untuk mempertimbangkan sebagai berikut: [3.14.1] Bahwa dalam kaitan dengan dalil a quo terlebih dahulu Mahkamah akan menilai norma Pasal 75 ayat (4) UU 7/2017 berkenaan dengan frasa “wajib berkonsultasi dengan DPR”, yang dikaitkan dengan kemandirian KPU di mana secara substansial telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 10 Juli 2017. Dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.9.9], Sub-paragraf [3.9.10], dan Sub-paragraf [3.9.11] putusan a quo, Mahkamah antara lain menyatakan sebagai berikut: [3.9.9] Bahwa secara faktual, hanya peraturan KPU dan peraturan Bawaslu saja yang proses pembentukannya mensyaratkan mekanisme konsultasi yang putusannya bersifat mengikat. Sementara peraturan yang diterbitkan oleh lembaga independen lainnya sama sekali tidak ada keharusan melalui proses konsultasi dengan Pemerintah dan DPR. Perlakuan berbeda terhadap proses pembentukan peraturan oleh lembaga yang bersifat mandiri secara langsung akan membedakan derajat kemandirian lembaga tersebut. Di mana, lembaga yang dalam proses pembentukan peraturan diharuskan berkonsultasi yang keputusannya bersifat mengikat, akan mendegradasi tingkat kemandiriannya dibanding lembaga serupa lainnya. Padahal, penyelenggaraan Pemilu merupakan ranah yang paling rentan untuk diintervensi. Walaupun demikian, sejauh pembedaan dalam proses pembentukan peraturan yang dikeluarkan lembaga independen tidak mengganggu kemandiriannya, pembedaan perlakuan terhadap proses pembentukan peraturan dimaksud dapat ditoleransi dan tidak harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Salah satu contoh pembedaan perlakuan dimaksud adalah adanya mekanisme konsultasi dalam rapat dengar pendapat dengan DPR dan Pemerintah dalam pembentukan peraturan KPU. Langkah tersebut sama sekali tidak diatur sebagai prosedur pembentukan peraturan yang dibentuk oleh lembaga independen lainnya. Sekalipun terdapat perlakuan berbeda, namun proses konsultasi dalam pembentukan peraturan KPU merupakan sebuah mekanisme biasa dalam rangka menampung masukan sekaligus konfirmasi terhadap norma yang akan diatur lebih lanjut dalam peraturan KPU. Sepanjang hasil konsultasi tersebut tidak dipaksakan kepada KPU sebagai institusi yang berwenang membentuk peraturan, norma yang mengatur keberadaan konsultasi sebagai salah satu tahapan pembentukan peraturan KPU tidak dapat dikategorikan bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Namun ketika hasil konsultasi dikategorikan sebagai sesuatu yang wajib dan mengikat bagi KPU, maka sifat memaksa dan mengikat dari hasil konsultasi itulah yang mesti dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945; [3.9.10] Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, frasa “setelah berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam forum dengar pendapat” dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016 tidaklah bertentangan dengan prinsip kemandirian KPU sebab konsultasi demikian, menurut penalaran yang wajar, dibutuhkan bagi pelaksanaan fungsi KPU, in casu dalam menyusun peraturan KPU dan pedoman teknis yang menjadi kewenangannya, guna mencapai tujuan terselenggaranya Pemilu dan pemilihan kepala daerah yang demokratis. Konsultasi dimaksud merupakan kebutuhan karena norma Undang-Undang (yang merupakan produk bersama antara DPR dan Presiden) tidak selamanya memuat rumusan yang jelas yang mencerminkan maksud pembentuknya yang dapat menimbulkan kesulitan pada pihak KPU untuk mengimplementasikannya dalam praktik melalui kewenangan yang diberikan kepada KPU dalam merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis yang diturunkan dari norma Undang-Undang. Oleh karena itu, kesamaan pandangan dan pengertian atau interpretasi terhadap norma Undang-Undang demikian antara KPU dan pembentuk undang-undang merupakan keniscayaan. Namun, dalam kaitan ini penting ditekankan bahwa kedudukan KPU dan pembentuk undang-undang dalam konsultasi di forum dengar pendapat itu adalah setara; [3.9.11] Bahwa, namun demikian, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016 tersebut membawa implikasi teoretik maupun praktik yang dapat bermuara pada tereduksinya kemandirian KPU dan sekaligus tidak memberi kepastian hukum. Ada beberapa alasan dalam hubungan ini. Pertama, bukan tidak mungkin bahwa dalam forum dengar pendapat dimaksud tidak tercapai keputusan yang bulat atau bahkan tidak ada kesimpulan sama sekali. Hal itu dapat terjadi, misalnya, karena di satu pihak tidak terdapat kesepakatan di antara fraksi-fraksi yang ada di DPR atau antara DPR dan Pemerintah atau antara DPR dan KPU atau antara KPU dan Pemerintah. Dalam keadaan demikian, frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah menyandera KPU dalam melaksanakan kewenangannya untuk merumuskan peraturan KPU dan pedoman teknis sehingga kewenangan itu menjadi tidak dapat dilaksanakan sebab menjadi tidak jelas keputusan mana atau apa yang harus dilaksanakan oleh KPU padahal peraturan KPU dan pedoman teknis demikian mutlak ada agar Pemilu dan pemilihan kepala daerah dapat terselenggara. Kebuntuan demikian dapat mengancam agenda ketatanegaraan yang keberlanjutannya bergantung pada peraturan KPU dan pedoman teknis KPU. Kedua, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” secara teknis perundang-undangan juga menjadi berlebihan sebab tanpa frasa itu pun apabila konsultasi dalam forum dengar pendapat tercapai kesepakatan maka dengan sendirinya KPU akan melaksanakannya. Ketiga, adanya frasa “yang keputusannya bersifat mengikat” telah menghilangkan, atau setidak-tidaknya mengaburkan, makna “konsultasi” dalam Pasal 9 huruf a UU 10/2016 tersebut. Sebagai forum konsultasi, dalam hal tidak terdapat kesepakatan maka KPU sebagai lembaga yang dijamin kemandiriannya oleh UUD 1945 tidak boleh tersandera dalam melaksanakan kewenangannya dalam membuat peraturan KPU dan pedoman teknis sebab lembaga inilah yang bertanggung jawab untuk menjamin bahwa Pemilu dan pemilihan kepala daerah terlaksana secara demokratis. [3.14.2] Bahwa terkait dengan norma Pasal 145 ayat (4) dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR”, yang dikaitkan dengan kemandirian Bawaslu dan DKPP, secara substansial telah pernah diputus dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-XI/2013 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 3 April 2014, di mana Mahkamah telah mempertimbangkan dalam Paragraf [3.17] sebagai berikut: [3.17] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih lanjut mengenai pokok permasalahan konstitusional tersebut, Mahkamah perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”; b. Mengenai penafsiran terhadap frasa “suatu komisi pemilihan umum” yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, Mahkamah dalam pertimbangan hukum paragraf [3.18] Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU- VIII/2010, tanggal 18 Maret 2010, antara lain, menyatakan: “... Bahwa untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas ...”. Berdasarkan pertimbangan tersebut, jelas bahwa DKPP adalah organ yang merupakan bagian dan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu yang dimaksud Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yaitu yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu; Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya berkenaan dengan frasa “Wajib berkonsultasi dengan DPR” telah ternyata tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Terlebih lagi, dalam norma Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), dan Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 yang kesemuanya dimohonkan oleh Pemohon tidak terdapat kata “mengikat”, sehingga tidak terdapat alasan untuk menambah frasa “tidak mengikat” sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah menilai telah ternyata ketentuan norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVIII/2020, dan Pasal 177 huruf f, Pasal 75 ayat (4), Pasal 145 ayat (4), serta Pasal 161 ayat (2) UU 7/2017 adalah tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 22E ayat (3) dan ayat (5), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), serta Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 sehingga dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. [3.16] Menimbang bahwa terhadap pengujian norma Pasal 173 ayat (1) UU 7/2017 yang telah dimaknai oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUUXVIII/2020 dan kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 64/PUU-XX/2022, terdapat 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) yang dalam putusan a quo menjadi alasan berbeda (concurring opinion), yaitu tetap berpendirian untuk dilakukan verifikasi baik secara administratif maupun secara faktual untuk semua partai calon peserta pemilu. [3.17] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon yang dipandang tidak relevan sehingga tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

INFO JUDICIAL REVIEW (Resume Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Yang Tidak Dapat Diterima Dalam Sidang Mahkamah Konstitusi) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 83/PUU-XX/2022 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Leonardo Siahaan, untuk sselanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014

Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), UUD NRI Tahun 1945

perwakilan DPR RI dihadiri secara virtual oleh Kepala Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang dan jajarannya di lingkungan Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang, Badan Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI.

Bahwa terhadap pengujian UU 35/2014 dalam permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut: [3.11] ... Bahwa pembentukan UU 35/2014 tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara sebagaimana dimaktubkan dalam Pembukaan UUD 1945, antara lain, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlindungan terhadap segenap masyarakat Indonesia harus dimaknai sebagai perlindungan yang komprehensif bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali, termasuk anak. Dalam hal ini, Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Oleh karenanya, negara berkewajiban menjamin dan melindungi hak-hak anak [vide Konsideran Menimbang huruf a dan huruf b UU 35/2014]. Bahwa anak, di samping merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya yang nantinya akan menjadi tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis serta mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara. Dalam kaitan inilah, anak perlu memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia. Dalam pemenuhan hak-hak anak tidak diperbolehkan adanya perlakuan yang diskriminatif. Hal ini sejalan dengan pengertian “Perlindungan anak” adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi Anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi [vide Pasal 1 angka 2 UU 35/2014]. Oleh karena itu, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi;eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XV/2017]. Dalam kaitan dengan perlindungan anak, Indonesia sebagai negara pihak (state party) dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) telah meratifikasi Konvensi dimaksud dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak). [3.12.1] Bahwa untuk memahami secara komprehensif esensi norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 tidaklah dapat dibaca berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan dengan ayat-ayat lainnya di mana secara lengkap Pasal 39 UU 35/2014 a quo menyatakan: (1) Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi Anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara Anak yang diangkat dan Orang Tua kandungnya. (2a) Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal Anak. (3) Calon Orang Tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon Anak Angkat. (4) Pengangkatan Anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. (4a) Dalam hal Anak tidak diketahui asal usulnya, orang yang akan mengangkat Anak tersebut harus menyertakan identitas Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4). (5) Dalam hal asal usul Anak tidak diketahui, agama Anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Pada pokoknya UU 35/2014 menghendaki pengangkatan anak hanya dapat dilakukan jika hal tersebut sejalan dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak”. Artinya, dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama [vide Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 23/2002)]. Bahkan, kepentingan terbaik bagi anak tersebut dilakukan tanpa meninggalkan adat kebiasaan setempat. Hal demikian dimaksudkan agar hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang dapat tetap dijamin dan dilindungi. Sekalipun, anak diangkat oleh orang tua angkat yang telah memenuhi persyaratan namun pengangkatan tersebut tidak pula boleh menghilangkan atau memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Sebab, anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan [vide Pasal 1 angka 9 UU 35/2014]. [3.12.2] Bahwa ketentuan Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 merupakan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang tidak dapat disandingkan begitu saja dengan negara lain yang sekuler sebagaimana dalil Pemohon. Dalam hal ini, pengangkatan anak yang merupakan bagian dari pengaturan perlindungan anak bertujuan untuk memberikan kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakanberdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dalam menerapkan hak asasi manusia tidak hanya dilihat secara universalitas tetapi juga harus melihat karakteristik yang hidup di tengah masyarakat Indonesia. Meskipun hak asasi manusiaditerima oleh semua negara sebagai sesuatu yang universal, namun pelaksanaan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia mempertimbangkan pula kekhususan-kekhususan baik yang timbul pada tingkat nasional, regional maupun yang timbul karena faktor-faktor sejarah, budaya, dan agama (partikularitas). Oleh karenanya, hal ini menegaskan bahwa pelaksanaan dan penegakan hak asasi manusia di setiap negara dapat berbeda-beda disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural, termasuk agama, dan juga sistem hukum negara yang bersangkutan sebagai esensi dari prinsip partikularitas. Dalam kaitan ini, pengaturan Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 bukan untuk mengekang hak asasi manusia yang satu dengan mengabaikan hak yang lainnya. Ketentuan norma Pasal a quo pada hakikatnya merupakan perwujudan nilai filosofis-ideologis bangsa Indonesia, yaitu Pancasila karena Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konstitusi, rumusan dasar falsafah negara tersebut tercermin dari adanya Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip negara hukum Indonesia harus dilihat dengan cara pandang UUD 1945, yaitu negara hukum yang menempatkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip utama, serta nilai-nilai agama yang melandasi gerak kehidupan bangsa dan negara, bukan negara yang memisahkan hubungan antara agama dan negara (separation of state and religion), serta tidak semata-mata berpegang pada prinsip individualisme maupun prinsip komunalisme (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009). Dengan demikian, pengaturan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat tidak dimaksudkan untuk mengekang kebebasan beragama calon orang tua angkat tetapi justru melindungi kepentingan agama masing-masing pihak, in casu calon anak angkat dan calon orang tua angkat. Dalam kaitan ini, UU 35/2014 juga menyatakan jika hak asal usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. Maksudnya, untuk anak yang belum berakal dan belum mampu bertanggung jawab maka penyesuaian agamanya dilakukan oleh mayoritas penduduk setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara musyawarah, dan telah diadakan penelitian mendalam dan sungguh-sungguh [vide Pasal 39 ayat (5) dan Penjelasannya UU 35/2014]. [3.12.3] Bahwa setelah Mahkamah membaca dan mencermati secara saksama norma Pasal 39 UU 35/2014 telah terang adanya ketentuan calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat [vide Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014] yang saat ini sedang dipersoalkan oleh Pemohon merupakan norma yang sesungguhnya telah dirumuskan sejak awal mula dibentuknya UU 23/2002 dan tetap dipertahankan dalam undang-undang perubahannya (UU 35/2014). Norma Pasal a quo, menurut Mahkamah sama sekali tidak menghalangi, menghambat, atau membatasi hak orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Keberadaan Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 justru merupakan pengejawantahan kepentingan terbaik bagi anak. Demikian pula, menurut Mahkamah Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 juga tidak menghalangi hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebaliknya, norma Pasal a quo justru merupakan bagian dari upaya negara untuk melindungi dan memastikan agar anak mendapatkan hak-haknya dan demi kepentingan terbaik bagi anak sesuai dengan tujuan yang hendak diwujudkan melalui Undang-Undang Perlindungan Anak. [3.13] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut Mahkamah, telah ternyata tidak terdapat pertentangan norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 dengan Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Sedangkan, terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan karena dipandang tidak relevan dan oleh karena itu harus dinyatakan tidak beralasan menurut hukum. [3.14] Menimbang bahwa, setelah Mahkamah mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum Pemohon dalam permohonan pengujian norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014 terhadap UUD 1945 sebagai berikut: Bahwa berdasarkan uraian Pemohon mengenai kedudukan hukum dan alat bukti yang diajukan, Mahkamah berpendapat Pemohon benar adalah perorangan Warga Negara Indonesia yang belum menikah [vide bukti P-1], yang memiliki hak-hak sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 dan menganggap hak-hak konstitusional tersebut terabaikan karena berlakunya norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014, sehingga menghalangi Pemohon untuk mengangkat anak sebab diharuskan anak yang diangkat seagama dengan orang tua yang mengangkatnya. Bahwa Pemohon dalam menguraikan anggapan kerugian hak konstitusionalnya telah ternyata tidak mengaitkan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon orang tua angkat sebelum melakukan pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sehingga Pemohon tidak dapat menjelaskan kepada Mahkamah bahwa Pemohon telah memenuhi keseluruhan persyaratan calon orang tua angkat yang bersifat kumulatif sebagaimana diuraikan dalam Sub-paragraf [3.12.1]. Meskipun persyaratan tersebut diatur dalam peraturan pelaksana, namun peraturan tersebut tidak dapat dipisahkan dari UU a quo [vide UU 23/2002 dan UU 35/2014]. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pemohon tidak dapat menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang bersifat aktual, spesifik atau setidak-tidaknya potensial serta adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, menurut Mahkamah, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam perkara a quo. [3.15] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Seandainyapun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 39 ayat (3) UU 35/2014, quod non, telah ternyata dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.