Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

70/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: a. Bahwa Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III merupakan Jaksa Fungsional/Pegawai Negeri Sipil/Aparatur Sipil Negara dengan jabatan Jaksa Utama Madya/Pembinan Utama Madya mengalami kerugian hak konstitusional dengan berlakunya UU 11/2021 berupa tidak mendapatkan haknya yakni Masa Persiapan Pensiun (MPP) selama 1 (satu) tahun sebelum pensiun. Selain itu, ketentuan a quo juga dinilai menghambat Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III dalam berkarir dan prestasi kenaikan pangkat dan mengakibatkan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III dipaksa berhenti bekerja. (vide Perbaikan Permohonan hal. 8-9, angka 6.1) b. Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI memiliki kepentingan hukum yang sama dengan dengan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III karena berprofesi yang sama sebagai ASN dengan jabatan Jaksa. Pemohon IV dan Pemohon V akan mencapai usia pensiun dan berpotensi mengalami hal yang sama dengan Pemohon I, Pemohon II, dan Pemohon III berupa pemberhentian dengan hormat dan dapat menghambat dalam berkarir dan prestasi kenaikan pangkat. Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI mengalami kerugian nyata atas hak konstitusional berupa kehilangan hak untuk naik pangkat dari pangkat golongan IV/d ke IV/e dan/atau Kenaikan Pangkat Pengabdian (KPP) menjadi IV/e dan hal tersebut merupakan kerugian penghasilan lainnya yang sah berupa tunjangan Jaksa selaku pejabat fungsional dan tunjangan kinerja serta penghasilan lainnya yang sah. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9 angka 6.2, hlm. 10-11 angka 6.3) Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Terhadap hak konstitusional yang didalilkan Para Pemohon tersebut DPR berpandangan sebagai berikut: • Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara, melainkan mengatur bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. • Ketentuan Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak dilanggar dengan adanya ketentuan Pasal a quo karena Para Pemohon tetap dapat mengembangkan diri dan memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsam dan negaranya. • Bahwa ketentuan a quo tidak mengakibatkan hilangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi Para Pemohon sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu ketentuan Pasal a quo juga berlaku terhadap setiap orang yang berprofesi sebagai Jaksa tanpa membeda-bedakan karena memberikan kepastian hukum untuk semua jenjang umur baik yang telah memasuki masa pensiun maupun yang akan memasuki masa pensiun tanpa membeda bedakan secara diskriminatif dan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 2. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Menurut Para Pemohon ketentuan norma a quo dapat menimbulkan kerugian yang sangat krusial, bersifat masif serta berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional bagi warga negara pencari keadilan dan negara (pemerintah), karena terdapat ketidakseimbangan antara jumlah Jaksa yang semakin menurun dengan banyaknya perkara yang harus ditangani (vide Perbaikan Permohonan hlm. 13 angka 7.3). Terhadap dalil kerugian konstitusional Para Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa kerugian yang dinyatakan Para Pemohon bukanlah kerugian konstitusional karena tidak terdapat bukti bahwa berlakunya pasal a quo merugikan warga negara pencari keadilan dan negara secara konstitusional. Selain itu dalil kerugian konstitusional Para Pemohon tersebut tidak relevan karena ketentuan pasal a quo adalah ketentuan yang berlaku bagi setiap orang yang berprofesi sebagai Jaksa, bukan berlaku bagi setiap warga negara dan pemerintah. 3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi DPR berpandangan bahwa dalil Para Pemohon hanyalah bentuk kekhawatiran Para Pemohon, sedangkan Pasal 40A UU 11/2021 justru memberikan jaminan dan kepastian hukum terkait usia pensiun Jaksa. Berlakunya ketentuan a quo juga tidak hanya dikenakan hanya bagi Para Pemohon melainkan juga terhadap semua Jaksa, sehingga Para Pemohon tidak akan mengalami perlakuan yang diskriminatif oleh karena berlakunya ketentuan a quo. Oleh karena itu berlakunya ketentuan a quo tidak menyebabkan kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial menurut penalaran wajar yang dapat terjadi . 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas maka sudah dapat dipastikan Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik dan aktual mengenai kerugian konstitusionalnya sehingga Para Pemohon tidak dapat membuktikan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional Para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo. Bahwa dengan demikian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi MK untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya MK tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. Pokok Permohonan: 1. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021, 22/PUU-XV/2017, 30-74/PUU-XII/g2014, 56/PUU-X/2012, 49/PUU-IX/2011, 7/PUU-IX/2011, 15/PUU-V/2007, bahwa penentuan batas usia dalam undang-undang merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Dalam beberapa putusan tersebut diatas, MK menyatakan bahwa kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dimaksud terdapat poin penting pertimbangan hukum MK terkait dengan penentuan batas usia sebagai berikut: a. ketentuan mengenai batas usia sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat pula melalui upaya legislative review. b. penentuan batas usia sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang apapun pilihannya, tidak dilarang dan selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena menurut MK, UUD 1945 tidak menentukan batasan usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk semua jabatan atau aktivitas pemerintahan. Menurut MK, UUD 1945 menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur perihal penentuan batas usia. c. Dalam Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017, MK memberikan penjelasan lebih lanjut terkait pendiriannya menguji ketentuan batas usia suatu jabatan yakni MK dapat menguji permohonan batas usia jabatan yang dinyatakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) apabila kebijakan hukum terbuka dimaksud melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intollerable, bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, serta sepanjang kebijakan tersebut tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945. 2. Bahwa secara spesifik pertimbangan Putusan MK perihal pengaturan batas usia sebagai legal policy pembentuk undang-undang dapat disampaikan sebagai berikut: a. Putusan MK No. 62/PUU-XIX/2021 – perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia b. Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 – perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan c. Putusan MK No. 30-74/PUU-XII/2014 – perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Para Pemohon mendalilkan mengalami kerugian konstitusionalnya karena memasuki masa pensiun tanpa mendapatkan haknya yakni Masa Persiapan Pensiun (MPP) selama 1 (satu) tahun sebelum pensiun (vide Perbaikan Permohonan hlm. 9 angka 6.1). Terhadap dalil kerugian tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut: a. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan BKN Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tata Cara Masa Persiapan Pensiun (Peraturan BKN 2/2019) bahwa Jaksa yang mencapai batas usia pensiun sebelum diberhentikan dengan hormat sebagai PNS dengan hak pensiun dapat mengambil masa persiapan pensiun dan dibebaskan dari jabatan ASN. Ketentuan pasal a quo tidak menghalangi pengajuan MPP karena hanya memberikan pengaturan mengenai batas usia pensiun yaitu 60 (enam puluh) tahun. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan BKN 2/2019 bahwa PPK berwenang menetapkan pemberian, penolakan, atau penangguhan masa persiapan pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan pimpinan tinggi pratama dan pejabat fungsional keahlian madya. Sehingga, diberikan atau tidaknya MPP bukan terkendala dari UU 11/2021 melainkan sudah menjadi kewenangan PPK. b. MPP merupakan masa dibebastugaskannya pegawai dari tugasnya, dan oleh karenanya justru bertentangan dengan alasan Para Pemohon yang ingin berkarir dan mengembangkan dirinya. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan BKN No 2/2019 uang masa persiapan pensiun terdiri atas gaji pokok, tunjangan keluarga, dan tunjangan pangan dan tanpa disertai adanya tunjangan kinerja. Selain itu pengajuan MPP bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi merupakan hak dari Para Pemohon (opsional). Jika ketentuan pengaturan mengenai batas usia pensiun Jaksa tetap seperti semula 62 tahun, hal tersebut tidak menjamin bahwa Para Pemohon pasti akan mengajukan MPP, mengingat hak-hak yang akan diterima Para Pemohon tidak penuh seperti selama Para Pemohon bekerja sebagai Jaksa. Hak pegawai berupa tunjangan kinerja dan tunjangan fungsional justru dihapuskan ketika pegawai mengambil MPP, dan hal tersebut bertentangan dengan alasan Para Pemohon untuk memperoleh penghasilan dengan ditambahkannya masa pensiunnya. Oleh karena itu dalil Para Pemohon tersebut adalah dalil yang kurang relevan untuk diajukan sebagai alasan untuk mengajukan pengujian pasal a quo. 4. Salah satu aspek dalam Manajemen ASN adalah pengaturan dan tata kelola terhadap jabatan yang terdapat pada Instansi Pemerintah baik berupa jabatan administrasi, jabatan fungsional, maupun jabatan pimpinan tinggi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) mengatur bahwa jabatan fungsional dalam ASN yang terdiri atas jabatan fungsional keahlian dan jabatan fungsional keterampilan. Pengaturan dan tata kelola terhadap jabatan ASN tersebut, juga termasuk pengaturan mengenai pemberhentian PNS yang telah mencapai Batas Usia Pensiun (BUP) (Pasal 87 ayat (1) huruf c UU 5/2014). BUP dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 90 UU 5/2014 yang menyatakan hal berikut: “Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c yaitu: a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi; c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional.” Sejalan dengan ketentuan Pasal tersebut di atas, Pasal 240 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PP 11/2017) menegaskan bahwa bagi PNS dengan JF yang BUP-nya ditetapkan dalam undang-undang, maka berlaku ketentuan dalam undang-undang tersebut sebagaimana bunyi pasal 240 PP 11/2017 berikut: “Batas Usia Pensiun bagi PNS yang menduduki JF yang ditentukan dalam undang-undang, berlaku ketentuan sesuai dengan Batas Usia Pensiun yang ditetapkan dalam undang-undang yang bersangkutan” Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka ketentuan mengenai BUP terhadap Jaksa selaku Pejabat Fungsional, diatur berdasarkan ketentuan dalam UU 11/2021. Dengan demikian, ketentuan mengenai batas usia pensiun bagi Jaksa termasuk Ketentuan Peralihan yang menjadi Obyek Permohonan pada pokoknya telah sejalan dan selaras dengan ketentuan UU 5/2014. 5. Bahwa mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010- 2025, Pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 diharapkan menghasilkan karakter birokrasi yang dengan pelayanan publik yang semakin berkualitas dan tata kelola yang semakin efektif dan efisien. Berdasarkan Reformasi Birokrasi tersebut, Kementerian/lembaga/pemerintah daerah dituntut untuk melaksanakan merit system sehingga tercipta ASN yang professional, berintegritas dan berdaya saing tinggi. Perencanaan kebutuhan/formasi jabatan didasarkan atas kebutuhan organisasi yang sesuai dengan dengan peta jabatan instansi. 6. Bahwa terkait dengan kejaksaan republik indonesia, dalam laporan tahunan Kejaksaan Agung Republik Indonesia tahun 2020 dinyatakan Tata Kelola SDM menuju merit system yang mendukung karakteristik Jaksa diantaranya dilakukan penyusunan aturan tata kelola SDM yang komprehensif, meliputi pola karier, pengembangan karier, mutasi lokal, mutasi vertikal, horisontal maupun diagonal, dan penyelenggaraan asesmen kompetensi melalui Peraturan Kejaksaan Nomor 11 tahun 2019 tentang Manajemen Karier Pegawai Kejaksaan RI dan penyusunan Human Capital Development Planing (HCDP) secara bertahap pada 12 jabatan fungsional. 7. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf e UU 16/2004 mengatur syarat untuk diangkat menjadi Jaksa yakni berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun. Sedangkan dalam ketentuan UU a quo, syarat tersebut berubah menjadi berusia 23 (dua puluh tiga) tahun. Kemudian batas usia pensiun dalam Pasal 12 huruf c UU 16/2004 berusia 62 tahun, sedangkan dalam Pasal 12 huruf c UU a quo berusia 60 (enam puluh tahun). Secara keseluruhan, perubahan batas usia pensiun tidak akan mengurangi masa kerja Jaksa. Perubahan batasan usia tersebut merupakan politik hukum oleh pembentuk undang-undang untuk membentuk pola karir sesuai dengan HCDP dan kebutuhan organisasi kejaksaan. Selain itu, di dalam UU a quo terdapat penambahan kewenangan bagi kejaksaan RI yang diatur dalam Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C UU 11/2021. Kewenangan yang ditambahkan antara lain di bidang pemulihan aset, bidang intelejen penegakan hukum, serta kewenangan lainnya yang dinyatakan pada Pasal 30C UU a quo. Bertambahnya kewenangan instansi tersebut pasti akan berdampak terhadap bertambahnya beban kerja profesi Jaksa yang dapat berimplikasi pada produktivitas dan hasil kerja institusi kejaksaan. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya perubahan batasan usia untuk dapat diangkat menjadi Jaksa lebih dini dan usia pensiun dikurangi akan menghasilkan SDM yang berkualitas dan handal dalam melaksanakan fungsi tugas dan wewenang Jaksa. 8. Bahwa gagasan menurunkan usia pensiun Jaksa tidak melebihi usia 60 tahun sesungguhnya sudah bergulir sejak pembahasan UU 16/2004. Jaksa Agung saat itu M.A. Rahman dalam Rapat Kerja Jaksa Agung dengan Badan Legislasi DPR RI mengenai pembahasan RUU Perubahan UU No. 5 Tahun 1991 pada tanggal 9 September 2003 mengusulkan agar usia pensiun Jaksa di semua eselon disamaratakan menjadi 60 tahun, walaupun dalam UU 16/2004 akhirnya diputuskan menjadi 62 tahun. Jaksa Agung saat itu menyatakan bahwa "Seseorang Jaksa, walaupun dia seorang Jaksa Tinggi, dia masih tetap melakukan pemeriksaan penyidikan dan pemberkasan perkara. Jadi selamanya bekerja terus-menerus dan kemudian ini juga akan menimbulkan keausan tubuhnya". (Sumber: hukumonline.com, “Kejaksaan Minta Usia Pensiun Jaksa Tak Lebihi 60 Tahun”, dikutip dari https://www.hukumonline.com/berita/a/kejaksaan-minta-usia-pensiun-jaksa-tak-lebihi-60-tahun-hol8789 pada 8 September 2022) . Berdasarkan informasi tersebut dipahami bahwa wacana batas usia menjadi 60 tahun bukanlah hal yang baru, namun telah menjadi wacana sejak tahun 2003. 9. Bahwa Para Pemohon mendalilkan ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 tidak memberikan jaminan kepastian hukum, bagi pihak yang terkena dampak atas perubahan ketentuan norma Pasal 12 huruf c UU 11/2021 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 26-26 angka 10). Terkait dalil tersebut DPR berpandangan sebagai berikut: a. Bahwa yang dimaksud usia 60 (enam puluh) tahun dalam ketentuan peralihan UU a quo misalnya seseorang yang lahir pada tanggal 1 Januari 1962 akan berusia 60 (enam puluh) tahun pada tanggal 1 Januari 2022. Adapun seseorang yang lahir pada tanggal 31 Desember 1961 akan berusia 60 tahun + 1 hari pada tanggal 1 Januari 2022 (sudah lebih dari 60 tahun). Sehingga berdasarkan ketentuan peralihan UU a quo terdapat dua makna, yakni Jaksa yang telah berumur 60 (enam puluh) ketika UU Kejaksaan disahkan akan mengikuti ketentuan UU yang lama (pensiun usia 62) agar tidak dirugikan. Sedangkan Jaksa yang belum berumur 60 (enam puluh) tahun ketika UU Kejaksaan disahkan akan mengikuti ketentuan UU yang baru (pensiun usia 60). Ketentuan peralihan UU a quo bertujuan untuk mengatur keseimbangan dalam rangka untuk menghindari perlakuan diskriminatif terhadap pihak yang terkena dampak. Hal ini sejalan dengan ketentuan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 jo. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan PUU), pada angka 127 yaitu Ketentuan Peralihan bertujuan untuk menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini juga sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 009/PUU-IV/2006 yang menyatakan: “Ketentuan Peralihan memuat “penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum (vide Lampiran C.4.100. UUP3).” b. Ketentuan peralihan lazimnya memuat asas hukum mengenai hak-hak yang telah diperoleh sebelumnya (acquired rights atau verkregenrechten) tetap diakui. Di samping itu, ketentuan peralihan (transitional provision) diperlukan untuk menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) bagi kesinambungan hak, serta mencegah kekosongan hukum (rechtsvacuum); (vide Putusan MK Nomor 009/PUU-IV/2006 hlm. 23) c. DPR berpandangan bahwa, Pasal 40A UU 11/2021 telah memenuhi tujuan dari adanya ketentuan peralihan sesuai dengan UU Pembentukan PUU. Hal ini karena UU a quo telah menjamin kepastian hukum, dan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Adapun mengenai pemberhentian Jaksa yang berusia 60 (enam puluh) tahun atau lebih tetap mengikuti ketentuan batas usia pensiun sebagaimana diatur dalam UU 16/2004, bahwa ketentuan ini telah sesuai dengan pertimbangan hukum dalam Putusan MK Nomor 009/PUU-IV/2006 yaitu ketentuan peralihan lazimnya memuat asas hukum mengenai hak-hak yang telah diperoleh sebelumnya untuk tetap diakui. Oleh karena itu, berlakunya Pasal 40A UU 11/2021 tidak bertentangan dengan tujuan dari ketentuan peralihan. 10. Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 tentunya akan semakin mengurangi jumlah Jaksa karena terhadap Jaksa yang berusia 60 tahun setelah UU 11/2021 diberlakukan sehingga semakin menghambat kinerja institusi kejaksaan Republik Indonesia (vide Perbaikan permohonan hlm. 27 angka 16). a. DPR berpandangan bahwa berlakunya Pasal 40A UU 11/2021 tidak memiliki pertautan dengan jumlah Jaksa di Kejaksaan Republik Indonesia. Persoalan kekurangan sesungguhnya dapat diatasi dengan rekrutmen Jaksa baru dalam periode berkala, bukan menambah batas usia pensiun Jaksa yang sudah ada. b. Persoalan kuantitas tidak selalu menjamin efektivitas dan produktivitas kinerja suatu institusi. Sehingga, pengaturan terkait batas usia pensiun tidak akan menghambat kinerja institusi kejaksaan RI. Jika pengaturan mengenai ketentuan pasal a quo dinilai menghambat kinerja kejaksaan RI, maka tentunya pembahasan mengenai ketentuan pasal a quo tidak akan disetujui oleh Jaksa Agung sebagai pimpinan tertinggi institusi kejaksaan RI yang ikut membahas undang-undang a quo bersama-sama dengan pembentuk undang-undang. 11. Bahwa Kejaksaan RI selaku instansi Pemerintah tempat bernaung Para Pemohon merupakan pemangku kepentingan (stakeholder) utama ketika proses pembahasan UU a quo. Materi muatan yang dibahas tentunya juga berdasarkan masukan dari perwakilan Kejaksaan RI yang hadir dalam rapat-rapat pembahasan UU a quo di DPR. Oleh karena itu sudah seharusnya perwakilan Kejaksaan RI yang hadir pada saat pembahasan tersebut membawa aspirasi serta kepentingan hukum seluruh Jaksa di Indonesia termasuk Para Pemohon. DPR menerangkan bahwa berdasarkan Risalah Rapat Kerja Komisi III DPR RI pada tanggal 6 Desember 2021 yang dihadiri undangan yakni Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Keuangan, dan Jaksa Agung RI beserta jajaran. Pada Rapat Kerja tanggal 6 Desember 2021 tersebut, Ketua Panitia Kerja (Panja) Dr. Ir. H. Adies Kadir, S.H., M.Hum. membacakan Laporan Panitia Kerja (Panja) atas RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia atas hasil rapat Panja pada tanggal 22 sampai dengan tanggal 24 November 2021. Ketua Panja memaparkan bahwa terdapat perubahan, penyesuaian, dan penambahan substansi yang dilakukan dari Panja sampai dengan Tim Perumus (Timus)-Tim Sinkronisasi (Timsin), salah satunya mengenai perbaikan ketentuan pemberhentian Jaksa. Panja menyepakati perubahan batas usia pemberhentian Jaksa dengan hormat diubah pada Pasal 12 UU 16/2004, yang semula 62 tahun menjadi 60 tahun. (Risalah Rapat Kerja Komisi III DPR RI tanggal 6 Desember 2021) Berdasarkan informasi tersebut, diketahui bahwa pimpinan tertinggi Kejaksaan RI yakni Jaksa Agung turut hadir dalam rapat tersebut dan telah mengetahui substansi apa saja yang diubah, disesuaikan, dan ditambahkan dalam pembahasan UU a quo. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perwakilan Kejaksaan RI yang hadir dalam pembahasan UU a quo telah menyetujui adanya perubahan ketentuan mengenai perubahan batas usia pensiun yang dimaksud. 12. Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan norma Pasal 40A UU 11/2021 yang tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum sehingga mengakibatkan adanya perlakuan yang berbeda atau diskiriminasi hukum (vide Perbaikan Permohonan hlm.20-24) DPR berpandangan bahwa dengan berlakunya Pasal 12 huruf c dan Pasal 40A telah memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada Para Pemohon sebagai Jaksa Fungsional. Pasal-pasal a quo memberikan kepastian hukum untuk semua jenjang umur baik yang telah memasuki masa pensiun maupun yang akan memasuki masa pensiun, terkait dalil Para Pemohon yang merasa diperlakukan diskriminatif. DPR berpandangan bahwa terdapat pengertian yang keliru terkait diskiriminasi. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa : “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.” Oleh karena itu tidak tepat apabila Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 40A UU 11/2021 merupakan bentuk diskriminasi kepada Para Pemohon. Karena ketentuan pasal a quo berlaku bagi setiap orang yang berpofesi sebagai Jaksa tanpa memandang latar belakang beradasarkan SARA atau diskiriminatif tersebut. 13. Bahwa terhadap permohonan provisi Para Pemohon, DPR berpandangan sebagai berikut: a. Bahwa sebagaimana putusan-putusan terdahulu mengenai permohonan provisi, salah satunya adalah Putusan MK Nomor 21/PUU-VI/2008 tanggal 21 Oktober 2008, bahwa UU MK tidak mengenal permohonan provisi dalam pengujian undang-undang, karena selama dalam proses pengujian, undang-undang yang diuji tetap berlaku sebelum adanya putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945 [vide Pasal 58 UU MK]. Bahwa kemudian dalam kaitannya dengan memutus permohonan provisi, Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 133/PUU-VII/2009 mengabulkan permohonan provisi para Pemohon untuk sebagian karena terdapat alasan yang kuat untuk itu, sehingga permohonan provisi dalam pengujian undang-undang akan dipertimbangkan secara tersendiri dan secara kasuistis yang menurut pendapat Mahkamah relevan dan mendesak untuk dilakukan. b. Bahwa dalam perkara a quo, DPR berpandangan permohonan provisi Para Pemohon tidak relevan untuk dipertimbangkan oleh MK karena tidak ada alasan yang kuat dan mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi para Pemohon a quo. Selain itu ketentuan pasal a quo tidak akan mengurangi masa kerja Jaksa dan tidak akan merugikan setiap orang yang berprofesi Jaksa. Oleh karenanya sudah selayaknya MK menolak permohonan provisi para Pemohon.

70/PUU-XX/2022

Pasal 40A UU 11/2021

Pasal 1 ayat (3), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945: