Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

89/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya, ketentuan dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM khususnya frasa “oleh warga negara Indonesia” membuat pelaku kejahatan HAM diluar wilayah Indonesia, baik dari pelaku maupun korbannya warga negara asing tidak dapat diadili dalam peradilan Indonesia sedangkan konsep perlindungan HAM sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU HAM diberikan kepada setiap orang sehingga ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM dirasa tidak sejalan dengan nilai-nilai konstitusi dan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 karena meletakkan perlindungan HAM universal menjadi sangat individualistik hanya perlindungan warga negara Indonesia (vide perbaikan permohonan hlm 9 angka 9-10). Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa pengaturan di dalam ketentuan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak dan/atau kewenangan konstitusional ini sama sekali tidak terkurangi dengan berlakunya ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM. Terlebih Para Pemohon mengkaitkan keberlakukan ketentuan pasal a quo dengan upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh orang yang bukan warga negara Indonesia yang tentunya tidak dijamin dalam konstitusi Indonesia yang dituangkan dalam UUD NRI Tahun 1945. b. Bahwa terkait dengan batu uji Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur adanya tanggung jawab Negara terutama Pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu ketentuan yang mengikat terhadap Negara khususnya Pemerintah dan bukan jaminan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang merupakan perorangan dan badan hukum. Dengan demikian ketentuan yang dijadikan batu uji dalam pengujian pasal a quo UU Pengadilan HAM tidak memiliki pertautan dengan permasalahan yang diuraikan oleh Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya. c. Bahwa ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM sama sekali tidak menghalangi konstitusional Para Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”, sebagaimana yang ketentuan batu uji Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. a. Pandangan DPR demikian, sejalan dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan disusunnya kemerdekaan kebangsaan Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara. Meskipun di dalam pembukaan UUD NRI Tahun 1945 terdapat amanat “ikut melaksanakan ketertiban dunia”, amanat itu tidak serta merta dapat diartikan dapat melakukan intervensi hukum terhadap yurisdiksi hukum asing. Pelaksanaan ketertiban dunia tentu menggunakan kebiasaan pergaulan antar negara yang telah dilaksanakan sejak lama yakni berdasarkan hukum internasional. 2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa dalam perbaikan permohonannnya, Para Pemohon dalam uraian legal standing (kedudukan hukum) tidak mempertautkan kerugian konstitusionalnya dengan ketentuan yang dijadikan batu uji dalam permohonannya. Para Pemohon menyatakan bahwa ketentuan a quo menghalangi kerja jurnalis dalam reportase HAM dan isu internasional karena jurnalis kerapkali menjadi korban dan sebagai korban tidak dapat melaporkan pelakunya kepada aparatur Indonesia. DPR menerangkan bahwa jurnalis mengalami tindakan kejahatan HAM sebagaimana didalilkan Para Pemohon, secara hukum seharusnya korban melaporkannya kepada aparat penegak hukum di negara tersebut. Hukum Indonesia tidak mungkin diberlakukan pada pelaku WNA yang tempat kejadian perkaranya ada di luar Indonesia, karena setiap negara memiliki yurisdiksi hukumnya masing-masing. Penerapan hukum Indonesia terhadap pelaku pelanggaran HAM berat yang dilakukan bukan di Indonesia dan berstatus bukan WNI secara langsung tanpa adanya mekanisme kerjasama internasional merupakan bentuk intervensi kedaulatan hukum negara lain. Walaupun demikian, Pemerintah RI tetap diwajibkan memberikan perlindungan kepada setiap WNI atau badan hukum yang menghadapi permasalahan hukum di negara asing dengan perwakilan negara asing di Indonesia, sesuai dengan ketentuan hukum dan kebiasaan internasional. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Bahwa dalam hal upaya Para Pemohon untuk aktif dalam upaya penegakan HAM secara internasional tentunya harus dilakukan dengan mekanisme sesuai dalam lingkup yurisdiksi masing-masing negara agar tidak menciptakan suatu permasalahan antar negara mengingat setiap negara harus mampu menghormati dan menghargai kedaulatannya masing-masing. Selain itu, Para Pemohon juga harus memahami apa yang dimaksud dengan politik luar negeri dan politik bebas aktif yang dianut oleh Indonesia dalam perannya dalam kegiatan antar negara baik secara bilateral, regional, maupun secara internasional. 3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi a. Bahwa Para Pemohon tidak menjelaskan secara spesifik kerugian hak konstitusionalnya. Para Pemohon hanya menjelaskan kedudukan hukum perorangan WNI yang bertindak selaku aktivis pembela HAM yang kegiatannya dalam lingkup advokasi, bukan orang yang mengalami langsung pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu tidak ada kerugian hak konstitusional yang dialami Pemohon I dan Pemohon II yang spesifik, aktual, dan potensial yang dapat dipastikan akan terjadi terhadap Para Pemohon. b. Bahwa Para Pemohon tidak menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dengan jelas atas berlakunya ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM. Tidak hanya itu, Para Pemohon tidak konsisten dalam menyebutkan batu uji yang digunakan dalam pengujian ketentuan a quo. Para Pemohon telah jelas menyebutkan bahwa Para pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM terhadap Pasal 28I ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 pada halaman angka 2, namun Para Pemohon menyebutkan dasar konstitusi yang digunakan adalah Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 pada halaman 18. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2 dan 3 di atas, terdapat inkonsistensi batu uji yang digunakan oleh Para Pemohon dalam pengujian ketentuan a quo UU Pengadilan HAM. Selain itu uraian posita Para Pemohon terkait kedudukan hukumnya tidak mempertautkan ketentuan yang dijadikan batu uji tersebut dengan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan dialami oleh Para Pemohon. Dengan adanya inkonsistensi dan ketidakjelasan tersebut, maka telah sangat terang bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan ketentuan dalam UU Pengadilan HAM yang dimohonkan pengujian terhadap UUD NRI Tahun 1945. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa berdasarkan uraian angka 1 sampai angka 4 diatas, jelas Para Pemohon tidak memenuhi ketentuan kumulatif adanya kedudukan hukum (legal standing) dalam pengajuan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 secara materiil. Tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dengan berlakunya pasal a quo UU Pengadilan HAM maka tidak akan berdampak apapun terhadap Para Pemohon.Selain itu, apabila permohonan Para Pemohon dikabulkan, jelas-jelas akan menimbulkan kerusakan tata hukum nasional dan ketidaksesuaian hukum Indonesia dengan teori-teori hukum khususnya terkait dengan teori kedaulatan dan teori jusrisdiksi hukum. Hal ini justru akan merugikan Indonesia dan berpotensi menimbulkan sengketa antara Indonesia dengan negara lain khususnya yang ada di kawasan Asia Tenggara. Pokok Permohonan: 1. Bahwa secara garis besar terdapat 4 (empat) kelompok teori besar yang biasa digunakan sebagai dasar pemenuhan HAM yaitu: (sumber: Dr. Rahayu, S.H., M. Hum., Hukum Hak Asasi Manusia, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2012, hal. 8-18) a. Teori Hukum Alam/Teori Hukum Kodrat (natural rights theory) Teori ini berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat berdasarkan takdirnya sebagai manusia. HAM yang bersumber dari hak alamiah ini tidak memerlukan pengakuan, baik dari pemerintah maupun suatu sistem hukum. Hak-hak inilah yang kemudian dikenal sebagai hak yang non-derogable sifatnya, yaitu hak yang tidak boleh dikesampingkan oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. b. Teori Hukum Positif (Positive Law Theory) Menurut penganut teori positivisme, suatu hak harus berasal dari sumber yang jelas seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara. HAM berdasarkan pandangan teori positivisme ini lebih menekankan pada aturan-aturan tertulis mengenai HAM, sehingga tindakan yang tidak sesuai dengan aturan adalah pelanggaran terhadap HAM. c. Teori Universal (Universal Theory) Teori universal berpandangan bahwa HAM bersifat universal, sehingga HAM dimiliki oleh individu terlepas dari nilai-nilai atau budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau pun yang ada pada suatu negara. Universalitas HAM telah dicapai dengan diterimanya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948. Pengakuan terhadap universalitas HAM belum menjamin tercapainya universalisme HAM yang sampai saat ini terus menjadi perdebatan. Teori univesalisme teori ini melahirkan dua pandangan yang berbeda yaitu: 1) Universal absoulut, adalah aliran yang memandang HAM sebagai nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam The International Bill of Rights. Teori universal absolut bagi negara berkembang seringkali dipandang eksploitatif karena melihat persoalan HAM dipakai sebagai alat penekan. 2) Universal relatif, yaitu aliran yang melihat persoalan HAM sebagai masalah universal dan melihat dokumen-dokumen internasional tentang HAM sebagai acuan yang penting, namun demikian pengecualian (exception) yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional yang diakui. d. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory) Teori relativisme budaya memandang bahwa HAM harus diletakan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak yang bersifat universal. Tidak ada suatu hak yang bersifat universal karena HAM harus dipahami dan dilihat dalam perspektif budaya suatu masyarakat atau negara. Secara teoritas terdapat dua kelompok utama penganut relativisme budaya, yaitu: 1) Partikularistik absolut, yaitu kelompok yang melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa tanpa memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya dokumen dan instrumen hukum internasional tentang HAM. Pandangan ini bersifat defensif dan pasif terhadap HAM. 2) Partikularistik relatif, yaitu kelompok yang melihat persoalan HAM disamping sebagai persoalan universal juga merupakan masalah internasional yang harus diselaraskan memperoleh dukungan dan tertanam (embedded) serta melembaga dalam masyarakat bangsa tersebut. Pandangan ini tidak sekedar defensif terhadap dokumen internasional tentang HAM, tapi juga berusaha untuk aktif mencari perumusan dan pembenaran tentang karakteristik HAM yang dianutnya. 2. Bahwa Para Pemohon mempersoalkan mengenai yurisdiksi hukum nasional dan prinsip yurisdiksi universal. (vide Perbaikan Permohonan Hal. 21). Terhadap hal tersebut, DPR berpandangan bahwa persoalan tersebut termasuk dalam konteks pemahaman hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Oleh karena itu DPR perlu untuk menjabarkan teori hubungan hukum internasional dan hukum nasional. a. Menurut Starke, yurisdiksi ini dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturan-peraturan tersebut dalam hubungannya dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari negara yang bersangkutan. Dengan adanya pengakuan atas kedaulatan tiap-tiap negara, tentunya suatu negara tidak dapat mengenakan hukum negaranya untuk mengatur negara lain termasuk juga warga negara lain. Apabila warga negara asing berada di wilayah yuridiksi negara lain, maka dapat dikenakan hukum yang berlaku di wilayah negara tersebut karena setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah teritorialnya. b. Bahwa di dalam pemahaman hubungan hukum internasional dan hukum nasional terdapat dua pandangan yakni pandangan dualisme dan monisme, yaitu sebagai berikut: 1) Pandangan atau aliran dualisme yang terbagi lagi menjadi pandangan voluntarisme dan pandangan objektivis. Pandangan voluntarisme mendasarkan berlakunya hukum internasional dan ada tidaknya hukum internasional ini pada kemauan negara (gemeinwille). Pandangan voluntarisme mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang hidup berdampingan dan terpisah. Adapun pandangan objektivis, yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Pandangan ini menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua bagian dari satu kesatuan perangkat hukum. 2) Paham monisme, pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional menempatkan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Sebagai akibat dari pandangan ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum internasional dan hukum nasional ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan beberapa sudut pandang yang berbeda dalam aliran monisme mengenai masalah hukum yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional. Sudut pandang dalam paham monisme tersebut terbagi lagi menjadi paham monisme dengan primat hukum nasional dan paham monisme dengan primat hukum internasional. Paham monisme dengan primat hukum nasional, mengemukakan bahwa hukum internasional tidak lain merupakan lanjutan hukum nasional belaka atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau auszeres staatsrechts. Pada hakikatnya, menganggap bahwa hukum internasional bersumber pada hukum nasional. Sedangkan, paham monisme dengan primat hukum internasional, mengemukakan bahwa hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya, berkekuatan mengikatnya berdasarkan suatu “pendelegasian” wewenang dari hukum internasional. c. Prof. Romli Atmasasmita menerangkan bahwa teori monisme dan dualisme sudah tidak sejalan dengan perkembangan masyarakat internasional sampai saat ini. Perkembangan dunia pada dewasa ini yang terbagi antara negara-negara utara dan selatan dengan berpegang teguh kepada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memperkuat bahwa kedua teori tersebut diatas tidak dapat dipertahankan lagi sekalipun dalam praktik hukum internasional, masih sering terjadi bahwa teori primat hukum nasional lebih dominan daripada teori primat hukum internasional. Lebih lanjut Prof. Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa dominasi teori monisme dengan primat hukum nasional atas teori dengan primat hukum internasional dalam praktik hukum internasional, secara nyata tersirat dari masalah konflik yurisdiksi kriminil antara dua negara dalam kasus tindak pidana narkotika lintas teritorial. d. DPR berpandangan bahwa ketentuan yang mengatur tentang HAM dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni pada Bab XA menggunakan dasar berpikir atau sudut pandang teori hukum positif. HAM dalam teori hukum positif memandang suatu hak harus berasal dari sumber yang jelas seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara. DPR berpendapat demikian karena ketentuan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 tegas menyatakan “untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. 3. Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan a quo bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena telah membatasi peran pemerintah yang berkewajiban di dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM secara universal. (vide Perbaikan Permohonan Halaman 21 angka 9) Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa berdasarkan Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, Pemerintah Indonesia telah dilekati suatu kewajiban bagi penyelenggara negara. Atas dasar pasal tersebut, Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah membentuk UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hubungan Luar Negeri. Dan ini merupakan bagian yang harus dibaca tak terpisah dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Termasuk sejumlah ratifikasi perjanjian internasional hak asasi manusia, baik itu hak ekonomi, sosial, dan budaya, maupun hak sipil, dan politik. Ketentuan perundang-undangan itu melengkapi apa yang disebut dalam hukum HAM internasional sebagai state obligation atau kewajiban negara, baik itu dalam bentuknya kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia. b. Bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM secara universal tetap harus dilakukan berdasarkan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM itu harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana amanat Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Pelaksanaan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM apabila dilakukan tanpa merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan berarti melanggar ketentuan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. c. Pasal 8 UU a quo telah mengatur penegasan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah RI. Perlindungan HAM di Indonesia telah dilaksanakan dari adanya lembaga yang diperlukan yakni Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun mengenai penegakan HAM di Indonesia tercermin dari adanya pengadilan HAM Indonesia. d. Pembentukan pengadilan HAM Indonesia tidak terlepas dari tekanan masyarakat internasional melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1264 Tahun 1999, kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Pembentukan pengadilan ini merupakan salah satu bentuk upaya Indonesia untuk memenuhi prinsip exhaustion of local remedies, yaitu mengutamakan penggunaan mekanisme hukum nasional untuk menangani pelanggaran berat HAM yang terjadi di wilayahnya, karena menurut hukum internasional mekanisme pengadilan internasional tidak dapat serta merta menggantikan peran pengadilan nasional. e. Bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM secara universal yang dimaksud Para Pemohon adalah dengan memberlakukan kompetensi absolut pengadilan HAM Indonesia pada pelaku kejahatan HAM yang berstatus WNA dan dilakukan di luar negeri. DPR berpandangan hal tersebut tidak memungkinkan karena beberapa alasan diantaranya: hukum acara pidana Indonesia tidak memungkinkan melakukan hal yang dimaksud Para Pemohon, persoalan yurisdiksi nasional, persoalan politik serta diplomatik. f. Hukum acara pengadilan HAM Indonesia menggunakan ketentuan hukum acara pidana (KUHAP) kecuali ditentukan secara khusus dalam UU a quo. Dalam UU a quo dan KUHAP mensyaratkan agar terdakwa (pelaku pelanggaran HAM berat) dihadirkan dalam sidang pengadilan HAM Indonesia agar proses beracara sidang dapat berjalan. Sedangkan Para Pemohon sendiri menyadari bahwa tidak mungkin apabila pemerintah atau warga negara Myanmar bersedia untuk mengajukan pelaku di hadapan pengadilan pidana internasional atau berada di luar negara Myamar. (vide hal. 26 angka 27). Oleh karena itu tidak mungkin pengadilan HAM Indonesia dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM berat tanpa hadirnya yang bersangkutan sebagai terdakwa. g. Persoalan senyatanya yang dijabarkan Para Pemohon adalah mengenai yurisdiksi hukum negara Indonesia. Hukum Indonesia menganut asas nasionalitas aktif. Asas nasionalitas aktif adalah salah satu asas keberlakuan hukum pidana Indonesia. Asas atau prinsip ini dianut dalam Pasal 5 KUHP yang pada intinya menyatakan ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia. Prinsip ini dinamakan asas nasionalitas aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang warga negara. 1. Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia: a. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279 ,450, dan 451; b. Suatu perbuatan terhadap suatu yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan; 2. Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada huruf b boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu. h. Lebih lanjut, terkait dengan Pasal 5 KUHP ini, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (hal. 33) menjelaskan bahwa dalam pasal ini diletakkan prinsip nationaliteit aktief atau personaliteit. Asas personalitas adalah warga negara Indonesia yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam sub I dari pasal ini, meskipun di luar Indonesia, dapat dikenakan undang-undang pidana Indonesia. Apabila mereka itu berbuat peristiwa pidana lainnya yang oleh undang-undang Indonesia dipandang sebagai kejahatan (pelanggaran tidak), hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, jika perbuatan yang dilakukan itu oleh undang-undang di negara Asing di mana perbuatan itu telah dilakukan, diancam pula dengan hukuman. Hal ini hanya berlaku bagi warga negara Indonesia dan tidak bagi warga negara asing, kecuali jika setelah berbuat peristiwa itu ia masuk warga negara Indonesia. i. Oleh karena itu, DPR berpendapat bahwa ketentuan a quo yang diuji Para Pemohon sesungguhnya telah sejalan dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP dan Pasal 5 KUHP. Apabila ketentuan a quo dimaknai dapat diberlakukan pada WNA dimana perbuatannya dilakukan di luar Indonesia, justru menyimpangi ketentuan yang ada dalam KUHAP dan Pasal 5 KUHP. Penyimpangan aturan tersebut justru berpotensi menyebabkan melanggar konstitusi yang diatur dalam Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 yang amanatnya pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan HAM tidak serta merta dapat dilaksanakan secara universal seperti yang dimaksud Para Pemohon dengan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Para Pemohon mencantumkan dalam permohonannya sub judul “tentang kekosongan hukum perlindungan hak asasi manusia di Asia Tenggara”. DPR melihat bahwa tidak ada dalil Para Pemohon yang menjabarkan lebih lanjut kekosongan hukum perlindungan HAM di Asia Tenggara. Para Pemohon mendalilkan bahwa pelaku pelanggaran HAM di negara Myanmar tidak dapat diadili berdasarkan mekanisme pengadilan pidana internasional. DPR berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah penjelasan mengenai kekosongan hukum perlindungan HAM di Asia Tenggara. Dalil yang dijabarkan Para Pemohon justru mengarah pada harapan Para Pemohon bahwa hukum Indonesia dapat diberlakukan pada pelanggar HAM asal Myanmar tersebut. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa Indonesia menganut asas nasionalitas aktif yang menjadi dasar hukum paling kuat bahwa pemahaman yurisdiksi universal yang dimaksud Para Pemohon tidak dapat diterapkan karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang diatur Pasal 5 KUHP. 5. Para Pemohon mendalilkan pada intinya bahwa seharusnya pengadilan HAM Indonesia dapat mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat WNA yang dilakukan di luar Indonesia, sehingga setidak-tidaknya para pelaku tersebut setidak-tidaknya menjadi negara yang tidak dikunjungi oleh para pelaku tersebut. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR berpendapat sebagai berikut: a. Keputusan larangan berkunjung ke Indonesia oleh pelaku pelanggaran HAM berat, tidak tepat jika diarahkan melalui mekanisme yudikatif yaitu pengadilan HAM Indonesia mengadili pelaku secara in absentia atau tanpa dihadiri pelaku. Selain hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan karena melanggar ketentuan hukum acara pidana Indonesia, hal tersebut sesungguhnya merupakan ranah kekuasaan eksekutif dan legislative. DPR berpendapat bahwa kasus riil yang dijabarkan Para Pemohon lebih tepat apabila menggunakan pendekatan diplomatik dan politik. b. Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf a dan g Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian mengatur bahwa Pejabat Imigrasi Indonesia menolak Orang Asing masuk Wilayah Indonesia salah satunya dalam hal orang asing tersebut Namanya tercantum dalam daftar Penangkalan. Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian. Adapun keputusan penangkalan tersebut dapat diberlakukan seumur hidup terhadap orang asing bersangkutan jika pemerintah Indonesia menganggap orang asing tersebut berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban umum. c. Oleh karena dalil yang dinyatakan Para Pemohon lebih tepatnya menggunakan pendekatan keputusan politik eksekutif maka dalil yang menyatakan ketentuan a quo dimana Pengadilan HAM Indonesia dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di luar negeri yang dilakukan WNA adalah keliru. Harapan Para Pemohon, setidak-tidaknya pelaku pelanggaran HAM berat WNA tersebut tidak berkunjung ke Indonesia sudah memiliki dasar hukum pada ranah keputusan eksekutif cq. Kementerian Hukum dan HAM untuk menangkal masuknya orang asing atau WNA dimaksud ke Indonesia. 6. Mengenai keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat, DPR berpandangan bahwa hak korban pelanggaran HAM berat dijamin melalui sejumlah perundang-undangan maupun hukum HAM Internasional. Dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, yakni sebagai orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan saksi dan atau korban. Pada tataran hukum internasional, korban pelanggaran HAM berat memperoleh restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi, disebutkan dalam Declaration of Basic Principal Of Justice For Victim And Abuse Of Power (Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan Dan Penyalahgunaan Kekuasaan) melalui resolusi Majelis Umum PBB 40/34, 29 November 1985. Dalam kerangka hukum nasional, hak ini pula diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Pengadilan HAM yang menyebutkan, “Pemberian hak korban atas restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi berdasarkan adanya putusan pengadilan HAM yang mencantumkan amar demikian.” 7. Dalam hukum pidana internasional terdapat asas extradite or prosecute yang dapat dikaitkan dengan pokok pengujian ini. Punish or extradition Under the related aut dedere aut judicare (extradite or prosecute) rule, a state may not provide a safe haven for a person suspected of certain categories of crimes. Instead, it is required either to exercise jurisdiction (which would necessarily include universal jurisdiction in certain cases) over a person suspected of certain categories of crimes or to extradite the person to a state able and willing to do so or to surrender the person to an international criminal court with jurisdiction over the suspect and the crime. (Sumber: Amnesty International, “International Law Commission: The Obligation to Extradite or Presecute (Aut Dedere Aut Judicare) Berdasarkan asas extradite or prosecute, kebiasaan dalam hukum pidana internasional seharusnya mewajibkan suatu negara tidak menyediakan tempat perlindungan bagi pelaku tindak pidana yang bukan warga negaranya (WNA). Negara dimaksud seharusnya melaksanakan yurisdiksi hukum nasionalnya atau mengekstradisi pelaku tindak pidana (WNA) tersebut ke negara yang bersedia menyerahkan pelaku pidana pada peradilan pidana internasional. Dalam konteks pengujian ini, jika mendasarkan pada asas tersebut, pelaku pelanggaran HAM berat asal Myanmar yang melakukan kejahatan HAM berat di Myanmar apabila datang berkunjung atau sedang berada di Indonesia seharusnya diadili di Indonesia berdasarkan yurisdiksi universal yang dimaksud Para Pemohon atau diekstradisi ke negara yang bersedia menyerahkan pelaku tersebut pada pengadilan HAM internasional (ICC). Terkait dengan dapat atau tidaknya WNA yang melakukan pelanggaran berat di luar negeri untuk diadili di Indonesia, hukum Indonesia tidak memungkinkan melakukan yurisdiksi tersebut, sehingga hal yang paling mungkin dilakukan pemerintah Indonesia adalah menangkal kedatangan pelaku pelanggaran HAM berat dimaksud dan mendeportasinya ke negara asalnya. 8. Bahwa mengenai mekanisme menyerahkan pada negara yang bersedia menyerahkan pelaku pelanggaran HAM berat, Indonesia dapat melakukan dalam hal ada perjanjian ekstradisi dengan suatu negara atau jika Indonesia meratifikasi Statuta Roma untuk menyerahkan pelaku pelanggaran HAM berat tersebut pada ICC. Namun Politik luar negeri Indonesia memilih untuk tidak meratifikasi Statuta Roma namun membentuk pengadilan HAM nasional sebagaimana diatur UU a quo dengan mengadopsi prinsip-prinsip hukum yang ada di ICC. Kompetensi mengadili ICC hanya dapat berlaku terhadap negara yang meratifikasi Statuta Roma. Bahwa setiap negara bebas untuk menentukan politik luar negerinya masing-masing, yang dalam konteks ini politik luar negeri Indonesia memilih untuk tidak ikut meratifikasi Statuta Roma. Setiap negara memiliki yurisdiksi nya masing-masing, setiap kejahatan yang terjadi di wilayahnya merupakan wewenangnya sehingga tidak dapat dipaksakan secara internasional. 9. Bahwa “setiap orang” yang dimaksud ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 tidak serta merta dimaknai secara universal dalam hal tempat kejadian perkara terjadi di luar Indonesia apalagi pelakunya bukan WNI. Bahwa pelaksanaan dukungan terhadap upaya ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, tentu tidak serta merta dilakukan dengan membuat suatu pengaturan negara yang mengatur juga terhadap negara lain dan warga negara lain tanpa adanya persetujuan dari negara lain yang bersangkutan. Pengaturan hak asasi manusia yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945 mengatur dan berlaku terhadap setiap orang yang ada di wilayah Indonesia dan mengatur juga pemenuhan hak asasi manusia secara khusus terhadap warga negara Indonesia. Oleh karena tidak dapat dimaknai secara universal sebagaimana DPR telah jelaskan diatas, maka ketentuan a quo utamanya sepanjang frasa “oleh warga negara Indonesia” yang dimohonkan pengujian tidak melanggar konstitusi sebagaimana diatur pasal-pasal UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji oleh Para Pemohon.

89/PUU-XX/2022

Pasal 5 dan penjelasan Pasal 5 UU Pengadilan HAM

Pasal 28I ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) UUD NRI Tahun 1945