Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) dapat dikatakan sebagai tonggak awal perubahan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pasal 24 Ayat (2) UUD Tahun 1945 menegaskan “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaksnaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan, peranan Mahkamah Konstitusi menempati posisi yang cukup signifikan dalam sistem peradilan Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 diatur mengenai kewenangan dari Mahkamah Konstitusi yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenagan lembaga negara yang kewenangnnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai langkah penguatan kelembagaan Mahkamah Konstitusi kemudian dibentuklah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Telah dikemukakan di awal bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara. Secara historis, gagasan untuk melakukan pengujian UU terhadap UUD sudah mulai muncul dalam rapat-rapat BPUPKI pada tahun 1945 ketika menyusun UUD Tahun 1945. Dapat diujinya suatu UU terhadap UUD berasal dari teori jenjang norma hukum Hans Kelsen, menurut teori tersebut norma hukum yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan norma hukum diatasnya. Oleh karena norma hukum yang lebih tinggi merupakan sumber bagi norma hukum yang berada di bawah. Disamping itu, pengujian UU terhadap UUD bermakna pula dalam upaya perlindungan hak asasi manusia dari kemungkinan pelanggaran hukum yang terjadi baik secara materil maupun formil pada saat UU itu dibuat dan berlaku. Perlindungan hukum oleh negara terhadap rakyatnya salah satunya dengan dibukanya jalan untuk mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945. Pemohon yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dapat melakukan permohonan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi, hal ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Dalam dinamikanya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah 7 (tujuh) kali diajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, hanya 2 (dua) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun ketentuan dalam UU ITE yang telah dimohonkan kepada MK dan dikabulkan baik sebagian maupun sepenuhnya adalah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 44 huruf (b).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat UU ITE yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat UU ITE yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat dalam UU ITE yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang. Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Dalam Perkara Nomor 5/PUU-VIII/2010, Pasal 31 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi pada UU ITE. Oleh sebab itu, diperlukan perubahan UU ITE khususnya pada Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang sebelumnya “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah” menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.” Dalam Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016, frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian sehingga hal ini tentu berimplikasi pada perubahan UU ITE. Menindaklanjuti dari beberapa Putusan MK tersebut terutama yang terkait dengan UU ITE, DPR dan Pemerintah menyusun Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disampaikan bahwa salah satu perubahan UU ITE tersebut untuk mengakomodir beberapa putusan MK yaitu: 1. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif karena di satu sisi merupakan pembatasan hak asasi manusia, tetapi di sisi lain memiliki aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan (regulation) mengenai legalitas penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di samping itu, Mahkamah berpendapat bahwa karena penyadapan merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sangat wajar dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, negara haruslah menyimpanginya dalam bentuk undang-undang dan bukan dalam bentuk peraturan pemerintah. 2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa untuk mencegah terjadinya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, Mahkamah menegaskan bahwa setiap intersepsi harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusannya menambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”. Agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan tersebut akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, untuk memberikan kepastian hukum keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti perlu dipertegas kembali dalam Penjelasan Pasal 5 UU ITE. Pasal-Pasal yang mengalami perubahan dalam UU ITE berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan Nomor 20/PUU-XIV/2016 adalah Penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 31 ayat (4). Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang sebelumnya “Cukup jelas” berubah menjadi “Bahwa keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.” Sedangkan untuk Penjelasan Pasal 5 ayat (2) yang sebelumnya “Cukup jelas” berubah menjadi “Khusus untuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.” Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang sebelumnya “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah” menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan undang-undang.” Sedangkan Pasal 44 huruf (b) UU ITE tidak mengalami perubahan karena merujuk kepada alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Dimana Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) sudah diberikan penjelasannya. Selain hal tersebut, dalam dua putusan MK di atas, MK menyatakan adanya kebutuhan untuk segera membentuk rancangan undang-undang tentang penyadapan. perlu adanya sebuah Undang-Undang khusus yang mengatur penyadapan pada umumnya hingga tata cara penyadapan untuk masing-masing lembaga yang berwenang. Undang-Undang ini amat dibutuhkan karena hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya. Bahwa Peraturan Pemerintah seperti yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM. DPR dalam hal ini Komisi I telah menjawab Putusan MK tersebut dengan memasukkan RUU Penyadapan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2018 untuk segera dibahas bersama dengan Pemerintah.

Dalam dinamikanya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang UU ITE telah 7 (tujuh) kali diajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, hanya 2 (dua) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Adapun ketentuan dalam UU ITE yang telah dimohonkan kepada MK dan dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya adalah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (4), dan Pasal 44 huruf (b). Meskipun UU ITE telah mengalami perubahan pada tahun 2016 dan mengakomodasi putusan MK Nomor 5/PUU-VIII/2008 dan Nomor 20/PUU-XIV/2016, namun dalam dua putusan tersebut MK memberikan pertimbangan untuk segera dibuat UU tentang Penyadapan. Adapun pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi agar segera dibuat UU tentang Penyadapan adalah karena UU ini amat dibutuhkan sebab hingga saat ini masih belum ada pengaturan yang sinkron mengenai penyadapan sehingga berpotensi merugikan hak konstitutional warga negara pada umumnya. Bahwa Peraturan Pemerintah seperti yang disebutkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk Peraturan Pemerintah hanya merupakan pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan atas HAM.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera disusun UU tentang Penyadapan yang sebenarnya telah ada dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2018 untuk dibahas bersama-sama antara DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan penyelenggaraan penyadapan yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi

Minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai oleh negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, penghasil devisa negara yang penting, dan pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kerangka hukum pengelolaan migas harus didasarkan kepada ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Di dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Selanjutnya, Pasal tersebut juga menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan hal ini maka migas sebagai salah satu sumber daya alam strategis tidak terbarukan dan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara dengan pengelolaan yang dilakukan secara optimal guna memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sebagai kekayaan alam yang dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, maka pengelolaan minyak dan gas bumi tunduk pada sistem penyelenggaraan perekonomian nasonal yaitu diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945. Dalam pemanfaatan migas sebagai sumber alam yang sangat vital dan penting bagi negara dan masyarakat, maka perlu pengaturan dalam pengelolaannya agar tidak menimbulkan permasalahan serta dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Saat ini pengaturan mengenai migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU tentang Migas).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu Undang-Undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusional/inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu Undang-Undang jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 terhadap Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak”, serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) setelah dievaluasi maka perlu dibentuk perubahan UU tentang Migas atau dilakukan penghaturan melalui peraturan pelaksananya yang membutuhkan waktu lebih singkat supaya tidak terjadi kekosongan hukum dan menjamin adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha di sektor migas. Berdasarkan Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 yang memutuskan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 serta frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 UU tentang Migas. Setelah dilakukan evaluasi, mengingat dalam pembangunan ekonomi nasional migas memberikan kontribusi yang signifikan maka diperlukan tata kelola kelembagaan dalam pengelolaan hulu migas yang dapat memenuhi akuntabilitas publik dan efektif dalam mengemban amanat UUD Tahun 1945. Selanjutnya, karena putusan ini menyangkut status hukum BP Migas yang oleh Undang-Undang a quo diposisikan sangat penting dan strategis, maka Mahkamah perlu menentukan akibat hukum yang timbul setelah putusan ini diucapkan dengan pertimbangan bahwa putusan yang diambil oleh Mahkamah jangan sampai menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi. Apabila keberadaan BP Migas secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan pada saat yang sama juga dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tidak dikehendaki oleh UUD Tahun 1945. Oleh karena itu, Mahkamah harus mempertimbangkan perlunya kepastian hukum organ negara yang melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru. Dengan demikian segala KKS yang telah ditandatangani antara BP Migas dan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, harus tetap berlaku sampai masa berlakunya berakhir atau pada masa yang lain sesuai dengan kesepakatan. Untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak adanya lagi BP Migas maka Mahkamah perlu menegaskan organ negara yang akan melaksanakan fungsi dan tugas BP Migas sampai terbentuknya aturan yang baru. Menurut Mahkamah, fungsi dan tugas tersebut harus dilaksanakan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan dalam hal ini Kementerian yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang Migas. Segala hak serta kewenangan BP Migas dalam KKS setelah putusan ini, dilaksanakan oleh Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara yang ditetapkan oleh Pemerintah. Untuk mendapatkan model tata kelola kelembagaan dalam pengelolaan kegiatan usaha hulu migas, perlu mempertimbangkan peran migas dalam pembangunan ekonomi suatu Negara, hakekat alami industri migas, model/fiscal terms kontrak migas, praktik dan kematangan kelembagaan dalam suatu negara, dan formulasi kelembagaan tersebut agar dapat memenuhi akuntabilitas publik, dan efektif dalam mengemban misi konstitusi. Dalam UU Migas sebelum Putusan MK, Pertamina difokuskan kepada fungsi komersial, agar berkembang dan dapat bersaing di tingkat global. Adapun Kuasa Pertambangan dikembalikan ke Pemerintah, dan Pemerintah membentuk Lembaga BP Migas untuk mengemban fungsi manajemen pengelolaan kegiatan hulu secara keseluruhan. Kehadiran lembaga tersebut juga dimaksudkan sebagai tameng/buffer agar Pemerintah sebagai pemegang kedaulatan publik tidak terekspose secara langsung terhadap commercial risk and legal disputes yang lumrah terjadi dalam pelaksanaan contractual agreement (perjanjian kontraktual komersial). Sebagaimana diuraikan sebelumnya tata kelola kelembagaan pengelolaan hulu minyak dan gas bumi didasarkan kepada pertama, penguasaan atas sumber daya alam minyak dan gas bumi (mineral right) berada pada Negara. Kedua, kuasa pertambangan (mining right) dipegang oleh Pemerintah. Dan ketiga, memberikan hak pengelolaan dan pengusahaan (economic right) kepada lembaga/otoritas minyak dan gas bumi. Dalam konstruksi UU Migas economic right tersebut berada pada kontraktor/investor bukan pada Pemerintah atau BPMigas. Dalam skema tiga kaki itu ada 3 fungsi kunci. Pertama, policy (kebijakan), yang saat ini dipegang Kementerian ESDM dan DPR. Kedua operational, yang dulu pernah dipegang Pertamina lalu terbentuk BP Migas, dan yang sekarang menjadi SKK Migas. Dan ketiga adalah bisnis. Dengan demikian penafsiran dalam Putusan MK tersebut dapat diartikan bahwa intinya pengelolaan migas bukan pengurusan atau pengaturan, maka harus dikelola oleh badan usaha. Kerangka kelembagaan yang sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945 kelembagaan dalam pengelolaan hulu migas dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara, atau dibentuk dalam Revisi UU Migas. Hal yang terpenting bahwa otoritas atau lembaga tersebut dapat melakukan kegiatan usaha seperti halnya badan usaha. Pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan dengan badan usaha, karena ada kepentingan pembukuan, bagaimana menghitung cadangan migas yang bisa dijadikan aset, sehingga bisa menjadi jaminan untuk meminjam dana investasi, menerbitkan obligasi sehingga perlu neraca perusahaan. Apabila kemudian cadangan itu dikuasai pemerintah akan menjadi menganggur karena pemerintah tidak bisa diuangkan. Ilustrasinya apabila kita punya aset minyak banyak kemudian dikelola oleh BUMN, jika aset tersebut dibukukan, maka bisa digunakan sebagai underlying untuk menerbitkan bond sebagai jaminan. Aspek-aspek tersebut hanya bisa dilakukan dalam bentuk badan usaha.

Penyelenggaraan pengelolaan migas selain harus mengandung prinsip dikuasai oleh negara dan prinsip sebesar-besarnya kemakmuiran rakyat juga harus dapat terjamin kepastian hukum melalui peraturan perundang-undangan yakni UU tentang Migas. Dalam dinamika perkembangan hukum dan penerapannya, UU tentang Migas telah dilakukan beberapa kali judicial review yaitu Putusan MK terhadap Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004 menyangkut sistem pengelolaan minyak dan gas bumi yang menurut MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan MK terhadap Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 telah membatalkan Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) UU tentang Migas, karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, sehingga pasal-pasal yang dibatalkan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Kemudian dengan Putusan MK terhadap Perkara Nomor 20/PUU-V/2007 tanggal 17 Desember 2007 tetapi dalam Putusan MK ini dinyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima karena para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing). Selanjutnya pada 13 November 2012, dengan Putusan MK terhadap Perkara Nomor 36/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa beberapa pasal dan penjelasan yang berkaitan dengan Badan Pelaksana bertentangan UUD Tahun 1945, dengan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 telah membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Minyak dan gas bumi. MK juga membatalkan frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam Pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam Pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam Pasal 49 dari UU tentang Migas Berdasarkan Putusan MK tersebut, terjadi kekosongan hukum atas ketentuan yang inkonstitusional, kekosongan hukum terhadap pengaturan mengenai kewajiban menyerahkan bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap, penetapan harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi, dan tata kelola kelembagaan migas pengganti BP Migas. Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar penyelenggaraan kegiatan usaha migas sesuai dengan amanah UUD Tahun 1945.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU tentang Migas dengan status perubahan atau penggantian. 2. Berdasarkan Putusan MK maka DPR RI bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan atau penggantian UU tentang Migas ini ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas setiap Tahunnya, mengingat sudah 2 periode keanggotaan DPR RI perubahan UU tentang Migas belum selesai. Sehingga perubahan UU ini dapat dibahas bersama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan pengelolaan migas tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Jo Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan

Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 (UU Administrasi Kependudukan), khususnya Pasal 32, Pasal 61 dan Pasal 64 merupakan salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang krusial, dan membutuhkan tindak lanjut yang segera, untuk memutus mata rantai administrasi kependudukan yang mengakibatkan munculnya kondisi yang mengakibatkan sebagian penduduk Indonesia terlanggar haknya secara konstitusional.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK ? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan.

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi.Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusimenyertai kewenangan constitutional review tersebut.Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Dalam kaitannya dengan praktik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama dengan Presiden memiliki peran yang krusial terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran DPR RI dan Presiden menjadi sangat penting dalam merespon putusan Mahkamah Konstitusi, karena putusannya yang bersifat final dan mengikat wajib dijadikan rujukan dalam proses pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan DPR RI. Selain itu, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.”Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan kecermatan untuk menangkap maksud atau makna norma suatu undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam melakukan perubahan terhadap materi atau substansi undang-undang. Hal tersebut perlu dilakukan agar norma suatu undang-undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konstitusi dan tidak lagi bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Substansi atau norma undang-undang yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 juga sesuai dengan teori Hans Kelsen yang menyatakan suatu norma hukum negara selalu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), yakni norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dalam konteks Indonesia, UUD Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang wajib menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya.Selain itu, pada hakikatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan UUD Tahun 1945.

Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (Judicial Review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah diputuskan oleh MK.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu: 1. Mengusulkan alternative terhadap revisi rumusan Pasal 32 ayat (2)UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dihapus (ayat ini telah dihapus oleh UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan); 2. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 61 ayat (1) yang menyatakan “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua”menjadi “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama atau kepercayaan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua”. 3. Mengusulkan agar rumusan Pasal 61 ayat (2) yang menyatakan “Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan”dihapus; 4. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 64 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan “KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el” menjadi“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama atau kepercayaan, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el”; 5. Mengusulkan agar rumusan Pasal 64 ayat (5) UU No. 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang menyatakan “Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan” dihapus.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pada lambang Garuda Pancasila merupaka potret Indonesia sesungguhnya sebagai sebuah negara kebangsaan. Setiap daerah atau wilayah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda baik dari segi etnis, budaya, agama, potensi ekonomi, dan sebagainya, tetapi tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Republik Indonesia, sehingga memiliki hak yang sama untuk memperoleh atau menciptakan kemajuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya. Bahwa pembentuk Undang-Undang Dasar sejak awal telah menyadari bahwa NKRI dengan wilayah yang sangat luas tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sehingga diperlukan juga pemerintahan di daerah, yaitu pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara pemerintahan daerah membuat perda sebagai dasar hukum bagi Daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari daerah tersebut. Perda yang dibuat oleh daerah hanya berlaku dalam batas-batas yurisdiksi daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian perda yang ditetapkan daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Disamping itu, Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda. Daerah melaksanakan otonomi daerah yang berasal dari kewenangan Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Mengingat tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada di tangan Presiden, maka konsekuensi logisnya kewenangan membatalkan Perda ada di tangan Presiden. Adalah tidak efisien Presiden yang langsung membatalkan Perda, untuk itu Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan perda provinsi kepada menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggung jawab atas otonomi daerah. Sedangkan untuk pembatalan perda kabupaten/kota, Presiden melimpahkan kewenangannya kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagian urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke daerah. Konsekuensi menteri sebagai pembantu presiden adalah kewajiban menteri atas nama presiden untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Agar tercipta sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian berkewajiban membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk dijadikan pedoman bagi daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dan menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. Pengawasan perda provinsi oleh menteri dalam negeri dan perda kabupaten/kota oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, pada dasarnya disusun dengan alasan praktis untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengawasan sesuai prinsip yang dikandung dalam UU Pemda, hal ini masuk akal mengingat jumlah kabupaten/kota lebih banyak dibanding jumlah provinsi. Pendelegasian kewenangan tersebut dilakukan dalam upaya mengawasi jalannya otonomi melalui jalur dekonsentrasi dan atau urusan pemerintahan umum. Berdasarkan pada penjelasan UU Pemda, ditegaskan bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebab meskipun negara Indonesia mengakui otonomi daerah yang seluas-luasnya, namun harus tetap dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Salah satu bentuk dari pengawasan Pusat terhadap daerah adalah dengan adanya executive review terhadap peraturan daerah, serta peraturan kepala daerah. Dalam ketentuan Pasal 236 UU Pemda menentukan bahwa materi muatan peraturan daerah adalah penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, serta penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu sutu Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan pemerintah daerah dalam menetapkan peraturan daerah dalam menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain telah diakui secara konstitusional. Akan tetapi, pembentukan suatu oeraturan daerah tidak dapat disandarkan pada kewenangannya sendiri, karena daerah berada pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Berdasarkan kedua putusan MK yang sudah disampaikan diatas, menteri dalam negeri maupun gubernur tidak lagi berwenang membatalkan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Putusan ini tidak serta merta menyelesaikan permasalahan konstitusionalitas kewenangan pengujian terhadap produk hukum daerah yang notabene secara hierarkis berada di bawah undang-undang. Hal ini karena menteri dalam negeri masih dapat membatalkan peraturan gubernur dan gubernur masih dapat membatalkan peraturan bupati/walikota. Karena secara hierarki berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Wali kota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Hal ini menunjukkan inkonsistensi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yang pada akhirnya menimbulkan ketidakjelasan tafsir pada suatu undang-undang. Sudah seharusnya, pembatalan peraturan gubernur maupun peraturan bupati/wali kota dilakukan juga melalui mekanisme judicial review di MA. Dalam bentuk negara kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi yang lahir di daerah. Implementasi dari pengawasan tersebut dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada daerah melalui penguatan terhadap mekanisme exevutive preview atau pengujian terhadap suatu rancangan peraturan hukum sebelum sah menjadi peraturan dan mengikat secara umum. Hal ini penting mengingat proses pembentukan suatu produk hukum daerah membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Sehingga jauh lebih efektif dan efisien apabila pengujian dilakukan oleh pemerintah pada saat produk hukum daerah tersebut disahkan. Penguatan mekanisme executive review juga akan memiminalisir jumlah peraturan perundang-undangan yang dilakukan judicial review¬-nya di MA. Selain itu, hal ini akan sejalan dengan ruh ketentuan Pasal 24A UUD Tahun 1945 yang sama sekali tidak memberikan delegasi kewenangan pengujian terhadap peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah kepada lembaga eksekutif. Di dalam Pasal 245 UU Pemda, evaluasi rancangan perda hanya terbatas kepada Perda provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah. Untuk itu, evaluasi rancangan perda dalam bentuk mekanisme executive review seharusnya lebih diperkuat dengan mengamanatkan kepada pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi terhadap seluruh rancangan peraturan daerah baik itu peraturan daerah provisi atau kabupaten/kota. Sehingga diharapkan dapat mencegah atau setidaknya mengurangi kasus perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau bertentangan dengan kepentingan umum.

Pemerintahan Daerah merupakan suatu bagian dari hierarki pemerintahan yang berpusat pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di Indonesia. Sejak awal, pembentuk Undang-Undang Dasar sejak awal telah menyadari bahwa NKRI dengan wilayah yang sangat luas tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, sehingga diperlukan pemerintahan yang berada di daerah, yaitu pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Telah terdapat 2 (dua) pengujian materiil UU Pemda yang diajukan di MK dengan Putusan mengabulkan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016. Dikabulkan sebagiannya Pasal 251 UU Pemda dalam permohonan perkara tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang berbeda. Pencabutan kewenangan menteri dalam negeri dan gubernur untuk membatalkan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota seharusnya juga berlaku dengan dicabutnya kewenangan untuk membatalkan peraturan kepala daerah baik itu gubernur maupun bupati/wali kota.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut putusan MK. Untuk itu diperlukan perubahan UU Pemda untuk mengakomodir putusan MK nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK nomor 56/PUU-XIV/2016. Selain itu perlu dipertimbangkan untuk penguatan mekanisme executive prview yang dimiliki oleh menteri dalam negeri atau gubernur di dalam UU Pemda untuk mencegah semakin banyaknya peraturan daerah yang diajukan judicial reviewnya di MA. Dalam negara dengan bentuk kesatuan memang sudah sepatutnya pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap regulasi (termasuk peraturan daerah dan peraturan kepala daerah) yang lahir di daerah. Implementasi dari mekanisme pengawasan tersebut melalui penguatan executive preview atau pengujian terhadap suatu norma hukum sebelum sah mengikat secara umum. Hal ini juga mengingat proses pembentukan suatu produk hukum daerah membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga jauh lebih efektif dan efisien apabila pengujian dilakukan oleh pemerintah pada saat sebelum produk hukum tersebut diundangkan. Untuk itu, kewenangan executive preview yang dimiliki oleh Kemendagri sebagai wakil pemerintah pusat sebaiknya berlaku tidak hanya terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 UU Pemda.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi

Bahwa visi, misi, dan tujuan dibentuknya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (6) UUD Tahun 1945 adalah untuk mengatur pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, serta ketentuan lainnya tentang MK. Oleh karena itu, dapat dibenarkan secara legal jika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK Perubahan) juncto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mengatur secara lebih detail segala ketentuan terkait MK.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/ inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka MK diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU MK Perubahan, dan Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU MK Perubahan, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim MK yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Evaluasi terhadap Putusan Nomor 066/PUU-II/2004 adalah perlunya merevisi Pasal 50 UU MK, sehingga tidak sekedar dihapus saja, namun dinyatakan dengan tegas dalam perubahan UU MK bahwa “Undang-Undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan sebelum dan/atau setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dengan demikian Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD Tahun 1945 dapat mengujikan ke MK, sehingga tidak ada hak konstitusional yang terlanggar. Selanjutnya evaluasi terhadap Putusan Nomor 34/PUU-X/2012 adalah dengan merevisi frasa Pasal 7A ayat (1) UU MK Perubahan sesuai dengan bunyi putusan MK, yaitu “Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi dengan usia pensiun 62 tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.” Dengan demikian ada suatu kepastian hukum pada batas usia pensiun kepaniteraan MK sebagaimana yang diatur juga dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, dan PTUN. Sementara itu, evaluasi terhadap Putusan Nomor 7/PUU-XI/2013 adalah dengan merevisi frasa Pasal 15 ayat (2) huruf d UU MK Perubahan sesuai dengan bunyi putusan MK, yaitu “Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat: ...d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama.” Dengan demikian batas usia paling tinggi 65 tahun hanya untuk calon hakim MK yang belum pernah menjabat dan tidak diperuntukkan bagi calon hakim MK yang sedang menjabat untuk kemudian diusulkan periode masa jabatan kedua.

UU MK dan UU MK Perubahan dalam implementasinya pernah beberapa kali dilakukan uji materiil ke MK, namun hanya 3 (tiga) permohonan yang dikabulkan. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 yang isinya mengabulkan permohonan sebagian, Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 yang isinya mengabulkan permohonan seluruhnya, dan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 yang isinya mengabulkan permohonan seluruhnya. Terhadap ketiga Putusan MK tersebut perlu dilakukan revisi frasa pasal agar isi ketentuan sesuai dengan putusan MK, yaitu: 1. Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 50 UU MK dinyatakan pengujian UU di MK dapat diperuntukkan bagi undang-undang sebelum dan sesudah perubahan UUD Tahun 1945. 2. Putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 7 ayat (1) UU MK Perubahan mengatur batas usia pensiun kepaniteraan MK yaitu 62 tahun. 3. Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 harus menegaskan bahwa dalam Pasal 15 ayat (2) UU MK Perubahan mengatur batas usia calon hakim MK minimal 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun hanya untuk pengangkatan pertama saja.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali dan diharmonisasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK. 2. Berdasarkan Putusan MK maka DPR bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU MK ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikan prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan pengaturan MK tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.