Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

68/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa Pemohon sebagai Partai Politik “non-parlemen” sebelumnya tidak ikut membahas UU 7/2017, maka berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa partai politik yang telah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional melalui perwakilannya di DPR atas pengesahan suatu Undang-Undang, tidak dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi terhadap UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan uji undang-undang a quo. 2. Bahwa sebagai partai politik “non-parlemen”, maka kesempatan untuk turut mengarahkan arah penyelenggaraan negara bagi Pemohon dapat dilakukan melalui jalur “non-parlemen”, yang diantaranya dengan mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya terhadap UUD NRI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi. 3. Bahwa terkait kedudukan hukum dalam kaitannya dengan kerugian konstitusional, hak konstitusional Pemohon berpotensi dirugikan dalam penalaran yang wajar atas keberlakuan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya. 4. Bahwa hak konstitusional Pemohon yang potensial dirugikan dalam atas berlakunya ketentuan pasal a quo UU 7/2017, yaitu: a. Pasal 6 UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: (1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. (2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang. b. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. c. Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. 5. Bahwa Pemohon adalah partai politik yang memiliki hak konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilihan umum. 6. Bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang, yang diwujudkan secara konkret dalam ketentuan Pasal 169 UU 7/2017. Pemohon sebagai partai politik memiliki hak konstitusional untuk mencalonkan Presiden atau calon Wakil Presiden, namun hak konstitusional Pemohon tersebut berpotensi dirugikan dan dihambat dengan berlakunya norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya, karena Pemohon tidak dapat mengajukan kadernya yang merupakan Menteri definitif sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden dengan adanya syarat Menteri harus mengundurkan diri dari jabatannya terlebih dahulu. 7. Dalam hal Menteri melakukan pengunduran diri, maka sudah dapat dipastikan hak konstitusional Pemohon (vide Pasal 6A ayat (2) jo. Pasal 6 UUD 1945 jo. Pasal 169 UU 7/2017) berpotensi dirugikan dan menjadi terhambat. Dengan demikian, terdapat benang merah dan saling berkelindan antara Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasan dengan Pasal 6A ayat (2) jo. Pasal 6 UUD NRI Tahun 1945. 8. Bahwa apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, ketua umum atau petinggi partai politik yang merupakan kader-kader terbaik partai politik ditunjuk atau diangkat oleh Presiden terpilih untuk menjabat sebagai Menteri yang bertujuan juga untuk mempertahankan stabilitas geopolitik dalam negeri dan sinergi membangun peta checks and balances yang kemudian dalam pemilihan umum selanjutnya kader partai politik tersebut dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. 9. Bahwa jabatan Menteri masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan merupakan bagian dari kekuasaan yang dimiliki Presiden dan Wakil Presiden. Menjadi aneh apabila Presiden dan Wakil Presiden saja tidak diwajibkan mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin mencalonkan diri/dicalonkan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Menjadi pertanyaan mengapa Menteri yang juga menjalankan kekuasaan eksekutif diwajibkan mengundurkan diri dari jabatannya. Padahal, alasan substansi ketidakharusan mundurnya Presiden dan Wakil Presiden adalah soal menjaga stabilitas dan keberlangsungan pemerintahan, dimana hal yang sama berlaku juga pada jabatan Menteri. 10. Bahwa berbeda halnya dengan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati walikota dan wakil walikota yang tidak diharuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden namun cukup dengan meminta izin kepada Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU 7/2017 telah menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap kader partai yang menjabat sebagai Menteri definitif. 11. Bahwa jabatan Menteri masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan merupakan bagian dari kekuasaan yang dimiliki Presiden dan Wakil Presiden dan karenanya demi hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, maka Menteri juga merupakan pejabat negara yang dikecualikan dari keharusan untuk mengundurkan diri dari jabatannya apabila dicalonkan oleh Pemohon sebagai partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana halnya Presiden dan Wakil Presiden yang tidak diharuskan untuk mengundurkan diri. 12. Bahwa adalah merupakan hal yang umum dalam konteks pemerintahan di Indonesia kader terbaik partai politik yang merupakan individu kompeten ditunjuk dan diangkat oleh Presiden terpilih untuk menduduki jabatan sebagai pejabat negara, diantaranya sebagai Menteri. Dan adalah hal yang umum juga apabila kader terbaik partai politik dicalonkan oleh Pemohon yang merupakan sebagai partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, adanya perlakuan yang berbeda terhadap Menteri sebagai pejabat negara dengan pejabat negara lain yang tidak diharuskan mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya apabila dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden telah menimbulkan pembatasan-pembatasan dalam pemenuhan hak konstitusional Pemohon dan bersifat diskriminatif bagi Pemohon sebagai partai politik ketika mencalonkan kader terbaiknya yang merupakan Menteri definitif sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden, sehingga mencederai hak konstitusi Pemohon dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana dijamin dan dilindungi menurut Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 13. Bahwa Pemohon sebagai partai politik telah secara spesifik menjelaskan korelasi norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya dengan hak konstitusional (vide Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 6 jo. Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945) yang secara potensial dirugikan menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, sehingga apabila ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasan sepanjang frasa “pejabat negara” dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 secara bersyarat, maka dapat dipastikan potensial kerugian konstitusional Pemohon akan terjadi dikemudian hari. Oleh sebab itu, telah tampak adanya hubungan sebab akibat (causal-verband) antara kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon dengan keberlakuan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya. Pokok Permohonan: 1. Bahwa Pemohon sebagai partai politik memiliki hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum (vide Pasal 6A ayat (2) jo. Pasal 6 UUD NRI Tahun 1945) dan sebagai partai politik adalah hal yang wajar dan beralasan apabila Pemohon mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden bersama dengan gabungan partai politik lainnya. Hak konstitusional Pemohon (vide Pasal 6A ayat (2) jo. Pasal 6 UUD NRI Tahun 1945) berpotensi dirugikan dengan keberlakuan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya. Apabila Menteri tidak diharuskan mengundurkan diri dari jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasan, maka potensi kerugian Pemohon tidak akan terjadi dan Pemohon terjamin atas pelaksanaan hak konstitusional (vide Pasal 6A ayat (2) jo. Pasal 6 UUD NRI Tahun 1945). 2. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 (UU 2/2008) Partai politik didefinisikan sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. Tujuan dan tujuan khusus partai politik pun telah diatur dalam UU 2/2008 yang diwujudkan secara konstitusional. Tujuan partai Politik adalah: a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945; b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (vide Pasal 10 ayat (1) UU 2/2008) Sedangkan tujuan khusus partai politik adalah: a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (vide Pasal 10 ayat (2) UU 2/2008). 3. Bahwa partai politik berfungsi sebagai sarana: a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. (vide Pasal 11 ayat (1) UU 2/2008) Fungsi tersebut tentunya diwujudkan secara konstitusional (vide Pasal 11 ayat (12) UU 2/2008). 4. Bahwa tujuan dan fungsi partai politik tersebut, tidak dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 dan penjelasannya, dengan demikian perlu kiranya Mahkamah Konstitusi melihat kembali pengaturan dalam pasal a quo agar pelaksanaan pembangunan dan adanya hukum mampu memberikan kepastian perlindungan terhadap masyarakat secara luas dan pencapaian pembangunan yang menyejahterakan rakyat dapat tercapai dengan cepat. 5. Bahwa frasa “pejabat negara” dalam rumusan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon (vide Pasal 6A ayat (2) jo Pasal 6 UUD NRI Tahun 1945) sepanjang terkait dengan jabatan Menteri. Dalam konteks perkembangan politik, kebutuhan, dan keberlangsungan stabilitas pemerintahan dan sistem presidensial, maka Presiden terpilih mengangkat Menteri-Menteri dari unsur partai politik, disamping terdapat Menteri yang diangkat dari kalangan non-partai politik. Secara empiris, Kabinet Indonesia Maju saat ini diisi 21 Menteri dan Wakil Menteri yang berasal dari unsur partai politik yaitu PDIP 4 Menteri dan 1 Wakil Menteri, Gerindra 2 Menteri, Golkar 3 Menteri dan 1 Wakil Menteri, Perindo 1 Wakil Menteri, Nasdem 3 Menteri, PKB 3 Menteri, PAN 1 Menteri, PSI 1 Wakil Menteri, dan PBB 1 Wakil Menteri. 6. Bahwa setengah atau lebih dari 50% (lima puluh persen) jabatan Menteri (termasuk Wakil Menteri) definitif saat ini diisi dari unsur partai politik yang merupakan kader terbaik partai politik dan di sisi lain juga menjabat sebagai ketua umum ataupun petinggi partai. Oleh sebab itu, Pemohon sebagai partai politik bersama dengan gabungan partai politik lain nantinya sangat berpotensi untuk mencalonkan Menteri definitif sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden semata dalam rangka menjalankan hak konstitusional Pemohon yang dijamin dan dilindungi oleh konstitusi (vide Pasal 6A ayat (2) jo. Pasal 6 UUD NRI Tahun 1945). 7. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 diatur bahwa Presiden dibantu oleh menteri menteri negara dan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Maka melihat pada pengaturan lebih lanjut terkait dengan Menteri-menteri tersebut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU 39/2008), pada bagian menimbang dinyatakan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri negara yang membidangi urusan tertentu di bidang pemerintahan dan bahwa setiap menteri memimpin kementerian negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Apabila dilihat kembali, dalam suatu organisasi kementerian, Menteri merupakan pemimpin dalam organisasi tersebut (vide Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 UU 39/2008, yang mana perubahan pemimpin atau penggantian Menteri sering kali berdampak pada perubahan arah kebijakan kementerian tersebut yang menjadikan pembangunan yang telah berjalan tidak lagi berlanjut bahkan tidak tuntas. Hal ini justru menghambat upaya pembangunan yang telah direncanakan dan ditargetkan pencapaiannya serta mengakibatkan semakin jauhnya upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan dari keberadaan pemerintahan Indonesia. Hal yang demikian dapat dikatakan merupakan kebenaran atas “the life of law has not been logic it has been experience”. Hal yang berpotensi merugikan negara dan masyarakat ini tentunya tidak dapat terus dibiarkan. 8. Bahwa frasa “pejabat negara” dalam rumusan norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasan juga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena menimbulkan perlakuan yang bersifat diskriminatif yang dalam konteks permohonan ini terdapat perlakuan dari keharusan mengundurkan diri antara Menteri dengan sesama pejabat negara lain seperti Presiden dan Wakil Presiden yang tidak diharuskan untuk mengundurkan diri. Fokus Pemohon dalam Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 berserta Penjelasan adalah jabatan Menteri dengan mempertimbangkan fakta empiris bahwa 21 Menteri dan Wakil Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju saat ini berasal dari unsur partai politik yang merupakan kader terbaik partai politik, sekaligus sebagai ketua umum ataupun petinggi partai yang sangat erat kaitannya dengan Pemohon sebagai partai politik ataupun partai politik lain serta sangat berpotensi untuk dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden oleh Pemohon. 9. Bahwa pendirian atau pertimbangan Mahkamah terkait pengunduran diri PNS, TNI, Polri, BUMN, atau BUMD dalam Putusan Nomor 45/PUU-VIII/2010, Nomor 12/PUU-XI/2013, Nomor 57/PUU-XI/2013, Nomor 41/PUU-XII/2014, dan Nomor 33/PUU-XIII/2015 menurut Pemohon telah kehilangan relevansi dan koherensinya dalam Permohonan ini terkait pengunduran pejabat negara (in casu Menteri) sebab dasar pertimbangan pengunduran diri PNS, TNI, Polri, BUMN, atau BUMD sebagaimana tersebut di atas didasarkan pada beberapa pertimbangan justifikasi yang dapat menimbulkan perdebatan atau perbedaan pendapat yaitu pertimbangan masa jabatan, sifat pekerjaan, dan cara memperoleh jabatan (hasil pemilihan umum atau jabatan profesi yang merupakan pilihan karier). Artinya, justifikasi tersebut tidak dapat serta merta diberlakukan seutuhnya untuk menjadi dasar atau pertimbangan dalam memutus Permohonan a quo terkait pengunduran diri pejabat negara (in casu Menteri). Misalnya, pertimbangan sifat pekerjaan DPR, DPD, dan DPRD adalah kolektif kolegial, sehingga ketika ditinggal salah satu anggotanya, sistem besarnya tidak terganggu. Apabila didasarkan pada misalnya pertimbangan “sifat pekerjaan” seperti ini, pertanyaan selanjutnya apakah berarti apabila Menteri tidak mengundurkan diri dari jabatan akan mengganggu sistem atau kinerja kementerian? Tentu tidak, karena jika dari sudut pandang “sifat pekerjaan”, individu Presiden dan Wakil Presiden yang tidak diwajibkan untuk mengundurkan diri dari jabatannya apabila dicalonkan dalam pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden sejauh ini secara expressive verbis tidak mengganggu atau menghambat kinerja pemerintahan selama masa cuti kampanye. 10. Bahwa Pemerintah dan DPR pun dalam suatu kesempatan juga mengakui perlunya mempertimbangkan aspek fairness dan equality terkait kewajiban pengunduran diri sebagaimana dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015 halaman 151-152, Pemerintah juga mengakui perlunya mempertimbangkan aspek fairness dan equality dimana hal itu diserahkan kepada Mahkamah untuk mempertimbangkannya. Pun demikian dengan DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah untuk mempertimbangkan apakah ketidakseragaman syarat dapat dikategorikan telah menimbulkan aturan yang diskriminatif dan menciptakan perlakuan yang berbeda kepada sesama warga negara Indonesia. Atas dasar pertimbangan inillah, maka Pemohon memohon kiranya Mahkamah dapat memberikan pertimbangan tersendiri atas kewajiban pengunduran pajabat negara (in casu Menteri) semata dalam rangka menjalankan fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights). 11. Bahwa jabatan Menteri masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif dan merupakan bagian dari kekuasaan yang dimiliki Presiden dan Wakil Presiden. Menjadi aneh apabila Presiden dan Wakil Presiden saja tidak diwajibkan mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Menjadi pertanyaan mengapa Menteri yang juga menjalankan kekuasaan eksekutif diwajibkan mengundurkan diri dari jabatannya. Padahal, alasan substansi ketidakharusan mundurnya Presiden dan Wakil Presiden adalah soal menjaga stabilitas dan keberlangsungan pemerintahan, dimana hal yang sama berlaku juga pada jabatan Menteri. Jabatan Menteri merupakan rumpun kekuasaan eksekutif dan bagian dari kekuasaan yang dimiliki Presiden sebagai pembantu Presiden juga tercermin dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 39/2008. 12. Bahwa berbeda halnya dengan pejabat negara yaitu gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati walikota dan wakil walikota yang tidak diharuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya apabila dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasan. Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati walikota dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden cukup meminta izin kepada Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 171 ayat (1) UU 7/2017. 13. Bahwa meskipun terdapat perbedaan mekanisme pengisian jabatan yaitu gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati walikota dan wakil walikota yang dilakukan dengan cara dipilih (elected officials) melalui suatu pemilihan umum (election), sedangkan pengisian jabatan Menteri diangkat atau ditunjuk (appointed/assigned officials) oleh Presiden terpilih, namun keduanya sama-sama merupakan pejabat negara yang dalam konteks perpolitikan di Indonesia pada umumnya dipercayakan kepada kader-kader terbaik partai politik untuk menjalankan pemerintahan di tingkat pusat maupun daerah. 14. Apakah dengan demikian, berarti bahwa standar moralitas, kredibilitas dan profesionalitas untuk Menteri definitif lebih rendah dari pada standar moral untuk gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati walikota dan wakil walikota? Padahal, secara letterlijk rumusan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasan baik Menteri maupun gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota adalah sama-sama pejabat negara yang pada umumnya dalam konteks perpolitikan di Indonesia berasal dari unsur partai politik atau setidak-tidaknya simpatisan atau pendukung partai politik meskipun tidak menutup ada yang berasal dari unsur perseorangan. Oleh karena itu, Menteri adalah pembantu Presiden dan gubernur bersama wakil gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat di tingkat provinsi, dan bupati, wakil bupati, walikota serta wakil walikota melaksanakan urusan pemerintahan umum di wilayah kerja masing-masing yang kesemua itu dalam rangka sama-sama melaksanakan urusan pemerintahan dan harus diperlakukan sama. 15. Bahwa jika didasarkan pada alasan kekhawatiran penyalahgunaan jabatan apabila Menteri tidak mengundurkan diri, maka Presiden, Wapres, Gubernur, Wagub, dan bupati, wakil bupati, walikota serta wakil walikota juga mungkin menyalahgunakan jabatan. Menjadi aneh kalau Menteri tidak dikecualikan dari keharusan untuk mengundurkan diri, sehingga timbul perbedaan perlakuan secara hukum. Begitu pula kalau alasan fokus kerja Menteri akan terganggu, juga menjadi aneh, karena fokus kerja Presiden, Wapres, Gubernur, Wagub, dan bupati, wakil bupati, walikota serta wakil walikota yang tidak dikecualikan mengundurkan diri juga bisa terganggu. 16. Bahwa terkait dengan pengaturan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh Menteri, maupun agar Menteri fokus bekerja apabila dicalonkan sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden baiknya diatur dengan peraturan di bawah UU. Bahwa dengan demikian, frasa pejabat negara (in casu Menteri) dalam Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 menjadi tidak relevan lagi sebab bertentangan dengan hak-hak konstitusional Pemohon (vide Pasal 6A ayat (2) jo. Pasal 6 jo. Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945).

68/PUU-XX/2022

Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 beserta Penjelasannya.

Pasal 6, Pasal 6A ayat (2), Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945