Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

82/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa pembentukan UU 13/2022 tidak memenuhi syarat sebagai Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (vide Perbaikan Permohonan hal. 14-18). 2. Bahwa proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa (vide Perbaikan Permohonan hal. 18-23). 3. Bahwa pembentuk UU 13/2022 melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (vide Perbaikan Permohonan hal. 23-30). 4. Bahwa pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara (vide Perbaikan Permohonan hal. 30-31). 5. Bahwa pembentukan UU 13/2022 adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism (vide Perbaikan Permohonan hal. 31-32) Legal Standing: 1. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II merupakan Dosen Hukum Tata Negara yang menjadikan UU 13/2022 sebagai bahan ajar utama dalam kegiatan perkuliahan. Namun Pemohon I dan Pemohon II menilai proses pembentukan UU a quo menimbulkan ketidaktertiban proses legislasi sehingga menjadi tidak relevan sebagai contoh pembelajaran yang baik bagi peserta didiknya. Selain itu Pemohon I sebagai Direktur Eksekutif SETARA Institute menaruh kepedulian dan aktif menyikapi berbagai dinamika ketatanegaraan. (vide Perbaikan Permohonan hal. 5-8). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa materi muatan UU 13/2022 tidak mengatur mengenai hak dan kepentingan dosen karena hak-hak, tugas, dan tanggung jawab dosen diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan undang-undang lain yang berkaitan dengan dosen. b. Bahwa UU 13/2022 dibentuk untuk dapat menampung kebutuhan hukum masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain mengenai penggunaan metode omnibus dan memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. c. Bahwa UU 13/2022 sejatinya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik yang memerlukan adanya peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. d. Bahwa UU a quo tidak secara khusus ditujukan sebagai bahan ajar mata kuliah ilmu perundang-undangan melainkan menjadi acuan bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Adanya dinamika dan perkembangan hukum nasional membutuhkan dasar hukum yang jelas untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap masyarakat. Oleh karena itu sudah seharusnya Pemohon I dan Pemohon II sebagai akademisi, mengikuti perkembangan yang ada dan menyesuaikan bahan ajar mata kuliahnya dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada. e. Bahwa pembentukan UU 13/2022 tidak akan menyebabkan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat menjalankan peran, kegiatan, dan profesinya sebagai dosen yang memberikan pengajaran di ruang akademik. f. Bahwa kepedulian dan keaktifan Pemohon I dalam menyikapi berbagai dinamika ketatanegaraan tidak lantas menjadikan Pemohon I memiliki pertautan langsung dengan UU 13/2022 dan memiliki kedudukan hukum. 2. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II mendalilkan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 terlanggar dengan UU a quo karena kampus tempat Pemohon I dan Pemohon II mengajar tidak dikunjungi oleh DPR dalam rangka pelibatan publik. Selain itu Pemohon I juga mendalilkan tidak diberikan kesempatan yang sama dalam menyumbangkan kontribusi pemikiran dalam proses pembentukan UU a quo tidak seperti saat Pemohon I mengadvokasi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 10/2004) (vide Perbaikan Permohonan hal. 6-8). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. bahwa pembentuk undang-undang telah melakukan serangkaian kegiatan guna menjaring berbagai masukan dari masyarakat baik secara lisan maupun tulisan melalui kegiatan diskusi pakar dan konsultasi publik pada tahap penyusunan Naskah Akademik dan RUU a quo dengan melibatkan beragam pihak. Kegiatan diskusi pakar telah dilakukan sejak tanggal 20 Desember 2021 sampai dengan 4 Februari 2022 dan tersebar ke beberapa daerah. Meskipun dari kegiatan tersebut tidak mengunjungi kampus tempat Pemohon I dan Pemohon II mengajar, tidak lantas menjadikan pembentuk undang-undang melanggar Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 karena tidak ada kewajiban bagi pembentuk undang-undang untuk mengunjungi seluruh kampus atau kampus tertentu untuk menghimpun aspirasi dalam proses pembentukan suatu undang-undang. b. Bahwa selain dengan adanya diskusi dengan kampus, berdasarkan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU 12/2011) juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 (UU 15/2019) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pemohon I dan Pemohon II tetap dapat menyampaikan aspirasinya secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR sehingga telah jelas dalam upaya mewujudkan partisipasi bermakna, telah terbuka berbagai kanal yang dapat diakses oleh masyarakat secara luas. c. Bahwa Pemohon I yang lokasi kampusnya berdekatan dengan DPR merasa perlu untuk dikunjungi oleh DPR dalam proses pembentukan UU a quo. Bahwa terhadap dalil Pemohon I tersebut, meskipun kampus Pemohon I tidak dikunjungi DPR, hal tersebut tidak lantas menjadikan UU a quo tidak memenuhi meaningful participation. Karena DPR telah melakukan banyak sekali rangkaian kegiatan yang melibatkan para akademisi dan ahli dari segala penjuru tanah air. 3. Bahwa Pemohon III sebagai mahasiswa yang memiliki perhatian besar terhadap demokratisasi di Indonesia khususnya mengenai proses pembentukan undang-undang termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan menganggap dirinya aktif melakukan advokasi serta menyampaikan pendapatnya merasa hak konstitusionalnya berpotensi terlanggar dengan berlakunya UU a quo (vide Perbaikan Permohonan hal. 8) Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa mahasiswa tidak memiliki pertautan langsung dengan UU a quo dan tidak ada satupun ketentuan pasal dalam UU a quo yang mengurangi hak Pemohon III sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa di kampusnya dalam menyuarakan pandangannya untuk memastikan demokratisasi di Indonesia. 4. Bahwa Pemohon IV adalah konfederasi serikat buruh yang mempunyai kepedulian menjalankan aktivitas yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi dan politik kaum buruh serta melakukan kontrol sosial terhadap peraturan perundang-undangan termasuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sehingga menganggap sebagai pihak yang terdampak langsung atas UU a quo dan seharusnya dilibatkan dalam proses pembentukannya (vide Perbaikan Permohonan hal. 8-9) Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. bahwa materi muatan UU 13/2022 tidak mengatur secara khusus mengenai hak dan kepentingan buruh. Pembentukan UU 13/2022 tidak akan menyebabkan Pemohon IV tidak dapat menjalankan peran, kegiatan, dan profesinya sebagai badan hukum publik dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap hak dan kepentingan pekerja/buruh. b. Dalil Pemohon IV yang mengaitkan permohonan a quo dengan materi muatan UU 11/2020 menunjukkan bahwa dalil tersebut adalah dalil yang tidak tepat sasaran (error in objecto) karena UU 13/2022 dibentuk untuk mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus. Dan materi muatan yang ada di dalam UU 13/2022 tidak mengatur mengenai percepatan cipta kerja dalam rangka memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. c. Bahwa Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 merupakan putusan atas pengujian formil UU 11/2020 dan bukan atas pengujian materiil. Pembentukan UU 13/2022 merupakan salah satu tindak lanjut dari pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk membuat dasar hukum mengenai proses pembentukan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus. Hal ini tidak ada keterkaitan sama sekali dengan materi muatan di dalam UU 11/2020 khususnya yang mengatur mengenai substansi ketenagakerjaan. Dengan demikian dalil Pemohon IV yang menyatakan UU 13/2022 dibentuk untuk tujuan melegalkan UU 11/2020 adalah dalil yang tidak tepat. 5. Bahwa Pemohon V adalah badan hukum Yayasan yang berdasarkan Anggaran Dasarnya bertujuan di antaranya untuk mengembangkan dan memajukan pengertian dan penghormatan terhadap nilai-nilai negara hukum, berperan aktif dalam proses pembentukan hukum, penegakan hukum dan pembaharuan hukum serta mewakili kepentingan umum yang berpotensi terlanggar hak konstitusionalnya secara langsung maupun tidak langsung atas keberlakuan UU a quo (vide Perbaikan Permohonan hal. 9-10). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon V hanya menyebutkan berpotensi terlanggar hak konstitusionalnya tetapi sama sekali tidak menguraikan secara jelas dan rinci kerugian konstitusional seperti apa yang dialaminya akibat keberlakuan UU a quo. b. Bahwa Pemohon V juga tidak dapat menunjukkan temuan dari hasil penelitian dan pengkajian apa yang telah didapat oleh organisasinya berkaitan dengan UU a quo. c. Bahwa Pemohon V tetap dapat melakukan aktivitasnya sebagai badan hukum yang melakukan segala aktivitasnya yang berkaitan dengan bidang hukum. d. Bahwa Pemohon V tidak memiliki hubungan pertautan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon V atas berlakunya UU 13/2022. 6. Bahwa Para Pemohon mendalilkan kedudukan hukum Pemohon dalam uji formil harus dilihat dari kepercayaan dan mandat yang diberikan kepada wakil rakyat sebagai fiduciary duty berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 (vide Perbaikan Permohonan hal. 10-11). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menegaskan pendapatnya mengenai persyaratan kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian secara formil dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yaitu hanya memberikan persyaratan adanya hubungan pertautan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, dalil Para Pemohon yang menyatakan telah menyerahkan kedaulatannya pada pembentuk UU dalam Pemilu 2019 sudah sepatutnya tidak dipertimbangkan lagi oleh Mahkamah Konstitusi. 7. Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon pengujian dalam UU a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007 (vide Perbaikan Permohonan hal. 12) Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 bertanggal 16 Juni 2010 Paragraf [3.9], Mahkamah telah membatasi agar supaya tidak setiap anggota masyarakat secara serta merta dapat melakukan permohonan uji formil di satu pihak serta tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian materiil di pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam pengujian formil undang-undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung dengan undang-undang yang dimohonkan. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka terdapat perbedaan parameter kedudukan hukum pemohon dalam pengujian materiil dan formil. Sedangkan parameter yang disebutkan Para Pemohon dalam permohonan a quo hal. 4 poin 11 dan hal. 12 poin 40 adalah parameter kedudukan hukum untuk pengujian materiil. Dengan demikian Para Pemohon perkara a quo kurang memahami kedudukan hukumnya dalam pengujian undang-undang secara formil. 8. Para Pemohon mendalilkan tidak pernah diikutsertakan atau diberikan kesempatan oleh pembentuk undang-undang untuk memberikan masukan dalam proses pembentukan UU a quo (vide Perbaikan Permohonan hal. 6-10). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 menjelaskan bahwa masyarakat yang berhak memberikan masukan merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan. b. Dalam rangka memenuhi hak masyarakat tersebut, DPR melalui Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR telah melakukan kegiatan konsultasi publik untuk mendapatkan masukan dari masyarakat yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun masyarakat tersebut adalah akademisi dan unsur pemerintahan yang terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu jajaran biro hukum pemerintah daerah, sekretariat DPRD, dan kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM (vide Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XII, Lampiran XIV, dan Lampiran XIV). c. Dalam permohonan a quo Para Pemohon sama sekali tidak menjelaskan manfaat dari dilibatkannya Para Pemohon dalam pembentukan UU a quo. Jika Para Pemohon merasa sebagai pihak yang berkepentingan, maka Para Pemohon tetap dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam setiap tahapan pembentukan UU 13/2022. 9. Bahwa Para Pemohon mendalilkan dilindungi dan dijamin hak konstitusionalnya oleh negara. Dalam konteks pengujian UU a quo, Para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya yang dicederai adalah Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 17 ayat (4), Pasal 22, Pasal 24 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hal. 12). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, secara konstitusional proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22A, dan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana dikutip berikut ini: “[3.17.1] Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), secara konstitusional, proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Selain itu, pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan pengaturan lebih rendah (delegasi), hal demikian ditentukan dalam norma Pasal 22A UUD 1945.” Namun demikian, Para Pemohon melandaskan Pasal 28D dan 28F UUD NRI Tahun 1945 yang merupakan batu uji pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 secara materiil, di mana terlanggarnya hak-hak yang dijamin dalam pasal tersebut berkaitan dengan materi undang-undangnya bukan prosedur hukumnya. Dengan demikian telah jelas bahwa dalil kerugian tersebut bukan merupakan dalil kerugian secara formil dan tidak beralasan hukum. Pokok Permohonan: alam Pasal 70 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (Peraturan MK 2/2021), diatur bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang memuat:  kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;  identitas Pemohon;  ringkasan permohonan yang telah diperbaiki;  pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;  pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;  amar putusan;  pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan  hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim Konstitusi, serta Panitera. Berdasarkan ketentuan tersebut, pertimbangan hukum menjadi dasar putusan yang harus dimuat dalam putusan. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan sebagai landasan hukum dalam membangun amar putusan. Selain itu pertimbangan hukum tersebut dapat dianggap sebagai tafsiran dan interpretasi hakim terhadap suatu perkara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. b. Pertimbangan hukum atau ratio decidendi atau legal reasoning menurut Peter Mahmud Marzuki, adalah argumen atau alasan yang digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar memutus perkara. Pertimbangan hukum biasanya ditemukan pada konsideran “menimbang” atau “pokok perkara”. Ratio decidendi dapat ditemukan dengan memperhatikan fakta materiil dan putusan didasarkan atas fakta materiil tersebut. Dengan demikian, dari suatu fakta materiil dapat terjadi dua kemungkinan putusan yang saling berlawanan. Yang menentukan adalah ratio decidendi atau alasan-alasan hukum yang dipertimbangkan dalam putusan tersebut. c. Kemudian menurut Jimly Asshiddiqie, pertimbangan hukum yang mengikat masuk dalam kategori ratio decidendi atau rasio keputusan yang langsung berkaitan dengan kesimpulan dan amar putusan, sedangkan selebihnya biasa disebut dengan “obiter” atau “obiter dicta/dictum”. Senada dengan Jimly Asshiddiqie, Maruarar Siahaan dan Miftahul Huda menjelaskan bahwa terdapat dua hal yang menjadi bagian dalam pertimbangan hukum. Pertama, bagian yang disebut dengan ratio decidendi yang merupakan bagian pertimbangan sebagai dasar atau alasan yang menentukan untuk diambilnya suatu putusan yang dirumuskan dalam amar putusan. Bagian pertimbangan ini tidak dapat dipisahkan dari amar putusan dan mempunyai kekuatan mengikat secara hukum yang dapat dirumuskan sebagai kaidah hukum. Sedangkan obiter dicta, merupakan serangkaian pendapat hukum yang tidak berkenaan langsung dengan perkara maupun dengan amar putusan yang tidak membentuk bagian dari putusan pengadilan sehingga tidak bersifat mengikat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hukum dari suatu putusan tidak semuanya merupakan ratio decidendi (pertimbangan hakim yang menjadi dasar memutus perkara) dari putusan tersebut. d. Berkaitan dengan perkara pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, tentunya Yang Mulia Hakim Mahkamah Konstitusi menyusun pendapat-pendapat atau pertimbangan hukum yang bersifat mengikat dan menjadi ratio decidendi. e. Sehubungan dengan dalil Para Pemohon yang mempersoalkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 seharusnya ditindaklanjuti dengan perubahan UU 11/2020 dan bukan perubahan UU 12/2011, seyogyanya juga harus dipahami bahwa pertimbangan hukum poin [3.18.2.2] dalam putusan tersebut berlaku mengikat pembentuk undang-undang dan dapat dikatakan sebuah ratio decidendi. Adapun pertimbangan hukum poin [3.18.2.2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 selengkapnya sebagai berikut: “bahwa teknis atau metode apapun yang digunakan oleh pembentuk undang-undang dalam upaya penyederhanaan undang-undang, menghilangkan berbagai tumpang tindih undang-undang, ataupun mempercepat proses pembentukan undang-undang, bukanlah persoalan konstitusionalitas sepanjang pilihan atas metode tersebut dilakukan dalam koridor pedoman yang pasti, baku dan standar serta dituangkan terlebih dahulu dalam teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga dapat menjadi pedoman bagi pembentukan undang-undang yang akan menggunakan teknik atau metode tersebut. Diperlukannya tata cara yang jelas dan baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya merupakan amanat konstitusi dalam mengatur rancang bangun pembentukan undang-undang. Artinya metode ini tidak dapat digunakan selama belum diadopsi di dalam undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.” f. Pertimbangan hukum tersebut berkaitan langsung dengan amar putusannya yang tercantum pada angka 3 (tiga) sampai dengan angka 7 (tujuh) yaitu berkenaan dengan pemberian tenggang waktu 2 (dua) tahun bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan pembentukan UU 11/2020 yang juga memerlukan perbaikan UU 12/2011 guna mengakomodir pengaturan mengenai pedoman yang pasti, baku, dan standar terkait dengan metode omnibus yang belum diatur dalam UU 12/2011. g. Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo pun dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara a quo telah mengingatkan atau memberikan masukan kepada Para Pemohon agar mencermati kembali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan bagian konsiderans UU 13/2022. Adapun pernyataan Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo selengkapnya dikutip sebagai berikut: “Jadi kalau tadi dikatakan bahwa putusan Undang-Undang Ciptaker, Putusan Nomor 91 itu tidak memerintahkan untuk mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, ini dicermati kembali. Meskipun MK tidak secara eksplisit menegaskan itu, tapi MK meminta supaya tata cara pembentukan Undang-Undang Omnibus itu harus diberikan pondasi, apakah itu undang-undang tersendiri, apakah nempel atau melekat di Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, itu adalah pilihan pembentuk undang-undang. Tadi di awal kan ada narasi begitu, coba nanti dilihat Kembali. Jadi perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 itu, jangan sampai salah dipahami bahwa itu bukan perintah Putusan 91. Nanti dibaca Kembali secara utuh. Adalah semangatnya untuk memberikan dasar hukum, undang-undang yang campursari itu.” Berdasarkan pernyataan dari Yang Mulia Hakim Konstitusi Suhartoyo tersebut, sebenarnya telah jelas bahwa Para Pemohon salah memahami Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dan diminta untuk mencermati kembali dengan cara membaca putusannya secara utuh. Karena dengan membaca putusan secara utuh akan didapatkan pemahaman yang komprehensif bahwa pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusan dimaksud merupakan ratio decidendi yang mengikat pembentuk undang-undang. h. Selain dalil mengenai tidak terpenuhinya syarat UU a quo sebagai Rancangan Undang-Undang Kumulatif Terbuka Akibat Putusan Mahkamah Konstitusi, Para Pemohon juga mempermasalahkan mengenai beberapa pasal dalam UU a quo yakni Pasal 64 ayat (1b), Pasal 72 ayat (1a), Pasal 73 ayat (1), dan Pasal 96 ayat (3). Hal ini jelas menunjukkan bahwa Para Pemohon tidak fokus pada permohonan pengujian formilnya karena mempersoalkan juga materi muatan UU a quo. Tentu hal ini mengakibatkan permohonan menjadi kabur (obscuur). i. Berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 46/DPR RI/2019-2020 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Tahun 2020-2024 juncto Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024, UU a quo bukan merupakan rancangan undang-undang kumulatif terbuka, tetapi termasuk rancangan undang-undang nomor urut 23 dalam daftar Prolegnas Prioritas Tahun 2022. Dengan demikian UU a quo telah memenuhi syarat formil pembentukan undang-undang sesuai Pasal 16 dan Pasal 17 UU 12/2011 bahwa perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Prolegnas yang merupakan skala prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. 2. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan dilakukan secara tergesa-gesa, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa dalam penyusunan Naskah Akademik UU a quo, DPR juga menggunakan teori dari Sherry R. Arnstein sebagai salah satu referensi framing partisipasi yang bermakna seperti yang dilakukan oleh Para Pemohon dalam mengkonstruksikan permohonannya. Catatan penting dari teori tersebut adalah mengaktualisasikannya dengan konteks Indonesia. Oleh karena itu konsep tangga partisipasi Arnstein seharusnya dimaknai sebagai prinsip permusyawaratan perwakilan yang menghendaki adanya proses permusyawaratan warga secara representatif melalui lembaga-lembaga perwakilan dan ruang-ruang publik. Permusyawaratan warga tersebut bertujuan untuk memperoleh pertimbangan publik secara rasional sehingga memberikan penguatan substansi dan dasar legitimasi bagi terbentuknya kebijakan yang aspiratif dan demokratis. Hal ini selaras dengan konsep demokrasi Indonesia berdasarkan Sila ke-4 Pancasila. Dalam kaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan, partisipasi secara bermakna terkait dengan partisipasi warga dan berbagai pemangku kepentingan dalam setiap tahap dari proses pembentukan peraturan perundangan melalui permusyawaratan warga dalam bentuk konsultasi dan dialog secara rasional di ruang publik dengan tujuan untuk memperoleh pertimbangan publik secara kolektif, sehingga dapat melahirkan peraturan perundang-undangan yang aspiratif dan berkualitas. Partisipasi secara bermakna tidak berarti proses pembentukan peraturan perundang-undangan harus tunduk pada opini publik mayoritas semata dari kelompok-kelompok atau individu-individu yang memiliki agenda tertentu, tetapi lebih jauh harus menyediakan ruang publik yang luas dan transparan yang memungkinkan terjadi komunikasi secara rasional dan berkualitas. b. Bahwa pembentukan UU 13/2022 telah memenuhi seluruh proses atau tahapan termasuk tahap pembahasan yang Para Pemohon tekankan. c. Bahwa ruang keterlibatan publik dalam pembentukan UU 13/2022 sejatinya juga telah dibuka dan sangat diharapkan masyarakat secara aktif menyampaikan pendapat dan masukannya terhadap Naskah Akademik dan RUU a quo. Berkenaan dengan ini, Para Pemohon tidak menerangkan adanya upaya untuk melibatkan diri atau terlibat secara proaktif dan responsif dalam memberikan masukan terhadap proses pembentukan UU 13/2022 yang sebenarnya merupakan hak dari masyarakat yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan undang-undang a quo. d. Terkait dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pembicaraan tingkat I yang diselenggarakan pada tanggal 9 dan 11 April 2022 tidak tersedia dokumen risalah dan/atau laporan singkatnya, DPR mengklarifikasi bahwa dokumen dimaksud tersedia. Kedua rapat tersebut pun bersifat terbuka. Masyarakat dapat mengakses dan mengunduh dokumen terkait dengan rapat-rapat pembentukan UU 13/2022, mulai dari rapat penyusunan hingga rapat pengambilan keputusan tingkat II pada tautan https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/276 ahwa rapat penyusunan dan pembahasan pada saat pembentukan UU 13/2022 merupakan jenis rapat terbuka dan disiarkan langsung melalui kanal Youtube. Disiarkannya rapat-rapat tersebut merupakan bentuk transparansi pembentuk undang-undang kepada masyarakat. Terlebih dengan cukup banyaknya jumlah penonton yang mengikuti rapat-rapat tersebut. Justru akan menjadi pertanyaan apabila di tengah kemajuan teknologi informasi saat ini, pembentuk undang-undang tidak memanfaatkannya dengan cara menyiarkan secara langsung melalui youtube DPR RI dan TV Parlemen. f. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan proses pembahasan UU 13/2022 tidak memperhatikan partisipasi yang bermakna adalah dalil yang tidak berdasarkan fakta-fakta yang ada. Pembentuk undang-undang telah memberikan kemudahan akses bagi masyarakat untuk turut terlibat secara aktif dalam proses pembentukan UU 13/2022 dan pembentuk undang-undang juga telah melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih bermakna dengan memenuhi hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan. g. Bahwa proses pembentukan UU 13/2022 tidak dilakukan secara tergesa-gesa karena proses penyusunan Naskah Akademik dan RUU a quo telah dimulai sejak tanggal 20 Desember 2021. Lebih lanjut, proses pembentukan undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak, bukan diukur berdasarkan undang-undang tersebut diselesaikan dalam waktu cepat ataupun lama. Proses pembentukan undang-undang harus mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana yang diatur di dalam UU 12/2011 jo. UU 15/2019, Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, dan Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang yang meliputi proses/tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan. Hal ini juga sesuai dengan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 25/PUU-XX/2022 hal. 349 sebagai berikut: “[3.27] ... Terhadap dalil para Pemohon a quo, terlepas dari tidak adanya bukti yang relevan yang diajukan oleh para Pemohon, menurut Mahkamah proses pembentukan suatu undang-undang tidak tergantung dari berapa lama atau cepat dan lambatnya pembahasan, namun proses pembentukan undang-undang wajib mengikuti kaidah proses pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 dan perubahannya yang meliputi proses dalam tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.” Dengan demikian, dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pembahasan UU 13/2022 dilakukan secara tergesa-gesa merupakan dalil yang tidak tepat. 3. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentuk UU 13/2022 melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: a. Asas Kejelasan Tujuan 1) Hal mendasar yang dipersoalkan Para Pemohon adalah penambahan metode omnibus dalam UU a quo yang dianggap hanya terbatas untuk menjadi landasan hukum guna memperbaiki UU 11/2020, sementara itu UU 11/2020 telah jelas-jelas ditolak oleh berbagai kalangan masyarakat (vide Perbaikan Permohonan hal. 25). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa penambahan metode omnibus tidak hanya untuk kebutuhan UU 11/2020 saja tetapi juga untuk berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berbeda tetapi memiliki irisan substansi dan kesamaan sektor serta tujuan. Pengaturan dan penerapan metode omnibus juga telah dilakukan analisis manfaat sebagai berikut: a) Mengurangi potensi disharmoni dan tumpang tindih pengaturan peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan saat ini di Indonesia terjadi hiperregulasi hampir di setiap jenis peraturan perundang-undangan yang berpotensi terjadinya disharmoni dan tumpang tindih. b) Pembahasan untuk RUU yang menggunakan metode omnibus bersifat multisektoral dan menggabungkan banyak undang-undang sehingga waktu pembahasan yang diperlukan lebih cepat dari pada pembahasan RUU satu persatu. Jika proses pembahasan satu undang-undang di DPR paling banyak 3 (tiga) kali masa persidangan dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna atau jika diasumsikan pembahasan RUU memakan waktu selama satu tahun, maka dengan pembentukan undang-undang dengan metode omnibus yang menggabungkan dan mengubah beberapa materi substansi di beberapa undang-undang, hal ini tentunya dapat menghemat atau mengefisiensikan waktu perubahan beberapa undang-undang dalam satu pembentukan undang-undang dengan metode omnibus. c) Tujuan pengaturan metode omnibus terdapat dua sekaligus yaitu efisiensi hukum dan harmonisasi hukum. Metode ini juga mendorong harmonisasi dan sinkronisasi seluruh peraturan perundang-undangan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). d) Adanya efisiensi penggunaan anggaran negara dalam proses pembentukan undang-undang. Hal ini disebabkan adanya penghematan penggunaan keuangan negara dalam proses pembentukan undang-undang dengan metode omnibus. Jika diasumsikan proses pembentukan suatu undang-undang menghabiskan anggaran Rp1 milyar maka dengan pembentukan undang-undang dengan metode omnibus yang menggabungkan beberapa substansi undang-undang yang akan diubah menjadi 1 (satu) undang-undang maka cukup menghemat keuangan negara. UU Cipta Kerja mengandung 79 (tujuh puluh sembilan) UU yang diubah maka negara telah menghemat Rp79 milyar dengan pembentukan UU Cipta Kerja ini. e) Menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan perundang-undangan sehingga memiliki struktur dan format yang baku dan dapat diterapkan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara metode omnibus. f) Pembentukan undang-undang dengan metode omnibus dimungkinkan pengadopsiannya ke dalam sistem hukum nasional karena dipandang lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta benar-benar dibutuhkan dalam mengatasi kebuntuan hukum. g) Suatu upaya untuk menerbitkan undang-undang yang memperbaiki banyak undang-undang yang dianggap tumpang tindih dan menghambat bisnis. h) Mampu memutus rantai birokrasi yang terlalu panjang dan meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dalam kebijakan yang terintegrasi serta menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pembuat kebijakan. (vide Naskah Akademik hal. 76 dalam Lampiran XIX) 2) Selain itu, Para Pemohon juga mempersoalkan bahwa ketidakjelasan tujuan dari UU 13/2022 terletak pada dasar filosofis peraturan atau bagian konsiderans yang menyebutkan metode omnibus (vide Perbaikan Permohonan hal. 25-26). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa konsiderans tidak hanya memuat landasan filosofis saja tetapi juga landasan yuridis dan sosiologis. Jika diuraikan, huruf a pada bagian menimbang UU a quo yang pada intinya mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan filosofis. Kemudian huruf b pada bagian menimbang UU a quo yang pada intinya mengenai kebutuhan penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dengan menambahkan antara lain metode omnibus dan penguatan keterlibatan serta partisipasi masyarakat yang bermakna merupakan landasan yuridis. Sedangkan huruf c pada bagian menimbang UU a quo yang pada intinya mengenai perlunya penyempurnaan aturan pembentukan peraturan perundang-undangan untuk dapat menampung kebutuhan hukum masyarakat merupakan landasan sosiologis. 3) Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 79/PUU-XVIII/2019 dijelaskan sebagai berikut: [3.15.4] … Berkenaan dengan asas kejelasan tujuan maka hal tersebut terlihat dari Penjelasan Umum yang telah menguraikan latar belakang, maksud dan tujuan penyusunan undang-undang… … menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah dilihat secara keseluruhan norma undang-undang yang apabila dianggap dapat merugikan hak konstitusional atau menyimpangi dari tujuan dibentuknya undang-undang maka dapat dilakukan pengujian secara materiil terhadap norma dimaksud ke Mahkamah Konstitusi, dengan demikian sesungguhnya dengan telah dicantumkannya maksud dan tujuan penyusunan undang-undang di Penjelasan Umum maka telah memenuhi asas kejelasan tujuan, terlepas bahwa norma undang-undang tersebut apakah menyimpangi tujuan penyusunan undang-undang dan dikhawatirkan akan merugikan hak konstitusional warga negara tersebut terhadap hal demikian haruslah dipertimbangkan oleh Mahkamah melalui pengujian materiil suatu undang-undang di Mahkamah Konstitusi bukan melalui pengujian formil. Sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, UU 13/2022 telah menyatakan tujuan pembentukannya sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum yaitu: Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Berdasarkan konsep negara hukum untuk mencapai tujuan negara diperlukan aturan hukum. Untuk aturan hukum melalui Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perlu memperhatikan asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan pembangunan hukum nasional dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dengan memperhatikan asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik. Untuk mewujudkan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga pengundangan. Berdasarkan rumusan tujuan dalam Penjelasan Umum tersebut, dapat dipahami bahwa UU 13/2022 mempunyai tujuan jelas yang hendak dicapai sehingga dibentuknya UU 13/2022 telah memenuhi asas kejelasan tujuan. 4. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 13/2022 merusak desain dan pakem tugas dan fungsi pokok kementerian negara, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa berdasarkan Pasal 4 UUD NRI Tahun 1945 yang juga menjadi dasar menimbang dan mengingat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU 39/2008), disebutkan “Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan”. b. Selanjutnya dalam Penjelasan Umum UU 39/2008, disebutkan sebagai berikut: Pengaturan mengenai kementerian negara tidak didekati melalui pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi, undang-undang ini melakukan pendekatan melalui urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara. Urusan-urusan pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti satu urusan dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu kementerian bisa melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden. c. Terkait dengan hal tersebut, dalam pembentukan UU a quo, Presiden menunjuk atau menugaskan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri untuk mewakili Pemerintah dalam pembahasan RUU tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini berdasarkan Surat Presiden Nomor R-12/Pres/03/2022. d. Berdasarkan rasionalisasi tersebut di atas bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan yang dalam pelaksanaan kewajibannya dibantu para Menteri dan dalam dinamikanya terdapat kebutuhan untuk menugaskan Menteri melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Presiden dalam rangka pencapaian tujuan negara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bukanlah satu-satunya perwakilan pemerintah untuk pembahasan RUU a quo melainkan bersama dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan beserta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian tidak lagi menjadi relevan dalil Para Pemohon yang mempersoalkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai kementerian yang lebih banyak mengkoordinasikan proses pembentukan UU a quo. 5. Terhadap dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan UU 13/2022 adalah pelembagaan disrupsi legislasi yang mengarah pada autocratic legalism, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: a. Pembentukan UU a quo berangkat dari semangat untuk menyempurnakan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat serta perkembangan dinamika legislasi. Semangat tersebut dibarengi dengan penyusunan kajian teoritis dan praktik empiris terhadap 2 (dua) tema besar yakni metode omnibus dan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. b. Dalam tataran praktik pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa permasalahan di antaranya belum diakomodirnya metode penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus sebagai implikasi dari adanya Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, adanya hiper-regulasi atau obesitas hukum di mana di antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya terjadi tumpang tindih (overlapping) sehingga menciptakan ego sektoral yang berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya. Selain itu partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation). c. Berdasarkan analisis biaya dan analisis manfaat yang sudah dikemukakan, diketahui bahwa pengaturan metode omnibus memberikan efek yang positif dalam pembentukan undang-undang dan pembangunan hukum nasional, sedangkan pengaturan mekanisme partisipasi masyarakat memberikan dampak positif untuk mewujudkan prinsip good governance dalam proses legislasi yang demokratis dan transparan. d. Berdasarkan uraian tersebut, dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa DPR bersama Pemerintah mempraktikkan disruspi legislasi untuk kepentingan autocratic legalism atau memperbesar kekuasaan modal dan kekuasaan politik merupakan dalil yang tidak sesuai dengan semangat pembentukan, kajian teoritis dan praktik empiris mengenai penyempurnaan peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. e. Bahwa Para Pemohon telah keliru dalam menilai DPR bersama dengan Pemerintah telah melangsungkan tindakan “the co-optation of the ruling party in the parliament” disebabkan oversized coalition, dimana hanya terdapat 1 (satu) fraksi partai politik yang menolak Perubahan Kedua UU 12/2011 tidak dapat dibenarkan, hal ini disebabkan:  Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf c juncto Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Partai Politik), setiap partai politik memiliki fungsi mendasar untuk menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Lebih lanjut setiap partai politik berhak membentuk fraksi di tingkat Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;  Partai politik sebagai representasi aspirasi masyarakat yang terjamin dalam UU Partai Politik tentu perlu diberikan penghormatan, partai politik juga merupakan perwujudkan kolektif perjuangan hak masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945;  Pengambilan keputusan yang telah terlaksana dalam Rapat Kerja antara 9 (sembilan) fraksi partai dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada forum Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU Perubahan Kedua UU 12/2011, patut dipahami sebagai implementasi dari kebebasan partai politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat secara kolektif, maka dari itu tidak serta merta dapat dikatakan telah terjadi kooptasi disebabkan minimnya fraksi yang menolak RUU a quo. f. Bahwa para Pemohon telah keliru dalam menilai pembentuk undang-undang telah melangsungkan tindakan “the violation of the law and constitution” disebabkan DPR bersama dengan Pemerintah dalam proses pembentukan UU 13/2022 terbukti tidak hanya mengatur mengenai metode omnibus. Para Pemohon perlu memahami lebih lanjut bahwa UU 13/2022 telah memuat materi muatan sebagai berikut:  perubahan penjelasan Pasal 5 huruf g, mengatur mengenai penjelasan asas keterbukaan;  perubahan Pasal 9, mengatur mengenai penanganan pengujian peraturan perundang-undangan;  penambahan Bagian Ketujuh dalam Bab IV UU PPP, mengenai pengaturan demi menjamin kepastian hukum dalam pendayagunaan metode omnibus;  penambahan Pasal 42A, mengatur mengenai perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus;  perubahan Pasal 49, mengatur mengenai pembahasan RUU beserta Daftar Inventarisasi Masalah (DIM);  perubahan Pasal 58, mengatur mengenai pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas Rancangan Peraturan Daerah;  perubahan Pasal 64, mengatur mengenai penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus;  perubahan Pasal 72, mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan RUU setelah RUU disetujui bersama namun belum disampaikan kepada Presiden;  perubahan Pasal 73, mengatur mengenai mekanisme perbaikan teknis penulisan RUU setelah RUU disetujui bersama namun telah disampaikan kepada Presiden;  perubahan Penjelasan Pasal 78, mengatur mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi;  perubahan Pasal 85, mengatur mengenai pengundangan;  perubahan penjelasan Pasal 95, mengimplementasikan substansi penyandang disabilitas;  perubahan Pasal 95A, mengatur mengenai pemantauan dan peninjauan undang-undang;  perubahan Pasal 96, mengatur mengenai partisipasi masyarakat, termasuk penyandang disabilitas;  penambahan Pasal 97A, Pasal 97B, Pasal 97 C, dan Pasal 97D, mengatur mengenai materi muatan peraturan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus, pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik, evaluasi regulasi, serta peraturan perundang-undangan di lingkungan Pemerintah serta;  perubahan Pasal 98, mengatur mengenai keikutsertaan jabatan analis hukum selain perancang peraturan perundang-undangan;  perubahan Pasal 99, mengatur mengenai keikutsertaan jabatan fungsional analis legislatif dan tenaga ahli dalam pembentukan undang-undang, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota, selain perancang peraturan perundang-undangan;  perubahan Penjelasan Umum;  perubahan Lampiran I Bab II huruf D, mengenai Naskah Akademik;  perubahan Lampiran II mengenai teknik perancangan peraturan perundang-undangan. g. Selain dalil mengenai disrupsi legislasi, Para Pemohon juga mempersoalkan mengenai intervensi terhadap independensi peradilan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) UU a quo. Oleh karena itu Para Pemohon dapat dinyatakan tidak fokus pada permohonan pengujian formilnya karena mempersoalkan juga materi muatan UU a quo. Tentu hal ini mengakibatkan permohonan menjadi kabur (obscuur). h. Adapun Pasal 9 ayat (3) UU a quo berketentuan sebagai berikut: “Penanganan pengujian terhadap Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang dengan melibatkan komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan.” Terhadap norma tersebut, Para Pemohon mendalilkan sebagai pelanggaran terhadap prinsip imparsial di Mahkamah Konstitusi karena DPR dan Presiden adalah pihak yang terkait dengan pengujian sehingga tidak tepat jika penanganan pengujian melibatkan DPR dan Presiden (vide Perbaikan Permohonan hal. 32). Menanggapi dalil Para Pemohon tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut:  Bahwa Para Pemohon salah dalam memahami norma Pasal 9 ayat (3) UU a quo karena berdasarkan Pasal 54 UU 24/2003 diatur bahwa Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden. Dalam konteks tersebut, DPR dalam memberikan keterangannya dan/atau risalah rapat yang berkaitan dengan permohonan pengujian undang-undang yang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang dengan melibatkan komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan.  Bahwa apabila melihat ketentuan Pasal 175 UU MD3, yang menyatakan: (1) Dalam hal suatu undang-undang diuji di Mahkamah Konstitusi, yang menjadi kuasa DPR untuk memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi adalah alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang dengan melibatkan komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan. (2) Dalam hal alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang sudah tidak ada pada saat undang-undang diuji di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan menjadi kuasa DPR. (3) Dalam hal tertentu DPR dapat memanggil setiap orang yang terlibat dalam penyusunan atau pembahasan rancangan undang-undang yang diuji untuk memberikan keterangan sebagai saksi dan/atau ahli. Maka akan jelas apa yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 UU a quo. Dengan demikian dalil Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum karena ketentuan Pasal 9 UU a quo ditujukan untuk mengatur DPR dalam pemberian keterangan dan/atau risalah apabila diminta oleh Mahkamah Konstitusi, dan bukan untuk mengatur Mahkamah Konstitusi sebagai pengadil dan pemutus perkara pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. .............

82/PUU-XX/2022

Pengujian formil

UU 12/2011