Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

93/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: Bahwa Para Pemohon dalam perbaikan permohonannya mengemukakan bahwa ketentuan Pasal 433 KUHPerdata berpotensi menghambat Pemohon I untuk melaksanakan aktivitasnya sebagaimana dalam Akta Pendirian, yakni untuk menciptakan masyarakat inklusif dimana orang dengan disabilitas mental terpenuhi hak-haknya dan bepartisipasi penuh dalam masyarakat. Terhadap Pemohon II yang pernah didiagnosa menderita afektif bipolar depresif dapat disamakan dengan gila atau gelap mata sebagaimana dalam Pasal 433 KUHPerdata serta Pemohon III yang didiagnosa dengan skizoafektif Tipe Manik dan Bipolar Affective Disorder berpotensi berada dibawah pengampuan sehingga tidak dapat lagi melakukan aktivitas dalam lingkup tindakan keperdataan kecuali dengan persetujuan pengampunya. Hal ini berpotensi menghilangkan hak keperdataan Pemohon II dan III. Selain itu, menyamakan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada anad-21 dengan situasi dan posisi orang dengan gangguan jiwa pada abad 19 ketika KUHPerdata ini disusun, sudah tidak relevan (vide perbaikan permohonan hlm 14-15 dan 23). Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut, DPR akan menyampaikan hal-hal sebagai berikut:  Terkait dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dalam kaitannya dengan penyandang disabilitas mental, tidak hanya diatur dalam KUHPerdata melainkan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tetang Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 36/2009), Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU 18/2014), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (UU 8/2016). Pengaturan ini ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan, menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan Jiwa; menjamin setiap orang dapat mengembangkan potensi kecerdasan serta memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan Kesehatan Jiwa berdasarkan hak asasi manusia.  Terkait dengan Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Negara telah mengupayakan pemenuhannya melalui pengaturan yang ada dalam UU 36/2009, UU 18/2014, dan UU 8/2016. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi setiap orang khususnya penyandang disabilitas mental maupun penderita gangguan kesehatan jiwa. 2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa Para Pemohon tidak menguraikan dengan jelas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya atas berlakunya ketentuan Pasal a quo KUHPerdata. Dalam hal pemenuhan hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara khususnya penyandang disabilitas yang mengharuskan mereka berada dalam pengampuan apabila melakukan suatu kegiatan yang berkaitan dengan keperdataannya, merupakan bentuk perlindungan negara terhadap penyandang disabilitas tersebut. Selain itu, apabila dikaitkan dengan kedudukan Para Pemohon dalam pengujian pasal a quo KUHPerdata, apa yang disampaikan oleh Para Pemohon merupakan kekhawatiran Para Pemohon saja. Apabila dipertautkan secara langsung dengan Pemohon II dan Pemohon III, maka potensi adanya pelanggaran hak dan/atau kewenangan konstitusional di masa mendatang atas berlakunya ketentuan dalam KUHPerdata tersebut telah dipertimbangkan dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan Bahwa Para Pemohon khususnya Pemohon I harusnya dapat membedakan antara ruang lingkup hukum perdata dengan ruang lingkup hukum pidana. Realita yang ditemukan dan diuraikan oleh Pemohon I yang berasal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pemohon I bukanlah permasalahan yang berkaitan dengan aktivitas keperdataan seseorang. Penghuni panti yang kerap menghadapi kekerasan fisik, direndahkan martabatnya, dan fasilitas panti asuhan yang tidak memadai tentu tidak berkaitan dengan keharusan seseorang diletakkan di bawah pengampuan. Banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur adanya perlindungan terhadap penyandang disabilitas dalam berbagai bidang dan persamaan perlakuannya dengan warga negara lainnya yang bukan penyandang disabilitas. Meskipun ilmu pengobatan medis telah dikembangkan dan mengalami peningkatan yang signifikan, namun dengan adanya hukum maka dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat atas ketidakpastian yang muncul dan berkembang dalam masyarakat. Sehingga telah jelas dari uraian diatas, bahwa tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon atas berlakunya ketentuan pasal a quo KUHPerdata. 3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa berdasarkan uraian pada poin kedua yang telah disampaikan sebelumnya, DPR berpandangan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak memiliki keterkaitan dengan berlakunya Pasal a quo. Selain itu, kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon lebih pada kekhawatiran Para Pemohon saja atas suatu hal yang telah diantisipasi Pembentuk Undang-Undang dalam memberlakukan dan membuat pengaturan dalam suatu undang-undang. Maka telah jelas bahwa tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa berdasarkan uraian diatas, tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal a quo KUHPerdata. Selain itu, tidak terdapat hubungan pertautan antara dalil Para Pemohon atas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya atas berlakunya Pasal 433 KUHPerdata. Kekhawatiran yang disampaikan oleh Pemohon II dan Pemohon III juga telah terjawab dengan adanya suatu mekanisme penetapan lembaga peradilan terhadap seseorang yang berada dalam pengampuan dan pencabutan penetapan tersebut apabila penderita dinyatakan sembuh berdasarkan diagnosa medis. Dengan demikian telah tampak sangat jelas bahwa tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo, maka dikabulkan atau tidak permohonan Para Pemohon oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon. Pokok Permohonan: 1. Bahwa Pengampuan adalah keadaan seseorang (curandus) karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau di dalam segala hal tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam lalu lintas hukum. Atas dasar hal itu, orang tersebut dengan keputusan Hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Orang tersebut diberi wakil menurut Undang-undang yang disebut Pengampu (curator). Menurut P.N.H. Simanjuntak, Pengampuan adalah suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum dewasa. Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap dan karena boros ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya (BW).” Dengan alasan tertentu, seseorang yang sudah dewasa disamakan kedudukannya dengan seseorang yang minderjarig, karena walaupun sudah dewasa tetapi orang tersebut dianggap tidak cakap bertindak untuk melakukan perbuatan hukum. Dalam Pasal 433 sampai dengan Pasal 462 KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) alasan yang mengharuskan seseorang ditaruh di bawah pengampuan adalah: a. Karena keadaan dungu b. Karena sakit otak c. Mata gelap d. Karena boros Pengampuan berakhir apabila yang ditaruh dalam pengampuan sembuh atau meninggal. 2. Bahwa 460 KUHPerdata, Pengampuan dapat berakhir dengan ketentuan: “Pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; tetapi pembebasan dari pengampuan itu tidak akan diberikan, selain dengan memperhatikan tata cara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh pengampuan, dan karena itu orang yang ditempatkan di bawah pengampuan tidak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan tentang pembebasan pengampuan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti.” Pelaksanaan pengampuan dapat dimulai dan dapat pula berakhir. Berakhirnya pengampuan dapat disebabkan karena pencabutan hak pengampu maupun dapat pula berakhir dengan meninggalnya kurandus atau sebab-sebab yang mengakibatkannya di ampu telah hilang sebagaimana diatur oleh Pasal 460 KUHPerdata. 3. Bahwa Para Pemohon mendalilkan pada intinya ketentuan Pasal 433 KUHPerdata menghilangkan hak penyandang disabilitas mental untuk melakukan upaya hukum atas tindakan penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. (vide Perbaikan Permohonan Para Pemohon hlm. 46). Terhadap dalil tersebut DPR memberikan pandangan sebagai berikut: a. Bahwa ketentuan Pasal 3 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Tidak ada suatu hukuman apapun dapat menyebabkan suatu kematian perdata, atau kehilangan semua hak kewargaan”. Ketentuan tersebut mengartikan bahwa seseorang sebagai penyandang hak-hak maupun kewajiban-kewajiban hanya akan berakhir jika ia telah meninggal dunia. Oleh sebab itu selama seseorang masih hidup maka selama itu pula dapat melakukan perbuatan hukum. Terkait dengan Penyandang disabilitas tidak bisa melakukan perbuatan hukum secara mandiri akan tetapi tetap disebut sebagai subyek hukum, sehingga ketentuan pasal a quo bukanlah menghilangkan hak dan kewenangan penyandang disabilitas sebagai subyek hukum melainkan hanya mengharuskan penyandang disabilitas menggunakan hak dan kewenanganya tersebut melalui mekanisme pengampuan. b. Bahwa ketentuan Pasal 433 KUHPerdata tidak serta merta diterapkan terhadap seseorang tanpa adanya hasil diagnosa dan suatu putusan yang menyatakan seseorang menderita gangguan kesehatan mental sehingga pantas disebut penyandang disabilitas mental. Berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali, di dalam ketentuan Pasal 32 hingga Pasal 34 UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap melalui penetapan pengadilan negeri dengan didasarkan pada alasan yang jelas dan wajib menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater. Selain Penetapan tidak cakap, terdapat juga pembatalan yang dapat ditetapkan Pengadilan Negeri yang diajukan oleh Penyandang Disabilitas atau keluarganya dengan menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater bahwa yang bersangkutan dinilai mampu dan cakap untuk mengambil keputusan. c. Bahwa pengajuan permohonan Pengampu atau penetapan seseorang tidak cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum dapat diajukan ke Pengadilan untuk diberikan penetapan sebagai Pengampu untuk menggantikan orang dibawah pengampuan dalam hal melakukan perbuatan hukum. Permohonan menjadi Pengampu perlu diajukan ke Pengadilan karena sebagai bukti otentik bagi seseorang untuk ditetapkan dibawah pengampuan maka yang bersangkutan tidak dapat melakukan perbuatan hukum apapun apabila diperlukan, kecuali bagi orang yang ditaruh dibawah pengampuan akibat boros dan menghabiskan hartanya dengan sesuka hati. Sehingga, penunjukan pengampu dibuatkan dalam bentuk penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar keyakinan hakim setelah dilakukannya pemeriksaan yang diberitahukan kepada si pengampu dan permintaan surat maupun laporan yang memuat pendapat-pendapat keluarga sedarah tentang persetujuan dirinya untuk diangkat menjadi pengampu. Apabila hakim telah memperoleh keyakinan akan calon pengampu, maka baru diangkat seorang pengampu atau curator, yang diletakkan dalam pengampuan, dalam urusan mengenai diri pribadi maupun harta kekayaan orang tersebut. Sehingga, apabila Penyandang Disabilitas melalui Pengampu melakukan suatu perbuatan hukum justru bertujuan untuk menjamin serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum khususnya bagi subjek hukum penyandang disabilitas. 4. Bahwa dalam petitumnya Para Pemohon meminta pada intnya agar Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan berupa “Menyatakan Pasal 433 KUHPerdata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” dimaknai sebagai penyandang disabilitas mental”. Terhadap petitum tersebut, DPR berpandangan bahwa Para Pemohon seharusnya memahami bahwa ragam penyandang disabilitas termasuk disabilitas mental dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 4 huruf c UU 8/2016 menyatakan: “Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: a. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan b. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif”. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, penyebutan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Para Pemohon seperti “dungu”, “gila”, “mata gelap” dan/atau “keborosan” di dalam Pasal 433 KUHPerdata merupakan penyebutan umum yang tentunya atas kondisi-kondisi seseorang untuk bisa disebut sebagai penyandang disabilitas mental. Kondisi yang disebut dalam pengaturan Pasal 433 KUHPerdata adalah suatu kondisi khusus yang penetapannya pun dengan dasar hasil pemeriksaan medis yang sebagaimana telah DPR sampaikan pada poin sebelumnya bahwa telah diatur secara khusus di dalam ketentuan Pasal 32 hingga Pasal 34 UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa Penyandang Disabilitas dapat dinyatakan tidak cakap melalui penetapan pengadilan dengan didasarkan pada alasan yang jelas dan wajib menghadirkan atau melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan/atau psikiater. Dengan demikian DPR berpandangan bahwa sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak perlu mempertimbangkan petitum Pemohon dan menolak permohonan a quo.

93/PUU-XX/2022

Pasal 433 KUHPerdata

Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945