80/PUU-XX/2022
Kerugian Konstitusional: Pemohon dalam permohonannya menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan akibat berlakunya ketentuan pasal UU a quo yang telah membuat segala upaya dan aktivitas Pemohon dalam melakukan kajian, penelitian, pendidikan dan pelatihan menjadi sia-sia dan telah membuat tahapan penyusunan daerah pemilihan menjadi tidak demokratis dan bertentangan dengan prinsip Pemilu yang luber dan jurdil serta berlakunya pasal-pasal a quo telah berdampak negatif pada kualitas penyelenggaraan Pemilu khususnya dalam pembentukan daerah pemilihan yang tidak konsisten, tidak berkepastian hukum, dan telah menimbulkan daerah pemilihan dan alokasi kursi yang tidak proporsional dan tidak berkeadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI (vide perbaikan permohonan hlm. 6 angka 14 dan angka 15). Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 6). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bukanlah pasal yang mengatur mengenai hak konstitusional warga negara melainkan pasal yang mengatur mengenai kewajiban warga negara Indonesia untuk menaati hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. b. Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 juga bukanlah pasal yang mengatur mengenai hak konstitusional warga negara melainkan pasal yang mengatur mengenai Negara Indonesia adalah negara hukum. c. Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 merupakan salah satu pasal yang menjadi dasar mengingat dalam UU Pemilu sehingga justru merupakan sebagai bentuk jaminan terhadap pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. d. Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum justru telah tercermin dalam pasal-pasal a quo dikarenakan pasal-pasal yang diujikan tersebut telah memberikan perlakuan yang sama terkait daerah pemilihan dan jumlah alokasi kursi bagi setiap orang yang akan menjadi Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. e. Dengan demikian, Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat dijadikan sebagai dalil adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dalam pengujian penjelasan pasal UU a quo sehingga Pemohon jelas tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. 2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa Pemohon mendalilkan sebagai Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merasa dirugikan karena segala upaya dan aktivitas yang telah dilakukan dalam melakukan kajian menjadi sia-sia karena pemberlakuan UU a quo telah membuat tahapan penyusunan daerah pemilihan dan alokasi kursi menjadi tidak demokratis dan bertentangan dengan prinsip pemilu yang luber dan jurdil (vide perbaikan permohonan hlm. 6 angka 14), terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 27 UU Pemilu yang dimaksud dengan Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPRD, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik gabungan partai politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga apabila dikaitkan dengan kedudukan Pemohon tersebut maka pasal-pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon sama sekali tidak berkaitan dengan kedudukan Pemohon sebagai LSM dalam menjalankan aktivitas organisasinnya, melainkan pasal-pasal a quo justru ditujukan untuk calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan ketentuan pasal-pasal a quo tidak membawa implikasi apapun terhadap kedudukan Pemohon. Selain itu, kerugian yang didalilkan Pemohon tersebut hanya sebatas kekhawatiran dan asumsi dari Pemohon sebagai kerugian konstitusional. 3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa dikarenakan pasal-pasal a quo merupakan pasal yang berkaitan dengan daerah pemilihan dan alokasi kursi yang peruntukannya ditujukan untuk Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota maka pasal-pasal a quo tidak memiliki implikasi hukum apapun terhadap kedudukan Pemohon dalam melaksanakan tujuan organisasinya. Dengan demikian, kerugian yang didalilkan oleh Pemohon tidak bersifat spesifik dan aktual serta tidak potensial akan terjadi. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3 telah jelas tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan keberlakuan ketentuan UU a quo yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Dengan demikian tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya ketentuan UU a quo yang dimohonkan pengujian. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan pasal-pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo karena Pemohon tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian UU yang sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian ketentuan UU a quo. Pokok Permohonan: 1. Bahwa Pemohon mendalilkan pemberlakuan pasal-pasal a quo terkait daerah pemilihan dan alokasi kursi Anggota DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam Lampiran III dan IV UU a quo tidak mencerminkan prinsip penyusunan daerah pemilihan dalam Pasal 185 UU Pemilu sehingga bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (vide perbaikan permohonan hal. 11 angka 14 dan 15). Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut: a. Bahwa dalam penyusunan daerah pemilihan pada UU Pemilu telah menerapkan prinsip-prinsip penyusunan daerah pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 185 UU Pemilu, sehingga sejalan dengan prinsip kesinambungan, bahwa penetapan daerah pemilihan tetap memperhatikan daerah pemilihan sebelumnya dengan memperbaiki sejumlah kekurangan berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Pemilihan Umum sebelumnya. Daerah pemilihan pada UU Pemilu merupakan upaya afirmasi untuk menyeimbangkan proporsionalitas nilai suara antar wilayah. b. Bahwa pengaturan UU Pemilu bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilihan Umum secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, maka proses penataan daerah pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan memperhatikan 7 (tujuh) prinsip yang diatur dalam Pasal 185 UU Pemilu yaitu: 1) Kesetaraan Nilai Suara adalah upaya untuk meningkatkan nilai suara yang setara antara satu daerah pemilihan dan daerah pemilihan lainnya dengan prinsip satu orang-satu suara-satu nilai; 2) Ketaatan pada sistem Pemilu yang proporsional adalah ketaatan dalam pembentukan daerah pemilihan dengan mengutamakan jumlah kursi yang besar agar persentase jumlah kursi yang diperoleh setiap partai politik setara mungkin dengan persentase suara sah yang diperoleh; 3) Proporsionalitas adalah prinsip yang memperhatikan kursi antar daerah pemilihan agar tetap terjaga perimbangan alokasi kursi setiap daerah pemilihan; 4) Integralitas wilayah adalah prinsip yang memperhatikan beberapa provinsi, beberapa kabupaten/kota, atau kecamatan yang disusun menjadi satu daerah pemilihan untuk daerah perbatasan, dengan tetap memperhatikan keutuhan dan keterpaduan wilayah, serta mempertimbangkan kondisi geogralis, sarana perhubungan, dan aspek kemudahan transportasi; 5) Berada dalam satu wilayah yang sama adalah penyusunan daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi, yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian kabupaten/kota yang seluruhnya harus tercakup dalam suatu daerah pemilihan anggota DPR, dan penyusunan daerah pemilihan anggota DPRD Kabupaten/Kota, yang terbentuk dari satu, beberapa, dan/atau bagian kecamatan yang seluruhnya tercakup dalam suatu daerah pemilihan anggota DPRD Provinsi; 6) Kohesivitas adalah penyusunan daerah pemilihan memperhatikan sejarah, kondisi sosial budaya, adat istiadat dan kelompok minoritas; 7) Kesinambungan adalah penyusunan daerah pemilihan dengan memperhatikan daerah pemilihan yang sudah ada pada Pemilu tahun sebelumnya, kecuali apabila alokasi kursi pada daerah pemilihan tersebut melebihi batasan maksimal alokasi kursi setiap daerah pemilihan atau apabila bertentangan dengan keenam prinsip di atas. c. Bahwa yang dimaksud dengan prinsip atau asas menurut KBBI adalah kaidah atau kebenaran yang menjadi dasar berpikir dan berpijak. Dalam kaitannya dengan dalil Pemohon, prinsip-prinsip terkait penyusunan daerah pemilihan dan alokasi kursi telah diatur dalam Pasal 185 UU a quo. Ketentuan tersebut oleh pembentuk undang-undang telah dirumuskan dalam Bab III UU Pemilu mengenai Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan. Dengan diaturnya prinsip tersebut maka secara keseluruhan pengaturan yang tertuang dalam Bab III UU Pemilu telah dirumuskan oleh pembentuk undang-undang dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, tidak terdapat urgensi untuk merumuskan kembali ke dalam ketentuan pasal-pasal a quo yang diujikan karena prinsip-prinsip yang ada dalam ketentuan Pasal 185 UU a quo telah menjiwai dan digunakan sebagai dasar penentuan daerah pemilihan dan alokasi kursi bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. 2. Bahwa Pemohon mendalilkan terdapat inkonsistensi dan ketidakpastian hukum dalam Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) karena mendelegasikan pengaturan mengenai daerah pemilihan alokasi kursi Anggota DPR dan DPRD Provinsi ke dalam Lampiran UU Pemilu, sedangkan pengaturan Pasal 192 ayat (4) mendelegasikan pengaturan mengenai daerah pemilihan kursi Anggota DPRD Kabupaten/Kota ke Peraturan KPU sehingga berpotensi menghapus kewenangan KPU (vide perbaikan permohonan hlm 14-15), Terhadap dalil Pemohon tersebut DPR berpandangan bahwa: a. Berdasarkan Angka 192 Lampiran II UU Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) menyebutkan bahwa dalam hal peraturan perundang-undangan memerlukan Lampiran, hal tersebut telah ditegaskan dalam batang tubuh bahwa Lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan. Selain itu, Angka 198 Lampiran II UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan untuk mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. b. Merujuk pada Lampiran dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut maka Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU a quo yang mengatur tentang penjelasan lebih lanjut mengenai daerah pemilihan dan jumlah alokasi kursi Anggota DPR dan DPRD Provinsi di dalam Lampiran sudah tepat karena ketentuan tersebut telah menyatakan bahwa Lampiran III dan Lampiran IV merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU a quo. Begitu juga dengan Pasal 192 ayat (4) UU a quo yang mengatur tentang pendelegasian kewenangan mengenai daerah pemilihan dan jumlah alokasi kursi Anggota DPRD Kabupaten/Kota agar diatur kepada Peraturan KPU sudah tepat karena mendelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Oleh karena itu, ketentuan tentang Lampiran III dan Lampiran IV dan pendelegasian ke peraturan pelaksana sudah sesuai dengan UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. c. Bahwa kebijakan pengaturan mengenai materi muatan yang diatur lebih lanjut dalam Lampiran maupun diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya, hal itu merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang yang tidak bertentangan dengan konstitusi maupun UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, perbedaan pengaturan sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon tersebut bukan merupakan suatu inkonsistensi ataupun ketidakpastian hukum terkait daerah pemilihan dan alokasi kursi bagi Anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Melainkan perbedaan pengaturan tersebut merupakan pilihan kebijakan yang diambil oleh pembentuk undang-undang yang tentunya memahami materi muatan yang mana yang relevan untuk diatur dalam tataran undang-undang dan yang mana yang relevan diatur dalam peraturan pelaksana. Sehingga, perbedaan tersebut juga tidak dapat serta merta dimaknai dengan mendegradasi atau menghapus kewenangan KPU untuk mengaturnya. d. Pendelegasian pengaturan lebih lanjut mengenai daerah pemilihan dan alokasi kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota ke dalam tataran undang-undang maupun peraturan pelaksananya tidak menjadikan sebuah permasalahan selama hal tersebut telah diatur dan diakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Sebab, sepanjang hal tersebut sudah diakomodir dalam suatu peraturan perundang-undangan maka hal tersebut telah memberikan kepastian hukum. e. Selain itu juga, KPU selaku instansi Pemerintah merupakan salah satu pemangku kepentingan (stakeholder) utama ketika proses pembahasan UU a quo. Sehingga, dengan hadirnya KPU dalam proses pembahasan tersebut maka KPU dianggap telah menyetujui dengan substansi pasal-pasal a quo. Oleh karena itu, perbedaan pengaturan tersebut tidak dapat serta merta dimaknai mendegradasi kewenangan KPU karena rumusan pasal-pasal a quo merupakan hasil kesepakatan dalam pembahasan UU a quo. Dengan demikian, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 3. Bahwa Pemohon mendalilkan adanya Lampiran III dan Lampiran IV dalam pasal-pasal a quo telah membatasi ruang realokasi kursi dan pembentukan daerah pemilihan baru untuk Pemilu DPR dan DPRD di daerah otonom baru (vide perbaikan permohonan hlm 26-29), Terhadap dalil Pemohon, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa ketentuan yang diatur dalam Lampiran III dan Lampiran IV pada pokoknya merupakan pengaturan lebih detail yang digunakan untuk menjelaskan pembagian jumlah kursi dalam setiap daerah pemilihan Anggota DPR dan DPRD Provinsi yang diatur dalam Pasal 187 ayat (2) dan Pasal 189 ayat (2) UU Pemilu. Sedangkan, dalam hal terjadi pembentukan provinsi baru ataupun daerah otonom baru, UU Pemilu telah mengakomodir dalam pengaturan Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 190 ayat (3) dan ayat (4) UU Pemilu, yang selengkapnya berbunyi: Pasal 187 ayat (4) “Penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada Pemilu terakhir berdasarkan perubahan jumlah alokasi kursi, penataan daerah pemilihan, dan perkembangan data daerah.” Pasal 190 ayat (3) dan ayat (4) (3) “Dalam hal terjadi pembentukan provinsi setelah Pemilu, dilakukan penataan daerah pemilihan di provinsi induk sesuai dengan jumlah penduduk berdasarkan alokasi kursi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penataan daerah pemilihan di provinsi induk dan pembentukan daerah pemilihan di provinsi baru dilakukan untuk Pemilu berikutnya.” Sehingga, merujuk pada kedua pengaturan tersebut maka dalam hal terjadi pembentukan Provinsi baru maka penentuan daerah pemilihan baik untuk Anggota DPR maupun DPRD Provinsi akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan Pemilu berikutnya. b. Bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dinamika ketatanegaraan dan perkembangan daerah otonom akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat dan kebutuhannya. UU Pemilu sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan Pemilu harus mampu mengakomodir kebutuhan akibat perubahan dinamika yang ada. Untuk itu, DPR bersama dengan Pemerintah telah mendiskusikan upaya-upaya untuk menciptakan pelaksanaan Pemilu 2024 yang kondusif dan mampu mengakomodir suara masyarakat secara keseluruhan. c. Bahwa UU Pemilu telah masuk dalam daftar prolegnas rancangan undang-undang tahun 2020-2024 berdasarkan Keputusan DPR Nomor 46/DPR RI/I/2019-2020, pada urutan 130, sebagai inisiatif DPR/Pemerintah. Selain itu, UU Pemilu juga terdaftar sebagai salah satu rancangan undang-undang ioritas pada tahun 2020 melalui Keputusan DPR Nomor 1/DPR RI/II/2019-2020 tentang Program Legislassi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2020, para nomor urut 4, sebagai inisiatif DPR/Komisi II. d. Bahwa dengan adanya pembentukan ibu kota baru berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara berdampak pada Wilayah Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara dibagi atas beberapa wilayah yang bentuk, jumlah, dan strukturnya disesuaikan dengan kebutuhan, maka hal ini perlu juga diatur dalam UU Pemilu terkait dengan bagaimana perlakuan terhadap IKN dalam pelaksanaan Pemilu 2024 mendatang. Selain itu, adanya pembentukan 3 (tiga) provinsi baru di Papua melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan, perlu menjadi perhatian khusus bagi pembentuk undang-undang untuk mengatur bagaimana pelaksanaan pemilu termasuk dengan kebutuhan-kebutuhan pemungutan suara di provinsi baru tersebut. e. Bahwa Komisi II DPR dan Pemerintah telah membahas pembentukan provinsi baru, yakni Provinsi Papua Barat Daya, yang telah melalui tahap pengambilan keputusan tingkat I melalui Raker Tingkat I pada Senin, 12 September 2022 dan akan diambil keputusan tingkat II pada masa sidang mendatang. f. Bahwa KPU melalui Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024 telah menyusun periodisasi pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu yang telah dimulai pada 14 Juni 2022. Selain tahapan perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu, pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu juga telah dimulai sejak 29 Juli 2022. g. Bahwa adanya perubahan kondisi kenegaraan dan adanya tahapan pelaksanaan pemilu yang telah dimulai dan berjalan tersebut, dibutuhkan payung hukum pelaksanaan Pemilu agar Pemilu 2024 memiliki kepastian hukum dalam pelaksanaannya dan mampu menguatkan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Hal ini tidak luput dari perhatian pembentuk undang-undang yang berulang kali mengadakan rapat pembahasan pelaksanaan Pemilu Tahun 2024, yang salah satunya dalam Rapat Kerja dan RDP Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP tanggal 31 Agustus 2022 tercatat kesimpulan rapat yang menyatakan bahwa: “sebagai konsekuensi terhadap terbentuknya 3 (tiga) daerah otonom baru di Provinsi Papua (Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan) dan mengantisipasi akan terbentuknya satu daerah otonom baru di wilayah Provinsi Papua Barat (Provinsi Papua Barat Daya), Komisi II DPR RI bersama dengan Menteri Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan DKPP menyetujui untuk diterbitkannya Perppu sebagai perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam UU Pemilu.” Dengan demikian, apa yang dikhawatirkan oleh Pemohon terkait dengan pengaturan dalam UU Pemilu dan pelaksanaan Pemilu 2024 telah menjadi perhatian dan pertimbangan DPR dan Pemerintah. Selain itu, apabila Pemohon memiliki masukan terhadap pelaksanaan Pemilu yang akan dilaksanakan pada Pemilu 2024 maka Pemohon dapat menyampaikan aspirasinya kepada DPR khususnya pada Komisi II DPR yang membidangi salah satunya urusan kepemiluan. h. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka apa yang dimohonkan oleh Pemohon menjadi tidak beralasan menurut hukum.
80/PUU-XX/2022
Pasal 187 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 189 ayat (1) dan ayat (5) dan Pasal 192 ayat (1) UU Pemilu
Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945