Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Pendidikan merupakan bagian esensial dari hak asasi manusia, yang diselenggarakan oleh setiap negara demi tercapainya cita-cita nasional negara yang bersangkutan. Indonesia mengakui dan melindungi hak asasi tersebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) sebagai konstitusi negara, yaitu pada alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 31 UUD Tahun 1945. Pengaturan pendidikan dalam konstitusi negara menimbulkan hak konstitusional bagi setiap rakyat Indonesia dan kewajiban konstitusional bagi negara, yaitu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan sedangkan negara berkewajiban untuk mengusahakan, menyelenggarakan dan membiayai pendidikan serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkaitan dengan pengujian materil UU Sisdiknas, Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) mengatur tentang uji materil dengan mana materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Terhadap UU Sisdiknas, MK telah mengabulkan 5 (lima) permohonan. Mengingat UU Sisdiknas sangat penting untuk menegakkan hukum bagi pencari keadilan dan mencari kepastian hukum, maka Pusat Pemantauan dan Pelaksanaan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, perlu mengadakan analisis dan evaluasi terhadap pengujian UU Sisdiknas yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ada 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu: 1. pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum lainnya; 2. keterikatan pembuat undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; dan 3. adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas undang-undang dan tindakan hukum pemerintah. Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Pengujian terhadap substansi UU Ketenagakerjaan melalui pengujian materiil maupun proses pembentukannya melalui pengujian formil telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini untuk menjamin bahwa UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dan sesuai dengan jiwa UUD Tahun 1945. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum dan putusan tersebut langsung mengikat sebagai hukum sejak diucapkan di persidangan dan tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan satu permohonan pengujian undang-undang akan menyatakan satu pasal, ayat, atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Sebagai konsekuensinya maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Beberapa norma UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dengan sendirinya telah batal dan tidak berlaku lagi. Putusan Mahkamah Konstitusi hanyalah sebagai solusi sementara terhadap beberapa materi UU Ketenagakerjaan yang telah diputuskan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sampai pembentuk undang-undang melakukan perubahan atau penggantian terhadap UU Ketenagakerjaan. Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan telah mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: mengikat untuk semua orang (erga omnes), dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif, dan telah berlaku sebagai undang-undang meskipun belum dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang.
Dalam implementasinya, UU Sisdiknas telah 14 (empat belas) kali diajukan permohonan uji materiil ke MK. Namun demikian, hanya 5 (lima) permohonan yang dikabulkan baik sebagian maupun seluruhnya. Putusan MK perkara Nomor 11/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 24/PUU-V/2007 mengenai masalah anggaran pendidikan nasional. UU Sisdiknas Pasal 49 Ayat (1) menyebut dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimum 20 persen dari APBN maupun APBD. Namun, dalam implementasinya, berdasarkan keputusan MK tahun 2008, anggaran 20 persen sudah termasuk gaji guru dan dosen serta pendidikan kedinasan. Dengan demikian Pasal 49 ayat 1 tidak berlaku lagi. Dalam Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 bertanggal 31 Maret 2010 telah memberi syarat konstitusional atas keberadaan Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan (PP 66 Tahun 2010). Pada dasarnya PP ini memerintahkan ketujuh PT BHMN untuk melangsungkan pengelolaan pendidikan yang telah ada selama ini, yaitu bersistem pengelolaan pendidikan BHMN. PP ini memberikan waktu 3 (tiga) tahun sebagai masa transisi untuk kembali ke sistem pengelolaan keuangan negara dengan ketentuan yang sesuai dengan putusan MK tentang pembatalan UU BHP. Di samping itu, putusan MK ditindaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi). Dengan demikian putusan MK di atas telah ditindaklanjuti melalui PP dan pembentukan undang-undang sehingga tindak lanjut tersebut telah sesuai dan harmonis dengan putusan MK. Namun demikian, Mahkamah Konstitusi tidak menghapus Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas, meski putusan Mahkamah Konstitusi tersebut membatalkan ketentuan UU BHP secara keseluruhan. Ketentuan Pasal 53 ayat (1) sebagai pijakan bagi terselenggaranya pendidikan melalui badan hukum pendidikan, mengamanatkan agar penyelenggara pendidikan berbentuk badan hukum pendidikan. Menurut Pasal 53 ayat (4) UU Sisdiknas, ketentuan mengenai badan hukum pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersendiri. Amanat ini harus dilaksanakan oleh DPR RI dan Pemerintah dengan membentuk undang-undang yang mengatur tentang badan hukum pendidikan. Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 53 ayat (1) adalah konstitusional dan sah namun untuk Penjelasan Pasal 53 ayat (1) dinyatakan inskonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena badan hukum pendidikan diartikan sebagai bentuk dan nama diri yang seharusnya dimaknai sebagai fungsi penyelenggara pendidikan, sehingga bentuk penyelenggara pendidikan oleh suatu badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan seperti yayasan, perkumpulan, perserikatan, dan badan wakaf. UU BHP yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi yuridis kekosongan hukum, meskipun norma hukum tidak mungkin memiliki kekosongan. Hal ini berarti terjadi kekosongan hukum dalam tata kelola pendidikan sehingga perlu segera dibuat peraturan baru yang mengatur tentang pendidikan untuk melaksanakan amanat Pasal 53 UU Sisdiknas. Kekosongan hukum ini terjadi karena pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan melalui jenjang pendidikan yang bersandar pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tidak dapat dilaksanakan dengan dibatalkannya UU BHP. Selain itu, pengelolaan dan penyelenggaraan jenjang pendidikan yang dilakukan melalui yayasan mengalami ketidakjelasan bentuk badan hukum penyelenggaranya. Hal ini disebabkan karena sebelum UU BHP diberlakukan penyelenggara pendidikan melalui yayasan didasarkan pada UU Yayasan namun harus menyesuaikan pendirian serta tata kelolanya dengan UU BHP. Untuk mengatasi rechtsvacuum tersebut perlu dibuat peraturan baru yang dapat mengakomodasi penyelenggara jenjang pendidikan. Aturan baru ini dalam jangka pendek dapat menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum. Selanjutnya untuk jangka panjang perlu segera dibuat undang-undang baru, yakni undang-undang yang mengatur tentang badan hukum pendidikan yang berbeda dengan sebelumnya. Penerapan undang-undang baru tersebut nantinya memberi kebebasan bagi seluruh perguruan tinggi untuk mencari bentuknya sendiri. UU BHP yang baru ini harus dibuat dengan memperhatikan rambu-rambu dari Mahkamah Konstitusi, agar tidak lagi dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Terhadap perkara Nomor 58/PUU-VIII/2010, terjadi putusan inkonstitusional bersyarat sepanjang kata “dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat. Kata ”‘dapat” dalam Pasal 55 ayat (4) UU Sisdiknas tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat. Terkait Putusan MK perkara nomor 5/PUU-X/2012, yang bersifat final dan mengikat yang menggugurkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena bertentangan dengan Pembukaan UUD Tahun 1945 dan Pasal 31 ayat (3) maka dengan sendirinya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan harus terlebih dulu dilakukan perubahan khususnya yang mengatur tentang RSBI yakni Pasal 61 ayat (1), kemudian Permendiknas Nomor 78 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah harus dinyatakan tidak berlaku lagi karena sudah tidak ada payung hukum diatasnya. Kemudian solusi yang bisa diterapkan dalam menjawab permasalahan RSBI pasca Putusan MK tersebut tidak ada lagi upaya lain selain mematuhi Putusan tersebut. Oleh karena itu, penyempurnaan terhadap UU Sisdiknas perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Pembentuk undang-undang (DPR RI atau Presiden) perlu segera berinisiatif melakukan legislative review untuk menindaklanjuti substansi atau norma undang-undang yang telah dibatalkan tersebut. Selain itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Sisdiknas agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya.
Penyempurnaan terhadap UU Sisdiknas perlu dilakukan agar materi dan substansinya sesuai dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945 serta dapat memberikan pemahaman yang utuh. Disamping itu, pendapat hukum yang tercermin dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicermati dan menjadi dasar dalam perubahan UU Sisdiknas agar tidak terjadi kekosongan hukum dan penafsiran yang berbeda dalam implementasinya.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d UU P3 bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Sisdiknas dengan status perubahan/penggantian. 2. Berdasarkan Putusan MK dan perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), maka DPR RI bersama Pemerintah harus menetapkan perubahan/penggantian UU Sisdiknas ini ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan menetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) kumulatif terbuka.
ANALISIS DAN EVALUASI UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final salah satunya untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian peraturan perundang-undangan merupakan suatu mekanisme yang dapat memastikan suatu produk perundang-undangan tidak bertentangan dengan norma hukum dasar dan tidak merugikan hak-hak warga Negara yang telah dijamin norma hukum dasar tersebut. Dua kasus pengujian UU Perbankan adalah Perkara No. 64/PUU-X/2012 terkait kerahasiaan bank dan Perkara No. 109/PUU-XII/2014 terkait dengan penghapusan frasa “bagi bank”. Adanya ketentuan kerahasiaan bank mengakibatkan seorang pemohon (isteri) dirugikan karena tidak mendapatkan harta bersama/gonogini (yang adil) dari perceraian dengan suaminya (karena ada iktikad tidak baik dari suami). 1. No.64/PUU-X/2012: Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU Perbankan dengan batu uji Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945. Amar Putusan: Mengabulkan untuk sebagian Pasal 40 ayat (1) dan Menolak permohonan pemohon untuk Pasal 40 ayat (2) 2. No. 109/PUU-XII/2014: Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945. Amar Putusan: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya
1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat dari UU Perbankan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat UU Perbankan yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD Tahun 1945? 3. Apakah terjadi disharmonisasi norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?
Pengujian terhadap norma undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang, baik dari segi formil ataupun materiil. Secara umum putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian konstitusional UU terdapat 3 (tiga) kategori. Pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan mengabulkan permohonan mengikat dalam hal permohonan beralasan menurut hukum dengan menyatakan materi muatan atau pembentukan Undang-Undang yang dimohonkan pengujian konstitusionalitas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan oleh karenanya menyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum. Kedua, Mahkamah Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Pemohon dalam hal permohonan tidak terbukti beralasan menurut hukum atau Ketiga, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan tidak diterima dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat formal pengajukan permohonan. Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD Tahun 1945. Frasa “tingkat pertama dan terakhir” maksudnya tidak ada upaya hukum lagi yang ditempuh terhadap putusan yang telah diputuskan oleh MK atau bisa disebut telah berkekuatan hukum yang tetap (in kracht) hal ini sesuai dengan frasa selanjutnya yang menyatakan “yang putusannya bersifat final”. Ketentuan tersebut jelas berarti bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum, dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) kekuatan eksekutorial.
Pada perkara No. 64/PUU-X/2012, menurut Mahkamah perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan agar data nasabah pada bank tetap terlindungi kerahasiaannya, tetapi juga dapat melindungi hak-hak suami dan/atau istri terhadap harta bersama yang disimpan dibank, maka ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasl 43, Pasal 44 dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian”. Pada perkara No. 109/PUU-XII/2014, menyatakan frasa “bagi bank” Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Jadi untuk menjamin kepastian hukum, jaminan hukum dan perlindungan hukum yang adil bagi nasabah maka frasa “bagi bank” perlu dihapus. Karena frasa “bagi bank” sering dijadikan alasan oleh bank, bahwa bank akan melakukan atau melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan UU Perbankan, diluar ketentuan UU Perbankan pihak bank bisa menolak untuk melakukan atau melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan, termasuk tidak mau melaksanakan perintah atau keputusan pengadilan. Yang sejatinya bank harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa data nasabah juga dapat diakses untuk: kepentingan perpajakan (Pasal 41), penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A), kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42), perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43), kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44), dan atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A). • Kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian. Terkait dengan Perkara No. 109/PUU-XII/2014, Pasal yang diuji adalah Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, dan batu ujinya Pasal 28D ayat (1) UUD Tahun 1945, dengan amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Hakim memutuskan bahwa Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan juga merupakan konstitusional bersyarat, frasa “bagi bank” dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Keputusan Mahkamah Konstitsi tersebut harus ditindaklanjuti, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU P3 bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU antara lain tindak lanjut atas putusan MK. Oleh karena itu perlu segera mengajukan perubahan terhadap UU Perbankan. Selain itu Keputusan Mahkamah Konstitusi juga dapat dijadikan dasar-dasar pemikiran dalam menyusun suatu Naskah Akademik terkait dengan perubahan UU Perbankan.
Analisis Dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sebagai sebuah Negara demokratis, Indonesia telah melakukan proses transisi demokrasi secara damai melalui penyelenggaraan pemilu. Secara konseptual, Indonesia menerapkan sistem kedaulatan rakyat yang diatur Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Kedaulatan rakyat menurut Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 dilaksanakan dengan sistem perwakilan melalui pemilu untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan memilih presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (2) UUD Tahun 1945. Dalam Pemilu untuk memilih Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2014 yang diselenggarakan pada tanggal 9 April 2014 dan diikuti oleh 12 (dua belas) partai politik serta terdapat 3 (tiga) partai politik lokal khusus untuk DPR Aceh adalah merupakan sebuah pemilu yang dilaksanakan berdasarkan yang menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak, sehingga setiap calon anggota legislatif memproleh kesempatan yang sama dalam memperoleh mandat dari rakyat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (UU Pemilu Legislatif) sebelum diterapkan dalam pelaksanaan Pemilu tahun 2014 yaitu dalam kurun waktu antara tahun 2012 sampai dengan tahun 2014 telah menglamai beberapa kali pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi (MK) dan telah terdapat 3 (tiga) Putusan MK a. Perkara Nomor 52/PUU-X/2012 b. Perkara Nomor 20/PUU-XI/2013 c. Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014
1. Bagaimakah menurut ketentuan perundang-undangan mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian formil dan materiil UU ? 2. Apakah akibat hukum dari Putusan mahkamah konstitusi yang amar putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat dan yang menyatakan inkonstitusional dalam pengujian Pasal-pasal UU Pemilu Legislatif ? 3. Bagaimanakah DPR menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi khusunya yang menyatakan inkonstitusional bersyarat ? 4. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan ?
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.
Menyatakan Pasal, ayat, sebagian frase dalam Pasal atau ayat tertentu UU Pemilu Legislatif Inkonstitusional Pasal dan ayat tertentu dalam UU Pemilu Legislatif yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi adalah Pasal 8 ayat (1) beserta penjelasannya, Pasal 247 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6), Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2). Dalam rangka chek and balances dalam pelaksanaan kekuasaan pembentukan UU (legislatif) dengan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi sebagai selaku guardian of constitution) tanpa melampaui batas kewenangan lembaga negara masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU Mahkamah Kostitusi, maka DPR dan Presiden harus melakukan amandemen terhadap Pasal, ayat, frase dalam pasal dan ayat UU Pemilu Legilatif yang telah berubah substasinya dan telah dirumuskan norma baru sebagai akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.
1. Berdasarkan hukum positif sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU MK, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk menguji UU Terhadap UUD tahun 1945 pada tingkat pertama dan terakhir yang amar putusan Putusannya secara limitatf dibatai pada dua hal yaitu: menyatakan dengan tegas bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 2. Akibat hukum dari Putusan mahkamah konstitusi yang amar putusannya menyatakan inkonstitusional bersyarat dan yang menyatakan inkonstitusional dalam pengujian Pasal-pasal UU Pemilu Legislatif adalah perubahan substansi materi dan timbulnya rumusan baru 3. Dalam rangka chek and balances dalam pelaksanaan kekuasaan pembentukan UU (legislatif) dengan kekuasaan yudikatif (Mahkamah Konstitusi sebagai selaku guardian of constitution) tanpa melampaui batas kewenangan lembaga negara masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945 jo. Pasal 56 dan Pasal 57 UU MK, maka DPR dan Presiden harus melakukan amandemen terhadap Pasal, ayat, frase dalam pasal dan ayat UU pemilu legilatif yang telah berubah substasinya dan telah dirumuskan norma baru sebagai akibat Putusan Mahkamah Konstitusi.
Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa perbaikan substansi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perbaikan ini hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.