96/PUU-XVlll/2020
Kerugian Konstitusional: Bahwa Pemohon Perkara 96 mendalilkan Pasal 87 huruf a UU MK Perubahan Ketiga mengandung ketidakpastian hukum yang adil, yaitu tidak merujuk secara khusus pada Pasal 4 ayat (3) UU MK padahal Pasal 4 ayat (3) UU MK telah menentukan secara jelas dan pasti jabatan sebagai ketua atau wakil ketua MK dipilih dari dan oleh anggota hakim MK serta berlaku untuk lima tahun terhitung sejak pengangkatan. Kemudian dengan menyatakan ketua hakim MK atau wakil ketua hakim MK yang saat ini menjabat sampai dengan masa jabatannya berakhir maka ketentuan Pasal 87 huruf a nyata-nyata bertentangan dengan Pasal 4 ayat (3) UU MK sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebab adanya frasa "tetap menjabat" dalam Pasal 87 huruf a UU MK seolah-olah membuat Ketua atau wakil ketua MK yang dipilih dan diangkat berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU MK yang menentukan masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dianggap tetap menjabat untuk masa jabatan 5 (lima). Selain itu terhadap pengertian "sampai dengan masa jabatannya berakhir", dapat juga ditafsirkan kata "jabatan sebagai Hakim MK atau Jabatan sebagai Ketua atau Wakil Ketua MK" jadi dapat muncul penafsiran bahwa "Hakim MK yang menjabat sebagai Ketua atau Wakil Ketua MK dapat menjawab sebagai Ketua atau Wakil Ketua MK sampai dengan masa jabatannya sebagai Hakim MK berakhir, yaitu sampai dengan pensiun" (vide Perbaikan Permohonan hal 11 angka 30). Sedangkan Pasal 87 huruf b UU MK Perubahan Ketiga dianggap menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon Perkara 96 untuk dapat menjadi Ketua atau Wakil Ketua MK. Legal Standing: Bahwa merujuk pada pertimbangan hukum MK dalam Putusan Perkara Nomor 62/PUU-XVll/2019 yang diucapkan pada sidang 4 Mei 2021, mengenai parameter kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam pengujian secara formil, MK menyatakan: "Menimbang bahwa Mahkamah dalam Putusan Nomor 27 /PUU-Vll/2009, bertanggal 16 Juni 2010, Paragraf (3.9] mempertimbangkan sebagai berikut: "... bahwa untuk membatasi agar supaya tidak setiap anggota masyarakat secara serta merta dapat melakukan permohonan ujiformil di satu pihak serta tidak diterapkannya persyaratan legal standing untuk pengujian moteriil di pihak lain, perlu untuk ditetapkan syarat legal standing dalam pengujian formil Undang-Undang, yaitu bahwa Pemohon mempunyai hubungan pertautan yang langsung denqan Undanq-Undanq yang dimohonkan. Adapun syarat adanya hubungan pertautan yang langsung do/am pengujian formil tidaklah sampai sekuat dengan syarat adanya kepentingan dalam pengujian materiil sebagaimana telah diterapkan o/eh Mahkamah sampai saat lni, karena akan menyebabkan sama sekali tertutup kemungkinannya bagi anggota masyarakat atau subjek hukum yang disebut dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK untuk mengajukan pengujian secara form ii ... " Oleh karena itu, perlu dibuktikan lebih lanjut hubungan pertautan yang langsung antara Para Pemohon dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian secara formil. Selain itu, dalam pengujian secara materiil, perlu dibuktikan apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK serta Putusan MK Nomor 006/PUU-111/2005, Putusan MK Nomor 62/PUU-XVll/2019 dan Putusan MK Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional dalam pengujian suatu undang• undang secara materiil. Dalam hal ini, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian UU a quo secara formil maupun secara materiil. Pokok Permohonan:
96/PUU-XVlll/2020
Pasal 87 huruf a dan huruf b UU MK
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945