Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

Dalam rangka mewujudkan iklim penanaman modal yang berdaya saing global tersebut, Pemerintah bersama-sama dengan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), yang memperbaharui peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal sebelumnya. Tujuan dibentuknya UUPM adalah untuk dapat mengakomodir berbagai kepentingan yang ada di masyarakat, dan bertindak lebih adil kepada semua golongan penanam modal tanpa mengorbankan kepentingan nasional . Selain itu, UUPM diundangkan pada masa Indonesia sedang berada di tengah semangat otonomi daerah yang memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan penanaman modal yang harus didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal. Pemerintah menyadari bahwa tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai bila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui: perbaikan koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum dibidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, iklim usaha yang kondusif dibidang ketenaga kerjaan dan keamanan berusaha. Oleh karena itu, pemerintah bersama dengan DPR membentuk UUPM untuk mengantisipasi hal-hal tersebut.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final Dan Mengikat Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Berdasarkan Putusan MK Nomor 21,22/PUU-V/2007, terhadap norma pasal 22 UU Penanaman Modal menimbulkan keadaan hukum baru. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pasca Putusan MK menjadi berketentuan: (1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal. (2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. (3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. (4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Sebagai akibat dinyatakan inkonstitusionalnya sebagian ketentuan tersebut, maka, terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal, ketentuan yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui dapat dihentikan atau dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Sebagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan ini, Selasa 25 Maret 2007 mengenai review Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 menyatakan bahwa sebagian ketentuan pasal tersebut tentang Penanaman Modal (UU PM) bertentangan dengan konstitusi. Hal ini disampaikan dalam sidang pengucapan putusan perkara 21-22/PUU-V/2Q07. Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Menurut MK bagian dari Pasal 22 UU PM yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945, yaitu Pasal 22 ayat (1) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" Selain itu, Pasal 22 ayat (2) sepanjang menyangkut kata-kata "di muka sekaligus" dan Pasal 22 ayat (4) sepanjang menyangkut kata-kata "sekaligus di muka" juga dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU Penanaman Modal dengan status perubahan undang-undang. 2. Untuk menyesuaikan dengan Putusan MK, sebaiknya Pasal 22 UU Penanaman modal direformulasi diusulkan perubahan rumusan yang berketentuan sebagai berikut: (1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal. (2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. (3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. (4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. 3. Rencana RUU perubahan UU Penanaman Modal ini telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019. Untuk itu sebaiknya DPR bersama Pemerintah menindaklanjuti rancangan perubahan tersebut termasuk muatan Putusan MK tersebut kedalam RUU tentang perubahan UU Penanaman Modal, dan menjadikan RUU tersebut kedalam prioritas Tahunan untuk dibahas bersama-sama agar terjamin kepastian hukum, dan praktik penanaman modal yang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

UU 28/2009 ini mempunyai tujuan untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah, serta memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.

Adapun permasalahan dalam evaluasi atas pengujian UU 28/2009 terhadap UUD Tahun 1945 yaitu: 1. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari dari dikabulkannya permohonan pengujian beberapa pasal UU 28/2009 terhadap UUD Tahun 1945? 2. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal atau ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final dan Mengikat Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut.

Hukum yang dijelmakan dalam sebuah produk legislasi dianggap sebagai implementasi kesadaran hukum. Hukum ditaati karena manusia memiliki akal untuk memikirkan mengenai hukum dan konsekwensinya. Menurut Hugo Krabbe, bahwa hukum berasal dari perasaan hukum yang ada pada sebagian besar dari anggota masyarakat oleh karenanya negara seharusnya negara hukum (rechtsstaat). Tiap tindakan negara harus dapat dipertanggung jawabkan dalam hukum. Konsepsi negara hukum itu menjadi cita-cita kenegaraan pada zaman modern. Dalam konteks penelitian ini, Putusan MK yang dalam hal ini putusan dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan MK dalam proses pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah merupakan pernyataan pengadilan yang mengakhiri dan menyelesaikan perselisihan yang diajukan tentang penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam Undang-Undang Dasar yang dikonkretisasi dalam ketentuan undang-undang sebagai pelaksanaan tujuan bernegara yang diperintahkan konstitusi. Dengan demikian putusan MK merupakan penyelesaian sengketa yang lebih merupakan kepentingan umum meskipun diajukan oleh perseorangan. Mengenai sifat final putusan MK ini ditegaskan pada Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945. Dengan ketentuan-ketentuan tersebut maka, Putusan MK bersifat final yang berarti (1) secara langsung memperoleh kekuatan hukum, (2) karena telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka putusan MK memiliki akibat hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan. Hal ini karena putusan MK berbeda dengan putusan peradilan umum yang hanya mengikat para pihak berperkara (interparties). Semua pihak wajib mematuhi dan melaksanakan putusan MK, (3) karena merupakan pengadilan pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habeteur). Tegasnya, putusan MK yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dengan serta merta memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Dalam Putusan MK terkait dengan pengujian undang-undang, manakala MK memutus suatu UU bertentangan dengan UUD dan menyatakannya memiliki kekuatan mengikat maka putusan tersebut UU tidak hanya mengikat pihak yang mengajukan perkara (inter partes) di MK, melainkan juga mengikat juga semua warga negara seperti halnya UU mengikat secara umum bagi semua warga negara. Dalam perkara pengujian UU misalnya, yang diuji adalah norma UU yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Meskipun dasar permohonan pengujian adalah hak konstitusional pemohon yang dirugikan, namun tindakan tersebut pada dasarnya adalah mewakili kepentingan hukum seluruh masyarakat, yaitu tegaknya konstitusi. Oleh karena itu, yang terikat oleh putusan MK tidak hanya dan tidak harus selalu pembentuk UU, tetapi semua pihak yang terkait dengan ketentuan yang diputus oleh MK. Atas dasar itulah, maka putusan MK bersifat erga omnes. Hal tersebut membawa implikasi atau akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu undang-undang yaitu bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut mengikat seluruh warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara. 1. Kewajiban Menaati Putusan MK Hukum memiliki karakter mengatur kepentingan yang bersifat relasional antar manusia. Tujuannya untuk mencapai dan melindungi kepentingan bersama. Kepentingan yang sifatnya relasional antara manusia ini akan menimbulkan permasalahan dan konflik apabila diserahkan kepada kaidah yang sifatnya subyektif. Keinginan individu dan kelompok yang akan menonjol. Mengabaikan kepentingan dan tujuan bersama. Oleh karena itu, kaidah hukum harus dijaga agar mendapatkan kepercayaan sebagai pengatur kepentingan bersama. Oleh karena itu, agar hukum mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka hukum dibuat untuk ditaati. Ketaatan terhadap hukum akan mengimplikasikan terjadinya ketertiban dalam masyarakat, dan sebaliknya ketidaktaatan terhadap hukum akan mengakibatkan kekacauan. Ketaatan hukum tidak lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidaksadaran hukum yang baik adalah ketidak taatan. Pernyataan ketaatan hukum harus disandingkan sebagai sebab dan akibat dari kesadaran dan ketaatan hukum. Pada kenyataannya, ketaatan terhadap hukum tidaklah sama dengan ketaatan sosial lainnya, ketaatan hukum merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan akan timbul sanksi, tidaklah demikian dengan ketaatan sosial, ketaatan sosial manakala tidak dilaksanakan atau dilakukan maka sanksi-sanksi sosial yang berlaku pada masyarakat inilah menjadi hakim. Tidaklah berlebihan bila ketaatan di dalam hukum cenderung dipaksakan. Ketaatan sendiri dapat dibedakan dalam tiga jenis, mengutip H.C Kelman (1966) dan L. Pospisil (1971) dalam buku “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Achmad Ali mengutarakan: (1) Ketaatan yang bersifat compliance, dan (2) Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak lain menjadi rusak; serta (3) Ketaatan yang bersifat internalization, yaitu jika seseorang menaati suatu aturan, benar-benar karena merasa bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya. Dalam kaitan dengan kewajiban menaati Putusan MK, maka perlu dikemukakan pendapat Jutta Limbach mengenai 3 (tiga) ciri utama yang menandai prinsip supremasi konstitusi, yaitu: (1) Pembedaan antara norma hukum konstitusi dan norma hukum yang lainnya; (2) Terikatnya pembuat undang-undang oleh undang-undang dasar; dan (3) Adanya satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji konstitusionalitas tindakan hukum Pemerintah atau pembentuk undang-undang. Sebagai the supreme law of the land bagi negara dan bangsa Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 haruslah dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh elemen negara bangsa ini, baik penyelenggara negara maupun warga negara dalam menunaikan tugas masing-masing. Dalam posisi semacam itu pula, konstitusi haruslah dapat ditegakkan dan difungsikan sebagai rujukan dalam menemukan solusi untuk menyelesaikan problem-problem kenegaraan dan kebangsaan yang timbul. Dalam hal ini, termasuk dalam upaya membangun kesetiaan terhadap konstitusi adalah ketaatan terhadap putusan MK karena setiap putusan MK merupakan cerminan dari konstitusi yang sedang berlangsung. Gejala ketidaktaatan terhadap putusan MK mulai marak. Meskipun belum terbukti benar, gejala tersebut misalnya tampak dari adanya kehendak pembuat undang-undang untuk memasukkan kembali pasal-pasal yang sebelumnya telah dibatalkan MK. 2. Model Implementasi Putusan MK Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa sifat dari amar putusan MK memiliki sifat declaratoir, condemnatoir, dan constitutif. Suatu putusan dikatakan condemnatoir kalau putusan tersebut berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk melakukan satu prestasi (tot het verrichten van een prestatie). Akibat dari putusan condemnatoir ialah diberikannya hak kepada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan eksekutorial terhadap penggugat/termohon. Sifat putusan condemnatoir ini dapat dilihat dalam putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara. Sedangkan putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan permohonan atau gugatan ditolak merupakan satu putusan yang bersifat declaratoir. Putusan yang bersifat declaratoir dalam pengujian undang-undang oleh MK nampak jelas dalam amar putusannya. Tetapi setiap putusan yang bersifat declaratoir khususnya yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief. Putusan constitutief adalah putusan yang menyatakan satu keadaan hukum atau menciptakan satu keadaan hukum baru. Menyatakan suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945 adalah meniadakan keadaan hukum yang timbul karena undang-undang yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MK dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan MK meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Dengan kata lain, putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. Dalam kenyataanya, hakim MK dengan putusan tersebut, sesungguhnya diberikan kekuasaan membentuk hukum untuk menggantikan hukum yang lama, yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan oleh konstitusi secara khusus diberi wewenang untuk itu. Putusan MK sebagai jenis putusan pengadilan yang bersifat deklaratif-konstitutif tidak memerlukan pelaksana/eksekutor, karena dengan diucapkannya putusan tersebut dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum secara langsung sudah memperoleh kekuatan mengikat terhadap semua pihak yang terkait. Hal ini membawa keharusan bagi addresat putusan MK untuk membentuk norma hukum baru yang bersesuaian dengan UUD Tahun 1945 ataupun meniadakan satu norma hukum yang lama dalam ketentuan undang-undang yang diuji. Menurut Maruarar Siahaan, terdapat putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang yang bersifat self-implementing dan non-self implementing. Putusan yang bersifat self implementing diartikan bahwa putusan akan langsung efektif berlaku tanpa memerlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan berupa langkah-langkah implementasi perubahan undang-undang yang diuji. Dalam hal ini, dengan diumumkannya putusan MK dalam sidang terbuka untuk umum dan diumumkan dalam Berita Negara sebagaimana norma hukum baru, dapat segera dilaksanakan. Sementara, ada putusan MK yang bersifat non-self implementing, karena implementasi kebijakan publik yang baru tersebut membutuhkan dasar hukum yang baru sebagai dasar pelaksanaan kebijakan publik yang ditetapkan dalam putusan MK. Perubahan hukum yang terjadi dengan putusan atas undang-undang yang diuji MK yang mengharuskan proses pembentukan undang-undang yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam Putusan MK, dalam putusan yang bersifat non-self implementing, akan mengambil langkah-langkah hukum untuk menindaklanjuti putusan MK. Putusan yang bersifat non-self implementing tidak selalu mudah untuk diimplementasikan. Putusan MK yang telah membentuk hukum atau instrument hukum baru dengan menyatakan satu undang-undang, pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak didukung dengan suatu instrumen yang dapat memaksakan bahwa putusan tersebut harus dilaksanakan, baik melalui kekuatannya sendiri maupun dengan cara-cara lain yang berada di bawah kendali MK. Pada intinya, perlu dikemukakan mengenai substansi ketiga Putusan MK terhadap UU 28/2009, yaitu: a) Inkonstitusionalitas kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g UU 28/2009; b) Inkonstitusionalitas Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009; dan c) Inkonstitusionalitas Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU 28/2009. Ketiga substansi Putusan MK diatas memberikan implikasi yang paling jelas dan tidak terhindarkan adalah hapusnya dasar hukum bagi: (1) pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan; (2) perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi dengan tarif maksimal 2% dari NJOP; dan (3) pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat. Sebagaimana halnya Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang, maka pertama, Putusan MK bersifat declaratoir constitutief, yaitu meniadakan satu keadaan hukum lama atau membentuk hukum baru sebagai negative-legislator. Dengan kata lain, putusan MK tersebut mengandung pengertian hapusnya hukum yang lama dan sekaligus membentuk hukum yang baru. Hal ini membawa keharusan bagi addresat putusan MK untuk membentuk norma hukum baru yang bersesuaian dengan putusan MK. Kedua, Putusan MK bersifat final dan mengikat dan langsung memperoleh kekuatan mengikat terhadap semua pihak yang terkait sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum. Putusan MK merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir, maka tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Oleh karena itu, dengan dibacakan suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka putusan MK memiliki implikasi hukum bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan tersebut. Merujuk pada ketentuan normatif-imperatif tersebut, ketiga Putusan MK tersebut menjadikan: kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g; Penjelasan Pasal 124; Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU 28/2009 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Putusan tersebut diucapkan. Dengan demikian, sejak saat itu pula, semua, peraturan perundangan, kebijakan program dan kegiatan yang terkait dengan pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan; (2) perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi dengan tarif maksimal 2% dari NJOP; dan (3) pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat, dengan serta merta kehilangan dasar hukumnya. Konsekuensinya, pemungutan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf; pemungutan retribusi pegendalian menara telekomunikasi dengan perhitungan tarif maksimal 2% dari NJOP; dan pemungutan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat harus dihentikan, tanpa dalih dan alasan apapun. Manakala masih dijumpai pemungutan tersebut masih dilakukan, dapat dipastikan tindakan tersebut merupakan tindakan yang melawan putusan pengadilan, dalam hal ini putusan MK. Atas dasar itu pula, Putusan MK mengimplikasikan kewajiban pembentuk peraturan perundang-undangan untuk membuat peraturan perundang-undangan atau kebijakan baru sebagai tindak lanjut putusan MK. Khusus bagi Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan untuk membuat kebijakan baru sebagai tindak lanjut Putusan MK, termasuk melakukan tindakan hukum mencabut atau merevisi segala jenis peraturan di bawah Undang-Undang yang merupakan peraturan pelaksana teknis dalam pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia, untuk disesuaikan dengan substansi Putusan MK. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf d jo Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga menyatakan bahwa DPR dan Pemerintah perlu menindaklanjuti putusan mahkamah konstitusi dalam daftar kumulatif terbuka program legislasi nasional dan bersama-sama mengatur kembali materi muatan Undang-Undang tersebut guna untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum yang diakibatkan dari pembatalan norma pasal dalam suatu Undang-Undang. Kekosongan hukum ini merupakan akibat dari Putusan MK Nomor 46/PUU-XII/2014 yang memberikan implikasi terhadap tidak adanya dasar perhitungan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi, serta Putusan MK Nomor 15/PUU-XV/2017 yang memberikan implikasi terhadap tidak dapat dikenakannya pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat meskipun MK berpandangan bahwa alat berat masih dapat dikenakan pajak namun bukan menjadi objek pajak kendaraan bermotor lagi. Kedua Putusan ini menjadi bersifat non-self implementing, dikarenakan dalam hal memberikan formulasi/rumus perhitungan yang tepat terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi dan pengenaan pajak terhadap alat berat haruslah diatur dalam peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang sebagai dasar hukum pelaksanaan pemungutannya. Dengan adanya kekosongan hukum ini mengharuskan segera dilakukannya proses pembentukan undang-undang yang baru sesuai dengan politik hukum yang digariskan dalam Putusan MK. Oleh karena itu, pembentuk Undang-Undang untuk segera mengatur kembali materi muatan UU 28/2009 baik itu melalui perubahan atau penggantian UU 28/2009 sehingga terdapat kejelasan dasar hukum dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah di Indonesia. Terhadap perubahan/penggantian UU 28/2009, paling sedikit terdapat 3 (tiga) materi muatan yang perlu diatur ulang, yaitu: a. Menghapus pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan; b. Memberikan formulasi/rumus perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi yang lebih tepat dan adil dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan; dan c. Menghapus pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat, dan apabila alat berat “perlu” dikenakan pajak maka diberikan pengaturan terhadap pengenaan pajak alat berat secara tersendiri.

Adapun simpulan dari analisis dan evaluasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017 terhadap UU 28/2009 adalah sebagai berikut: 1. Golf merupakan salah satu jenis olahraga yang dikenakan pajak hiburan terhadapnya, bukan karena sifat menghiburnya karena semua olahraga pada dasarnya menghibur siapapun yang menonton, namun lebih hanya karena menyesuaikan dengan kemampuan membayar dari subjek pajak hiburan (dalam hal ini pelaku olahraga golf). Selain itu terhadap penyelenggaraan fasilitas olahraga golf juga telah terjadi pengenaan pajak ganda karena disatu sisi penyelenggaraan golf merupakan objek PPN dan di sisi lain juga merupakan objek Pajak Hiburan. Dengan pertimbangan hukum ini maka Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata “golf” dalam Pasal 42 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, dalam Putusan Nomor 52/PUU-IX/2011. Putusan ini memberikan akibat hukum tidak dapat diberlakukan lagi pemungutan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggara olahraga golf terhitung sejak Putusan Mahkamah Konstitusi ini dibacakan. Mengingat bahwa pajak hiburan merupakan pajak daerah yang kewenangan memungutnya diberikan kepada daerah kabupaten/kota dan mekanisme pemungutan diatur melalui peraturan daerah maka terdapat implikasi hukum terhadap peraturan daerah yang menyatakan golf sebagai objek pajak hiburan haruslah direvisi atau dibatalkan berdasarkan Putusan ini. 2. Penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi maksimal 2% dari NJOP dalam Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 menyebabkan pemerintah daerah mematok harga tertinggi yaitu 2% dari NJOP tanpa perhitungan yang jelas mengingat setiap daerah dengan karakteristik yang sesungguhnya berbeda. Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 ini juga membuat ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 124 UU 28/2009, karena sebagian besar pemerintah daerah justru mematok tarif 2% dari NJOP tanpa menghitung dengan jelas berapa sesungguhnya tarif retribusi yang layak dikenakan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut dan oleh karenanya Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 ini tidak bersesuaian dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Mahkamah menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 124 UU 28/2009 bertentangan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014. Putusan ini memberikan akibat hukum meniadakan hukum terkait dengan dasar perhitungan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi, dan oleh karenanya Pemerintah harus membuat formulasi/rumus perhitungan yang jelas terhadap tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi yang sesuai dengan layanan dan pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi yang telah diterima oleh wajib retribusi, juga dengan memperhatikan biaya penyedia jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut, sehingga tujuan pengendalian menara telekomunikasi untuk minimalisasi eksternalitas negatif dapat tercapai. Akibat hukum ini memberikan implikasi hukum terhadap legalitas Peraturan Daerah yang mengatur penetapan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi menjadi hilang dan oleh karenanya perlu dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan. 3. Terhadap definisi alat berat bukan merupakan kendaraan bermotor sudah diputuskan sebelumnya melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang menyatakan alat berat bukan kendaraan bermotor dengan membatalkan norma hukum yang ada dalam Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e UU LLAJ. Putusan MK ini bersifat erga omnes yang menyebabkan putusan MK memiliki derajat setara dengan Undang-Undang, maka norma hukum baru yang lahir dari putusan itu adalah berlaku umum sehingga norma undang-undang lain yang mengandung materi muatan yang sama dengan norma Undang-Undang yang oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 harus mengacu pada putusan MK dimaksud. Oleh karena itu maka pengenaan pajak terhadap alat berat sebagai kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13, pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) UU 28/2009 menjadi kehilangan landasannya. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut maka Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”, Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan UUD Tahun 1945, dalam Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017. Putusan ini memberikan akibat hukum meniadakan dasar hukum pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat, oleh karena telah diputuskan bahwa alat berat bukan objek kendaraan bermotor dan oleh karenanya juga bukan merupakan objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), sehingga para pemilik alat berat tidak bisa ditagihkan PKB dan BBNKB. Implikasi hukum yang terjadi atas akibat hukum ini adalah legalitas Peraturan Daerah yang mengatur pengenaan pajak kendaraan bermotor terhadap alat berat menjadi hilang dan oleh karenanya perlu dilakukan pembatalan atau revisi/perubahan. Hal ini menjadi penting untuk segera ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Selain itu, dalam pandangannya Mahkamah juga menegaskan bahwa terhadap alat berat tetap dapat dikenakan pajak namun dasar hukum pengenaan pajak terhadap alat berat itu bukan karena alat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, berarti dibutuhkan dasar hukum baru dalam peraturan perundang-undangan untuk mengenakan pajak terhadap alat berat yang antara lain dapat dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap UU 28/2009 sepanjang berkenaan dengan pengaturan pengenaan pajak terhadap alat berat. 4. Terhadap ketiga putusan MK tersebut diatas perlu ditindaklanjuti pembentuk undang-undang dengan melakukan perubahan/penggantian UU 28/2009, dengan (paling sedikit) 3 (tiga) materi muatan yang perlu diatur ulang, yaitu: a. Menghapus pengenaan pajak hiburan terhadap objek pajak penyelenggaraan golf sebagai objek pajak hiburan; b. Memberikan formulasi/rumus perhitungan tarif Retribusi Pegendalian Menara Telekomunikasi yang lebih tepat dan adil dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan; dan c. Menghapus pengenaan pajak kendaran bermotor terhadap objek pajak alat berat, dan apabila alat berat “perlu” dikenakan pajak maka diberikan pengaturan terhadap pengenaan pajak alat berat secara tersendiri.

1. Pembentuk undang-undang perlu untuk segera menindaklanjuti pengaturan materi muatan UU 28/2009 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 15/PUU-XV/2017. 2. Pengaturan kembali materi muatan UU 28/2009 ini dapat dilakukan melalui penempatan penyusunan perubahan atau penggantian UU 28/2009 dalam Program Legislasi Nasional sebagai daftar kumulatif terbuka maupun skala prioritas tahunan.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum

Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) secara tegas menyatakan bahwa “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”. Hal ini sejalan dengan kewenangan yang diberikan konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) yakni “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Adapun untuk dapat menguji suatu undang-undang terhadap konstitusi atau UUD Tahun 1945, seseorang tersebut harus dapat haruslah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan perkara konstitusi terkait kerugian konstitusionalnya atas keberlakukan undang-undang tersebut. Adapun terkait dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1911 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU No. 15 Tahun 2011, terdapat 8 (delapan) Putusan/Ketetapan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menguji UU No. 15 Tahun 2011. Putusan/Ketetapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pkr.No.80/PUU-IX/2011; 2. Pkr.No.81/PUU-IX/2011; 3. Pkr.No.10/PUU-XI/2013; 4. Pkr.No.74/PUU-XI/2013; 5. Pkr.No.31/PUU-XI/2013; 6. Pkr.No.48/PUU-XIV/2016; 7. Pkr.No.65/PUU-XIV/2016; dan 8. Pkr.No.90/PUU-XIV/2016. Sebagian besar permohonan tersebut tidak dikabulkan (kecuali 3 perkara pengujian) yakni Pkr.No.80/PUU-IX/2011, Pkr.No.81/PUU-IX/2011, dan Pkr.No.31/PUU-XI/2013, dengan variasi amar putusan berupa: 1 (satu) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, 1 (satu) Putusan menyatakan bahwa pasal-pasal yang diajukan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menyatakan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), serta 1 (satu) Putusan tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Terkait dengan wewenang melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang secara umum disebut judicial review, bahwa pengertian judicial review dipahami baik secara umum maupun praktik di MK. Dalam praktik peradilan umum di Indonesia judicial review mencakup pemeriksaan tingkat banding, kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Sedangkan pemahaman terhadap proses pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 disebut sebagai constitutional review. Dikaitkan dengan program legislasi nasional (Prolegnas), Mahfud MD menyebutkan bahwa judicial review dapat dilakukan oleh MK untuk menjamin konsistensi Undang-Undang terhadap UUD Tahun 1945 serta menjamin ketepatan prosedur sesuai dengan Prolegnas. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final Dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi dengan amar yang menyatakan bagian undang-undang, pasal, atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka putusan tersebut telah mempunyai kekuatan mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Makna final juga dapat diartikan bahwa putusan yang diambil dapat menjadi solusi terhadap masalah konstitusi yang dihadapi meskipun hanya bersifat sementara (eenmalig) yang kemudian akan diambil-alih oleh pembuat undang-undang. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang.

-

Pada konteks pengujian terhadap UU No. 15 Tahun 2011, sampai saat ini, terdapat 3 (tiga) putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang dengan menyatakan materi atau substansi UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pada dasarnya Putusan yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang ini perlu diformalkan dalam bentuk undang-undang karena implikasi amar Putusan MK tersebut. Meski putusan Mahkamah Konstitusi bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu perubahan undang-undang, namun untuk menghindari kekacauan hukum dalam masyarakat akibat tidak terkompilasinya putusan MK dalam satu naskah yang utuh maka pembentuk undang-undang perlu untuk menindaklanjuti berbagai putusan MK tersebut dengan membuat usulan perubahan atas UU No. 15 Tahun 2011 sebagaimana telah diputuskan oleh MK. Selain menyatakan materi atau substansi UU No. 15 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan suatu norma bersifat conditionally, yakni conditionally unconstitutional dan tidak ditemukan yang bersifat conditionally constitutional.

Memperhatikan beberapa simpulan di atas maka terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu: 1. Presiden dan DPR RI sebagai pembentuk undang-undang perlu segera berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan terhadap materi UU No. 15 Tahun 2011 sesuai dengan amar putusan MK dalam 3 (tiga) perkara MK terkait UU No. 15 Tahun 2011 yang amar putusannya mengabulkan permohonan Pemohon tersebut. 2. Adapun pada saat ini adalah saat yang paling tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa pada saat ini sedang dilakukan pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu. RUU ini sejatinya telah dimuat dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2016, yaitu pada nomor 26 dengan judul RUU Kitab Hukum Pemilu (dalam Prolegnas Tahun 2015-2019 tertulis RUU tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum). Dalam kolom keterangan, draft dan RUU Kitab Hukum Pemilu disiapkan oleh Pemerintah. RUU Kitab Hukum Pemilu adalah satu gagasan untuk mengkodifikasi/mengompilasikan berbagai UU yang terkait dengan Pemilu ke dalam satu naskah. Penyatuan UU Pemilu kedalam satu naskah bersama ini pun didasari atas Putusan MK No 14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu DPR, DPD, dan DPRD padat tahun 2019 dilaksanakan secara serentak (Pemilu serentak tahun 2019). Hal inilah yang kemudian mendasari dorongan bahwa jika waktu penyelenggaraan pemilu disederhanakan menjadi dua peristiwa pemilu, maka undang-undangnya juga harus disederhanakan (dikodifikasikan). Oleh karena itu, hal ini adalah momentum yang sangat tepat untuk mengeksekusi ketiga putusan MK tersebut karena UU No. 15 Tahun 2011 yang dikoreksi MK melalui 3 putusan MK tersebut termasuk UU yang dilebur dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu ini. Hal ini adalah yang paling tepat karena negara kita adalah negara yang menganut sistem civil law yang menitikberatkan pada pengaturan yang bersifat tertulis dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perlu implikasi perubahan makna yang timbul dari ketiga putusan MK ini untuk dieksekusi segera.

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) telah dilakukan beberapa kali. Dari beberapa kali pengujian tersebut Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan beberapa permohonan para pemohon dalam beberapa perkara baik seluruhnya maupun sebagian, yakni dalam perkara dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004, No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015. Pasal- pasal yang diuji antara lain Pasal 4 ayat (1) dan dayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 terhadap UUD Tahun 1945. Adapun kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon dalam dalam perkara nomor 06/PUU-II/2004 yang menguji Pasal 31 UU Advokat yakni bahwa dengan berlakunya Pasal a quo, para pemohon telah kehilangan hak konstitusionalnya sebagai LBH dalam memberikan bantuan hukum diluar kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum khususnya masyarakat yang kurang mampu. Kemudian Kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon dalam perkara nomor 101/PUU-VII/2009 adalah karena para pemohon yang merupakan calon advokat merasa hak konstitusional dirugikan akibat pengambilan sumpah yang dilakukan oleh pengadilan tinggi yang hanya dilakukan untuk organisasi advokat tertentu. Kerugian konstitusional dalam perkara nomor 26/PUU-XI/2013 yakni bahwa para pemohon merasa hak konstitusional dirugikan oleh Pasal a quo karena para pemohon sebagai advokat merasa hak imunitas nya untuk membela klien diluar sidang tidak dilindungi dengan berlakunya pasal a quo. Dan yang terakhir, kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon dalam perkara nomor 112/PUU-XII/2014 dan perkara nomor 36/PUU-XIII/2015 yaitu bahwa hak konstitusional para pemohon sebagai calon advokat telah dirugikan karena pengambilan sumpah oleh pengadilan tinggi hanya dapat dilakukan pada organisasi advokat tertentu. Selain itu belum terbentuknya wadah tunggal organisasi advokat dalam jangka waktu 2 tahun sebagaimana diputuskan dalam perkara nomor 06/PUU-II/2004 menjadi penyebab kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon. Adapun Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Pasal 31 UU Advokat dalam perkara 06/PUU-II/2004 adalah mengabulkan permohonan para pemohon. Kemudian putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Pasal 4 ayat (1) dalam perkara nomor 101/PUU-VII/2009, Pasal 16 dalam perkara nomor 26/PUU-XI/2013, dan Pasal 4 ayat (1) dalam perkara nomor 112/PUU-XII/2014 dan perkara nomor 36/PUU-XIII/2015, MAHKAMAH KONSTITUSI memutuskan conditionally unconstitusional atau tidak konstitusional secara bersyarat. Sementara itu implikasi yang timbul terhadap putusan Mahkamah Konstitusi diatas, bahwa implikasi yuridis dengan dibatalkannya Pasal 31 UU Advokat tersebut, maka setiap tindakan advokasi atau pemberian jasa hukum dapat dilakukan oleh lembaga bantuan hukum dan sejenisnya, dan seseorang atau lembaga yang memberikan informasi, konsultasi hukum kepada pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan demikian tidak dapat dipidana berdasarkan pasal a quo. Dengan diputuskan secara bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat, maka terdapat implikasi yuridis terhadap berlakunya pasal a quo, yaitu pertama, bahwa pengadilan wajib melakukan sumpah terhadap calon advokat selama memenuhi syarat pengangkatan sesuai aturan yang ada di dalam UU Advokat tanpa mengaitkan keanggotaan organisasi advokat. Kedua, dengan adanya putusan conditionally constitutional terhadap pasal a quo tersebut, maka hakim baik dipengadilan negeri mapun pengadilan tinggi dapat menyimpangi Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009. Dengan diputus secara bersyaratnya terhadap pengujian Pasal 16 UU Advokatimplikasi yuridis, yaitu bahwa pemberi bantuan hukum baik yang berprofesi sebagai advokat maupun bukan advokat (lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Selain itu implikasi yuridis yang juga timbul akibat diputus secara bersyaratnya Pasal 4 ayat (1), pertama, tetap mewajibkan pengadilan tinggi untuk melakukan sumpah terhadap calon advokat tanpa melihat keterkaitan keanggotaan organisasi secara de facto yang ada saat ini yaitu KAI dan Peradi. Kedua, dengan dihilangkannya jangka waktu 2 Tahun untuk membentuk organisasi advokat, maka putusan ini tetap terus berlaku sehingga tidak perlu dilakukan pengujian ulang kembali. Dengan Dikabulkannya Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat dalam 5 permohonan perkara di Mahkamah Konstitusi telah menciptakan keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat intinya terkait dengan kewajiban bagi Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat. Kemudian, Pasal 16 terkait dengan perlindungan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Dan terakhir terkait pengujian Pasal 31, keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian pasal a quo bahwa setiap orang atau lembaga yang memberikan bantuan pemberian informasi dan bantuan konsultasi hukum terhadap pihak yang membutuhkan bantuan hukum tidak dapat dipidana. Rekomendasi terhadap pengujian beberapa Pasal dalam UU Advokat yang telah diputus Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dijelaskan diatas antara lain perlu dilakukannya perubahan terhadap UU Advokat yaitu terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, dan Pasal 31 yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Advokat baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas Tahunan.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi? 2. Apa akibat hukum terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai konstitusionalitas /Inkonstitusional bersyarat ? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. KONSTITUSIONALITAS UNDANG-UNDANG Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD Tahun 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu : a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht); Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan. b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat. Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administratif (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara. Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni : a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi. Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945. Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden. Terkait putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004, No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersayarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat. Maka terhadap kedua putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan adalah bentuk pengujian secara materiil berkenanan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat. Dalam hal ini mahkamah menganggap terjadi pertentangan antara norma yang lebih rendah dengan norma yang lebih tinggi, yakni pertentangan antara Pasal 4 ayat (1), Pasal Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945. B. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI FINAL DAN MENGIKAT Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam UUD Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan Mahkamah Konstitusi harus bertindak sebagai penafsir karena Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD Tahun 1945. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman). Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan UU Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht). Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu: a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi , proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis. Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD. b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum; Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14 Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan adtribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan. c. Membangun sebuah penegakkan hokum Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law). d. Perekayasa Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat ( final dan banding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa. Terkait putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004 , No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon adalah berlaku final dan mengikat. Artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Selain itu, maka sejak diucapkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekutorial. C. AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD Tahun 1945 maupun undang-undang. Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: 1. Kekuatan mengikat Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia. Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang. 2. Kekuatan pembuktian Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan. 3. Kekuatan eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 UU Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut. Terkait putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 06/PUU-II/2004 , No. 101/PUU-VII/2009, No.26/PUU-XI/2013 No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 16, dan Pasal 31 UU Advokat terhadap UUD Tahun 1945, majelis mengabulkan permohonan Pemohon baik secara bersyarat maupun tidak bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 dan Pasal 31 UU Advokat, maka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut yang pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon memiliki akibat hukum bahwa putusan mahkamah konstitusi tersebut meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan tertentu. Dengan kata lain bahwa putusan tersebut akan membawa akibat tertentu yang mempengaruhi satu keadaan hukum atau hak dan/atau kewenangan tertentu, dalam hal ini adalah terkait pelaksanaan tugas profesi advokat dan pengambilan sumpah calon advokat.

Pengujian undang-undang yang dilakukan oleh suatu peradilan pada dasarnya akan berakhir dalam suatu putusan yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD. Jika satu amar putusan menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau ayat bagian undang-undang bahkan undang-undang secara keseluruhan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan demikian mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu undang-undang dinyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi. Putusan yang demikian sudah barang tentu memiliki implikasi hukum yang luas. Selain memberi kemanfaatan pada para pencari keadilan, seringkali putusan tersebut dinilai berpotensi menyebabkan terjadinya kekosongan hukum (legal vacuum), kekacauan hukum (legal disorder), bahkan politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang. Karena itu menurut Maruarar Siahaan, dibutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tindak lanjut dari pembatalan pemberlakukan suatu ketentuan tersebut. Persoalan yang selalu dikaitkan dengan sulitnya implementasi eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi adalah sifat putusannya yang final, dengan kata mengikat (binding). Karena, putusan Mahkamah Konstitusi mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan undang-undang yang telah diputus harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam undang-undang adalah satu kesatuan sistem, ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Dalam hal ini, ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Tatkala suatu putusan akan langsung efektif berlaku tanpa diperlukan tindak lanjut lebih jauh dalam bentuk kebutuhan implementasi perubahan undang-undang yang diuji, maka putusan ini dapat dikatakan berlaku secara self-executing. Dalam artian, putusan itu terlaksana dengan sendirinya. Ini terjadi karena norma yang dinegasikan tersebut mempunyai ciri-ciri tertentu yang sedemikian rupa dapat diperlakukan secara otomatis tanpa perubahan atau perubahan undang-undang yang memuat norma yang diuji dan dinegasikan tersebut, ataupun tanpa memerlukan tindak lanjut dalam bentuk perubanan undang-undang yang diuji tersebut. Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/implementing dapat ditelusuri dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Implementasi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya. Implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku dan model putusan yang merumuskan norma baru bersifat langsung dapat dieksekusi (self executing/self implementing), sedangkan baik model putusan konstitusional bersyarat maupun model putusan inkonstitusional bersyarat tidak dapat secara langsung dieksekusi (non-self executing/implementing). Pengujian beberapa pasal di dalam UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya, telah mengimplementasikan beberapa model putusan, ada yang membatalkan atau mengabulkan yang bersifat langsung dapat di eksekusi maupun yang tidak dapat langsung di eksekusi atau diputus secara bersyarat, sehingga membutuhkan tindak lanjut terhadap putusan tersebut. Terhadap pengujian beberapa pasal tersebut, perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi guna melihat keadaan hukum baru ataupun kekosongan hukum yang mungkin terjadi akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Adapun keadaan hukum baru yang terjadi akibat pengujian beberapa pasal dalam UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan diatas. Secara garis besar ada 3 Pasal yang dikabulkan dari sejumlah permohonan pengujian terhadap UU Advokat sebagaimana telah dipaparkan diatas, yaitu Pertama, terkait pengujian Pasal 4 ayat (1) dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009 pada intinya mengabulkan permohonan pemohon dimana majelis memutus secara conditionally unconstitutional sepanjang frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) Tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan. Pasal a quo kembali di uji dalam perkara Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015 dan diputus secara conditionally unconstitutional bahwa sepanjang frasa “di sidang terbuka pengadilan tinggi” sepanjang tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI”. Keadaan hukum baru yang terjadi dari diputuskannya secara bersyarat terhadap Pasal 4 ayat (1) adalah bahwa pengadilan wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada saat ini yaitu Peradi dan KAI. Kedua, terkait pengujian Pasal 16 ayat (1) dalam perkara Perkara Nomor 26/PUU-XI/2013 pada intinya mengabulkan permohonan para Pemohon, dimana majelis memutus dengan merumuskan norma baru bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”. Keadaan hukum baru yang terjadi adalah bahwa pemberi bantuan hukum yang berprofesi sebagai advokat yang memberi layanan bantuan hukum) tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Ketiga, terkait pengujian terhadap Pasal 31 UU Advokat dalam perkara Nomor 006/PUU-II/2004 pada intinya mengabulkan permohonan Pemohon agar setiap tindakan advokasi atau pemberian jasa hukum dapat dilakukan oleh lembaga bantuan hukum dan sejenisnya, dan seseorang atau lembaga yang memberikan informasi, konsultasi hukum kepada pihak yang membutuhkan bantuan hukum dengan demikian tidak dapat dipidana berdasarkan pasal a quo. Keadaan hukum baru yang terjadi akibat dibatalkannya Pasal 31 UU Advokat adalah bahwa setiap tindakan advokasi yang dilakukan seseorang dan lembaga bantuan hukum berupa konsultasi hukum dan sejenisnya diluar sidang pengadilan tidak dapat dipidana. Sehingga setiap orang yang bukan berprofesi advokat dapat memberikan jasa hukum di luar pengadilan. Sedangkan kekosongan hukum yang muncul akibat putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara sebagaimana telah dijelaskan diatas adalah kekosongan yang mungkin akan timbul terkait dengan pembentukan organisasi advokat. Bahwa berdasarkan paparan sebelumnya, bahwa telah diajukan beberapa kali pengujian terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat yakni dalam perkara Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Perkara Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Perkara Nomor 36/PUU-XIII/2015 yang pada intinya mempermasalahkan keorganisasian advokat yang sah. Perlu ada penegasan aturan mengenai keorganisasian advokat yang legitimate agar memberikan kepastian hukum. Kemudian perlu adanya penegasan aturan terkait lingkup tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang advokat untuk kepentingan klien baik didalam maupun diluar sidang pengadilan. Hal ini guna memberikan kepastian hukum bagi advokat dalam melaksanakan profesinya.

Dikabulkannya Pasal 4 ayat (1), Pasal 16, Pasal 31 UU Advokat dalam 5 permohonan perkara di Mahkamah Konstitusi telah menciptakan keadaan hukum baru. Keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 4 ayat (1) UU Advokat intinya terkait dengan kewajiban bagi Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat. Kemudian, Pasal 16 terkait dengan perlindungan bahwa Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan. Dan terakhir terkait pengujian Pasal 31, keadaan hukum baru yang tercipta akibat putusan Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian pasal a quo bahwa setiap orang atau lembaga yang memberikan bantuan pemberian informasi dan bantuan konsultasi hukum terhadap pihak yang membutuhkan bantuan hukum tidak dapat dipidana. Dari beberapa putusan diatas ada beberapa putusan yang diputus secara bersyarat, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap rumusan norma yang telah diputus secara bersyarat tersebut dan juga penyesuaian beberapa undang-undang terkait terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini guna lebih memberikan kepastian hukum atas berlakunya norma akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi.

Perlu dilakukan perubahan terhadap UU Advokat yang dituangkan dalam rencana perubahan UU Advokat baik sebagai daftar kumulatif terbuka maupun dalam prolegnas prioritas Tahunan. Adapun perubahan dimaksud adalah terhadap pasal-pasal yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi sebagai berikut: No Perkara Mahkamah Konstitusi Pasal yang dibatalkan Putusan 1 Pkr.No.06/PUU-II/2004 Pasal 31 UU Advokat Pasal 31 “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolaholah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) Tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta)”. Mengabulkan permohonan para pemohon. 2 Pkr.No.101/PUU-VII/2009 Pasal 4 ayat (1) UU Advokat. Pasal 4 ayat (1) “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Pembatalan secara bersyarat 3 Pkr.No.26/PUU-XI/2013 Pasal 16 UU Advokat Pasal 16 “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”. Pembatalan secara bersyarat 4 Pkr.No.112/PUU-XII/2014 dan Pkr. No. 36/PUU-XIII/2015 Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat Pasal 4 ayat (1) “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Pembatalan secara bersyarat

Analisis dan Evaluasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi : Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi, jumlah kerugian negara, maupun bentuk korupsi yang semakin sistematis. Korupsi yang terjadi hingga saat ini mengancam kehidupan bernegara, merugikan perekonomian nasional dan keuangan negara, menurunkan kepercayaan publik terhadap negara, dan berdampak terhadap kemiskinan, keadilan masyarakat, serta dapat merusak budaya jujur bermasyarakat. Dampak tersebut timbul karena tindak pidana korupsi terus mengalami peningkatan dan perkembangan seiring dengan pertumbuhan ekonomi negara. Untuk itu diperlukan konsistensi negara dalam upaya pemberantasan korupsi melalui penegakan hukum. Korupsi telah merusak setiap sendi kehidupan bernegara sehingga kebijakan politik dari negara untuk memberantasnya diwujudkan dengan membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) sebagai lembaga anti-korupsi di Indonesia. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, negara telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Seluruh kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut disebut Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Adapun mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang keanggotaannya diatur dengan undang-undang. Pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (yang selanjutnya disebut UU KPK) merupakan sebuah bentuk respon negara karena lembaga pemerintah yang ada saat ini dianggap belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Melalui undang-undang ini telah lahir lembaga KPK yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Namun demikian, KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Bagaimanapun kondisi pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari berhasil. Masih banyak tercatat perbuatan korup di parlemen, eksekutif, maupun lembaga peradilan. Selama lima belas tahun pembentukan lembaga ini beserta dukungan dari masyarakat Indonesia, bukan merupakan hal yang mudah bagi KPK untuk memberantas tuntas tindak pidana korupsi yang semakin sistemik dan masif. Berdasarkan hasil penelitian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, korupsi di Indonesia masih sulit diberantas oleh karena (1) peraturan perundang-undangan yang belum memadai, (2) lemahnya penegakan hukum, (3) sikap permisif terhadap korupsi, (4) kurangnya keteladanan dan kepemimpinan, (5) sistem penyelenggaraan negara dan pengelolaan dunia usaha tidak/ kurang mengindahkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, dan (6) beragam sebab lain. Peraturan perundang-undangan yang belum memadai sebagaimana yang menjadi hasil penelitian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK dapat terlihat dari banyaknya uji materiil yang diajukan warga negara terhadap UU KPK. Sejak diundangkannya lembaga ini, UU KPK telah 6 (enam) kali permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut dengan MK), diantaranya Putusan Nomor 016/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 31/PUU-X/2012, Putusan Nomor 16/PUU-XII/2014, dan Putusan Nomor 102/PUU-XIII/2015. Namun demikian, hanya 2 (dua) permohonan yang dikabulkan oleh MK baik sebagian maupun seluruhnya. Permohonan tersebut adalah Pasal 53 dalam putusan nomor 016/PUU-IV/2006 dan Pasal 34 dalam putusan nomor 5/PUU-IX/2011. Adapun rinciannya sebagai berikut: a. Putusan Nomor 16/PUU-IV/2006 Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 1 Angka 3, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 11 huruf b, Pasal 12 Ayat (1) huruf a, Pasal 20, Pasal 40, dan Pasal 53 UU tentang KPK terhadap Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1) dan (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Namun hanya Pasal 53 UU KPK yang diterima oleh MK bertentangan dengan konstitusi. Adapun ketentuan dalam Pasal 53 dalam UU KPK menyatakan, “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.” Dalam permohonannya, pemohon pada intinya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya pasal-pasal a quo, karena dengan melekatnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) melanggar prinsip kemandirian dan kemerdekaaan kekuasaan kehakiman serta menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi masyarakat pencari keadilan. Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tipikor merupakan bagian dari pemberantasan tindak pidana korupsi, yang merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan (kekuasaan eksekutif). Padahal berdasarkan UUD 1945, lembaga pengadilan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif), mempunyai fungsi untuk mengadili atau menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain daripada itu dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan KPK berwenang untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Hal tersebut dianggap melanggar hak warga negara atas rasa aman dan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut: Menyatakan permohonan Pemohon II dikabulkan untuk sebagian; Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan; Menyatakan permohonan Pemohon II ditolak untuk selebihnya; Menyatakan permohonan Pemohon I ditolak untuk seluruhnya; Menyatakan permohonan Pemohon III ditolak untuk seluruhnya; Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. b. Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 Pemohon dalam permohonannya menguji materiil Pasal 34 UU KPK terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Adapun ketentuan dalam Pasal 34 dalam UU KPK menyatakan bahwa, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.” Dalam permohonannya, Pemohon mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya Pasal 34 UU KPK terhadap UUD 1945, yaitu Pemohon sebagai warga negara dan badan hukum Indonesia yang cinta terhadap tanah air dan peduli terhadap nasib bangsa memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam pandangan para Pemohon, tafsir masa jabatan pimpinan pengganti selama satu tahun akan menghambat optimalisasi dan efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi dan sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan pimpinan pengganti KPK. Pemohon beranggapan bahwa akibat penafsiran yang keliru oleh DPR-RI terhadap ketentuan Pasal 34 UU KPK telah menyebabkan pimpinan pengganti KPK terpilih, yakni Dr. Busyro Muqoddas, SH. MH, hanya menjabat selama satu tahun. Hal demikian telah mengakibatkan timbulnya ketidakpastian hukum terhadap masa jabatan Pimpinan Pengganti KPK terpilih. Ketidakpastian masa jabatan tersebut juga berdampak pada efektivitas kerja Pimpinan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, bahkan sekaligus berpotensi melemahkan agenda pemberantasan korupsi oleh KPK yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum, MK membuat amar putusan sebagai berikut: (1) Menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; (2) Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan; (3) Menyatakan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatanya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan; (4) Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

1. Bagaimana mengisi kekosongan hukum sebagai implikasi terhadap pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK? 2. Apa akibat hukum terhadap pasal dan ayat suatu UU yang dinyatakan MK sebagai inkonstitusionalitas/inkonstitusionalitas bersyarat? 3. Apakah terjadi disharmoni norma dalam suatu UU jika suatu pasal dan ayat yang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK berimplikasi terhadap norma pasal ayat lain yang tidak diujikan?

A. Konstitusionalitas Undang-Undang Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan MK merupakan wujud prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan pengujian undang-undang menimbulkan sebuah kewenangan yang mutatis mutandis (dengan sendirinya) ada, yaitu kewenangan menafsirkan konstitusi. Apabila dalam konstitusi tidak terdapat ketentuan yang ekplisit mengenai kewenangan menafsir konstitusi kepada lembaga negara yang diberikan kewenangan constitutional review, maka harus dipahami bahwa kewenangan menafsirkan konstitusi menyertai kewenangan constitutional review tersebut. Oleh sebab itu, sering dinyatakan bahwa Constitutional Court itu merupakan “the guardian of constitution and the sole interpreting of constitution”, disebut sebagai penjaga konstitusi berdasarkan kewenangan dalam memutus apakah sebuah produk perundang-undangan telah sesuai dengan konstitusi atau tidak. Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir Pasal 24C UUD 1945 bahwa “MK menguji undang-undang terhadap UUD” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada MK, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan MK untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini MK sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution). Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan wujud dari prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law) yang menjamin bahwa undang-undang yang dibuat oleh pembentuk undang-undang itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Sri Soemantri, dalam praktiknya dikenal adanya dua macam hak menguji yaitu : a. Hak menguji formil (formale toetsingsrecht); Hak menguji formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Dalam pengujian formal ini tampak jelas bahwa yang dinilai atau diuji adalah tatacara (procedur) pembentukan suatu undang-undang, apakah sesuai ataukah tidak dengan yang telah ditentukan/digariskan dalam peraturan perundang-undangan. b. Hak menguji material (materiele toetsingsrecht). Hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu pertauran perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Hak menguji material ini berkenanan dnegan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Jika suatu undang-undang dilihat dari isinya bertentangan dengan undang-undang dasar maka undang-undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai daya mengikat. Menurut pandangan Jimly Asshiddiqqie, dalam praktiknya dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau yang biasa disebut norm control mechanism. Ketiganya sama-sama merupakan bentuk norma hukum sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum yaitu keputusan normative yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling), keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan administrative (beschikking), dan keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement) yang biasa disebut vonis. Mekanisme pengujian norma hukum ini dapat dilakukan dengan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal dengan istilah judicial review. Terdapat beberapa jenis pengujian yaitu legislative review(pengujian tersebut diberikan kepada parlemen), executive review (pengujian tersebut diberikan kepada pemerintah), dan judicial review (pengujian yang diberikan kepada lembaga peradilan). Ketiga bentuk norma hukum ada yang merupakan individual and concret norms, dan ada pula yang merupakan general and abstract norms. Vonis dan beschikking selalu bersifat individualand concrete sedangkan jika yang diuji normanya bersifat umum dan abstrak maka norma yang diuji itu adalah produk regeling. Pengujian norma hukum yang bersifat konkret dan individual termasuk dalam lingkup peradilan tata usaha negara. Dalam pengujian undang-undang, terdapat dua istilah yakni judicial review dan constitutional review. Constitutional review yang dapat diartikan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang pada saat ini menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, judicial review dapat diartikan sebagai pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang yang pada saat ini dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pada dasarnya banyak yang menyamakan istilah judicial review dan constitutional review, padahal kedua istilah ini berbeda. Jika constitutional review maka ukuran pengujiannya dilakukan dengan menggunakan konstitusi sebagai alat ukur, namun jika norma yang diujikan tersebut menggunakan batu ujinya adalah undang-undang maka dapat dikatakan sebagai judicial review. Konsep constitutional review berkembang dari gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokratis yang didasarkan atas ide-ide negara hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights). Dalam constitutional review terdapat dua tugas pokok yakni : a. Untuk menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan perimbangan peran atau interplay antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan perkataan lain constitutional review dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pendayagunaan kekuasaan oleh satu cabang kekuasaan lainnya; dan b. Untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak fundamental warga negara yang dijamin dalam konstitusi. Dengan adanya keberadaan Mahkamah Konstitusi juga telah menciptakan pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang kekuasaan negara yang ada atau lazim disebut dengan mekanisme checks and balances. Hal itu tampak terutama dari salah satu kewenangan yang dilimpahkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Dengan demikian, esensi dari produk putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ditempatkan dalam bingkai mekanisme check and balances antara lembaga negara. Hubungan untuk saling mengontrol ini, pada akhirnya dimaksudkan untuk melahirkan suatu produk hukum yang adil dan betul-betul berorientasi pada kepentingan rakyat. Sehingga, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dapat juga dilihat sebagai bagian dari koreksi terhadap produk yang dihasilkan oleh DPR RI dan Presiden. B. Putusan Mahkamah Konstitusi Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi yang diadopsi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki dua fungsi ideal yaitu MK dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi dan berfungsi untuk menjamin, mendorong, mengarahkan, membimbing, dan memastikan bahwa UUD NRI Tahun 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara agar nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijalankan dengan benar dan bertanggung jawab; dan MK harus bertindak sebagai penafsir karena MK dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi penafsir UUD NRI Tahun 1945. Melalui fungsi ini maka Mahkamah Konstitusi dapat menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya maka Mahkamah Konstitusi diberikan kewenangan untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 29 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dari uraian diatas maka diketahui bahwa sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu final yang artinya bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Konsep ini mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni secara sederhana dan cepat sebagaimana diuraikan dalam penjelasan No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omnes yang diartikan dengan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang‐undangan oleh hakim menyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan peraturan perundang‐undangan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang‐undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang. Secara harfiah, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat memiliki makna hukum tersendiri. Frasa “final” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “terakhir dalam rangkaian pemeriksaan” sedangkan frasa mengikat diartikan sebagai “mengeratkan”, “menyatukan”. Bertolak dari arti harfiah ini maka frasa final dan frasa mengikat, saling terkait sama seperti dua sisi mata uang artinya dari suatu proses pemeriksaan telah memiliki kekuatan mengeratkkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi. Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi artinya telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat (verbindende kracht). Secara Substansial makna hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dibagi dalam beberapa bagian yaitu: a. Menjaga konstitusi (The Guardian of Constitution), menafsirkan konstitusi (The Interpreteur of Constitution), menjaga demokrasi, menjaga persamaan di mata hukum, dan koreksi terhadap undang-undang. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan tidak lain berperan sebagai pengawal konstitusi (The Guardian of Constitution), agar konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat. Mahkamah Konstitusi berfungsi mengawal dan menjaga agar konstitusi ditaati dan dilaksanakan secara konsisten, serta mendorong dan mengarahkan proses demokratisasi berdasarkan konstitusi. Dengan adanya Mahkamah Konstitusi, proses penjaminan demokrasi yang konstitusional diharapkan dapat diwujudkan melalui proses penjabaran dari empat kewenangan konstitusional (constitusionally entrusted powers) dan satu kewajiban (constitusional obligation). Mahkamah Konstitusi bertugas melakukan penyelesaian persengketaan yang bersifat konstitusional secara demokratis. Putusan-putusan yang final dan mengikat 
 yang ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi, dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab, sesuai dengan kehendak rakyat (konstitusi untuk rakyat bukan rakyat untuk konstitusi), dan cita‐cita demokrasi, yakni kebebasan dan persamaan (keadilan).Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan‐putusannya melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya yang tercermin dalam undang‐undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga konstitusi, penjaga demokrasi, penjaga persamaan dimata hukum, penafsir konstitusi dan korektor undang‐undang agar disesuaikan dengan UUD. b. Membumikan prinsip-prinsip negara hukum; Filosofi negara hukum adalah negara melaksanakan kekuasaannya, tunduk terhadap pengawasan hukum. Artinya ketika hukum eksis terhadap negara, maka kekuasaan negara menjadi terkendali dan selanjutnya menjadi negara yang diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau tidak tertulis (konvensi).14 Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawas tertinggi, tatkala putusannya yang final dan mengikat, makna hukumnya adalah membumikan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon. Dimana, melalui putusan Mahkamah Konstitusi mengadili dan memutus hal‐hal yang berkaitan dengan kewenangan atribusi yang diberikan kepadanya untuk menjaga, keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan. c. Membangun sebuah penegakkan hukum Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan yaitu kepastian hukum (rechissicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit). Selanjutnya ditegaskan bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang‐wenang, yang berarti bahwa seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat dapat dimaknai sebagai penegakan hukum tata negara. Khususnya menyangkut pengontrolan terhadap produk politik yaitu undang‐undang yang selama ini tidak ada lembaga yang dapat mengontrolnya. Pada sisi lain, juga dapat menegakkan hukum dimana memutuskan tentang benar salahnya Presiden atau Wakil Presiden yang dituduh oleh DPR bahwa melakukan perbuatan melanggar hukum. Demikian juga dapat memutuskan tentang sengketa‐sengketa khusus yang merupakan kewenangannya termasuk memutuskan untuk membubarkan partai politik. Dengan demikian, hal ini sangat diharapkan sebagai wujud perlindungan hak‐hak masyarakat dan juga menempatkan semua orang sama di mata hukum (equality before the law). d. Perekayasa Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat (final and binding) merupakan suatu bentuk rekayasa hukum. Frasa “rekayasa” diartikan sebagai penerapan kaidah‐kaidah ilmu dalam pelaksanaan seperti perancangan, pembuatan konstruksi, serta pengoperasian kerangka, peralatan, dan sistem yang ekonomis dan efisien. Putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat sebagai sebuah bentuk rekayasa hukum yang diwujudkan dalam bentuk norma atau kaidah yang sifatnya membolehkan, mengajurkan, melarang, memerintahkan untuk berbuat atau tidak berbuat. Nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat dan sebuah undang‐undang hasil produk politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa sosial politik, alat kontrol terhadap masyarakat dan penguasa serta memberikan perlindungan hukum terhadap seluruh komponen bangsa. C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim tersebut merupakan tindakan negara di mana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun undang-undang. Dari sudut pandang hukum tata negara, putusan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam keputusan negara yang mengandung norma hukum sama halnya dengan putusan pembentuk undang-undang yang bersifat pengaturan (regeling). Putusan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan suatu undang-undang atau materi muatan dalam undang-undang, sedangkan pembentuk undang-undang menciptakan norma hukum dalam bentuk materi muatan dalam suatu undang-undang. Putusan Mahkamah Konstitusi terutama dalam pengujian undang-undang kebanyakan jenisnya adalah bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislature. Hal lain yang perlu dicermati lebih lanjut adalah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) maupun inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Varian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan putusan yang menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran Mahkamah Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut. Dengan demikian, terdapat penafsiran sendiri dari Mahkamah Konstitusi agar suatu norma undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan Mahkamah Konsitusi sejak diucapkan di hadapan sidang terbuka untuk umum dapat mempunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu: A. Kekuatan mengikat Kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara (interpartes), yaitu pemohon, pemerintah, DPR/DPD, ataupun pihak terkait yang diizinkan memasuki proses perkara, tetapi juga putusan tersebut mengikat bagi semua orang, lembaga negara, dan badan hukum dalam wilayah republik Indonesia. Putusan tersebut berlaku sebagai hukum sebagaimana hukum diciptakan pembuat undang-undang. Dengan demikian, Hakim Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai negative lagislator yang putusannya bersifat erga omnes, yang ditujukan pada semua orang. B. Kekuatan pembuktian Dalam perkara konstitusi yang putusannya bersifat erga omnes, maka permohonan pengujian yang menyangkut materi yang sama yang sudah pernah diputus tidak dapat lagi diajukan untuk diuji oleh siapapun. Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap demikian dapat digunakan sebagai alat bukti dengan kekuatan pasti secara positif bahwa apa yang diputus oleh hakim itu dianggap telah benar. Selain itu, pembuktian sebaliknya tidak diperkenankan. C. Kekuatan eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai undang-undang dan tidak memerlukan perubahan yang harus dilakukan dengan amandemen atas undang-undang yang bagian tertentu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi telah dianggap terwujud dengan pengumuman putusan tersebut dalam Berita Negara sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang diatur dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang pada intinya menyatakan undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Ketentuan ini juga berarti bahwa putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku surut. D. Teori Negara Demokrasi Perwakilan Indonesia merupakan negara demokrasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik, termasuk pemilihan pejabat negara pada tingkat pusat dan daerah. Sehingga sebaik apapun sebuah pemerintahan dirancang, negara tidak bisa dianggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh warga negara dengan cara yang terbuka dan jujur. Demokrasi di Indonesia menganut teori perwakilan yang amat erat hubungannya dengan prinsip kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern. kekuasaan rakyat tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilan (DPR) sebagai realisasi sistem demokrasi tidak langsung. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan ketika pengkajian difokuskan pada masalah perwakilan ini, pertama menyangkut pengertian pihak yang diwakili, kedua berkenaan dengan pihak yang mewakili, dan ketiga berkaitan dengan bagaimana hubungan serta kedudukannya. Heinz Eulau dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya “wakil”, yakni, 1) adanya partai, 2) adanya kelompok, dan 3) adanya daerah yang diwakili. Dalam demokrasi perwakilan (representative democratie), fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada organ-organ khusus. Hak menentukan nasib sendiri dalam demokrasi dibatasi pada prosedur untuk membentuk dan memilih organ ini. Hans Kelsen menyatakan bahwa: “The demoratic form of nomination is election. The organ authorized to create or execute the legal norms is elected by subjects whoose behavior is regulated by these norm.” Pemerintahan demokratis menunjukkan kadar partisipasi rakyat yang semakin tinggi, baik dalam mimilih pejabat negara, mengawasi perilakunya, maupun dalam menentukan arah kebijakan publik. Rakyat mempunyai akses untuk menentukan siapa yang sepatutnya memerintah mereka, apa yang dilakukan serta menilai keberhasilannya dan kegagalannya. Kadar demokrasi suatu negara ditentukan oleh 2 (dua) hal, Pertama, seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan siapa diantara mereka yang dijadikan pejabat negara, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, pemilihan pejabat publik langsung oleh rakyat, maka semakin tinggi kadar demokrasi negara tersebut. Kedua, seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan kebijakan publik. Semakin besar peranan masyarakat dalam menentukan kebijakan publik, semakin tinggi kadar demokrasinya. Herbert McCloscky mengatakan bahwa partisipasi politik ialah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Sementara itu, Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam No Easy Choice:Political in Developing Countries, menekankan bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Karena itu, partisipasi politik bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Secara umum, dalam menentukan kriteria seseorang dapat dipilih untuk menduduki jabatan pemerintahan negara baik di tingkat Pusat maupun Daerah antara lain: Pertama, kualitas dari tokoh-tokoh yang akan memimpin bangsa dan negara Indonesia harus memiliki berbagai kualitas. Kualitas tersebut menyangkut kualitas intelektual, integritas moral, serta kemampuan visioner dari para tokoh tersebut. Tentu rakyat tidak mengharapkan bahwa tokoh-tokoh yang akan bergabung dalam kepemimpinan tersebut hanya memiliki kualitas yang sama dengan rata-rata anggota masyarakat. Karena ada satu aksioma yang tidak boleh dilupakan bahwa para pemimpin itu berada satu atau dua tingkatan di atas mereka yang dipimpin. Kedua, seorang pemimpin harus memiliki tingkat kejujuran yang optimal. Hal ini dikarenakan kejujuran adalah kebijaksanaan yang paling baik. Dengan demikian, kejujuran seorang pemimpin harus benar-benar diusahakan secara utuh. Artinya, seorang pemimpin harus jujur kepada masyarakat, jujur kepada dirinya sendiri dan jujur juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, seorang pemimpin adalah orang yang sanggup melakukan pengorbanan atas kepentingan-kepentingan pribadinya untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara. Keempat, seorang pemimpin juga harus dilihat berkaitan dengan gaya dan cara seseorang dalam membawakan kepemimpinannya itu sendiri. Seorang yang memiliki karakter mudah marah, yang bersifat konjungtif, reaktif dan emosional tentu akan menjadi pemimpin yang buruk. Selain hal-hal tersebut di atas, ukuran-ukuran seseorang dapat dipilih untuk menduduki suatu jabatan adalah: 1. Calon pemimpin tersebut harus bersih, artinya calon pemimpin tersebut tidak memiliki dosa-dosa sosial; 2. Calon pemimpin tersebut harus mampu memberi tauladan. 3. Calon pemimpin tersebut harus memiliki visi dan misi yang jelas. 4. Calon pemimpin harus dapat berdiri diatas segala perbedaan yang ada. Dia tidak boleh hanya mementingkan suatu kelompok saja, baik salah satu suku, agama atau pun lainnya. Keseluruhan kriteria tersebut merupakan upaya mewujudkan cita-cita negara untuk kesejahteraan rakyat untuk mendapatkan pemimpin negara yang ideal. Prinsip ini telah ada sejak zaman sejarah untuk memilih pemimpin yang terbaik diantara yang terbaik (primus interpares). Di Indonesia, bentuk manifestasi dari pemilihan pejabat publik langsung oleh rakyat adalah melalui mekanisme pemilihan oleh DPR. Salah satu upaya untuk melakukan penilaian terhadap calon-calon pejabat publik baik di tingkat nasional maupun lokal adalah melalui mekanisme uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Mekanisme ini dianggap lebih menjamin terselenggaranya suatu proses pemilihan yang demokratis. Melalui proses fit and proper test tersebut diharapkan akan diketahui secara lengkap tentang diri pribadi masing-masing calon untuk menduduki suatu jabatan publik. Dalam pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan tersebut, para calon pejabat tersebut akan ditanyakan tentang berbagai hal yang secara garis besar mencakup: 1. Riwayat hidup calon. 2. Pengetahuan umum tentang jabatan yang akan diembannya. 3. Visi dan misi yang akan dilakukan berkaitan dengan jabatan yang akan diembannya. Dengan demikian, dapat diperoleh gambaran tentang kemampuan pribadi yang bersangkutan baik dari segi kemampuan maupun dari segi moral dan pada akhirnya melalui fit and proper test ini akan diperoleh kandidat pejabat yang benar-benar berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Seluruh proses pengujian tersebut dilaksanakan secara terbuka sehingga masyarakat pun dapat mengetahui dan menilai hasil pengujian yang dilakukan. Dalam proses fit and proper test tersebut, seharusnya setiap calon dapat menjabarkan visi dan misinya dengan mengacu pada terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance), bersih dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Berdasarkan Putusan MK Nomor 16/PUU-IV/2006, norma pasal 53 UU KPK tidak terjadi kekosongan hukum karena telah ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang dalam bentuk UU Pengadilan Tipikor. Namun demikian pembentuk undang-undang masih perlu meninjau kembali hasil Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyatakan Pasal 34 UU KPK sebagai ikonstitusional bersyarat. Evaluasi terhadap Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 adalah perlunya untuk merubah ketentuan dalam Pasal 34 UU KPK yang menyatakan bahwa, “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan” menjadi berbunyi “Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.” Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 tersebut diperkuat dengan keluarnya Keppres Nomor 33/P/2011 yang telah ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 28 Juni 2011. Menurut Denny Indrayana, Keppres tersebut ditujukan untuk mendukung kerja KPK, serta sebagai bentuk nyata komitmen pemberantasan korupsi. Dalam Keppres tersebut dinyatakan bahwa masa jabatan Busyro Muqoddas selaku Komisioner KPK adalah 4 (empat) tahun. Putusan yang dikeluarkan MK terkait dengan masa jabatan Busyro Muqoddas sebagai pimpinan MK akan membawa implikasi, tidak hanya pada masa jabatan Busyro Muqoddas, tetapi juga implikasi terhadap proses seleksi pimpinan KPK yang sedang berjalan dan mekanisme seleksi pimpinan KPK di masa yang akan datang. Putusan MK mengenai masa jabatan dikeluarkan bersamaan dengan berjalannya proses seleksi calon pimpinan KPK. Setelah putusan tersebut dikeluarkan, Pansel kemudian mengajukan 8 nama calon pimpinan KPK kepada Presiden untuk disetujui. Setelah disetujui oleh Presiden maka Presiden sedianya akan mengirimkan ke-8 nama tersebut kepada DPR untuk dilakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap para calon tersebut. Memang tidak dapat dipungkiri, kemungkinan terjadinya pergantian pimpinan di tengah-tengah periode tidak dapat dihindari. Namun, dengan adanya putusan ini maka dua kali seleksi dalam satu periode pimpinan KPK merupakan sebuah kepastian. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip kemanfaatan yang menjadi salah satu pertimbangan MK dalam memutuskan permohonan uji materiil terhadap Pasal 34 UU KPK, karena dengan adanya dua kali panitia seleksi maka biaya yang dikeluarkan negara menjadi lebih besar. Pimpinan Pengganti KPK bertugas selama 4 (empat) tahun pula karena diseleksi melalui mekanisme yang sama dengan Calon Pimpinan KPK seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU KPK. Namun hal tersebut akan bertentangan pada ketentuan Pasal 21 ayat (4) UU KPK yang menentukan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif, sehingga lima anggota Pimpinan KPK itu dimaknai secara kolektif menjabat satu periode 4 (empat) tahun. Sehingga konsekuensinya Pimpinan Pengganti KPK yang terpilih hanya menduduki masa jabatan sisa dari anggota pimpinan yang digantikannya, namun hal itu dianggap melanggar prinsip kemanfaatan yang menjadi tujuan hukum. Hukum lahir dan diadakan untuk mencapai kemanfaatan setinggi-tingginya. Menurut MK penggantian Pimpinan KPK pengganti tersebut tidak sama dengan penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD. Proses seleksi seorang Pimpinan KPK pengganti menurut Pasal 33 ayat (2) UU KPK mengeluarkan biaya yang relatif sama besarnya dengan proses seleksi lima orang Pimpinan KPK. Hal itu merupakan sebuah pemborosan yang tidak perlu dan tidak wajar. Menurut MK, sekiranya dimaknai bahwa Pimpinan pengganti itu adalah hanya menggantikan dan menyelesaikan masa jabatan sisa dari pimpinan yang digantikan maka mekanisme penggantian tersebut tidak harus melalui proses seleksi yang panjang dan rumit dengan biaya yang besar seperti dalam seleksi 5 (lima) anggota pimpinan yang diangkat secara bersamaan. Pimpinan pengganti, dalam hal ada pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya, cukup diambil dari calon Pimpinan KPK yang ikut dalam seleksi sebelumnya yang menempati urutan tertinggi berikutnya, seperti penggantian antarwaktu anggota DPR atau anggota DPD yang menurut Pasal 217 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR dan DPRD (UU MD3). Sehingga pemilihan Pimpinan Pengganti KPK tidak dapat disejajarkan dengan pemilihan melalui penggantian antarwaktu anggota DPR dan DPD Perubahan norma dalam Pasal 34 UU KPK diperlukan agar tidak ada lagi pembatasan Pimpinan Pengganti KPK untuk memegang jabatan dan melaksanakan tugasnya selama 4 (empat) tahun. Oleh karena itu perlu dilakukan reformulasi norma agar mengakomodir putusan MK dalam Pasal 34 UU KPK namun tidak menimbulkan tafsir lanjutan untuk kepastian hukum, sehingga penyelenggaraan pemberantasan korupsi tetap sesuai dengan amanah UUD 1945. Selain berdasarkan putusan MK, evaluasi terhadap UU KPK ini juga perlu dilakukan dengan melihat permasalahan-permasalahan empiris lain yang terjadi selama ini di masyarakat, seperti memperkuat penindakan korupsi melalui rekrutmen Penyidik KPK yang independen, kewenangan penyadapan, dan kewenangan mengenai berhak tidak nya KPK mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3). Keseluruhan hal tersebut membutuhkan penelitian dan kajian lebih lanjut agar terwujud lembaga KPK yang profesional dan mandiri.

Berbagai permasalahan yang timbul akibat tindak pidana korupsi, baik akibat semakin meningkatnya kasus korupsi maupun hambatan dalam pelaksanaan tugas KPK serta konsekuensi dari putusan uji materi Mahkamah Konstitusi, menuntut perubahan terhadap pengaturan mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. Di samping itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Dalam dinamika perkembangan hukum dan penerapannya, UU KPK secara empiris telah 23 (dua puluh tiga) kali diajukan pengujian materiil di MK dan hanya 2 (dua) yang diterima permohonannya dengan putusan mengabulkan seluruhnya dan mengabulkan sebagian, yakni Putusan MK Nomor 16/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011. Dimana telah ada tindaklanjut oleh pembuat undang-undang terhadap hasil Putusan MK Nomor 16/PUU-IV/2006 melalui pembentukan UU Pengadilan Tipikor. Namun, berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, masih terjadi kekosongan hukum atas ketentuan yang inkonstitusional bersyarat dalam Pasal 34 UU KPK mengenai masa jabatan pimpinan pengganti KPK. Untuk itu, perlu dilakukan reformulasi materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK agar penyelenggaraan pemberantasan korupsi oleh KPK sesuai dengan amanah UUD 1945.

1. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi materi muatan mengenai tindak lanjut Putusan MK. Oleh karena itu, perlu direformulasi kembali materi muatan atas beberapa hal yang telah diputus MK dalam UU KPK dengan status perubahan/penggantian undang-undang. 2. Rencana RUU perubahan UU KPK ini telah menjadi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019. Untuk itu sebaiknya DPR bersama Pemerintah menindaklanjuti rancangan perubahan tersebut termasuk muatan Putusan MK tersebut kedalam RUU tentang perubahan UU KPK, dan menjadikan RUU tersebut kedalam prioritas tahunan untuk dibahas bersama-sama agar tidak terjadi kekosongan hukum, terjamin kepastian hukum, dan pemberantasan korupsi yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.