Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

75/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan yang pada intinya bahwa ketentuan pasal a quo tidak mengakomodir Para Pemohon yang merupakan pekerja rumahan karena Para Pemohon tidak berada di lingkungan perusahaan meskipun Para Pemohon mendapatkan perintah pekerjaan dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. Hal ini menyebabkan Para Pemohon kehilangan kesempatan memperoleh persamaan kedudukan di dalam hukum sebagaimana hak yang dimiliki pekerja di dalam hubungan kerja (vide perbaikan permohonan hlm 6 dan 8) Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal ini, DPR menyampaikan pandangan bahwa: • Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal ini telah sangat jelas tidak hanya mengatur adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara melainkan juga kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Namun terkait dengan keberlakuan pasal a quo UU Ketenagakerjaan, Para Pemohon perlu terlebih dahulu memperhatikan pengaturan yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang yang dituangkan dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu Para Pemohon juga memiliki kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum yang dalam hal ini termasuk juga pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan. • Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai hak tiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan yang mana hal ini telah terpenuhi dengan tidak adanya pembatasan dari negara atas pekerjaan apa yang dapat dilakukan oleh Para Pemohon dalam rangka memperoleh penghidupan. Selain itu, dalam upaya memberikan penghidupan yang layak bagi seluruh masyarakat, negara telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat dan meningkatkan penghidupan masyarakat. • Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum yang mana hal ini telah diupayakan pemenuhannya oleh negara dengan mewujudkan hukum dan penegakannya yang diberlakukan sama terhadap setiap orang tanpa terkecuali. • Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur adanya hak setiap orang untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, hal ini telah terpenuhi dengan adanya upah yang diterima oleh Para Pemohon setelah melakukan suatu pekerjaan. • Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu, telah dipenuhi oleh negara dengan adanya pengaturan yang sama. Kalaupun ada pengaturan yang berbeda, bukan berarti hal ini dapat serta merta disebut diskriminatif karena untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat yang beragam dan menjaga kehidupan masyarakat yang harmonis, perlu adanya pembatasan-pembatasan yang tentunya tunduk pada pengaturan yang ada dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa Para Pemohon mendalilkan keberlakuan pasal a quo telah merugikan hak konstitusional Para Pemohon yang dijamin dan diatur melalui Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan sebagai berikut: • Bahwa berdasarkan penjelasan UU Ketenagakerjaan memuat uraian sebagai berikut: Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Untuk itu, pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi manusia sebagaimana yang dituangkan dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 harus diwujudkan. Dalam bidang ketenagakerjaan, Ketetapan MPR ini merupakan tonggak utama dalam menegakkan demokrasi di tempat kerja. Berdasarkan hal tersebut, ruang lingkup pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan lebih ditujukan pada pengaturan terhadap pelaku usaha yang dalam hal ini adalah pengusaha yang menjalankan perusahaan, pekerja/buruh yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, dan pemerintah. • Bahwa merujuk pada uraian pada poin sebelumnya, hak-hak konstitusional yang didalilkan oleh Para Pemohon tidak terbukti, selain itu, tidak terdapat pertautan antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara khususnya Para Pemohon yang dalam hal ini menyampaikan permasalahan berkaitan dengan ketentuan pasal a quo. 3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa sebagaimana telah diterangkan oleh DPR pada poin sebelumnya, permasalahan yang diuraikan oleh Para Pemohon tidak memiliki pertautan dengan ketentuan pasal a quo yang dimohonkan pengujian sehingga tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya pasal a quo UU Ketenagakerjaan yang memang dibentuk dalam rangka mengakomodir suatu hubungan kerja yang melibatkan pengusaha, tenaga kerja/buruh, dan pemerintah dalam suatu hubungan industrial. Dengan demikian, dapat dipastikan tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dengan berlakunya pasal a quo. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana diuraikan pada poin 2 dan 3, tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal a quo UU Ketenagakerjaan karena apa yang dituangkan pembentuk undang-undang dalam UU Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mengakomodir pengaturan ketenagakerjaan antara pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah. Sehingga jelas, tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dengan pasal a quo UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujian. Banyaknya jenis hubungan kerja yang ada dan berkembang dalam masyarakat memiliki kompleksitas dan karakteristiknya masing-masing yang tentunya tidak dapat serta merta semua terakomodir dalam satu undang-undang karena jenis hubungan kerja yang ada juga mengalami perubahan dan perkembangan baik dalam bentuk maupun teknis pelaksanaannya. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo, maka dikabulkan atau tidak permohonan Para Pemohon oleh Mahkamah Konstitusi tidak akan berimplikasi apapun bagi Para Pemohon. Apabila dimasukkan frasa “atau pemberi kerja” yang memiliki cakupan yang lebih luas dari apa yang dimaksud pembentuk undang-undang dalam UU Ketenagakerjaan belum tentu Para Pemohon menjadi terlindungi dengan adanya perubahan pemaknaan pada pasal a quo UU Ketenagakerjaan. Pokok Permohonan: 1. Bahwa Para Pemohon mendalilkan adanya kerancuan hukum dan tumpang tindih antara istilah atau definisi Pengusaha dan Pemberi Kerja pada UU Ketenagakerjaan dalam konteks Hubungan Kerja (vide Perbaikan Permohonan Para Pemohon hlm. 14-19). Berdasarkan dalil tersebut DPR berpandangan: a. Bahwa Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Lebih lanjut, Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa “Pengusaha adalah: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.” b. Bahwa dengan melihat definisi Pemberi Kerja dan Pengusaha berdasarkan Pasal 1 Angka 4 dan Angka 5 UU Ketenagakerjaan tidak terdapat tumpang tindih dalam kedua definisi tersebut. Ketentuan Pasal 1 Angka 5 UU Ketenagakerjaan menguraikan lebih lanjut kata “Pengusaha” yang disebutkan Pasal 1 Angka 4 UU Ketenagakerjaan. c. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU Pembentukan PUU), poin 109 diatur bahwa : Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus; b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan. Merujuk pada pengaturan poin 109 tersebut, peletakan definisi pemberi kerja terlebih dahulu dari definisi pengusaha menunjukkan bahwa pengertian “pemberi kerja” mengatur lebih umum dibanding pengertian “pengusaha”. Selain itu, pengaturan mengenai pemberi kerja dan pengusaha memiliki keterkaitan pengertian sehingga diletakkan saling berdekatan yakni pada Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan. d. Bahwa definisi hubungan kerja yang dimaksud dalam Pasal 1 Angka 15 UU Ketenagakerjaan, sebagai berikut: “Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Bahwa berdasarkan definisi tersebut memang mengatur hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah sehingga pembentuk undang-undang tidak mengatur hubungan kerja secara luas sebagaimana yang dimaksudkan oleh Para Pemohon. Bahwa jika frasa pengusaha dalam definisi hubungan kerja diperluas maka hal ini berdampak kepada berubahnya maksud dari pembentuk undang-undang, termasuk berdampak kepada keseluruhan materi muatan yang ada di dalam UU a quo dan dapat mengakibatkan perubahan sistematika dalam UU a quo dan menjadi tidak sesuai dengan pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tidak benar apabila terdapat kerancuan hukum dan tumpang tindih antara istilah atau definisi Pemberi Kerja pada Pasal 1 Angka 4 UU Ketenagakerjaan dan Pengusaha pada Pasal 1 Angka 5 UU a quo. 2. Bahwa Para Pemohon mendalilkan pembatasan hubungan kerja dalam ketentuan Pasal 1 Angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pekerja rumahan dalam suatu hubungan kerja (vide Perbaikan Permohonan Para Pemohon hlm. 19-22). Berdasarkan hal tersebut DPR berpandangan bahwa: a. Bahwa sebagaimana berdasarkan uraian keterangan yang telah disampaikan oleh DPR sebelumnya, pembatasan hubungan kerja dalam ketentuan Pasal 1 Angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan memang membatasi ruang lingkup hubungan kerja yang terjadi antara Pekerja/buruh dengan Pengusaha dengan tujuan untuk menjamin tertatanya sistem pengaturan ketenagakerjaan. b. Bahwa politik hukum ketenagakerjaan pada saat penyusunan UU Ketenagakerjaan diatur sedemikian rupa agar terpenuhinya hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang lebih kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan rezim ketenagakerjaan memiliki keterkaitan yang tidak hanya kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. c. Bahwa terkait dengan model hubungan kerja informal seperti Pekerja Rumahan yang didalilkan oleh Para Pemohon, informasi yang didapatkan dari permohonan a quo sangat terbatas sehingga DPR belum memperoleh gambaran yang jelas terkait dengan permasalahan yang secara faktual dialami Para Pemohon. Selain itu, dari apa yang disampaikan oleh Para Pemohon melalui perbaikan permohonannya terdapat karakter yang berbeda-beda dalam praktik pekerja rumahan yang tentunya perlu dilakukan pendalaman-pendalaman dan pengumpulan data yang lebih luas agar pengaturan mengenai pekerja rumahan nantinya dapat memberikan perlindungan yang lebih baik dan kepastian hukum terhadap para pekerja rumahan. Terkait dengan hal ini, Para Pemohon dapat menyampaikan aspirasinya terkait Pekerja Rumahan kepada DPR untuk dapat dijadikan sebagai bahan penyusunan kebijakan dan diakomodir dalam undang-undang yang mampu memberikan perlindungan pekerja rumahan secara umum dan menyeluruh. d. Bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan, adanya peran serta seluruh komponen bangsa termasuk Para Pemohon sebagai bagian dari masyarakat merupakan hal yang diharapkan oleh DPR sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pembentuk undang-undang dan pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap kerja Pemerintah dapat lebih menjangkau masyarakat secara luas mengingat banyak hal terjadi dan berkembang secara cepat dalam masyarakat dan perlunya ada upaya perlindungan atas hak-hak masyarakat. 3. Bahwa Para Pemohon mendalilkan tidak ada dasar hukum atau regulasi yang mengatur mengenai keberadaan pekerja rumahan, dan Para Pemohon tidak dapat pula dikategorikan sebagai pekerja yang berada dalam hubungan kerja menurut ketentuan Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan. Hal ini tidak hanya menimbulkan kerancuan hukum namun juga kekosongan hukum itu sendiri dalam UU Ketenagakerjaan (vide Perbaikan Permohonan hlm. 12 dan 18). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan: a. Bahwa pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan sektor-sektor usaha yang ada dan berkembang dalam masyarakat, kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja, juga kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumberdaya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial. b. Bahwa dinamika praktik ketenagakerjaan berkembang dengan pesat yang memunculkan berbagai bentuk hubungan kerja yang belum ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia seperti hubungan kerja informal yang bervariasi dan memiliki karakteristik yang tidak termasuk dalam rezim UU Ketenagakerjaan. Hal ini menjadikan pembentuk undang-undang harus memperhatikan perkembangan yang ada sehingga peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap masyarakat termasuk juga mengantisipasi berkembangnya pasar global. c. Bahwa meskipun dalam konteks hubungan kerja yang disampaikan oleh Para Pemohon dalam pengujian ketentuan UU a quo tidak masuk pada rezim UU Ketenagakerjaan tidak berarti hak-hak Para Pemohon menjadi tidak terpenuhi karena negara juga turut hadir melalui upaya perlindungan sosial bagi setiap warga negara. Upaya yang telah dilakukan oleh negara bagi masyarakat yang bekerja dalam sektor informal dilakukan dengan adanya pengaturan lain seperti perlindungan mengenai jaminan sosial ketenagakerjaan dan perlindungan terhadap pekerja migran. d. Bahwa Komisi IX DPR pernah menerima audiensi dari masyarakat terkait dengan permasalahan mengenai pekerja rumahan. Salah satu kasus yang pernah terjadi dan menjadi perhatian Komisi IX adalah Kebakaran Pabrik Korek Api di Tangerang dan di Provinsi Sumatera Utara yang mengakibatkan pekerja rumahan meninggal dunia. Informasi terkait Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR tersebut dapat diakses melalui tautan berikut: • https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K9-14-e90f16af1d9ec83a8b01293a6a5dea40.pdf. • https://www.metrotvnews.com/play/KXyCYJwL-komisi-ix-dpr-dan-pemkab-langkat-gelar-rdp-soal-kebakaran-pabrik-korek-api-di-binjai • https://monitor.co.id/2019/06/25/dpr-minta-usut-insiden-kebakaran-pabrik-korek-api-di-binjai/ • https://kabarmedan.com/soal-kebakaran-pabrik-korek-api-di-binjai-komisi-ix-dpr-ri-sebut-pemda-kurang-perhatian-terhadap-perizinan-industri/ e. Bahwa pembentuk undang-undang menyadari UU Ketenagakerjaan belum cukup mengakomodir seluruh permasalahan terkait ketenagakerjaan yang semakin kompleks serta berkembang dibandingkan ketika dilakukan pembahasan UU Ketenagakerjaan. Selain itu, adanya pasar global pun menuntut DPR dan Pemerintah untuk mampu membuat suatu produk hukum yang mampu melindungi masyarakat Indonesia dalam persaingan kerja yang semakin tanpa batas. Oleh karena itu untuk mengikuti perkembangan jaman sejatinya DPR bersama dengan Pemerintah telah berupaya merespon berbagai permasalahan tersebut dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. f. Bahwa sampai saat ini DPR sedang dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas Prioritas) Tahun 2022 Nomor Urut 16 sebagai usul inisiatif DPR. Dalam RUU tersebut, DPR mempertimbangkan masuknya pengaturan mengenai pekerja rumahan sebagai tambahan mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang berprofesi sebagai pekerja rumahan yang memerlukan perlindungan hukum, kepastian dan jaminan akan hak-haknya. Meskipun dalam Prolegnas Prioritas tercantum sebagai RUU PPRT, namun dalam perkembangannya, selama pembahasan dapat terjadi penyesuaian judul terhadap ketentuan yang ada dan menjadi materi muatan RUU tersebut. Oleh karenanya, Para Pemohon diharapkan dapat menyampaikan masukan, saran, dan juga aspirasinya kepada DPR sebagai bahan, data dan informasi dalam penyusunan pengaturan Pekerja Rumahan lebih lanjut. 4. Bahwa dalam petitum Perbaikan Permohonan Para Pemohon memohon agar ditambahkan pemaknaan “…atau Pemberi Kerja” dalam Pasal 1 Angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan. Terkait dengan hal tersebut DPR berpandangan: a. Bahwa pasal 1 dalam suatu undang-undang merupakan ketentuan umum yang memberikan batasan pengertian atau definisi yang berfungsi untuk menjelaskan makna dari suatu kata atau istilah (vide Lampiran II Angka 98 dan Angka 107 UU Pembentukan PUU). Dalam hal ini Pasal 1 Angka 15 UU Ketenagakerjaan memberikan batasan pengertian terhadap frasa “hubungan kerja” yang digunakan berulang-ulang dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu sebanyak 79 (tujuh puluh sembilan) kali. b. Bahwa pemaknaan yang diinginkan oleh Para Pemohon dalam Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan akan memiliki dampak luas terhadap seluruh materi pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan, khususnya yang memuat frasa “hubungan kerja” ataupun yang berkelindan dengan makna dari hubungan kerja itu sendiri. Jika permohonan Para Pemohon dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, maka hal tersebut dapat merusak seluruh sistematika pengaturan dalam UU Ketenagakerjaan. c. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya bahwa Para Pemohon dapat mengajukan legislative review kepada DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk mengubah UU Ketenagakerjaan dengan menambahkan pengaturan mengenai pekerja rumahan sehingga dapat mengakomodir permasalahan yang dihadapi oleh Para Pemohon.

75/PUU-XX/2022

Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 UU Ketenagakerjaan

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945: