a. Bahwa berlakunya ketentuan Pasal 5 huruf c UU 17/2022 tersebut telah tidak mengakui, mengesampingkan, tidak melindungi dan tidak memberikan kepastian hukum atas eksistensi ciri khas karakteristik adat dan budaya yang melekat pada diri Para Pemohon yang dipelihara dan lestarikan dan berlaku di daerah tempat tinggal Para Pemohon dalam hal ini di Kabupaten Mentawai. (vide Perbaikan Permohonan hal. 8); b. Bahwa ketentuan Pasal 5 huruf c UU 17/2022 tersebut hanya mengatur karateristik adat istiadat, falsafah, kekayaan sejarah, Bahasa, kesenian, desa dat/nigari, ritual, upacara adat, situs budaya dan kearifan lokal masyarakat Minangkabau. Sehingga dengan demikian tegas terdapat diskriminasi dan pengabaian karateristik adat istiadat, falsafah, kekayaan sejarah, Bahasa, kesenian, desa dat/nigari, ritual, upacara adat, situs budaya dan kearifan lokal yang berlaku, dijaga dan dilestarikan oleh Para Pemohon (vide Perbaikan Permohonan hal. 9); dan c. Bahwa penggunaan jilbab telah menyatu dan menjadi bagian penting dalam sejarah dan adat istiadat Minangkabau, berbeda dengan aturan pakaian di daerah asal Para Pemohon yaitu Kabupaten Kepulauan Mentawai khususnya di Pulau Siberut terdapat saudari-saudari atau keluarga Pemohon I dan Pemohon IV yang tidak mengenakan pakaian secara penuh menutup tubuh karena alasan budaya dan merupakan kearifan lokal daerah asal Para Pemohon. (vide Perbaikan Permohonan hal. 10); d. Bahwa Dikhawatirkan adalah terjadinya potensi kerugian berupa terbitnya Peraturan Daerah yang menjadi turunan atau aturan pelaksanaan daripada UU Nomor 17 Tahun 2022 yang bernuansa syari’at dimana sudah barang tentu Para Pemohon selaku masyarakat Sumatera Barat yang beretnis Mentawai tidak dapat dipaksa tunduk pada Perda tersebut karena Para Pemohon memiliki adat istiadat, Bahasa, dan nilai-nilai sosial yang tumbuh dan hidup dan dianut Para Pemohon di Mentawai (vide Perbaikan Permohonan hal. 17).
Pasal 5 huruf c UU 17/2022
2022-09-19
97/PUU-XX/2022
Tidak Dapat Diterima
Tidak ada timeline