Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

86/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: Pemohon dalam perbaikan permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan tidak ada kepastian hukum yang adil oleh berlakunya ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP karena Pemohon sebagai ahli waris dari korban pembunuhan yang pada kasusnya telah melewati daluwarsa yakni 18 (delapan belas) tahun. Akibatnya, pelaku tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak dapat dituntut dikarenakan telah daluwarsa masa penuntutannya. (Vide perbaikan permohonan hal: 9) Legal Standing: 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dimohonkan pengujian terhadap UUD NRI Tahun 1945 sama sekali tidak mengurangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana didalilkan dijamin dalam ketentuan pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat kalimat terakhir, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa pembukaan UUD NRI Tahun 1945 alinea keempat memuat mengenai tujuan pembentukan pemerintahan Indonesia sehingga jelas tidak memuat mengenai hak dan /atau kewenangan konstitusional warga negara maka tidak relevan apabila ketentuan dijadikan dasar adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas berlakunya Pasal a quo. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur perihal warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintah tidak dilanggar dengan berlakunya Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP karena ketentuan Pasal a quo diberlakukan sama terhadap seluruh masyarakat Indonesia. Selain itu, Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga mengatur adanya kewajiban warga negara untuk menjunjung hukum dan pemerintahan. Bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur adanya hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Dengan berlakunya Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP justru jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat pencari keadilan dikarenakan adanya limitasi waktu dalam kewenangan menjalankan penuntutan. Bahwa ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 telah memberikan secara penuh hak dan kewenangan konstitusional dalam menjalankan hak dan kebebasannya orang tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini dimaksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara melainkan mengatur mengenai pembatasan hak asasi manusia yang harus diatur dalam undang-undang, dengan demikian tidak tepat apabila ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dijadikan batu uji terhadap Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP. 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Ketentuan Pasal 78 KUHP, mengatur mengenai hapusnya kewenangan menjalankan penuntutan melalui daluwarsa. Dalam pengaturan daluwarsa telah terdapat asas kepastian hukum, dalam daluwarsa terdapat jangka waktu kewenangan menjalankan penuntutan dan asas keadilan dalam hal kualitas keterangan saksi jika suatu perkara tidak ada limitasi jangka waktu untuk kewenangan menjalankan penuntutan. Maka dari itu, Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP telah sinkron secara konstitusional dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sehingga hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak berkurang ataupun terhalangi. Bahwa dalam perbaikan permohonannya, Pemohon tidak menguraikan secara jelas pertautan antara hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan ketentuan yang dimohonkan pengujian, dalam hal ini secara faktual in casu kasus yang diuraikan oleh Pemohon, beberapa pelaku kejahatan telah dijatuhkan putusan pemidanaan serta masih menjalankan hukumannya, hal ini menunjukan bahwa aparat penegak hukum telah bekerja secara maksimal untuk terwujudnya keadilan. Sedangkan terhadap beberapa orang lainnya yang diduga turut serta melakukan perbuatan pidana telah dihentikan penyidikannya oleh pihak kepolisian melalui Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sejak tahun 2003. Oleh karena itu menjadi tidak jelas dimana letak kerugian konstitusional Pemohon sebagai ahli waris korban, terlebih ketentuan Pasal a quo ada untuk menjamin kepastian hukum. 3. Terkait adanya kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa telah dijelaskan sebelumnya, pengaturan daluwarsa dalam penuntutan untuk pemenuhan kepastian hukum dan keadilan. Disamping itu Pemohon sebagai ahli waris korban dalam perbaikan permohonannya tidak menjelaskan pertautan antara kerugian konstitusional baik secara formil atau materiil yang didalilkan Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo, yang mengakibatkan tidak jelas juga letak kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual atau kerugian konstitusional yang bersifat potensial. 4. Terkait adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa berdasarkan pandangan DPR RI sebagaimana telah diuraikan pada angka 1 sampai 3 di atas, dalil Pemohon bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dilanggar dengan keberlakuan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP tidaklah benar. Bahwa rasio dari masing-masing daluwarsa berdasarkan lamanya ancaman pidana yang akan dijatuhkan diatur pada ketentuan Pasal 78 ayat (1) KUHP sudah memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi Pemohon sehingga sudah tidak jelas hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dalam kaitannya dengan keberlakuan Pasal a quo. 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan pertautan antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dengan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP, maka jelas tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dilanggar maupun dirugikan dengan berlakunya pasal a quo. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mempertimbangkan pokok perkara, dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Pokok Permohonan: 1. Bahwa hak untuk melakukan penuntutan atas suatu perkara pidana hapus karena daluwarsa. Hal ini diatur dalam Pasal 78 KUHP yang berbunyi : (1) Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa 1. Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun; 2. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun; 3. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun; 4. Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. (2) Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga 2. Bahwa secara doktriner, menurut Andi Hamzah, daluwarsa adalah lewatnya waktu atau jangka waktu kedaluwarsa yang ditentukan oleh undang-undang, yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut dan melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (Terminologi Hukum Pidana hal. 42). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 78 KUHP bahwa hak untuk menuntut pidana hapus karena daluwarsa. Selanjutnya, menurut Adami Chazawi, dasar dari daluwarsa sama dengan dasar dari ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP tentang asas ne bis in idem ialah untuk kepastian hukum bagi setiap kasus pidana agar si pembuatnya tidak selama-lamanya ketentraman hidupnya diganggu tanpa batas waktu oleh ancaman penuntutan oleh negaraSelain alasan untuk kepastian hukum prinsip lewatnya waktu ini juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkap kasus perkara (Pelajaran Hukum Pidana bagian 2: hal. 173). 3. Bahwa selanjutnya dalam sistem hukum pidana terdapat asas litis finri oportet, bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Asas litis finri oportet dalam daluwarsa merupakan pemenuhan kepastian hukum. Maka dari itu, daluwarsa merupakan perwujudan limitasi jangka waktu kewenangan penuntut umum untuk mengajukan tuntutan guna menjamin kepastian hukum. 4. Bahwa dalam Pasal 78 KUHP terdapat rasio daluwarsa dalam penuntutan, perlu diketahui, rasio lamanya tenggang daluwarsa untuk peniadaan penuntutan pidana yang didasarkan pada berat ringannya ancaman pidana atau berat ringannya tindakan pidana yang diperbuat adalah bertitik tolak dari pandangan, semakin berat atau besar tindak pidana yang diperbuat akan semakin lama ingatan orang atau masyarakat terhadap peristiwa pidana itu, yang artinya juga lamanya penderitaan yang dirasakan korban dan/atau saksi sebagai akibat dari berat ringannya macam dan jenis pidana yang diperbuat oleh terdakwa. 5. Memperhatikan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana diperbandingkan dengan tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menjalankan pidana, sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 84 KUHP maka jelas lamanya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menuntut pidana lebih pendek, perbedaan itu adalah wajar dan logis sebab pada lamanya tenggang daluwarsa hapusnya kewenangan menjalankan pidana oleh pelaku telah secara pasti (kepastian hukum) bersalah dan telah dijatuhinya pidana oleh pengadilan, sedangkan pada tenggang daluwarsa hapusnya hak penuntutan pidana, pelaku belum dinyatakan bersalah dengan jatuhnya suatu putusan pemidanaan oleh pengadilan. 6. Perlu juga memperhatikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD NRI Tahun 1945 pada bagian pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva berpendapat sebagai berikut: “Menurut saya, pembatasan hak untuk menuntut karena lewatnya waktu (daluwarsa) adalah lazim dalam sistem hukum Indonesia baik dalam sistem hukum perdata misalnya diatur dalam Pasal 1967 sampai dengan Pasal 1977 KUH Perdata, khusus mengenai perburuhan diatur dalam Pasal 1968, Pasal 1969, dan Pasal 1971 KUH Perdata, yaitu batas kadaluwarsa untuk menuntut hak upah bagi buruh atau pekerja atau tukang. Dalam hukum pidana, misalnya diatur dalam Pasal 78 ayat (1) angka ke-1, angka ke-2, angka ke-3, dan angka ke-4, serta ayat (2) KUH Pidana, yaitu batas kadaluwarsa untuk menuntut pidana. Sampai batas kapan masa daluwarsa untuk mengajukan tuntutan, hal itu adalah kewenangan konstitusional pembentuk undang-undang untuk, menentukan, sepanjang tidak melampaui wewenang serta tindak bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi. Penentuan masa kadaluwarsa sangat diperlukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum baik bagi yang menuntut haknya maupun pihak yang akan dituntut memenuhi kewajibannya.” Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya gradasi masa daluwarsa dalam menjalankan kewenangan penuntutan merupakan bentuk jaminan kepastian hukum baik bagi korban maupun pihak yang akan dituntut. 7. Bahwa selain alasan untuk kepastian hukum sebagaimana telah dijelaskan diatas, juga didasarkan pada faktor kesulitan dalam hal untuk mengungkapkan kasus perkara. Pengajuan tuntutan pidana pada dasarnya adalah berupa pekerjaan mengungkap suatu peristiwa sebagaimana kejadian senyatanya (materie waarheid) pada waktu kejadian yang sudah berlalu. Pengungkapan peristiwa itu memerlukan bukti-bukti yang ditentukan dan diatur menurut ketentuan undang-undang, baik mengenai macam-macam maupun cara dan sistem penggunaannya. Semakin lama lewatnya waktu akan semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti tersebut. Semakin lama, ingatan seorang saksi akan semakin berkurang bahkan lenyap atau lupa tentang suatu kejadian yang dilihat atau dialaminya. Oleh karena itu berlalunya waktu yang lama akan mempengaruhi kualitas pembuktian saat persidangan maka dari itu pengaturan gradasi lamanya daluwarsa pada Pasal 78 ayat (1) KUHP guna menjaga kualitas pembuktian di persidangan dan hal ini merupakan pemenuhan keadilan bagi para pihak. 8. Terhadap dalil yang disampaikan oleh Pemohon tentang rasio lamanya daluwarsa tuntutan pidana sebagaimana Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP yang dianggap tidak setara atau tidak adil dalam Pasal a quo bukan merupakan ketentuan yang bertentangan dengan konstitusi melainkan dengan Pasal 78 ayat (1) KUHP justru memberikan kepastian hukum dan keadilan yang lazim dalam sistem hukum pidana. 9. Bahwa saat ini DPR dan Pemerintah sedang dalam tahap pembahasan rancangan RUU KUHP, di dalam RUU KUHP ini ketentuan mengenai kadaluwarsa masih tetap diatur di dalam RUU KUHP tersebut. Sehingga mengenai kadaluwarsa dalam hal kewenangan penuntutan masih dianggap diperlukan untuk menjamin kepastian hukum serta keadilan di masa yang akan datang.

86/PUU-XX/2022

Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP

pembukaan alinea keempat kalimat terakhir, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945