Kajian, Analisis dan Evaluasi Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang (SIPANLAK UU)

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

Tanggal
2021-12-01
Lokasi
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Kalimantan Timur

Lahirnya UU Kesejahteraan Sosial dilatarbelakangi beberapa pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam Konsiderans UU a quo bahwa untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat serta untuk memenuhi hak atas kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial, maka negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial sebagai tanggung jawab negara meliputi: 1. Rehabilitasi sosial; 2. Jaminan sosial; 3. Pemberdayaan sosial; dan 4. Perlindungan sosial. UU Kesejateraan Sosial juga telah masuk dalam daftar UU Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dengan nomor urut 238.

1. ASPEK SUBTANSI HUKUM a) Belum Diakomodirnya Asas Kesetaraan dan Asas Non-Diskriminasi dalam UU Kesejahteraan Sosial Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial belum mengakomodir asas non-diskriminasi dan asas kesetaraan sebagai dasar dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Tidak diakomodirnya kedua asas tersebut berpotensi menimbulkan inkonsistensi dengan pengaturan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial dan Pasal 2 UU Penyandang Disabilitas. Sebab, Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa salah satu kriteria masalah sosial adalah Penyandang Disabilitas. Namun, pelaksanaan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas berpotensi tidak terpenuhi sebagai akibat dari belum diakomodirnya kedua asas tersebut dalam Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial. b) Belum Terdapat Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai Parameter Kriteria Masalah Sosial Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial mengatur mengenai kriteria masalah sosial yang menjadi prioritas dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dalam pelaksanaannya, terdapat 2 (dua) pandangan yang berbeda mengenai kriteria masalah sosial tersebut. Dimana berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial, terdapat beberapa narasumber yang menyatakan bahwa pengaturan kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya. Selain itu, kriteria masalah sosial dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini dikarenakan telah terdapat masalah-masalah sosial lainnya yang telah ditangani oleh Kemensos namun belum terakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial. Akan tetapi, pandangan berbeda juga disampaikan oleh beberapa narasumber berdasarkan hasil diskusi dalam rangka pengumpulan data dan informasi pelaksanaan UU Kesejahteraan Sosial yang beranggapan bahwa tidak diperlukannya penjelasan lebih lanjut mengenai parameter kriteria masalah sosial tersebut. Hal tersebut dikarenakan penjelasan tersebut berpotensi mengurangi fleksibilitasnya dalam penanganan permasalahan sosial. Selain itu, parameter kriteria masalah sosial tersebut juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (Permensos Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). c) Potensi Disharmoni antara UU Kesejahteraan Sosial dengan Beberapa Undang-Undang Lainnya: 1) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU SJSN Terdapat beberapa pengaturan dalam UU Kesejahteraan Sosial yang berpotensi disharmoni dengan UU SJSN. Potensi disharmoni tersebut diantaranya terkait dengan pengaturan Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “jaminan sosial” dan “perlindungan sosial” dengan Pasal 1 angka 1 UU SJSN. Sebab dalam UU Kesejahteraan Sosial, jaminan sosial dan perlindungan sosial yang merupakan ruang lingkup dalam penyelenggaraan sosial diberikan definisi dan pengaturan yang berbeda. Sedangkan dalam UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia, telah mengartikan jaminan sosial merupakan bentuk dari perlindungan sosial. Potensi disharmoni lainnya juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “asuransi kesejahteraan sosial” dengan Pasal 1 angka 3 UU SJSN. Sebab, UU SJSN sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan jaminan sosial tidak mengenal asuransi kesejahteraan sosial, melainkan mengatur tentang jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk “asuransi sosial”. 2) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Narkotika Terdapat inkonsistensi pengaturan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika. Sebab, dalam Pasal 54 dan Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu dan Penyalah Guna Narkotika wajib rehabilitasi sosial. Akan tetapi, permasalahan terkait dengan NAPZA tersebut tidak diakomodir dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial yang mengatur tentang masalah sosial. 3) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penanganan Fakir Miskin Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin. Kedua Pasal tersebut mengatur bentuk-bentuk penanganan atau penanggulangan kemiskinan yang memiliki kesamaan, namun dengan istilah yang berbeda. Adapun pengembangan potensi diri, bantuan pangan dan sandang, serta bantuan hukum yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin, bukan merupakan bentuk penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial. 4) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pemda a) Perbedaan Pengaturan Ruang Lingkup Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Terdapat potensi disharmoni dalam penjabaran ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial dengan Lampiran F UU Pemda. Dimana Lampiran F UU Pemda tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari Pasal 12 huruf f UU Pemda. Adapun sub bidang urusan pemerintahan di bidang sosial sebagaimana dimaksud dalam Lampiran F UU Pemda yang memiliki kesamaan dengan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial antara lain berkaitan dengan pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial, serta perlindungan dan jaminan sosial. Sementara untuk penanganan warga negara migran korban tindak kekerasan, taman makam pahlawan, sertifikat dan akreditasi bukan bagian dari ruang lingkup atau sub bidang dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial. b) Perbedaan Pengaturan Tanggung Jawab dan Wewenang dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Terdapat potensi disharmoni antara Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf d UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 11 ayat (2), dan Pasal 12 ayat (1) huruf f serta Lampiran F UU Pemda. Penormaan tanggung jawab dan wewenang sebagaimana diatur Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b, dan Pasal 29 huruf b masih belum selaras dengan UU Pemda. Sementara UU Pemda telah mengatur pembagian urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan 7 (tujuh) sub bidang sosial. Selain itu, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf b UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “dekonsentrasi dan tugas pembantuan” dalam pembagian tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Padahal penyelenggaraan kesejahteraan sosial saat ini telah didasarkan pada frasa “urusan pemerintahan bidang sosial” yang dibagi pada setiap unsur pemerintahan secara vertikal sebagaimana diatur dalam UU Pemda. 5) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Penyandang Disabilitas, dimana Pasal 5 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial masih menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat”. Sedangkan dalam UU Penyandang Disabilitas sudah tidak menggunakan frasa “Kecacatan/Cacat” melainkan menggunakan frasa “Penyandang Disabilitas” bagi setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan/atau sensorik. Selain itu, juga terdapat permasalahan disharmoni ketentuan antara Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas terkait bentuk pemberian jaminan sosial berkelanjutan terhadap para Penyandang Disabilitas. Dimana pemberian bentuk jaminan sosial yang salah satunya diberikan kepada Penyandang Disabilitas dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan bentuk jaminan sosial terhadap Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas. 6) Potensi Disharmoni UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial Terdapat disharmoni pengaturan antara UU Kesejahteraan Sosial dengan UU Pekerja Sosial, dimana ruang lingkup kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial berbeda dengan pengaturan ruang lingkup praktik pekerjaan sosial sebagai bentuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 4 UU Pekerja Sosial. Selain itu, juga terdapat disharmoni pengaturan terkait pengaturan bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 9, Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) UU Pekerja Sosial. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN Terdapat hambatan pelaksanaan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Program ataupun kebijakan yang terkait penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah pusat selama ini diselenggarakan secara parsial tanpa adanya kolaborasi antar instansi pemerintah. 3. ASPEK PENDANAAN Pasal 36 UU Kesejahteraan Sosial mengatur beberapa jenis sumber pendanaan untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemerintah pusat melakukan belanja pemerintah pusat yang salah satunya digunakan untuk menjalankan fungsi perlindungan sosial. Selain itu, Pemerintah pusat juga melakukan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) ke daerah, yang antara lain digunakan untuk program kesejahteraan sosial. Akan tetapi, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBN, dimana dana yang diperoleh dari APBN masih belum sepenuhnya menutup kebutuhan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di Indonesia karena dipengaruhi oleh faktor prioritas pembangunan setiap tahunnya. Berkaitan dengan sumber pendanaan APBD, pemerintah daerah melakukan belanja daerah yang diprioritaskan untuk mendanai Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar yang ditetapkan dengan standar pelayanan minimal, antara lain untuk bidang sosial. Namun, masih terdapat hambatan dalam optimalisasi sumber pendanaan APBD khususnya untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial sehingga beberapa daerah masih bergantung pada alokasi APBN. Hal tersebut antara lain disebabkan karena perbedaan kemampuan keuangan setiap daerah, prioritas pembangunan, serta terdapat visi misi setiap kepala daerah yang mempengaruhi alokasi APBD masing-masing daerah. Berkaitan dengan sumber pendanaan lain juga masih belum memadai, termonitor, dan terkelola, dengan baik, terutama sumber pendanaan yang berasal dari badan usaha dan bantuan asing. Sumber pendanaan kesejahteraan sosial yang berasal dari CSR juga masih bersifat parsial dan belum sepenuhnya menyentuh masalah sosial tertentu. 4. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Salah satu sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial adalah SDM. Namun, dalam tataran implementasinya kualitas maupun kuantitas SDM khususnya Pekerja Sosial dalam penyelenggara kesejahteraan sosial di tingkat pusat maupun daerah belum memadai, sehingga berpotensi menghambat implementasi dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial. b. Keterbatasan Sarana dan Prasarana dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Pemenuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota belum sesuai dengan standar yang ditetapkan pemerintah pusat. Hal ini karena keterbatasan pendanaan dan hambatan pelaksanaan yang disebabkan oleh pembagian kewenangan yang bermasalah antara pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. c. Permasalahan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai sumber bahan pengambil kebijakan (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial masih belum terintegrasi secara nasional karena masih ada data BPS terkait kesejahteraan sosial yang tidak sinkron dengan DTKS. DTKS juga belum disosialisasikan dengan baik kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota karena masih ada pemerintah daerah yang belum memahami penyusunan program kerja berdasarkan DTKS dan aksesibilitas DTKS yang masih sulit karena pemerintah daerah kabupaten/kota masih harus bersurat untuk mengakses DTKS. 5. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Belum Optimalnya Pelaksanaan Pemberdayaan Sosial karena Masih Adanya Pemahaman Masyarakat yang Menjadikan Kemiskinan sebagai Komoditi agar Mendapatkan Bantuan Sosial Pemberdayaan sosial merupakan salah satu bentuk upaya dalam penyelenggaraan sosial yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial agar mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri. Dalam implementasinya, kemandirian masyarakat masih belum dapat dicapai sebab masih adanya pola pikir masyarakat yang menjadikan kemiskinan sebagai komoditas guna mengharapkan bantuan sosial. b. Keterlibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial belum dapat dirasakan secara signifikan. Hal ini disebabkan, masih ditemukannya beberapa kendala yang menghambat turut sertanya masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, diantaranya keterbatasan masyarakat dalam mengakses informasi pelaksanaan kesejahteraan sosial; belum dilibatkannya Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) sebagai mitra pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial; ketidakjelasan mekanisme pengawasan yang menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan; dan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai kanal-kanal yang ada di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

a. Dalam aspek Substansi Hukum, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) Perlunya penyempurnaan materi muatan dalam UU Kesejahteraan Sosial, diantaranya: a) penambahan asas non-diskriminasi dan asas kesetaraan dalam Pasal 2 UU Kesejahteraan Sosial. b) perubahan Pasal 5 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dan Penjelasannya dengan menambahkan klaster baru terkait masalah sosial lainnya dan penjelasan lebih lanjut mengenai kriteria masalah sosial atau menambahkan norma dalam UU Kesejahteraan Sosial yang secara eksplisit mendelegasikan peraturan pelaksanaan yang mengatur penjelasan mengenai parameter kriteria masalah sosial. c) perubahan frasa “Kecacatan/Cacat” yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c, Pasal 9 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Kesejahteraan Sosial dengan menyesuaikan istilah yang diatur dalam UU Penyandang Disabilitas. Selain itu, perlu dilakukan penyesuaian terkait bentuk pemberian jaminan sosial terhadap Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial dengan mengacu terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (2) dan ayat (3) UU Penyandang Disabilitas. 2) Perlunya harmonisasi antara UU Kesejahteraan Sosial dengan undang-undang lainnya, diantaranya: a) harmonisasi antara Pasal 1 angka 9, Pasal 1 angka 11, dan Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “jaminan sosial” dan frasa “perlindungan sosial” dengan Pasal 1 angka 1 UU SJSN serta Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Kesejahteraan Sosial sepanjang frasa “asuransi kesejahteraan sosial” dengan Pasal 1 angka 3 UU SJSN. b) harmonisasi pengaturan di dalam perubahan UU Kesejahteraan Sosial terkait ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial dengan ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 4 UU Pekerja Sosial. Selain itu, terkait bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU Kesejahteraan Sosial juga perlu dilakukan harmonisasi dengan menyesuaikan bentuk-bentuk rehabilitasi sosial yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) UU Pekerja Sosial. c) harmonisasi Pasal 6 UU Kesejahteraan Sosial berkaitan dengan ruang lingkup penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan Lampiran F UU Pemda sebagai penjabaran dari Pasal 12 UU Pemda agar penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat berjalan optimal dan tidak multi interpretasi dalam implementasinya. d) harmonisasi Pasal 21 UU Kesejahteraan Sosial dengan Pasal 7 ayat (1) UU Penanganan Fakir Miskin agar bentuk-bentuk penanganan atau penanggulangan kemiskinan menjadi selaras dan tidak multi interpretasi dalam implementasinya. e) harmonisasi Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 huruf c, Pasal 27 huruf b dan Pasal 29 huruf b UU Kesejahteraan Sosial terkait tanggung jawab dan wewenang penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam UU Kesejahteraan Sosial dengan pembagian urusan pemerintahan bidang sosial dalam UU Pemda agar tidak terdapat multi interpretasi dalam implementasinya. b. Dalam aspek Struktur Hukum/Kelembagaan, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi, yaitu perlu dilakukan peningkatan sinergitas antar kementerian/lembaga dalam menangani kesejahteraan sosial sehingga dapat berjalan secara efektif dan efisien. c. Dalam aspek Pendanaan, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) perlu peningkatan komitmen dalam penyusunan kegiatan pada masing-masing instansi pusat dan daerah dengan mengalokasikan anggaran memadai untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial. 2) perlu dilakukan penguatan sumber pendanaan lain seperti sumbangan masyarakat; dana yang disisihkan dari badan usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan; serta bantuan asing guna membantu memenuhi kebutuhan pendanaan masalah kesejahteraan sosial. 3) perlu melengkapi instrumen regulasi yang terkait dengan pengelolaan dan pengumpulan Undian Gratis Berhadiah (UGB) dan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang tertib aturan, partisipatif, transparan, akuntabel dan tepat manfaat. d. Dalam aspek Sarana dan Prasarana, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) perlu peningkatan kualitas dan kuantitas SDM khususnya Pekerja Sosial melalui program pelatihan dan proses rekrutmen yang sesuai dengan standar. 2) peningkatan komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemenuhan sarana dan prasarana penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut. 3) perlu adanya simplifikasi dan integrasi pendataan kesejahteraan sosial, sosialisasi penyusunan program kerja pemerintah. e. Dalam aspek Budaya Hukum, Puspanlak UU, Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI memberikan rekomendasi sebagai berikut: 1) perlu optimalisasi pemberdayaan masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial antara lain dengan peningkatan kemampuan dan kemauan, penggalian potensi sumber daya, penggalian nilai-nilai dasar, pemberian akses, dan pemberian bantuan usaha. Hal tersebut dilakukan pemerintah untuk mendorong kemandirian sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. 2) perlu upaya sosialisasi yang lebih masif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada masyarakat terkait perannya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta perlunya komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melibatkan LKKS sebagai mitranya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN 
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN SEBAGAIMANA DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

Tanggal
2021-09-01
Lokasi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Kalimantan Selatan

Lahirnya UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dilatarbelakangi pertimbangan bahwa setiap orang termasuk masyarakat yang berpenghasilan rendah berhak memiliki tempat tinggal yang layak. Namun saat ini masih banyak masyarakat perkotaan yang tinggal dalam kawasan kumuh dalam lingkungan berpenduduk padat. Sehingga penyelenggaraan kawasan perumahan untuk mewujudkan wilayah sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan yang terencana, terpadu dan berkelanjutan masih terhambat. Oleh karena itu perlu ada kebijakan umum pembangunan perumahan sebagaimana yang sudah ditentukan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman yang diarahkan untuk: a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat dan aman; b. Ketersediaan dana murah jangka panjang; c. Mewujudkan perumahan yang serasi dan seimbang sesuai dengan tata ruang serta tata guna tanah yang berdaya guna dan berhasil guna; d. Memberikan hak pakai dengan tidak mengorbankan kedaulatan negara; dan e. Mendorong iklim investasi asing.

1. Ditinjau dari segi substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan terkait dan permasalahan implementasi yang terjadi saat ini sehingga perlu dilakukan perubahan dan/atau penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. Perubahan ketentuan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman antara lain terkait penambahan standar minimal rumah sehat, penambahan definisi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sinkronisasi dan harmonisasi aturan terkait tugas dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, penambahan definisi rumah swadaya yang termasuk rumah yang dibangun oleh MBR, perubahan persyaratan komposisi atas hunian berimbang, pembentukan peraturan pemerintah tentang penghunian rumah negara, penambahan pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan rumah, penambahan pengaturan mengenai rumah terlantar, dan penambahan pengaturan sanksi. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dapat memenuhi asas dalam UU PPP dan tujuan pembentukannya dapat tercapai. 2. Kesimpulan lain ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan terkait perencanaan dan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang tidak sesuai dengan RTRW, belum optimalnya pemberian kemudahan perizinan dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, belum optimalnya pencegahan perumahan dan kawasan permukiman kumuh, pembangunan rumah susun yang tidak sesuai dengan zonasi dan peruntukan, standar konstruksi perumahan yang tidak memenuhi SNI, keterbatasan penyediaan tanah/lahan untuk perumahan dan kawasan permukiman, potensi tumpang tindih tugas dan fungsi BP3 dengan pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman lainnya, belum terintegrasinya basis data perumahan dan kawasan permukiman, pembangunan PSU yang tidak sesuai perencanaan dan persyaratan teknis, permasalahan pendanaan dan pembiayaan, partisipasi dan pelibatan masyarakat yang belum efektif, serta sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang perumahan dan kawasan permukiman serta program pemerintah kepada masyarakat masih sangat kurang. 3. Permasalahan tersebut berpengaruh pada belum optimalnya penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana yang telah diatur dalam UU perumahan dan Kawasan permukiman. Oleh karena itu diberikan rekomendasi untuk revisi UU Perumahan Dan Kawasan Permukiman agar dapat tercapai tujuan pembentukan UU Perumahan dan Kawasan Permukiman sebagai dasar hukum perlindungan negara terhadap hak masyarakat bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau.

1. ASPEK SUBSTANSI HUKUM a. Perlu diberikan penambahan rumusan mengenai standar minimal rumah layak huni dan sehat dalam revisi UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan memberikan amanat pengaturan teknis melalui peraturan pelaksana terkait kriteria antara lain luasan minimal, jumlah maksimal penghuni, faktor kelayakan dan kesehatan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara perumahan dengan tetap mempertimbangkan keterjangkauan daya beli masyarakat yang berbeda-beda. b. Perlu diberikan kejelasan rumusan terhadap definisi MBR yang diatur dalam Pasal 1 angka 24 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan penambahan pengertian dalam rumusan revisi UU Perumahan dan Kawasan Permukiman, yaitu mencakup masyarakat berpenghasilan tidak tetap, masyarakat miskin, dan diberikan amanat pengaturan teknis melalui peraturan pelaksana terkait penambahan kriteria utama MBR yang mencakup antara lain jenis pekerjaan, besaran penghasilan atau upah minimum, jumlah anggota keluarga, dan lokasi tinggal. Selanjutnya juga perlu diatur mengenai keberlakuan kriteria yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan karakteristik/ kondisi upah minimum daerah yang berbeda-beda. c. Perlu sinkronisasi dan harmonisasi aturan dalam UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan UU Pemerintahan Daerah terkait pembagian tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota agar dapat memberikan kepastian hukum bagi pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman di pusat maupun daerah. d. Definisi Rumah Swadaya yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman memerlukan penambahan pengertian dalam rumusannya, yaitu penambahan rumusan termasuk rumah yang dibangun oleh MBR, sehingga selaras dengan pengaturan bantuan kemudahan dari pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah berupa stimulan rumah swadaya bagi MBR. e. Pengaturan konsep dan persyaratan komposisi atas Hunian Berimbang yang diatur dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman perlu diselaraskan kembali dengan kemampuan pelaksanaan teknisnya di seluruh daerah yang memiki karakteristik lahan berbeda dan konsep sosial budaya masyarakat perkotaan yang masih mengutamakan strata. f. Perlu segera ditetapkan peraturan pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan memberikan pengaturan teknis terkait kriteria penghuni rumah negara, batas waktu penghunian rumah negara, dan mekanisme pengembalian hak kepada negara pada saat pejabat atau pegawai negeri yang menghuni sudah pensiun atau tidak lagi menjalankan kedinasannya, sesuai dengan aturan Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman. g. Perlu diberikan pengaturan pembatasan kepemilikan rumah dengan menambahkan batas maksimal kepemilikan rumah berdasarkan luas atau jumlah, kriteria pemilikan rumah, dan/atau pemberian disinsentif berupa pajak progresif atas pemilikan rumah kedua dan selanjutnya. h. Perlu diberikan penambahan pengaturan mengenai rumah terlantar dengan memberikan kriteria rumah terlantar, mekanisme penyerahan sebagai asset kepada pemerintah daerah, dan mekanisme pengelolaannya oleh pemerintah daerah sebagai solusi permasalahan backlog hunian di Indonesia. Serta pengendalian penghunian perumahan melalui pendataan terhadap rumah-rumah terlantar termasuk rumah-rumah MBR yang tidak ditempati. i. Perlu diberikan penambahan pengaturan sanksi terhadap setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan perumahan, pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kewenangannya dalam hal pemanfaatan perumahan dan kawasan permukiman, dan pengembang yang tidak memenuhi bahan bangunan sesuai SNI. 2. ASPEK STRUKTUR HUKUM/KELEMBAGAAN a. Perlu dorongan kepada daerah untuk menerbitkan peraturan daerah RP3KP sehingga perencanaan dan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di daerah dapat memberikan kepastian hukum terkait pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang sesuai dengan RTRW nasional, RTRW provinsi, dan RTRW kabupaten/kota. b. Perlu adanya peningkatan peran aktif pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal meningkatkan kemutakhiran aplikasi sistem OSS yang sudah berjalan saat ini serta melakukan pengendalian dan pengawasan dalam hal pemenuhan syarat dan standar dalam penerbitan izin, sertifikasi dan/atau lisensi oleh pelaku usaha agar kemudahan perolehan rumah bagi MBR dapat tercapai. c. Perlu adanya sinergitas dan komitmen yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan dan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, serta memberikan reward and punishment bagi pemerintah daerah setempat dalam hal mengatasi permukiman kumuh agar dapat memacu pemerintah daerah untuk meningkatkan dan melakukan inovasi dalam penanganan terhadap kawasan kumuh tersebut. d. Perlu dilakukan pengendalian dan pengawasan oleh pemerintah daerah terhadap penataan zonasi rumah susun dalam hal pembangunan rumah susun umum di daerah yang harus sesuai dengan berdasarkan rencana tata ruang wilayah, pengendalian dan pengawasan dari pemerintah terhadap pemanfaatan dan kepemilikan rumah susun oleh MBR, konsistensi pelaksanaan pembangunan rumah susun sesuai peruntukkannya, dan pelibatan masyarakat dari awal rencana pembangunan rumah susun. e. Perlu dilakukan peningkatan peran aktif pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan terhadap orang atau badan hukum yang akan membangunan suatu perumahan agar dapat memastikan bahan dan standar konstuksi yang mereka gunakan untuk membangun suatu bangunan telah memenuhi persyaratan SNI, penegakan pemberian sanksi kepada para pelanggar, dan melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya menggunakan standar SNI dalam pembangunan perumahan. f. Sebagai solusi dari permasalahan terbatasnya ketersediaan tanah/lahan bagi perumahan dan kawasan permukiman: 1) Perlu dilakukan peningkatan pelaksanaan konsolidasi tanah agar penataan tanah/lahan di kota-kota besar dapat terwujud dengan baik; dan 2) Peningkatan optimalisasi Bank Tanah guna memberikan kepastian terhadap ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan serta alat pengendalian harga tanah dipasaran. g. Terhadap pembentukan BP3, perlu dilakukan: 1) Pembentukan skema kerja BP3 yang dapat mendorong sektor perumahan khususnya dari sisi pasokan yang saat ini masih terdapat gap atau kondisi tidak seimbang yang cukup besar dengan sisi permintaan (demand) dan membantu pemenuhan sektor perumahan khususnya pada segmen MBR; 2) Pemberian kepastian tidak ada tumpang tindih tugas dan fungsi antara BP3 dengan pemangku kepentingan penyelenggara perumahan dan kawasan permukiman yang sudah ada; dan 3) Penetapan peraturan menteri yang diamanatkan mengatur ketentuan mengenai mekanisme tata hubungan kerja dan pelaksanaan sebagian tugas dan fungsi BP3 di daerah provinsi oleh unit pelaksana teknis. 3. ASPEK SARANA DAN PRASARANA a. Perlu adanya pengintegrasian data melalui Big Data perumahan dan kawasan permukiman sebagai basis data dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. b. Perlu ditetapkan peraturan daerah terkait penyerahan PSU kepada pemerintah daerah, penegakan pemberian sanksi terhadap pelanggaran perencanaan dan pembangunan PSU yang tidak memenuhi standar persyaratan administratif, teknis, dan ekologis, serta pengendalian berupa pengawasan oleh pemerintah daerah dan/atau pemerintah pusat juga perlu ditingkatkan terhadap pembangunan PSU yang dilaksanakan oleh pengembang. 4. ASPEK PENDANAAN DAN PEMBIAYAAN a. Perlu peningkatan penggunaan sumber dana lain untuk penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman antara lain pemanfaatan creative financing, pemanfaatan KPBU dalam pembangunan perumahan, sumber dana dari BAZNAS, CSR, dana desa, dan dana lain yang pro rakyat. b. Perlu perbaikan dalam hal fleksibilitas regulasi pembiayaan perumahan agar percepatan pengadaan dan perolehan perumahan oleh MBR dapat terwujud secara progresif, antara lain melalui pelibatan masyarakat di setiap tahap perencanaan strategi pembiayaan perumahan, memudahkan peraturan dan prosedur dan memaksimalkan kelonggaran dalam hal peraturan dan birokrasi pada lembaga pembiayaan, serta meningkatkan penggunaan tabungan perumahan masyarakat dan koperasi masyarakat sebagai lembaga pembiayaan yang pro masyarakat. 5. ASPEK BUDAYA HUKUM a. Perlu dibentuk Forum PKP di daerah sebagai wadah peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, serta meningkatkan sinergitas antara Forum PKP dan Pokja PKP guna memberikan efektivitas peran serta masyarakat. b. Perlu dilakukan peningkatan sosialisasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengenai aturan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman dalam peraturan perundang-undangan serta program pemerintah yang meliputi bantuan atau kemudahan pembiayaan bagi MBR.

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

KAJIAN DAN EVALUASI PEMANTAUAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA

Tanggal
2021-09-01
Lokasi
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nusa Tenggara Barat

Pancasila dan Pembukaan UUD Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanggung jawab negara dalam melindungi rakyat Indonesia dilakukan dengan penguasaan sumber daya alam yang dimiliki oleh negara, termasuk pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tinggi, wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada beberapa wilayah dengan potensi sumber daya yang belum dimanfaatkan secara optimal. Guna menjamin keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua stakeholders terutama masyarakat pesisir. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden telah menyepakati pembentukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada bulan Juli tahun 2007 yang kemudian telah mengalami 2 (dua) kali perubahan, yakni melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU Cipta Kerja (UU PWP3K). Terdapat beberapa permasalahan dalam UU PWP3K antara lain: 1. pengaturan mengenai kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS); 2. pengintegrasian RZWP3K ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi; 3. pengintegrasian kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 4. pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 5. perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut; 6. pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko terintegrasi secara elektronik (Sistem Online Single Submission (Sistem OSS)) 7. anggaran pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi; dan 8. peran serta masyarakat dalam kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Ditinjau dari aspek substansi, terdapat beberapa ketentuan pasal yang harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini dan juga perlu melakukan perubahan dan penambahan terhadap beberapa pasal dalam UU PWP3K. Hal ini ditujukan agar ketentuan dalam UU PWP3K dapat mewujudkan asas dan tujuan pembentukan UU PWP3K dan memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Selain itu, ditinjau dari sisi implementasi juga masih ditemukan beberapa permasalahan terkait integrasi kegiatan, perencanaan RZWP3K dan implikasi dari belum adanya RZWP3K, perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut, reklamasi, kewenangan PPNS, Program Mitra Bahari, kegiatan penelitian, pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah, dan koordinasi dalam pengelolaan wilayah konservasi di laut. Terdapat pula kendala terkait kurangnya anggaran pengawasan dari diubahnya ketentuan Pasal 50 UU PWP3K. Kemudian pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko dengan menggunakan Sistem OSS belum berjalan optimal demikian juga minimnya SDM untuk kebutuhan penegakan hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, terdapat permasalahan terkait hak yang dimiliki oleh masyarakat salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak masyarakat dalam memperoleh informasi dan kurangnya pemahaman stakeholders terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

1. Aspek Substansi Hukum a. Penyusunan dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tetap dilakukan secara bertahap dalam proses penyusunan rencana tata ruang dan diperlukan penegasan norma dalam UU PWP3K bahwa penyusunan perencanaan ruang laut mengacu kepada peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. b. Pasal 7 dan Pasal 7A UU PWP3K perlu diharmonisasikan dengan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang darat untuk wilayah pulau-pulau kecil dan penataan ruang laut untuk wilayah pesisir. c. Pengaturan dalam Bab IV UU PWP3K perlu dikuatkan dengan adanya norma yang menegaskan bahwa RZWP3K disusun oleh pemerintah daerah provinsi dengan kewajiban untuk melibatkan pemerintah daerah kabupaten/kota. d. Pasal 30 UU PWP3K perlu dilakukan perbaikan dengan adanya norma yang menyatakan “perubahan status zona inti pada kawasan konservasi untuk kegiatan pemanfaatan hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional berupa penetapan proyek strategis nasional yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.” e. Frasa “masyarakat adat” dalam Pasal 61 UU PWP3K perlu diubah menjadi frasa “masyarakat hukum adat” agar konsisten dengan perubahan frasa “masyarakat adat” dalam pasal-pasal lain yang sudah diubah sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. f. Istilah “kepentingan nasional” dalam Pasal 21 ayat (2) UU PWP3K perlu diberikan definisi atau penjelasan agar memberikan kepastian hukum terutama bagi masyarakat hukum adat. g. Pengaturan Pasal 20 ayat (1) UU PWP3K perlu dilakukan penambahan frasa “dan pemerintah daerah” setelah frasa “Pemerintah Pusat” sehingga selengkapnya menjadi “Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional”. h. Rumusan yang berisi norma mengenai sanksi administrasi, sanksi perdata, dan/atau sanksi pidana yang semula berada dalam Penjelasan Pasal 36 ayat (5) UU PWP3K perlu dipindahkan menjadi materi muatan dalam batang tubuh pasal UU PWP3K. i. Frasa “mengadakan tindakan lain menurut hukum” dalam Pasal 70 ayat (3) huruf i UU PWP3K perlu dijabarkan. Secara konkret, salah satunya dengan menambahkan pengaturan mengenai upaya paksa termasuk sebagai kewenangan PPNS. j. Perlu dilakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dapat dilakukan dalam 2 (dua) langkah perumusan, yaitu yang pertama, harmonisasi kebijakan formulasi (sistem pengaturan), dan yang kedua, harmonisasi materi atau norma-norma dalam UU PWP3K dengan UU Pemda, dan dalam UU PWP3K dengan UU Penataan Ruang. Harmonisasi materi seyogyanya mempertimbangkan semangat desentralisasi sebagai bagian yang sangat penting dalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. k. Perlu mendorong Kementerian KP dan kementerian terkait untuk membantu Presiden merumuskan kedua peraturan presiden yang diamanatkan Pasal 46 dan Pasal 49 UU PWP3K mengingat UU PWP3K merupakan kesepakatan politik bersama antara DPR RI dengan Presiden yang harus dijalankan oleh eksekutif sebagai pelaksana undang-undang. 2. Aspek Struktur Hukum/Kelembagaan a. Perlu adanya komitmen bersama yang menegaskan pembagian kewenangan mengenai penataan ruang darat oleh Kementerian ATR/BPN dan penataan ruang laut oleh Kementerian KP, serta kewenangan terkait pengelolaan wilayah konservasi di laut antara Kementerian KP dan Kementerian LHK. Selain itu diperlukan optimalisasi Program Mitra Bahari sebagai sebuah forum yang salah satu kegiatannya mengadakan pertemuan rutin seluruh pemangku kepentingan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. b. Perlu dilakukan percepatan penyusunan dokumen final RZWP3K oleh pemerintah daerah provinsi yang belum menetapkan peraturan daerah mengenai RZWP3K untuk kemudian menjadi materi teknis muatan pesisir dalam RTRW provinsi. c. Perlu adanya itikad baik dari Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah untuk mempertimbangkan usulan, tanggapan, dan perbaikan dari masyarakat terhadap dokumen RZWP3K, terutama terkait dengan wilayah penangkapan ikan secara tradisional dan wilayah kelola masyarakat hukum adat. Selain itu diperlukan komitmen dari stakeholders untuk menjadikan RZWP3K sebagai pedoman dan acuan dalam kegiatan pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. d. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam implementasi perizinan berusaha terkait pemanfaatan di laut dan juga harmonisasi dalam menyusun kebijakan terkait kegiatan pemanfaatan sumber daya perairan, salah satunya kegiatan produksi garam skala mikro. e. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pelaksanaan reklamasi, terutama dalam hal mekanisme teknis pelaksanaan reklamasi dan penyusunan dokumen final RZWP3K untuk diintegrasikan ke dalam RTRW provinsi bagi daerah-daerah yang belum memiliki peraturan daerah tentang RZWP3K. f. Perlunya perbaikan sistem birokrasi untuk mengoptimalisasi koordinasi dalam pelaksanaan kewenangan PPNS sehingga ke depannya proses penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dalam rangka pengawasan dan pengendalian di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan cepat dan efektif. g. Perlu dilakukannya penguatan koordinasi dan sinergi di antara Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, tokoh masyarakat, dan/atau dunia usaha untuk upaya peningkatan kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga Program Mitra Bahari ini dapat berjalan secara efektif. h. Perlu adanya sosialisasi dari Pemerintah Pusat kepada aparatur pemerintah daerah di tingkat kecamatan dan desa mengenai mekanisme pelaksanaan kegiatan penelitian oleh orang asing di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. i. Diperlukan adanya petunjuk teknis mekanisme dalam prosedur keterlibatan pemerintah daerah kabupaten/kota, untuk memperjelas kewenangan masing-masing dan menghindari adanya tumpang tindih kewenangan dalam melakukan pengelolaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. j. Perlu dilakukan penguatan koordinasi dan sinergi antar kementerian/lembaga dalam pengelolaan wilayah konservasi, guna memperjelas peran masing-masing dalam mekanisme teknis pelaksanaan di lapangan untuk pengelolaan wilayah konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Aspek Pendanaan Pemerintah provinsi hendaknya mengalokasikan anggaran yang lebih memadai untuk kegiatan pengawasan yang termasuk di dalamnya Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) sehingga pelaksanaan pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi lebih efektif. 4. Aspek Sarana dan Prasarana a. Perlu adanya sosialisasi terhadap masyarakat terkait Sistem OSS agar pemahaman menjadi lebih baik, memperluas pengadaan sarana dan prasarana Sistem OSS untuk menjangkau masyarakat yang kesulitan mengakses di beberapa wilayah, serta penyempurnaan dan pengembangan Sistem OSS. b. Perlunya peningkatan kuantitas dan kualitas SDM untuk kegiatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kuantitas dilakukan dengan mengoptimalkan jumlah SDM PPNS, Polsus, dan SDM di UPT untuk mengoptimalkan fungsi UPT di daerah masing-masing. Kemudian kualitas dilakukan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan berupa pembekalan dan pembinaan untuk meningkatkan produktivitas. 5. Aspek Budaya Hukum a. Perlu adanya pemberdayaan masyarakat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah khususnya menyediakan dan menyebarluaskan informasi terhadap masyarakat untuk mudah dijangkau, serta melakukan sosialisasi terhadap masyarakat terkait hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur di dalam Pasal 60 UU PWP3K. b. Perlu pemberian bimbingan teknis kepada stakeholders mengenai ketentuan-ketentuan/peraturan-peraturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kemudian diperlukannya sosialisasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada masyarakat mengenai perencanaan, pemanfaatan, dan peran serta masyarakat dalam pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Pokmaswas. Kemudian bagi PPNS dan Polsus diberikan pendidikan dan pelatihan sehingga memiliki kesamaan pemahaman mengenai pengawasan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selanjutnya terhadap pemerintah daerah dan stakeholders lainnya diperlukan sosialisasi yang lebih masif dan intensif sehingga tidak terdapat lagi pemahaman bahwa kewenangan perencanaan RZWP3K tersentralisasi di Pemerintah Pusat.