Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

69/PUU-XX/2022

Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa menurut Para Pemohon pembentukan UU 13/2022 tidak berpedoman pada tata cara tentang pembentukan undang-undang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, antara lain terkait dengan tidak dipenuhinya asas-asas pembentukan undang-undang sehingga menyebabkan UU 13/2022 dibentuk tanpa kepastian hukum (vide Perbaikan Permohonan hlm. 26-27 angka 47-49); 2. Bahwa Para Pemohon merasa penyusunan UU 13/2022 sangat parsial dan pragmatis (tidak holistik dan komprehensif) karena tidak mengidentifikasi secara menyeluruh permasalahan berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan sehingga tidak memperhatikan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan suatu undang-undang (vide Perbaikan Permohonan hlm. 34 angka 72-73); 3. Bahwa UU 13/2022 tidak sesuai dengan asas kejelasan rumusan karena penggunaan frasa “antara lain” dalam penjelasan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 yang dapat menyebabkan adanya ketidakpastian terhadap yang dimaksud dengan kesalahan teknis sehingga berpotensi terjadi perubahan kesalahan teknis penulisan lainnya terhadap rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden diluar Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022. Selain itu frasa “antara lain” dalam penjelasan tersebut juga kontradiktif dengan perintah untuk “Tidak menggunakan frasa antara lain atau frasa namun tidak terbatas pada dalam rumusan norma pasal atau ayat”, sebagaimana Lampiran UU 13/2022 Angka 270b (vide Perbaikan Permohonan hlm. 35-36 angka 78-79); 4. Bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah dipandang sebagai bentuk bagian dari proses demokratisasi pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, namun proses perubahan UU 13/2022 tidak menerapkan partisipasi dalam arti sesungguhnya (meaningful participation) sehingga tidak sejalan dengan asas keterbukaan (vide Perbaikan Permohonan hlm. 36-38 angka 82-85). Legal Standing: 1. Bahwa Pemohon I merupakan badan hukum publik, diwakili oleh Presiden dan Sekretaris Jenderal Partai Buruh; dan Pemohon II – Pemohon IX merupakan orang perorangan yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu Tahun 2019 dan merupakan pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap hak dan kepentingan pekerja/buruh (vide Perbaikan Permohonan hlm. 13-18). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa materi muatan UU 13/2022 tidak mengatur mengenai hak dan kepentingan pekerja/buruh yang dibela kepentingannya oleh Para Pemohon. UU 13/2022 dibentuk untuk dapat menampung kebutuhan hukum masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain mengenai penggunaan metode omnibus dan memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Pembentukan UU 13/2022 tidak akan menyebabkan Para Pemohon tidak dapat menjalankan peran, kegiatan, dan profesinya sebagai badan hukum publik dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap hak dan kepentingan pekerja/buruh. 2. Para Pemohon mendalilkan mempunyai hubungan pertautan langsung karena sebelumnya pernah mengajukan diri sebagai Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020) yang dibentuk dengan metode omnibus dan UU 13/2022 dibentuk untuk tujuan melegalkan UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, sedangkan materi muatan dalam UU 11/2020 merugikan masyarakat kecil yang dibela kepentingannya oleh Para Pemohon (vide Perbaikan Permohonan hlm. 20-22). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa dalil Pemohon I yang merasa berkepentingan terhadap pembentukan UU 13/2022 karena sebagian besar dari 11 organisasi penyokong Pemohon I pernah menjadi pemohon dalam pengujian formil dan/atau materiil UU 11/2020 adalah dalil yang tidak berdasar. Pengujian UU 11/2022 yang dimaksud Pemohon I tersebut tidak dapat disamakan dengan pengujian a quo karena terdapat perbedaan subjek hukum pemohon, antara Pemohon I dengan organisasi penyokong sebagai subjek hukum tersendiri. Oleh karenanya jika terdapat pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagian besar dari 11 organisasi penyokong Pemohon I memiliki kedudukan hukum dalam pengujian UU 11/2022, tidak serta merta Pemohon I juga memiliki kedudukan hukum dalam permohonan a quo. b. Dalil Para Pemohon yang mengaitkan permohonan a quo dengan materi muatan UU 11/2020 juga tidak tepat karena tidak terdapat relevansinya dengan materi muatan UU 13/2022. Bahwa UU 11/2020 dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hukum mengenai percepatan cipta kerja dalam rangka memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan UU 13/2022 dibentuk untuk mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus. c. Bahwa Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 merupakan putusan atas pengujian formil UU 11/2020 dan bukan atas pengujian materiil. Pembentukan UU 13/2022 merupakan salah satu tindak lanjut dari pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang pada intinya memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk membuat dasar hukum mengenai proses pembentukan perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus. Hal ini tidak ada keterkaitan sama sekali dengan materi muatan di dalam UU 11/2020 khususnya yang mengatur mengenai substansi ketenagakerjaan. Dengan demikian dalil Para Pemohon yang menyatakan UU 13/2022 dibentuk untuk tujuan melegalkan UU 11/2020 adalah dalil yang tidak tepat. d. Jika Para Pemohon menganggap bahwa materi muatan UU 11/2020 merugikan masyarakat yang dibela kepentingannya oleh Para Pemohon dan hal tersebut menjadikan Para Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam permohonan a quo, maka permohonan a quo menjadi tidak tepat objek, atau error in objecto, karena UU 13/2022 bukan undang-undang yang mengatur mengenai ketenagakerjaan. 3. Para Pemohon mendalilkan tidak pernah diikutsertakan atau diberikan kesempatan oleh pembentuk undang-undang untuk memberikan masukan terkait pembahasan metode omnibus, padahal Para Pemohon merupakan pihak yang berkepentingan karena metode omnibus digunakan dalam pembentukan UU 11/2020 yang pernah dimohonkan pengujiannya oleh Para Pemohon kepada Mahkamah Konstitusi (vide Perbaikan Permohonan hlm. 28-29). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa Pasal 96 ayat (3) UU 13/2022 menjelaskan bahwa masyarakat yang berhak memberikan masukan merupakan orang perseorangan atau kelompok orang yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas materi muatan rancangan peraturan perundang-undangan. b. Dalam rangka memenuhi hak masyarakat tersebut, DPR melalui Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR telah melakukan kegiatan konsultasi publik untuk mendapatkan masukan dari masyarakat yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Adapun masyarakat tersebut adalah akademisi dan unsur pemerintahan yang terlibat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu jajaran biro hukum pemerintah daerah, sekretariat DPRD, dan kantor wilayah Kementerian Hukum dan HAM (vide Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XII, Lampiran XIV, dan Lampiran XV) c. Dalam permohonan a quo Para Pemohon sama sekali tidak menjelaskan urgensi serta akibat lebih lanjut dengan dilibatkannya Para Pemohon dalam pembentukan UU a quo. Jika Para Pemohon merasa sebagai pihak yang berkepentingan, maka Para Pemohon tetap dapat memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam setiap tahapan pembentukan UU 13/2022. 4. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, secara konstitusional proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 22A, dan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945, sebagaimana dikutip berikut ini: “[3.17.1] Bahwa setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), secara konstitusional, proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Selain itu, pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diatur dalam Pasal 22D UUD 1945. Sementara itu, berkenaan dengan pengaturan lebih rendah (delegasi), hal demikian ditentukan dalam norma Pasal 22A UUD 1945.” Namun demikian, Para Pemohon sama sekali tidak menguraikan ketentuan dalam UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji dalam permohonan formil yang diajukan oleh Para Pemohon. Pokok Permohonan: 1. Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan Bahwa Para Pemohon mendalilkan pembentukan UU a quo bertentangan dengan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan karena penyusunan UU a quo sangat parsial dan pragmatis (tidak holistik dan komprehensif) karena tidak mengidentifikasi secara menyeluruh permasalahan berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Materi substansi UU 13/2022 sangat terbatas sehingga hanya berupaya untuk memberikan legitimasi terhadap UU 11/2020 tanpa memperhatikan kedayagunaan dan kehasilgunaan suatu undang-undang (vide Perbaikan Permohonan hlm. 33-34). Terhadap dalil tersebut, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011, yang dimaksud dengan Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan adalah “bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”; b. Sebagaimana telah disebutkan dalam ketentuan “Menimbang” UU 13/2022 bahwa secara filosofis pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan untuk mewujudkan kepastian hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat dalam mendukung tercapainya arah dan tujuan pembangunan hukum nasional. Kemudian secara yuridis untuk mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang terencana, terpadu, dan berkelanjutan, maka dibutuhkan penataan dan perbaikan mekanisme pembentukannya dengan menambahkan antara lain pengaturan mengenai metode omnibus dan memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna. Selanjutnya secara sosiologis terdapat kebutuhan hukum masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, oleh karenanya UU 12/2011 jo. UU 15/2019 masih memerlukan penyempurnaan. c. Naskah Akademik RUU a quo telah menguraikan bahwa teknis atau metode pembentukan peraturan perundang-undangan dirancang untuk selalu dapat mengikuti atau adaptif terhadap perkembangan kebutuhan termasuk jika akan dilakukan penyederhanaan peraturan perundang-undangan dengan metode apa pun, termasuk metode omnibus. Pada tataran implementasi terdapat permasalahan yang berkaitan dengan regulasi di Indonesia, yaitu peraturan yang saling bertentangan, inkonsistensi, multitafsir, regulasi yang tidak operasional, obesitas hukum, dan peraturan yang saling tumpang tindih. Metode omnibus dapat digunakan untuk menyederhanakan banyaknya peraturan perundang-undangan yang saling tumpang tindih, mempercepat proses legislasi yang biasanya memakan waktu yang panjang, serta mendorong harmonisasi dan sinkronisasi seluruh peraturan perundang-undangan (vide Naskah Akademik hlm. 5 dalam Lampiran XIX). d. Terkait dengan penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan dalam pertimbangan hukum dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pembentukan undang-undang selain menggunakan aturan legal formal, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Naskah Akademik RUU a quo juga telah mencantumkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai salah satu latar belakang dalam pembentukan UU 13/2022 (vide Naskah Akademik hlm. 5-6 dalam Lampiran XIX) dan menyatakan bahwa UU 12/2011 jo. UU 15/2019 merupakan undang-undang yang terdampak atas Putusan tersebut (vide Naskah Akademik hlm. 1 dalam Lampiran XIX). Bab II Naskah Akademik menguraikan lebih jauh mengenai kajian teoritis dan kajian terhadap praktik empiris dari metode omnibus dan partisipasi masyarakat. e. Bahwa politik hukum pembentuk undang-undang saat itu ialah mengubah beberapa materi muatan UU 12/2011 jo. UU 15/2019 dan bukan mengganti sebagian besar materi muatannya. Jika Para Pemohon menganggap masih terdapat materi lainnya yang perlu diatur dan ditambahkan, maka Para Pemohon berdasarkan keahliannya dapat mengajukan usulan, pendapat, dan masukan kepada pembentuk undang-undang. f. Berdasarkan uraian tersebut, maka keseluruhan bagian dari UU 13/2022 mulai dari bagian konsiderans menimbang sebagai dasar filosofis, yuridis, dan sosiologis hingga bagian penjelasan umum yang mendeskripsikan latar belakang pembentukan suatu undang-undang serta dokumen Naskah Akademik yang tidak mengabaikan Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan. Materi muatan yang disempurnakan dalam UU 13/2022 memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. 2. Asas Kejelasan Rumusan Bahwa Para Pemohon mendalilkan UU 13/2022 tidak sesuai dengan asas kejelasan rumusan karena penggunaan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 menyebabkan adanya ketidakpastian terhadap apa yang dimaksud dengan kesalahan teknis sehingga berpotensi terjadi perubahan kesalahan teknis penulisan lainnya terhadap rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Hal tersebut juga kontradiktif dengan perintah untuk tidak menggunakan frasa antara lain atau frasa namun tidak terbatas pada dalam rumusan norma pasal atau ayat, sebagaimana Lampiran UU 13/2022 Angka 270b (vide Perbaikan Permohonan Pemohon hlm. 34-36) Terhadap dalil tersebut, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011, yang dimaksud dengan Asas Kejelasan Rumusan adalah: “bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya”. b. Bahwa rumusan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 sebagai berikut: Dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas Rancangan Undang-Undang tersebut. Adapun Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 berketentuan sebagai berikut: Yang dimaksud dengan “kesalahan teknis penulisan” antara lain adalah huruf yang tidak lengkap, rujukan pasal atau ayat yang tidak tepat, salah ketik, dan/atau judul atau nomor urut bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, atau butir yang tidak sesuai, yang bersifat tidak substansial. c. Adanya penjelasan terhadap frasa “kesalahan teknis penulisan” dalam Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 justru dimaksudkan untuk memberikan kejelasan bahwa kesalahan teknis penulisan bersifat tidak substansial dengan memberikan contoh sebagai tafsir resmi dari pembentuk undang-undang. Hal ini telah sesuai dengan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan dalam Lampiran II angka 176 UU 13/2022 yang menjelaskan: “Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan tidak boleh mengandung norma karena penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.” d. Pembentuk undang-undang menggunakan frasa “antara lain” dalam menjelaskan contoh kesalahan teknis penulisan karena yang diuraikan dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) UU a quo hanyalah beberapa kesalahan teknis penulisan yang telah dialami dalam proses pembentukan undang-undang. Pembentuk undang-undang menyadari bahwa masih terbuka adanya kesalahan teknis penulisan lainnya yang mungkin akan terjadi di masa mendatang. Dengan demikian digunakan frasa “antara lain”, namun tetap dalam batasan bahwa kesalahan teknis penulisan tersebut bersifat tidak substansial. e. Adanya frasa “yang bersifat tidak substansial” dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 merupakan bentuk kehati-hatian pembentuk undang-undang agar perbaikan kesalahan teknis penulisan tidak mengubah substansi dari rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama. Pembentuk undang-undang menyadari bahwa meskipun terlihat sebagai kesalahan redaksional namun perubahannya dapat mengubah substansi, sebagaimana disampaikan oleh perwakilan Pemerintah dalam Rapat Panja Pembahasan RUU a quo pada tanggal 8 April 2022 (vide Lampiran XXIII hlm. 83) DEPUTI SETNEG (LYDIA S. DJAMAN): Iya, terima kasih, Bapak Pimpinan. Yang saya hormati Bapak Pimpinan dan Bapak Ibu Anggota, mohon maaf saya buka. Ya, ini memang berdasarkan pengalaman kita selama ini dan sampai hari ini pun masih terjadi, gitu. Dan kita melakukan perubahan, juga rada-rada, apa namanya, susah nih, gitu ya, karena nggak ada dasar hukumnya. Makanya ini kesempatan. Sebenarnya apa yang dikhawatirkan oleh Bapak tadi, justru dengan fase terakhir yang bersifat tidak substansial itulah yang mengikat. bahwa rujukan pasal, sepanjang itu tidak merubah substansial, memang salah rujuk, karena sudah terkurangi, misalnya merujuk ke ayat (5), padahal ayat (5)-nya sudah tidak ada, Pak, gitu, Pak. Sudah nggak ada, kan, tapi ngerujuk ayat (5). Ayat (5) yang mana, gitu. Jadi, itu kan pure sebenarnya salah rujuk, Pak. Jadi, kata-kata yang bersifat tidak substansial itu untuk semuanya, Pak, baik yang salah rujuk pasal, ayat, salah ketik, sepanjang itu tidak merubah substansial, itu maknanya, Pak. Ini justru menjadi pagar, gitu, bahwa kita itu walaupun ngerubah yang kelihatannya redaksi, tapi kadang-kadang redaksi ini bisa nyenggol substansial kan, Pak? Makanya itu perlu ada penekanan frase yang tidak bersifat substansial. Itu yang menjadi, apa, pegangan kita ngerubah yang sifatnya redaksional. Eh, lihat dulu, kelihatannya redaksional, kalau dibaca utuh ternyata nyenggol ke substansi, oh, itu kita tidak bisa. Begitu, Pak, sebenarnya maksudnya. Demikian, Pak Pimpinan, terima kasih. f. Bahwa ketentuan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan dari ketentuan Pasal 72 ayat (1b) UU 13/2022 yang mengatur hasil perbaikan terhadap teknis penulisan harus mendapatkan persetujuan dari pembentuk undang-undang, yaitu pimpinan alat kelengkapan DPR dan wakil dari Pemerintah yang membahas rancangan undang-undang tersebut. Ketentuan tersebut merupakan bentuk kontrol yang seimbang dari para pembentuk undang-undang. Selanjutnya ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU 13/2022 memberikan batas waktu untuk melakukan perbaikan dan penyampaian rancangan undang-undang hasil perbaikan, yaitu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Berdasarkan uraian tersebut, maka telah terdapat rumusan norma yang sangat jelas dalam mengatur mekanisme perbaikan kesalahan teknis penulisan. g. Bahwa dalil Para Pemohon yang mengaitkan frasa “antara lain” dalam Penjelasan Pasal 72 ayat (1a) UU 13/2022 dengan Lampiran II angka 270b UU 13/2022 adalah tidak tepat karena larangan penggunaan frasa “antara lain” atau frasa “namun tidak terbatas pada” ditujukan untuk rumusan norma pasal atau ayat, bukan untuk rumusan penjelasan. h. Selain itu Asas Kejelasan Rumusan berkaitan erat dengan pilihan kata atau istilah serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak dapat dipisahkan dari materi muatan UU 13/2022. Penilaian terhadap kesesuaian materi muatan suatu undang-undang dengan Asas Kejelasan Rumusan hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi melalui permohonan pengujian materiil, bukan melalui permohonan pengujian formil. Hal ini sebagaimana disampaikan dalam pertimbangan hukum Putusan 79/PUU-XVII/2019 sebagai berikut: “berkenaan dengan kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan, menurut Mahkamah, hal tersebut haruslah didalami lebih lanjut pasal demi pasal yang apabila menurut para Pemohon tidak jelas atau memiliki penafsiran yang berbeda atau bertentangan isinya antara pasal yang satu dengan pasal lainnya sehingga tidak dapat dilaksanakan, maka terkait dengan norma tersebut sebaiknya dilakukan pengujian materiil di Mahkamah Konstitusi, sehingga Mahkamah akan menjawab dan menilainya melalui pertimbangan Mahkamah. Dengan demikian sesungguhnya terhadap dalil adanya pelanggaran asas tentang kejelasan tujuan sehingga tidak dapat digunakan, secara umum dimaksudkan terhadap seluruh norma yang terdapat dalam undang-undang a quo dan tidak dapat dinilai tanpa melalui pengujian materiil;” Berdasarkan uraian di atas, maka tidak terdapat ketidaksesuaian UU 13/2022 dengan Asas Kejelasan Rumusan sebagaimana yang didalilkan oleh Para Pemohon.

69/PUU-XX/2022

Pengujian Formil

UUD NRI Tahun 1945