Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

File Terlampir.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) telah beberapa kali diujikan ke Mahkamah Konstitusi, dan terdapat satu putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal, ayat suatu undang-undang yang dinyatakan MK sebagai konstitusionalitas/inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan MK yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain? 4. Apakah putusan MK tersebut memiliki dampak atau akibat hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Berdasarkan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU Jabatan Notaris oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Setelah dua tahun putusan MK tersebut, dalam perkembangannya pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan UU Jabatan Notaris melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Perubahan Jabatan Notaris). Ketentuan Pasal 66 ayat (1) berubah dan dilengkapi dengan dua ayat lainnya, yaitu ayat (3) dan (4). UU Perubahan Jabatan Notaris mensyaratkan persetujuan majelis Kehormatan Notaris dalam pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris, dengan jangka waktu tertentu.

a. Terdapat 1 (satu) putusan MK, yaitu Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 yang menyatakan frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. b. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 telah menciptakan keadaan hukum baru, yaitu hilangnya kewenangan Majelis Pengawas Daerah dalam memberikan persetujuan terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, terkait pengambilan fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris serta pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. c. Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 berdampak pada Permenkumham RI Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menjadi tidak berlaku lagi. 2. Berdasarkan implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU Jabatan Notaris oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Setelah dua tahun Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, dalam perkembangannya pada tahun 2014 telah dilakukan perubahan UU Jabatan Notaris. UU Perubahan Jabatan Notaris memasukkan kembali perlindungan Notaris melalui frasa “dengan persetujuan majelis kehormatan Notaris”. Ketentuan Pasal 66 ayat (1) berubah dan dilengkapi dengan dua ayat lainnya, yaitu ayat (3) dan (4). Terkait ketentuan Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris, ternyata pasal a quo juga beberapa kali diuji kembali ke Mahkamah Kontitusi namun ditolak. 3. Melalui Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019 yang menjawab Permohonan Pemohon atas pengujian Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris, MK lebih mengedepankan prinsip perlindungan hukum bagi Notaris dan pembinaan Majelis Kehormatan Notaris, serta dengan memperhatikan adanya penambahan ketentuan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris. Dengan demikian, MK berpendapat tidak ada pertentangan dengan maksud Putusan MK No. 49/PUU-X/2012.

1. Berdasarkan Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019, MK memiliki menggunakan pertimbangan hukum yang berbeda sehingga tetap mempertahankan dan memperkuat ketentuan Pasal 66 UU Perubahan Jabatan Notaris yang dibentuk oleh Pembentuk UU. Namun dalam praktiknya, terdapat hambatan yang dialami oleh beberapa pihak, khususnya oleh penegak hukum yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya dalam menjalankan tugas dan fungsi jabatannya untuk melakukan kepentingan proses peradilan. Hal ini juga terbukti bahwa hingga saat ini masih terdapat Permohonan Pengujian Materiil UU Perubahan Jabatan Notaris yang belum diputuskan oleh MK, yaitu Perkara Nomor: 16/PUU-XVIII/2020 yang kembali mengajukan permohonan terkait Pasal 66 ayat (1) UU Perubahan Jabatan Notaris. Oleh karena itu, perlu dilakukan sosialisasi oleh Pembentuk UU bahwa UU Perubahan Jabatan Notaris telah sesuai dengan Putusan MK No. 49/PUU-X/2012, dengan tetap memperhatikan adanya penambahan ketentuan Pasal 66 ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris. 2. Bahwa diperlukan pemahaman utuh semua pihak, baik dari penyidik, penuntut umum, hakim, Notaris, dan masyarakat untuk melaksanakan masing-masing tugas dan wewenangnya, serta memenuhi hak dan kewajibannya dengan baik agar proses penegakan hukum tetap berjalan dengan adil. 3. Bahwa dalam pelaksanaanya Notaris harus bekerja sesuai kode etik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dengan adanya perubahan Pasal 66 dan penambahan ayat (3) dan ayat (4) UU Perubahan Jabatan Notaris, maka proses peradilan berlarut diharapkan tidak akan terjadi lagi. Diperlukan objektivitas dan profesionalitas Majelis Kehormatan Notaris dalam menjalankan tugasnya.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Ototritas Jasa Keuangan dalam kurun waktu 9 (sembilan) tahun (2011-2020) keberlakuannya telah beberapa kali dilakukan uji materiil terhadap beberapa pasal/ayat dalam UU OJK ke Mahkamah Konstitusi. Dalam kurun waktu keberlakuannya tersebut, terdapat 1 (satu) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian dari beberapa pasal yang diuji, yaitu Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014. Adapun pasal-pasal yang diuji diantaranya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 34 dan Pasal 37 ayat (1) sampai dengan ayat (4) serta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 6 huruf a, Pasal 7, Pasal 55 ayat (2), Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 65 ayat (1) huruf a dan Pasal 66 ayat (1) huruf a dan ayat (3) huruf a UU OJK yang dianggap bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 23A, Pasal 23D, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945. Namun dari beberapa pasal tersebut hanya terdapat 1 (satu) pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu pada frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi tehadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusional/inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terdapat disharmoni norma dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pasal dan/atau ayat dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat baik terhadap pasal dan/atau ayat lain dalam Undang-Undang yang sama maupun ketentuan dalam Undang-Undang yang lain? 4. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki dampak atau akibat hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Merujuk pada semangat pembentukan UU OJK sebagaimana tergambar dalam Konsiderans Menimbang dan Penjelasan Umum UU OJK dapat terlihat bahwa pada prinsipnya UU OJK lahir dengan pertimbangan bahwa terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam UU BI, juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Pengujian beberapa pasal di dalam UU OJK telah menimbulkan implikasi yuridis khususnya terhadap frasa “dan bebas campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi atau dengan kata lain pada saat yang bersamaan putusan tersebut telah meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum yang baru.

1. Terdapat ketidakcermatan dalam perumusan Pasal 1 angka 1 UU OJK yang kemudian menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya dikarenakan frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” yang mengikuti kata “independen” dalam Pasal 1 angka 1 UU OJK memiliki pemaknaan yang sama sehingga tidak diperlukan lagi. Dasar tersebut yang menjadi landasan pemikiran yang kuat bagi Majelis Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan ketentuan a quo inkonstitusional. 2. Dibatalkannya ketentuan a quo dalam Putusan Nomor 25/PUU-XII/2014 menimbulkan implikasi yuridis bahwa frasa “bebas dari campur tangan pihak lain” tidak diperlukan lagi dan independensi OJK bukan merupakan suatu hal yang menyalahi karena merupakan pengejawantahan amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI yang merupakan penjabaran dari Pasal 23D UUD NRI Tahun 1945. 3. Dibatalkannya frasa “dan bebas dari campur tangan pihak lain” pada Pasal 1 angka 1 UU OJK juga membawa dampak pada materi muatan UU OJK lainnya yakni Pasal 2 ayat (2) UU OJK yang dalam rumusannya juga terdapat kata “independen” yang kemudian diikuti juga dengan “frasa “bebas campur tangan pihak lain”.

1. Terhadap Pasal 1 angka 1 UU OJK perlu dilakukan reformasi ulang akibat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 25/PUU-XII/2014. Reformasi ulang tersebut juga dilakukan terhadap Pasal 2 ayat (2) UU OJK yang juga merumuskan kata “independen” yang diikuti dengan frasa “bebas dari campur tangan pihak lain” 2. Keharusan pembentuk undang-undang untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 3. Perubahan terhadap UU OJK dituangkan dalam rencana perubahan UU OJK baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Makna dan arti pentingnya pekerjaan bagi setiap orang tercermin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Namun pada kenyataannya, keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri menyebabkan banyaknya warga Negara Indonesia/TKI mencari pekerjaan keluar negeri. Dalam perjalanannya, ada 2 (dua) permohonan uji materiil yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri yaitu Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013. Dalam Perkara Nomor 019/PUU-III/2005, permohonan diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Asosiasi Jasa Penempatan Asia Pasific (AJASPAC), dan Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) yang Kesemuanya memberi kuasa kepada Sangap Sidauruk, S.H, Harison Malau, S.H, dan Ferry Simanjuntak,S.H. Pasal yang diuji yaitu : Pasal 35 huruf d UU PPTKILN bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD Tahun 1945. Dalam Perkara Nomor 50/PUU-XI/2013 diajukan oleh Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh BT Obih Ading, dan Ai Lasmini BT Enu Wiharja yang ketiganya memberikan kuasa kepada Sondang Tampubolon, S.H., dkk. Pasal yang di uji yaitu: Pasal 59 UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD Tahun 1945. Permohonan Pemohon dalam uji materiil Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri hanya dikabulkan untuk sebagian, Pasal yang di kabulkan hanya pengujian terhadap Pasal 59, sedangkan Pasal yang lainnya di tolak dan masih tetap berlaku. disimpulkan bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan sebagian uji materiil UU PPTKILN terhadap UUD Tahun 1945 membawa implikasi dan akibat hukum serta menciptakan keadaan hukum baru sebagai implikasi dikabulkannya permohonan uji materiil pasal-pasal a quo, sehingga perlu dilakukan evaluasi dan analisis terhadap kedua Putusan MK tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Dalam Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 bahwa persyaratannya berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat maka sekalipun seseorang telah dewasa (cukup usia) tidak dapat ditempatkan oleh para Pemohon untuk bekerja di luar negeri sekalipun lapangan pekerjaan di dalam negeri telah tertutup (tidak ada) jelas merupakan hambatan yang mengakibatkan kerugian bagi hak konstitusional para Pemohon sehingga persyaratannya berpendidikan sekurang-kurangnya lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau yang sederajat untuk bekerja keluar negeri adalah inkonstitusional sebagaimana diamanatkan UUD Tahun 1945 dalam Pasal 28H ayat (2). Begitupula dalam perkara Nomor 50/PUU-XI/2013, ketentuan Pasal 59 UU UU PPTKILN telah menghalangi hak para Pemohon untuk diperlakukan sama di hadapan hukum serta melanggar hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian pengujian konstitusionalitas Pasal 59 UU UU PPTKILN inkonstitusional dan tidak beralasan menurut hukum, sehingga berdasarkan Pasal 10 huruf d Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai salah satu isi dari materi muatan undang-undang merupakan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, maka terhadap Pasal 35 huruf d dan Pasal 59 UU UU PPTKILN, yang menciptakan keadaan hukum baru maka perlu dilakukan revisi terhadap UU PPTKI, meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu putusan dapat berlaku secara self-executing dimana suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang.

UU Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri mengatur mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia yang bekerja di luar negeri agar mereka dapat memperoleh pelayanan penempatan tenaga kerja secara cepat dan mudah dengan tetap mengutamakan keselamatan tenaga kerja baik fisik, moral maupun martabatnya. UU PPTKILN juga mengatur mengenai perizinan serta persyaratannya untuk dapat bekerja di luar negeri. Terhadap 2 (dua) pengujian materiil UU PPTKILN yang di ajukan ke Mahkamah Konstitusi, terhadap kedua permohonan (Perkara Nomor 019/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 50/PUU-XI/2013) Putusan MK hanya mengabulkan sebagian permohonan saja, namun demikian putusan tersebut telah menciptakan keadaan hukum yang baru atau meniadakan keadaan hukum sehingga perlu dilakukan revisi terhadap UU PPTKI, meskipun ada pendapat lain yang menyatakan bahwa suatu putusan dapat berlaku secara self-executing dimana suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri yang dituangkan dalam rencana perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam Prolegnas Prioritas Tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian, Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 mengatur bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Salah satu bentuk pelaksanaan kekuasaan kehakiman sesuai UUD Tahun 1945 diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 (UU No. 2 Tahun 1986) Jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 (UU No. 8 Tahun 2004) Jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 (UU No. 49 Tahun 2009) tentang Peradilan Umum (selanjutnya secara keseluruhan ketiganya UU tersebut disebut UU Peradilan Umum). UU Peradilan Umum telah mengalami perubahan sebanyak dua kali yaitu melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009. UU No. 49 Tahun 2009 telah beberapa kali diujikan ke Mahkamah Konstitusi, dan terdapat dua putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua putusan tersebut di antaranya Putusan No. 37/PUU-X/2012 dan Putusan No. 43/PUU-XIII/2015.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal atau ayat suatu undang-undang yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas/ inkonstitusional bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu undang-undang jika suatu pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal atau ayat lain yang tidak diujikan?

Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal, yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU MK. Menurut Maruarar Siahaan Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka umum mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutoarial.

Setelah dilakukan dua kali perubahan UU tentang Peradilan Umum, ternyata dalam implementasinya masih terdapat pengujian materil UU tersebut melalui Mahkamah Konstitusi. Evaluasi UU No. 49 Tahun 2009 dilakukan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 37/PUU-X/2012 dan No. 43/PUU-XIII/2015. Ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 yaitu asas dapat dilaksanakan, bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Bahwa secara filosofis dan yuridis, seharusnya tidak ada keterlibatan wewenang Komisi Yudisial yang terbatas pada pengawasan etik hakim saja. Berdasarkan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011 diatur bahwa materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang salah satunya adalah tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan dilakukan oleh DPR atau Presiden untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum sehingga dibutuhkan perubahan/penggantian UU No. 49 Tahun 2009 untuk menyesuaikan dengan Putusan Nomor 37/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 43/PUU-XIII/2015.

1. Bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah makna pasal/ayat UU yang diuji, maka telah menciptakan keadaan hukum baru, yaitu: a. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012, Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 sepanjang frasa “diatur dengan peraturan perundang-undangan” bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Isi ketentuan Pasal 25 ayat (6) UU No. 49 Tahun 2009 menjadi dimaknai: Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan Peraturan Pemerintah. b. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi 43/PUU-XIII/2015, Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” UU No. 49 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Isi ketentuan Pasal 14A menjadi: ayat (2): “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung.” ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung. 2. Bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012 dan 43/PUU-XIII/2015 yang menyatakan Pasal 25 ayat (6), Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, maka telah menciptakan keadaan hukum baru. Berdasarkan implikasi dari kedua Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jika dilakukan perubahan terhadap UU No. 49 Tahun 2009 oleh pembentuk undang-undang, maka harus dilakukan sesuai dengan putusan Mahkamah yang bersifat final dan mengikat. Perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus Mahkamah Konstitusi agar penyelenggaraan peradilan oleh peradilan umum berjalan sesuai UUD Tahun 1945. Selain itu, UU terkait yaitu UU No. 18 Tahun 2011 juga perlu melakukan penyesuaian materi dengan Putusan No. 43/PUU-XIII/2015.

1. Secara umum, terdapat beberapa ketentuan di dalam No. 49 Tahun 2009 yang diperlukan reformulasi ulang akibat dari adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012 dan 43/PUU-XIII/2015. 2. Bahwa pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti dengan mengubah ketentuan-ketentuan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 25 ayat (6), UU No. 49 Tahun 2009 yang terkena dampak dari putusan Mahkamah Konsitusi. 3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan segera melakukan penyesuaian atau perubahan UU No. 49 Tahun 2009 dan segera menetapkan dalam Program Legislasi Nasional Kumulatif Terbuka.