Analisis Dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Hubungan industrial merupakan hubungan kerja yang didasarkan pada kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan industrial erat kaitannya dengan hak warga Negara untuk memperoleh pekerjaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD Tahun 1945) yang menyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selain itu hubungan industrial juga merupakan bentuk pelaksanaan kebebasan warga Negara dalam menetukan pekerjaan yang telah dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.” Dalam perkembangannya timbul perubahan yang bersifat fundamental dalam permasalahan kerja yang berkaitan dengan penetapan dan pengaturan hubungan industrial. Pelaksanaan hubungan industrial berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan hubungan industrial yang terjadi disebabkan, pertama adanya perbedaan pendapat atau kepentingan keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Kedua, kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Ketiga, pengakhiran hubungan kerja. Keempat, perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan IndustriaI (UUPPHI) berupaya menyediakan alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik bagi para pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian. Sebagai peraturan perundang-undangan yang menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, UUPPHI seringkali menjadi objek gugatan uji materil, baik oleh pekerja, pengusaha, maupun hakim PHI.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
Berdasarkan putusan MK atas perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015, 114/PUU-XIII/2016, dan 49/PUU-XIV/2016 yang kesemuanya bersifat declatoir contitutief dimana MK telah meniadakan suatu keadaan hukum dan/atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru yang bersyarat (conditionally constitusional atau conditionally inconstitutional), maka pasal-pasal dalam UUPPHI yang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma, keberlakuannya tidak dapat langsung dieksekusi (nonself executing/implementing). Sehubungan dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2), pasal-pasal UUPPHI yang diuji dan diputuskan oleh MK dalam perkara Nomor 68/PUU-XIII/2015, 114/PUU-XIII/2016, dan 49/PUU-XIV/2016 termasuk pasal-pasal yang memerlukan tindak lanjut melalui perubahan undang-undang yang memuat norma pasal yang diuji dan dinegasikan tersebut. Perubahan undang-undang yang memuat norma pasal-pasal UUPPHI yang telah diputus tersebut dapat dilakukan baik melalui legislatif review atau eksekutif review.
1. Bahwa dalam putusan perkara nomor 68/PUU-XIII/2015 frasa “anjuran tertulis” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UUPPHI bertentangan dengan UUD tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka mediator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi.” (Pasal 13 ayat (2) huruf a) dan “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis dalam bentuk risalah penyelesaian melalui konsiliasi.” (Pasal 23 ayat (2) huruf a). 2. Bahwa dalam putusan perkara nomor 114/PUU-XIII/2015 mahkamah memutus Pasal 82 UUPPHI sepanjang anak kalimat “Pasal 159” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Bahwa dalam putusan perkara 49/PUU-XIV/2016 mahkamah memtuskan Pasal 67 ayat (2) UUPPHI bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Masa tugas Hakim Ad-Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari lembaga pengusul yang prosesnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.” 4. Amar putusan MK dari ketiga perkara tersebut bersifat declatoir constitutief, artinya MK dengan putusan tersebut telah meniadakan hukum dan mengubah makna pasal-pasal dalam UUPPHI yang diuji sehingga menciptakan hukum baru. Meskipun dalam amar putusannya MK membatalkan dan merumuskan norma baru namun pembatalan dan perumusan norma baru tersebut bersifat bersyarat (conditionally constitusional atau conditionally inconstitusional). Dengan demikian putusan MK dalam ketiga perkara tersebut merupakan putusan yang tidak dapat langsung dieksekusi (non-self executing/implementing) dan memerlukan tindak lanjut perubahan undang-undang melalui legislatif review atau eksekutif review yang memuat norma rumusan putusan MK.
1. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera melakukan perubahan dan reformulasi terhadap pasal-pasal dalam UU PPHI berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yakni perubahan dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a) mengenai format dan substansi risalah, Perubahan Pasal 82 mengenai penghapusan anak kalimat “Pasal 159”, perubahan Pasal 67 ayat (2) mengenai masa tugas hakim ad hoc dan pengangkatannya kembali. 2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU PPHI dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Sejak berdirinya MK hingga saat ini sudah banyak UU yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian terhadap UUD Tahun 1945. Salah satunya adalah pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP). Dalam perjalanannya, KUHP telah beberapa kali mengalami pengujian oleh beberapa pihak dengan dasar alasan yang bervariasi. Dari sekitar 14 (empat belas) permohonan uji materil
Dari uraian di atas dirumsukan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.
Pada dasarnya Putusan MK dalam perkara No. 013 - 022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU – V/2007 yang mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154, dan Pasal 155 KUHP bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, telah melahirkan suatu keadaan hukum baru terkait dengan tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden serta tindak pidana pernyataan perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah yang sah. Dengan dibatalkannya ketentuan pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, maka saat ini tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diproses dengan menggunakan pasal tindak pidana penghinaan biasa yang ada di dalam Pasal 310 KUHP. Akan tetapi sebenarnya, penerapan delik penghinaan terhadap pejabat negara, yakni Presiden dan Wakilnya masih sangat relevan untuk dipertahankan, karena Presiden dan Wakilnya merupakan pencerminan seluruh rakyat dan negara yang harus dilindungi martabat dan jabatannya dari tindakan pelecehan dengan sewenang-wenang untuk merendahkan jabatan itu. Sedangkan, untuk pasal pernyataan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah yang sah yang terdapat dalam Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP, dengan dibatalkannya pasal tersebut oleh MK diharapkan lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi masyarakat dalam menyatakan pikiran dan pendapatnya. Warganegara yang ingin menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah tidak perlu merasa takut karena saat ini kebebasan berekspresi telah benar-benar dijamin oleh Pasal 28 UUD Tahun 1945. Akan tetapi, telah terjadi suatu kekosongan hukum pidana, khususnya mengenai pasal yang akan dikenakan terhadap warganegara yang melakukan kegiatan penyebaran pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, ataupun penghinaan terhadap pemerintah. Kekosongan hukum disebabkan karena Makamah Konstitusi tidak memberikan suatu alternatif hukum atau jalan keluar setelah mencabut ke dua pasal tersebut. Disisi lain, perangkat hukum yang sudah ada pun tidak mengatur secara jelas sanksi yang akan diberikan terhadap warga negara yang melakukan penghinaan terhadap pemerintah. Adapun terkait dengan Pasal 335 ayat (1) butir (1) dan Pasal 319 KUHP, kedua pasal dalam KUHP tersebut masih tetap berlaku. Hanya saja pencabutan sebagian frasa dalam kedua pasal tersebut mengakibatkan suatu keadaan hukum baru. Unsur “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang menyenangkan” sudah seharusnya dihapuskan dari rumusan Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP sehingga pasal tersebut tinggal mencakup unsur menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa orang lain melakukan, tidak melakukan atau mengabaikan sesuatu. Sedangkan, ketentuan mengenai penghinaan terhadap pegawai negeri berdasarkan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015 kini merupakan sebuah delik aduan. Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah mengatur mengenai tindaklanjut dari putusan MK dalam pengujian peraturan perundang-undangan yang dituangkan dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa: Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan mahkamah konstitusi; c. anggaran pendapatan dan belanja negara; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota; dan e. penetapan/pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Dengan adanya ketentuan pasal ini maka DPR perlu menindaklanjuti putusan MK dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang diakibatkan dari pembatalan norma pasal dalam undang-undang sehingga perlu dilakukannya legislative review.
Sampai dengan tahun 2017, kurang lebih telah ada 14 (empat belas) permohonan uji materiil terkait KUHP ke MK. Akan tetapi, hanya 5 (lima) permohonan yang dikabulkan oleh MK, yakni melalui Putusan MK No. 013 – 022/PUU-IV/2006, Putusan MK No. 6/PUU –V/2007, Putusan MK No. 1/PUU – XI/ 2013, dan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015. Berdasarkan Putusan No. 013 – 022/PUU-IV/2006 dan Putusan MK No. 6/PUU –V/2007, perlu dilakukan pembatalan atau pencabutan terhadap ketentuan dalam Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP. Sementara itu berdasarkan Putusan MK No. 1/PUU – XI/ 2013 dan Putusan MK No. 31/ PUU – XIII/2015 perlu dilakukan perubahan atau revisi terhadap Pasal 335 ayat (1) dan Pasal 319 KUHP, sehingga nantinya substansi pasal a quo tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera perlu dilakukan perubahan terhadap KUHP yang dituangkan dalam rencana penggantian KUHP baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan. Apabila pembuat undang-undang memutuskan untuk melakukan perubahan/penggantian KUHP, maka perlu memperhatikan keempat Putusan MK yang menguji pasal dalam KUHP yang telah memberikan putusan terhadap Pasal 134, Pasal 136bis, Pasal 137, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 335 sepanjang frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan”, dan Pasal 319 sepanjang frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” KUHP.
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 termasuk pula kewenangan untuk memberikan penafsiran suatu ketentuan undang-undang agar bersesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi tersebut harus senantiasa ditujukan untuk menjamin agar ketentuan konstitusi dilaksanakan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada Tahun 1974, diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang pernah pula diuji konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi. Adanya putusan MK yang untuk pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut, yaitu putusan membatalkan suatu norma yang mempengaruhi norma-norma lain, atau untuk melaksanakannya diperlukan aturan yang lebih operasional. Namun demikian, belum adanya peraturan yang menindaklanjuti putusan MK tidak mengurangi kekuatan mengikat yang telah melekat sejak dibacakan. Setiap pihak yang terkait harus melaksanakan putusan tersebut. Berdasarkan perkara-perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi tentang dengan UU Perkawinan, setidaknya telah dilakukan pengujian sebanyak 5 perkara, yakni pada Perkara Nomor 12/PUU-V/2007, Nomor 46/PUU-VIII/2010, Nomor 38/PUU-IX/2011, Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Nomor 30-74/PUU-XII/2014. Dari perkara-perkara tersebut, dua diantaranya dinyatakan dikabulkan sebagian, yakni perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Nomor 69/PUU-XIII/2015, sehingga dari keduanya akan dikaji bagaimana pengaturan UU Perkawinan agar tidak inkonstitusional.
Berdasarkan pada latar belakang sebagaimana tersebut di atas, permasalahan yang akan dijawab dalam kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terdapatdisharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A. Konstitusionalitas Undang-Undang Terkait dengan wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang secara umum disebut judicial review, bahwa pengertian judicial review dipahami baik secara umum maupun praktik di MK. Dalam praktik peradilan umum di Indonesia judicial review mencakup pemeriksaan tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan pemahaman terhadap proses pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 disebut sebagai constitutional review. Dikaitkan dengan program legislasi nasional (Prolegnas), Mahfud MD menyebutkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh MK untuk menjamin konsistensi Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 serta menjamin ketepatan prosedur sesuai dengan Prolegnas. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Menurut Sri Soemantri, putusan yang bersifat final harus bersifat mengikat dan tidak dapat dianulir oleh lembaga manapun. Pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu yaitu final and binding. Dengan demikian jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum. Dengan sifat final serta mengikat maka berakibat tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan dimaksud sehingga tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Kedudukan norma mempengaruhi amar putusan pada dasarnya mempengaruhi amar putusan. Amar putusan berdampak pada status norma yang diuji. Dalam hal norma konkret yang diuji maka akibat hukumnya apabila dikabulkan terlindunginya hak konstitusional pemohon dan MK menerapkan penafsiran yang luas terhadap norma konkret. Akibat hukum terhadap norma konkret semuanya bermuara pada sifat putusan yang erga omnes. Putusan MK Tetap berlaku umum meskipun setelah amar dijatuhkan yang mendapatkan perlindungan hak-hak konstitusional terlindungi adalah hak konstitusional pemohon. Akan tetapi putusan tersebut tetap berlaku untuk pemohon dengan kasus yang sama di masa mendatang. Akibat hukum pengujian norma konkret dalam hal dikabulkan adalah merupakan bentuk penafsiran luas dari sifat putusan yang erga omnes. Kewenangan MK dalam melakukan pengujian Undang-Undang terhadap konstitusi didasari dengan pertimbangan hukum disamping juga melakukan dinamisasi interpretasi untuk memenuhi keadilan. Adapun putusan MK masuk ke dalam jenis putusan declaratoir constitutief. Putusan declaratoir yaitu “putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang sah menurut hukum” . Putusan declaratoir tidak memerlukan eksekusi, tidak mengubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada. Sedangkan constitutief adalah “suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru”. Putusan constitutief selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau hubungan keperdataan satu sama lain, selain itu putusan constitutief tidak memerlukan eksekusi.
1. Akibat Hukum Terhadap Pasal Dan/Atau Ayat Suatu Undang-Undang Atas Putusan MK Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menyatakan adanya hubungan perdata anak diluar nikah dengan ibu dan keluarga ibunya serta laki-laki yang terbukti sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya secara keperdataan dalam rangka melindungi anak dan memberikan keadilan pada perempuan atau ibu anak di luar kawin tidaklah bertentangan dengan ketentuan KUHPer, UU Perlindungan Anak, UU HAM dan UU Administrasi Kependudukan. Namun ketentuan ini membuka pengakuan hukum terhadap kedua orang tua dari anak diluar kawin melalui adanya pembuktian secara ilmu pengetahuan dan teknologi dan bukti-bukti lainnya. Pemohon dalam Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 menyampaikan permasalahan tentang pernikahannya yang tidak dicatatkan yang menimbulkan ketidakjelasan status pernikahan dan anaknya dihadapan hukum, sehingga Pemohon mengajukan pengujian ketentuan "wajib dicatatkan" sedangkan menurut Pemohon, pernikahannya telah sah menurut ketentuan agama karena telah memenuhi rukun-rukun nikah. Ketidakjelasan status hukum anak karena pernikahan yang tidak dicatatkan tersebut dianggap sebagai anak tidak sah atau anak diluar nikah yang kepadanya diberlakukan ketentuan Pasal 43 ayat (1) dimana hubungan keperdataan anak hanya terhadap ibu kandungnya. Hal ini juga menimbulkan kesulitan bagi Pemohon untuk proses akta lahir anak karena ketentuan Pasal 55 UU Perkawinan tentang Pembuktian Asal Usul Anak. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menyampaikan bahwa pencatatan dilakukan untuk kepentingan administrasi negara yang akan berakibat hukum secara luas atas segala sesuatu yang timbul karena perkawinan . Namun yang menjadi concern MK dari permohonan tersebut adalah permasalahan status anak. Belakangan ini, telah banyak terjadi kasus diskriminasi terhadap anak yang mana masyarakat memperlakukan anak-anak secara berbeda karena status anak, sedangkan menurut ketentuan UUD Tahun 1945 pada Pasal 28B ayat (2) dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi , sehingga hak-hak anak harus dipenuhi. Demikian juga dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hak-hak asasi yang dilindungi dan tidak dapat dikurangi apapun. Perubahan pemaknaan terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tentunya bertentangan dengan ketentuan hukum Islam yang mengatur bahwa anak-anak diluar nikah hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Bahkan apabila ada pengakuan dari pihak ayah dan keluarganya, maka hak-hak sebagai ayah tidak diperoleh secara penuh, seperti hak memberikan warisan maupun menjadi wali nikah . Namun perlu diingat kembali bahwa Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden yang berlaku mengikat bagi seluruh komponen masyarakat di Indonesia dalam rangka mewujudkan suatu sistem hukum nasional . Putusan MK yang mengubah pemaknaan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” tentunya harus ditindaklanjuti dengan memperjelas hubungan keperdataan yang timbul antara anak di luar perkawinan dengan laki-laki yang terbukti sebagai ayahnya. Dikaitkan dengan ketentuan pengeluaran akta lahir anak tersebut, ketentuan Pasal 55 UU Perkawinan mengatur bahwa : "(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. (2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. (3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan." Oleh karenanya akta dapat dikeluarkan dengan pembuktian-pembuktian tertentu, yakni melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Perlu diperhatikan, bahwa putusan MK atas Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut tentang akta kelahiran anak luar kawin maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin. Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat dilakukan dengan adanya akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan. Dengan adanya putusan MK tersebut, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang teknis pembuatan akta kelahiran khususnya bagi anak diluar kawin perlu diperbarui. Terkait dengan perjanjian perkawinan, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menegaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini dikenal sebagai pre-nuptial agreement atau pre-marital agreement (dikenal singkat sebagai pre-nupt). Namun Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 69/PUU-XIV/2015 telah sesuai dengan ketentuan dalam KUHPer yang masih menjadi rujukan dalam hukum perikatan nasional. Sedangkan ketentuan Pasal 1320 KUHPer menyatakan : "Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang." Terhadap putusan dapatnya pasangan menikah membuat perjanjian perkawinan maka ketentuan nomor 1 dan ketentuan nomor 2 telah terpenuhi mengingat ketentuan dalam UU Perkawinan telah menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara suami. Adanya pernikahan antara keduanya, maka keduanya telah memenuhi ketentuan batas usia tertentu yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Maka dalam rangka menjaga kelangsungan perkawinan dan tercapainya tujuan perkawinan, maka hal tersebut telah turut mendukung upaya menciptakan perkawinan yang kekal. Dalam mensolusikan permasalahan dalam yang muncul dalam perkawinan dan dalam rangka mencegah sampainya perkawinan tersebut pada perceraian, maka pasangan kawin dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul tersebut dengan tetap berpegang pada ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan. 2. Permasalahan Disharmonisasi Norma Pasca Putusan Mk Putusan Perkara Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak menimbulkan disharmonisasi terhadap ketentuan lain di dalam UU Perkawinan maupun UU lain, seperti UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 dan UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013. Namun Putusan ini menimbulkan permasalahan terhadap pengaturan hubungan di luar kawin sebagai implikasi pengaturan pembuktian hubungan darah antara anak di luar kawin dengan laki-laki yang dianggap ayah kandungnya dan adanya hak-hak keperdataan atas hubungan anak dan ayah berikut keluarga ayah tersebut. Meski tidak ada permasalahan dengan pengaturan dalam UU Administrasi Kependudukan, namun peraturan pelaksana ketentuan UU Administrasi Kependudukan masih merujuk pada ketentuan dalam UU Perkawinan yang belum diubah berdasarkan putusan MK tersebut, sehingga ketentuan pelaksanaan tersebut, perlu diubah dengan terlebih dahulu mengubah ketentuan dalam UU Perkawinan dengan disesuaikan dengan putusan MK. Putusan Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal yang diujikan merupakan inkonstitusional bersyarat, telah mengubah penafsiran ketentuan Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU Perkawinan dengan putusan berupa : 1. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut"; 2. Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan"; 3. Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan umtuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga" Secara umum, Putusan tersebut mengatur tentang mekanisme Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan tersebut berlangsung, mulai berlakunya Perjanjian Perkawinan dan ketentuan mengenai perubahan atau pencabutan kesepakatan dalam Perjanjian Perkawinan.
Ketentuan Pasal-Pasal UU Perkawinan yang telah ditafsirkan oleh MK telah bersinggungan dengan ketentuan dalam KUHPer yang telah dicabut dengan diundangkannya UU Perkawinan. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan perlu ditinjau ulang berdasarkan kepercayaan umat beragama yang ada di Indonesia mengingat dasar perkawinan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dimana sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan dan keadilan kepada masyarakat dan dalam upaya mendukung tercapainya tujuan pengaturan perkawinan dalam UU Perkawinan, maka putusan MK telah mencapai tujuan-tujuan tersebut. Adanya perubahan penafsiran Pasal-Pasal tersebut, maka perlu diperhatikan hal-hal yang mungkin timbul dari perubahan tersebut yang berpotensi menjadi permasalahan di kemudian hari dalam rangka menjaga keamanan, kestabilan dan ketertiban dalam masyarakat.
Dengan adanya perubahan penafsiran pasal-pasal dalam UU Perkawinan yang berimplikasi pada pengaturan pada peraturan perundang-undangan lain maka UU Perkawinan perlu diubah dengan menyesuaikan pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan memperhatikan kondisi kemasyarakatan di Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera disusun Perubahan UU Perkawinan dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2019 untuk dibahas bersama-sama antara DPR dan Pemerintah agar tidak terjadi kekosongan hukum dan terjamin kepastian hukum.
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Merujuk pada Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir putusan yang bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara merupakan pengujian yang cukup penting karena telah dua kali diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Pengujian Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap UUD Tahun 1945 dilakukan oleh pemohon yang merupakan pihak yang dirugikan atas berlakunya Undang-Undang tersebut dengan latar belakang yang bervariasi. Dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa pada intinya terhadap pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, maka kepadanya diberikan hak untuk mengajukan pengujian undang-undang (dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara) tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Dari uraian di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A.Konstitusionalitas Undang-Undang Pemberian wewenang menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi juga dinilai sesuai dengan paham konstutisionalisme, dimana Undang-Undang Dasar kedudukannya adalah sebagai bentuk peraturan yang tertinggi. Hakim Mahkamah Konstitusi harus memiliki wewenang untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selain itu, judicial review merupakan proses judicialization of politic terhadap produk legislatif. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa undang-undang merupakan produk politik yang sering kali lebih mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden. B.Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian, terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan. Selain itu, berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terhadap materi muatan undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Oleh karena itu, apabila Pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi putusan tersebut dan justru masih tetap memberlakukan undang-undang yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, hal tersebut merupakan tindakan yang pengawasannya ada dalam mekanisme hukum dan tata negara itu sendiri. Adapun perbuatan yang dilakukan atas dasar undang-undang yang telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan melawan hukum dan demi hukum batal sejak semula (ab initio). C.Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang. Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Dalam kaitannya dengan praktik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama dengan Presiden memiliki peran yang krusial terhadap putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Peran DPR RI dan Presiden menjadi sangat penting dalam merespon putusan Mahkamah Konstitusi, karena putusannya yang bersifat final dan mengikat wajib dijadikan rujukan dalam proses pembentukan undang-undang yang menjadi kewenangan DPR RI. Selain itu, merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan “materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya berisi tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.” Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan dan kecermatan untuk menangkap maksud atau makna norma suatu undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dalam melakukan perubahan terhadap materi atau substansi undang-undang. Hal tersebut perlu dilakukan agar norma suatu undang-undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konstitusi dan tidak lagi bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Substansi atau norma undang-undang yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 juga sesuai dengan teori Hans Kelsen yang menyatakan suatu norma hukum negara selalu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), yakni norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi dan begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Dalam konteks Indonesia, UUD Tahun 1945 merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang wajib menjadi acuan bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya. Selain itu, pada hakikatnya suatu undang-undang dibuat untuk melaksanakan UUD Tahun 1945.
Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (Judicial Review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka Pemerintah dan DPR perlu menindaklanjuti dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara sebagaimana telah diputuskan oleh MK.
Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu: 1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Perbendaharaan Negara dengan status perubahan undang-undang. 2. DPR bersama Pemerintah menindaklanjuti rancangan perubahan tersebut termasuk muatan Putusan MK tersebut kedalam RUU tentang perubahan UU Perbendaharaan Negara, dan menjadikan RUU tersebut kedalam prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar terjamin kepastian hukum dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. 3. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 40 Ayat (1), yang menyatakan “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang”, menjadi “Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kadaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali terhadap jaminan pensiun dan jaminan haritua”; 4. Mengusulkan revisi rumusan Pasal 40 ayat (2) yang menyatakan ”Kedaluwarsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa”, menjadi ”Kedaluwarsaan terhadap jaminan pensiun dan jaminan hari tua sebagaimana dikecualikan pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa”.
Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Keimigrasian merupakan bagian dari perwujudan pelaksanaan penegakan kedaulatan atas wilayah Indonesia dalam rangka menjaga ketertiban kehidupan berbangsa dan bernegara menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Perkembangan global dewasa ini mendorong meningkatnya mobilitas penduduk dunia yang menimbulkan berbagai dampak yang menguntungkan dan merugikan bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) menjamin kepastian hukum yang sejalan dengan penghormatan, pelindungan, dan pemajuan hak asasi manusia. Dalam perjalanannya, ada 2 (dua) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Keimigrasian yaitu Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 dan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang. Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.
Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya. Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing). Keimigrasian mengatur mengenai hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya kedaulatan negara. Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh Pejabat Imigrasi. Seiring perkembangan di dunia internasional, telah terjadi perubahan yang membawa pengaruh besar terhadap terwujudnya persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia (WNI) sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan adanya perkembangan tersebut, setiap WNI memperoleh kesempatan yang sama dalam menggunakan haknya untuk keluar atau masuk Wilayah Indonesia. Terhadap prinsip bahwa setiap WNI berhak untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia. Akan tetapi berdasarkan alasan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu, terhadap WNI dapat dilakukan pencegahan untuk keluar dari wilayah Indonesia. Pencegahan merupakan larangan sementara terhadap seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia. Pasal 16 ayat (1) UU Keimigrasian mengatur bahwa apabila seseorang berada dalam daftar pencegahan maka Pejabat Imigrasi dapat menolak orang tersebut untuk keluar Wilayah Indonesia. Selain itu, pencegahan diatur di dalam Pasal 91 sampai dengan Pasal 97 UU Keimigrasian. Menteri Hukum dan HAM mempunyai kewenangan dan tanggungjawab dalam melakukan pencegahan. Pencegahan dilakukan berdasarkan hasil pengawasan Keimigrasian, Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung, permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional, dan keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/ lembaga lain yang berdasarkan Undang-Undang memiliki kewenangan pencegahan. Setiap orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Akan tetapi pengajuan keberatan tersebut tidak menunda pelaksanaan pencegahan. Hak untuk meninggalkan wilayah negara pun telah dijamin oleh konstitusi maupun norma HAM universal. Akan tetapi dapat dibatasi dalam hal-hal tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Jadi tindakan pelaksanaan pencegahan seseorang ke luar negeri merupakan tindakan yang sah secara hukum, bukan penyalahgunaan wewenang. Pengujian beberapa pasal dalam UU Keimigrasian sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengabulkan putusan untuk seluruhnya maupun sebagian. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan MK tersebut. Berdasarkan kedua Putusan MK yang telah dipaparkan di atas yaitu Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 dan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 yang melakukan pengujian terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf b dan Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian, kedua Pasal tersebut terkait dengan pencegahan seseorang untuk keluar wilayah Indonesia. MK telah mengabulkan permohonan para pemohon dalam Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 bahwa pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia saat mereka sedang melakukan penyelidikan atas suatu kasus adalah inkonstitusional. Jika pencegahan dilakukan bagi seseorang tersebut sementara kasusnya masih dalam tahap penyelidikan, bisa disalahgunakan untuk kepentingan di luar kepentingan penegakan hukum. Hal tersebut berpotensi melanggar hak konstitusi warga negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28E.
UU Keimigrasian mengatur mengenai persyaratan untuk keluar atau masuk wilayah Indonesia, namun mengatur pula mengenai pembatasan yaitu pencegahan/larangan sementara seseorang untuk ke luar wilayah Indoensia berdasarkan alasan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu. Dari 2 (dua) pengujian materiil UU Keimigrasian yang diajukan di MK, Putusan MK Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011 mengabulkan seluruh permohonan dan Putusan MK Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011 mengabulkan sebagian permohonan. Putusan tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang berbeda. Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 40/PUU-IX/2011, pencegahan yang dilakukan terhadap seseorang untuk keluar wilayah Indonesia saat berada dalam proses penyelidikan adalah inkonstitusional. Jadi seseorang yang berada dalam proses penyelidikan tidak dapat dikenakan pencegahan. Pencegahan terhadap seseorang untuk ke luar wilayah Indonesia yang dilakukan oleh pejabat imigrasi adalah hanya terhadap seseorang yang berada dalam proses penyidikan. Hal ini berarti tujuan pencegahan yaitu untuk kepentingan penyidikan agar menjamin tidak terganggunya proses hukum dalam suatu kasus tertentu. Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 64/PUU-IX/2011, jangka waktu pencegahan hanya bisa dilakukan untuk jangka waktu 6 bulan dan bisa diperpanjang satu kali saja yaitu 6 bulan. Berbeda dengan rumusan sebelumnya yang multi tafsir yaitu setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 bulan, hal ini tidak ada batasan yang jelas mengenai berapa kali perpanjangannya. Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh MK sebagai berikut: • Pasal yang dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian sepanjang kata “penyelidikan dan”. Pasal 16 ayat (1) huruf b semula berbunyi “Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut: b. diperlukan untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang ”. sehingga menjadi: “Pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar Wilayah Indoensia dalam hal orang tersebut: b. diperlukan untuk kepentingan penyidikan atas permintaan pejabat yang berwenang; Pasal yang dibatalkan oleh MK yaitu Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian sepanjang frasa “setiap kali”. Pasal 97 ayat (1) semula berbunyi: “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”. sehingga menjadi: “Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan.”
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera perlu dilakukan perubahan terhadap UU Keimigrasian yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Keimigrasian baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan. Perlu direformulasi kembali dan diperjelas rumusan ketentuan/pasal mengenai “ke luar wilayah Indonesia”, batasan siapa saja “orang” yang dikenakan penolakan/pencegahan untuk ke luar wilayah Indonesia. Serta sebaiknya pengaturan “ke luar wilayah Indonesia” dimasukkan dalam satu bab/bagian dengan pengaturan “pencegahan” karena pada intinya pengaturan hal tersebut adalah sama yaitu mengenai penolakan/pencegahan orang untuk ke luar wiayah Indonesia. UU Keimigrasian juga belum mengatur mengenai konsekuensi apabila masa pencegahan seseorang telah habis, namun imigrasi masih melakukan pencegahan terhadap orang tersebut, yang diatur dalam UU Keimigrasian hanya mengenai durasi pencegahan yaitu selama 6 bulan dan hanya bisa diperpanjang satu kali saja.