Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Mahkamah Konstitusi (MK) masuk dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, yang salah satu tugas dan wewenangnya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945). Pemeriksaan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang dilakukan atas dasar kerugian/pelanggaran hak konstitusional Pemohon. Pengertian dan batasan secara kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 (UU MK). Terdapat 3 (tiga) permohonan pengujian UU Kesehatan terhadap UUD Tahun 1945 yang menurut Pemohon secara umum telah merugikan/melanggar hak konstitusional untuk mendapat perlindungan, kepastian hukum yang adil, jaminan hak asasi, hak untuk hidup sejahtera, dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Adapun pengujian UU Kesehatan yang tercatat dalam registrasi MK dengan Nomor Perkara sebagai berikut: 1. Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 2. Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 3. Perkata Nomor 57/PUU-IX/2011

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusinalitas / inskonstitusional bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal, ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal, ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Terkait dengan putusan MK terhadap pengujian UU Kesehatan, DPR sebagai pembentuk undang-undang bersama-sama Presiden memiliki peran penting dalam menindaklanjuti putusan yang telah ditetapkan oleh MK. Putusan MK bersifat final dan mengikat menjadi acuan dalam proses pembentukan undang-undang selanjutnya.Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) yang menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi tindak lanjut atas putusan MK. Evaluasi UU Kesehatan terhadap 3 (tiga) perkara pengujian Undang-Undang di MK adalah meliputi kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik kefarmasian, peringatan kesehatan pada rokok, dan penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya adalah untuk ditindaklanjuti sesuai dengan amar putusan MK. Dalam amar putusannya MK mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian UU Kesehatan dalam Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, selain itu MK dalam amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dalam Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011.

Terkait dengan pemeriksaan dan penilaian terhadap 3 (tiga) perkara pengujian UU Kesehatan yaitu Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 mengenai kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik kefarmasian, Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010 mengenai peringatan kesehatan pada rokok, dan Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011 mengenai penyediaan tempat untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, MK memberikan pendapat hukum. Kemudian MK menetapkan putusan yang dalam amar putusannya MK menetapkan beberapa keputusan yaitu mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian terhadap pengujian UU Kesehahatan dalam Perkara Nomor 12/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, selain itu MK dalam amar putusan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya dalamPerkara Nomor 57/PUU-IX/2011. Sehubungan dengan putusan MK, DPR RI sebagai pembentuk undang-undang bersama-sama Presiden memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti putusan yang telah ditetapkan oleh MK. Putusan MK bersifat final dan mengikat menjadi acuan dalam proses pembentukan undang-undang selanjutnya oleh Presiden dan DPR RI. Hal demikian sejalan dengan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunyaberisi tindak lanjut atas putusan MK. Adapun tindak lanjut tersebut untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.

Hasil analisis dan evaluasi UU Kesehatan adalah perbaikan materi undang-undang Kesehatan terutama dengan memperbaiki conditionally unconstitutional terhadap kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan praktik kefarmasian, penggunaan tanda gambar dan bentuk lainnya sebagai informasi bahaya merokok bagi konsumen, serta pemberian hak bagi perokok untuk merokok di tempat umum, tempat kerja dan tempat lainnya yang disediakan ruangankhusus merokok. Perbaikan materi tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU Kesehatan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK): Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung

Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan tata usaha negara serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) juga dikemukakan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.” UU Mahkamah Agung selama ini telah diajukan beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi, namun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi sampai dengan saat ini tercatat ada 2 putusan yaitu Putusan Perkara Nomor 067/PUU-II/2004 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 67/2004) dan Putusan Perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 27/2013). Selain itu terdapat juga Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut UU HAP) yaitu Putusan Perkara Nomor 34/PUU-XI/2013 (selanjutnya disebut Putusan Perkara 34/2013), dimana putusan tersebut ternyata berdampak terhadap substansi yang terdapat dalam UU Mahkamah Agung.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi khususnya terhadap UU Mahkamah Agung? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat khususnya dalam UU Mahkamah Agung? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan khususnya dalam UU Mahkamah Agung?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Pada dasarnya undang-undang itu dihasilkan dari proses politik sehingga sudah pasti ada kepentingan politik yang mewarnai substansi yang dihasilkan dalam undang-undang tersebut. Namun konstitusilah yang bertugas sebagai rambu apakah kepentingan politik mencederai aspirasi dan kepenntingan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Sesuai dengan konstitusi UUD Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi lah yang ditugaskan untuk mengemban amanat tersebut melalui putusan-putusannya. Dalam Putusan Perkara 67/2014 dan Perkara 27/2013, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya menganalisis dengan menggunakan penafsiran secara tektual gramatikal dan melakukan pengharmonisasian undang-undang khusunya UU Mahkamah Agung terhadap konstitusi dan undang-undang lain. Dari hasil analisis Mahkamah Konstitusi terlihat bahwa beberapa ketentuan dalam UU Mahkamah Agung selama ini teradapat ketidak konsistenan dalam perumusannya. Ketidakcermatan pembuat undang-undang ini terlihat dalam proses perubahan dari UU 14 Tahun 1985 ke UU 5 Tahun 2004 yang ternyata tidak mengubah pasal yang seharusnya penting untuk diubah. Keharmonisan peraturan perundang-undangan ini dianggap Mahkamah Konstitusi dangat penting agar tercipta kepastian hukum. Sedemikian pentingnya kepastian hukum ini bahkan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara 67/2004 mengesampingkan kerugian konstitusional Para pemohon dengan lebih menitik beratkan pada menjunjung tinggi asas kepastian hukum. Begitupun halnya dalam Putusan Perkara 27/2013 yang menurut penilaian Mahkamah Konstitusi pengaturan yang ada dalam UU Mahkamah Agung mengenai perekrutan hakim agung bertentangan pengaturannya dengan yang ada didalam UUD Tahun 1945 secara jelas dan tekstual. Selain itu Mahkamah juga berpandangan bahwa Kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana diamanatkankan oleh UUD Tahun 1945 dalam hal ini pembentukan Komisi Yudisial yang berwenang untuk melakukan prekereutan hakim agung tanpa intervensi berbagai pihak adalah perwujudan kekuasaan kehakiman. Khusus untuk perkara 34/2013 hasil putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan Peninjauan Kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali untuk perkara pidana ternyata berdampak pada pengaturan di dalam UU Mahkamah Agung. Maka terhadap hal ini diperlukan langkah konkrit dari pembuat undang-undang agar harus segera mengubah ketentuan dalam UU Mahkamah Agung yang terkena dampak dari putusan tersebut agar tercipta sinkronisasi dan harmonisiasi pengaturan perundang-undangan.

Terdapat ketidakcermatan perumusan dalam proses perubahan UU 14 Tahun 1985 menjadi UU 5 Tahun 2004 yang tidak mengubah Pasal 36 UU 14 Tahun 1985, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Bahwa Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Mahkamah Agung, serta Pasal 18 ayat (4) UU Komisi Yudisial, telah menyimpang atau tidak sesuai dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD Tahun 1945. Diperlukan reformulasi ulang di dalam Pasal 66 UU Mahkamah Agung. Ketentuan UU Mahkamah Agung harus mengikuti hasil Putusan Mahkamah Konstitudi Perkara Nomor 34 Tahun 2013.

Hasil analisis dan evaluasi UU Mahkamah Agung adalah perlunya beberapa ketentuan di dalam UU Mahkamah Agung yang diperlukan reformulasi ulang akibat adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 67 Tahun 2004, Nomor 27 Tahun 2013, dan Nomor 34 Tahun 2013. Adapun keharusan pembentuk undang-undang untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) adalah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 (judicial review) merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menyelidiki dan menilai apakah materi suatu undang-undang tersebut bertentangan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, atau bahkan apakah peraturan perundang-undangan tersebut terdapat cacat formal dalam pembentukannya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) telah beberapa kali di uji materi kepada Mahkamah Konstitusi dan menghasikan keputusan sebagai berikut: 1. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 16 Juli 2012. 2. Putusan Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 yang diputus pada tanggal 21 Februari 2012. 3. Putusan Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 yang diputus pada tanggal 16 Mei 2013. Pasal yang diuji yakni: 1. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 Pasal yang di uji yakni Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3). 2. Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3). 3. Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Batu Uji Pasal UUD Tahun 1945: 1. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 yakni Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) UUD Tahun 1945. 2. Batu uji Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) UUD Tahun 1945. 3. Batu uji Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun1945; Hak konstitusional yang dirugikan: 1. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2011 hak konstitusional Pemohon dirugikan dengan keberlakuan Pasal 4 ayat (2) huruf b dan ayat (3). Sehingga Pemohon tidak bisa mengolah perkebunan sawit milik Pemohon berdasarkan: a. Izin Lokasi Perkebunan PT. Rickim Mas Jaya Nomor 042/BPN/II/1995 tanggal 15 Februari 1995 seluas ± 5.000 hektar; b. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Batanghari Nomor86/BPN-VIII/1596 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk KeperluanPerkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya tanggal 21 Agustus 1996 seluas ± 5.200 hektar. c. Rekomendasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dari Gubernur Jambi Nomor 543.41/5308/V/Bappeda tanggal 31 Juli 1998. d. Izin Usaha Perkebunan dari Menteri Pertanian NomorHK.350/E5.860/10.96 tanggal 10 Oktober 1996 tentang Persetujuan Prinsip Usaha Perkebunan Kelapa Sawit PT. Rickim Mas Jaya seluas ±14.000 hektar. 2. Pada Perkara Nomor 45 /PUU-IX/2011 Pasal yang diuji yakni Pasal 1 ayat (3). Bahwa dengan memperhatikan latar belakang tersebut di atas maka kerugian konstitusional Pemohon I selaku Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut: a. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya khususnya terkait dengan pemberian ijin baru maupun perpanjangan izin yang telah ada sebelumnya dibidang perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasana lainnya; b. Tidak dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya karena kawasan yang akan dimanfaatkan dalam berbagai bidangseperti perkebunan, pertambangan, perumahan danpermukiman, maupun sarana dan prasarana lainnya, masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan; c. Tidak dapat mengimplementasikan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah tentangRencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) karena seluruh wilayahnya masuk sebagai kawasan hutan jika tidak dilakukan pengukuhan kawasan hutan; d. Dapat dipidana karena dianggap memasuki dan menduduki kawasan hutan tanpa ijin atau memberikan ijin di bidang perkebunan, pertambangan, perumahan dan permukiman, maupun sarana dan prasana lainnya di dalam kawasan hutan; e. Hak kebendaan dan hak milik masyarakat Kabupaten Kapuas atas tanah dan bangunan berpotensi dirampas oleh negara karena dianggap masuk kawasan hutan. Bahwa pada saat mengajukan Permohonan ini, Pemohon secara pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya masing-masingdiancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin baru atau memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam kawasan hutan. Ancaman pidana tersebut karena adanya Surat Menteri Kehutanan Nomor S.193/Menhut-IV/2011 tanggal 18 April2011 perihal Tim Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan Yang Tidak Prosedural di Provinsi KalimantanTengah; 3. Pada Perkara Nomor 34 /PUU-IX/2012 Pasal yang diuji Pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5, dan Pasal 67 UU Kehutanan.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Berdasarkan uraian diatas maka UU Kehutanan perlu diganti mengingat beberapa ketentuan UU Kehutanan beberapa pasalnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga Pemerintah dan DPR untuk menindaklanjuti hasil Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

1. Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui, serta tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional."; 2. Frasa "ditunjuk dan atau" dalam Pasal 1 angka 3 UU kehutanan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 3. Kata "negara" dalam Pasal 1 angka 6 UU kehutanan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga ketentuan Pasal 1 angka 6 tersebut menjadi "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat". 4. Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat". 5. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU kehutanan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 6. Pasal 5 ayat (2) UU kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 7. Frasa "dan ayat (2)" dalam Pasal 5 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga Pasal 5 ayat (3) tersebut menjadi "Pemerintah menetapkan UU Kehutanan dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya".

Beberapa Pasal dan ayat UU Kehutanan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga ketentuan dalam UU Kehutanan tidak utuh lagi dan perlu ditindaklanjuti dengan mengganti UU Kehutanan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang

Kekuasaan Kehakiman telah diatur secara tegas didalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yang pada pokoknya menjelaskan Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peranan yang cukup signifikan dalam peradilan Indonesia sebagai cabang kekuasaan kehakiman yang melaksanakan fungsi penegakan hukum terhadap pelaksanaan konstitusi dan aspek kehidupan kenegaraan. MK memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusanya bersifat final untuk menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum serta memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD Tahun 1945 yang diperkuat didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Jo Undang-Undang Nomor 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Pengujian suatu UU terhadap UUD tahun 1945 secara teoritis didasari pada norma hukum yang tidak boleh bertentangan dengan norma yang berada diatasnya oleh karena norma hukum yang lebih tinggi merupakan sumber hukum bagi norma hukum yang berada dibawahnya. Pengujian UU terhadap UUD Tahun 1945 merupakan perlindungan hukum oleh negara terhadap rakyat yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya. Hal ini sejalan dengan yang diatur didalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Terkait dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) terdapat upaya dari pemohon untuk melakukan pengujian. Tercatat ada 2 (dua) putusan MK terkait UU Kepailitan yaitu; (1) Perkara No. 071/PUU-II/2004; dan (2) Perkara No. 001-002/PUU-III/2005 yang menguji pasal-pasal diantaranya Pasal 2 ayat (5), Pasal 6 ayat (3), Pasal 223, dan Pasal 224 ayat (6) UU Kepailitan yang pada pokoknya pasal-pasal tersebut mengatur mengenai hak panitera untuk menolak mencatat permohonan pailit yang menyangkut keharusan adanya izin Menteri Keuangan jika hendak mempailitkan perusahaan asuransi dan izin Gubernur Bank Indonesia untuk mempailitkan bank, yang mana dalam Putusanya MK mengabulkan sebagian dan untuk sebagian lagi menolak permohonan dari Pemohon tersebut.

1. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari dari dikabulkannya sebagian permohonan pengujian sebagian pasal UU Kepailitan terhadap UUD Tahun 1945? 2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?

-

-

Adapun simpulan dari evaluasi putusan MK dengan perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 001-002/PUU-III/2005 adalah sebagai berikut: 1. MK menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Menyatakan Pasal 6 ayat (3) beserta Penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3)” UU Kepailitan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Putusan MK yang mengabulkan gugatan Pemohon untuk sebagian mengakibatkan untuk debitor berupa Bank, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, Perusahaan Efek, Bursa Efek dan Lembaga Penjaminan gugatan kepailitannya harus memenuhi persyaratan yang telah ditegaskan dalam UU Kepailitan terutama syarat atas kewenangan lembaga mana yang diperbolehkan mengajukan gugatan pailit melalui panitera Pengadilan Niaga. 3. Syarat pengajuan gugatan kepailitan dalam UU Kepailitan masih dinilai terlalu longgar, salah satu indikasinya tidak ada instrumen uji pailit (insolvency test) apabila hendak mengajukan gugatan pailit. Syarat yang dicantumkan undang-undang terbatas hanya pada adanya utangyang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, 2 kreditor atau lebih, dan lembaga yang diberi kewenangan untuk mengajukan gugatan pailit apabila debitor adalah perusahaan financial yang menyangkut kepentingan publik.

Rekomendasi yang dapat diberikan dari hasil evaluasi ini berupa perbaikan substansi UU Kepailitan terutama dengan memperbaiki syarat pengajuan pailit yang dinilai masih terlalu longgar dan tidak bersifat fixed dan perlunya instrument instrument uji pailit (insolvency test) sebagaimana yang dianut oleh beberapa negara seperi USA, Jepang, dan Inggris. Perbaikan ini hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan atau penggantian UU Kepailitan dalam Program Legislasi Nasional untuk kumulatif terbuka maupun menjadi skala prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) menegaskan, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Kaidah ini mengandung makna, bahwa hukum di negara Indonesia ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Berpijak pada sistem negara hukum, maka menurut Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, bahwa peraturan ataupun ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam suatu negara hukum harus berdasarkan atau bersumberkan pada peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Suatu konsekuensi logis bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum adalah terjaminnya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan UUD Tahun 1945. Berdasarkan perubahan tersebut konstruksi kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi otoritas Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) dan badan peradilan dibawahnya, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Disamping perubahan yang bersifat krusial tersebut, amandemen UUD Tahun 1945 juga mengintroduksi pula suatu lembaga negara baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang disebut Komisi Yudisial (KY). Pembentukan KY sebagai salah satu wujud nyata perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga negara dan penegasan terhadap prinsip negara hukum serta perlindungan HAM. UU KY muncul sebagai pelaksanaan amanah konstitusi yakni Pasal 24B UUD Tahun 1945. Pengaturan mengenai KY diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY). Dalam perkembangannya ada beberapa pengaturan pasal di dalam UU KY yang dinilai bertentangan dengan semangat Pasal 24B UUD Tahun 1945, khususnya terkait dengan independensi atau kemerdekaan KY dalam proses rekrutmen calon hakim agung dan calon anggota KY. Beberapa Pasal yang di uji materiil kan antara lain Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY.

1. Apa akibat hukum yang timbul terhadap Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai inkonstitusional bersyarat dengan rumusan norma baru? 2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum yang timbul akibat putusan MK yang menyatakan Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY tidak memiliki kekuatan hukum mengikat?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Dapat dikatakan bahwa putusan MK atas pengujian Pasal 18 ayat (4), Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY pada dasarnya merupakan putusan yang membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada sehingga tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut karena sudah ditentukan rumusan baru oleh mahkamah dalam putusannya. Dalam artian, bahwa meski materi muatan pasal, ayat, atau bagian undang- undang telah dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi, namun hal tersebut tidak menimbulkan kekosongan hukum sehingga umumnya putusan self executing tidak perlu ditindaklanjuti lembaga lain, dalam hal ini langsung berlaku. Selain itu, Putusan MK dalam perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 dan Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 juga telah menimbulkan keadaan hukum baru. Meskipun kedua putusan MK tersebut bersifat self-executing atau tidak menimbulkan kekosongan hukum karena dirumuskannya norma baru, namun aspek kepastian hukum atas berlakunya undang-undang menjadi hal yang utama. DPR sebagai pembentuk undang-undang diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya kedua putusan tersebut perlu dilakukan legislative review oleh DPR.

Pengujian Pasal 18 ayat (4), dalam perkara Nomor 27/PUU-XI/2013 dan Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dalam Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014 terhadap UUD Tahun 1945 telah menciptakan keadaan hukum baru. Bahwa dalam putusannya, terhadap pengujian pasal-pasal a quo, MK memutuskan inkonstitusional bersyarat dengan perumusan norma baru. Keadaan hukum baru yang tercipta pada intinya terkait dengan proses seleksi hakim agung dan anggota KY, dimana dalam hal ini DPR yang semula dalam UU KY diberikan kewenangan “memilih” terhadap calon anggota KY, maka dalam putusannya mahkamah mengubah norma frasa “memilih” menjadi “berwenang menyetujui atau tidak menyetujui” hal ini agar sesuai dengan konstitusi yang mengatur bahwa dalam pengangkatan hakim agung maupun anggota KY, DPR hanya memberikan persetujuan dan bukan melakukan pemilihan atau fit and proper test. Kemudian, keadaan hukum baru yang tercipta adalah terkait jumlah calon untuk setiap lowongan dalam proses seleksi hakim agung dan anggota KY, baik untuk calon hakim agung maupun calon anggota KY yang semula berjumlah 3 (tiga) calon untuk setiap 1 (satu) lowongan, diubah normanya oleh MK menjadi 1 (satu) calon untuk setiap 1 (satu) lowongan.

Perlu dilakukan perubahan terhadap Pasal 18 ayat (4) 28D Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dengan menyesuaikan rumusan norma baru yang telah diputuskan oleh MK dalam pengujian pasal-pasal a quo. Perubahan tersebut hendaknya dituangkan dalam rencana perubahan UU KY, baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.