20/PUU-XIX/2021
Kerugian Konstitusional: Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan karena secara faktual telah dirugikan atau setidak-tidaknya sangat berpotensial dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 karena materi ketentuan a quo telah menimbulkan berbagai penafsiran (multi tafsir) atau setidak-tidaknya telah membuka peluang bagi pemerintah untuk membuat peraturan dibawah undang-undang untuk menganulir satuan pendidikan tinggi untuk melakukan seleksi, pengangkatan dan penetapan jabatan akademik, termasuk Guru Besar di perguruan tinggi (vide perbaikan permohonan hlm 7). Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijadikan sebagai batu uji dalam pengajuan pengujian pasal a quo, yakni Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional melainkan menerangkan mengenai Indonesia adalah negara hukum. Demikian pula Pasal 28I ayat (4) dan (5) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara karena mengatur mengenai tanggung jawab negara terutama pemerintah atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia dan pengamanahan jaminan, pengaturan dan penuangan pelaksanaan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan. Ketentuan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 memang mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara maupun perorangan, meski demikian perlu dilihat kembali adakah pertautan antara dalil kerugian yang disampaikan oleh Pemohon dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut. Hal tersebut akan diuraikan lebih jelas pada poin di bawah. 2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tetap melekat pada Pemohon dengan tidak terkurangi maupun terhalangi sedikitpun dengan keberlakuan ketentuan a quo yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon. Hak Pemohon atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tetap dapat dilaksanakan oleh Pemohon dimana Pemohon tetap dapat bekerja yang dalam hal ini melaksanakan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat sebagai dosen. Terkait hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapatkan Pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, Pemohon tetap dapat melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi untuk dapat memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, maupun ikut dalam kepesertaan jaminan sosial. Selain itu, Pemohon juga tetap dapat memperoleh pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelaksanaan tugasnya sebagai dosen dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya maupun dalam pengembangan kompetensinya sebagai dosen sehingga dapat memberikan kontribusi lebih baik terhadap pelaksanaan pendidikan di satuan pendidikan tempat Pemohon bekerja. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tetap dapat diterima Pemohon meskipun Pasal a quo diberlakukan. Perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum tersebut diperoleh oleh Pemohon yang salah satunya ditunjukkan dengan adanya tempat dimana Pemohon dapat menyampaikan adanya ketidakadilan maupun adanya anggapan kerugian tertentu atas kebijakan negara yang dituangkan dalam UU a quo kepada Mahkamah Konstitusi maupun kepada Pemerintah, dalam hal ini adalah kemendikbud, maupun kepada DPR dengan tetap mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ketentuan tersebut juga berlaku sama bagi semua dosen di Indonesia, sehingga tidak hanya Pemohon saja yang harus mengikuti ketentuan tersebut. Oleh karenanya telah jelas ketentuan Pasal a quo tidak mengurangi maupun merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon. 3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa Pemohon dalam perbaikan permohonannya menguraikan mengenai proses pengajuan Pemohon sebagai Guru Besar FMIPA UI yang oleh Kemendikbud ditolak dan telah diberikan alasannya. DPR berpandangan bahwa hal ini merupakan permasalahan konkrit atas penerapan norma a quo sehingga jelas bahwa permasalahan yang diuraikan oleh Pemohon bukanlah permasalahan inkonstitusionalitas norma. Mahkamah Konstitusi sebagai guardian of constitution, dalam hal ini hanya memutus pengujian pasal yang telah jelas-jelas bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan bukan masalah teknis penerapan suatu norma. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang erga omnes, tidak hanya akan mengikat Pemohon tetapi juga setiap orang di Indonesia, mengingat permasalahan yang dibawa oleh Pemohon adalah permasalahan pribadi yang dialami oleh Pemohon. Bahwa Pemohon mendalilkan secara faktual hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan karena standar dan kaidah atau norma dalam Pasal a quo UU 14/2005 adalah tidak pasti karena materi Pasal a quo telah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada perguruan tinggi untuk mengatur lebih lanjut seleksi, pengangkatan dan penetapan jabatan akadeimk tertentu, termasuk di dalamnya Guru Besar, namun kewenangan itu nyata-nyata telah dinegasikan atau dinihilkan dalam bunyi pasal itu sendiri sebagaimana tercermin dalam frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide perbaikan permohonan hlm 11-12). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan ketentuan Pasal a quo mengatur mengenai kewenangan satuan pendidikan tinggi untuk melakukan seleksi dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan (3) UU 14/2005 sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini tidak diberikan kepada perorangan seperti hal nya Pemohon melainkan kepada satuan pendidikan tinggi maka dalil yang menyatakan bahwa Pemohon dirugikan secara faktual tidaklah benar, apalagi dikaitkan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon sebagaimana telah diuraikan dalam angka 2, tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal a quo yang diajukan pengujian dalam permohonan a quo. Ketentuan Pasal a quo telah sangat jelas, terlebih Pemohon mencantumkan bagian perdebatan dalam risalah pembahasan UU 14/2005 (vide perbaikan permohonan hlm 30-33) yang menguatkan bahwa ketentuan tersebut tidak dapat dimaknai seperti apa yang diuraikan oleh Pemohon. Oleh karenanya, tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa dengan tidak adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan keberlakuan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon, maka jelas tidak terdapat pertautan antara dalil kerugian Pemohon dengan ketentuan dalam UU 14/2005 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. Oleh karenanya tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan Pemohon dengan pengaturan yang ada dalam Pasal a quo. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan Pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan Pasal a quo tidak akan berdampak apapun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo, karena Pemohon tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Pasal a quo. Pokok Permohonan: 1. Bahwa Pemohon mendalilkan adanya frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” telah ditafsirkan oleh Pemerintah dan dijadikan dasar untuk menerbitkan Permendikbud No 92/2014 atau bahkan PO-PAK 2013 dan/atau PO-PAK 2019 yang mengambil alih atau menganulir kewenangan satuan Pendidikan tinggi dalam menyeleksi, mengangkat dan penetapan jabatan akademik, termasuk guru besar, sehingga yang berwenang untuk menyeleksi, mengangkat dan menetapkan jabatan akademik termasuk Guru Besar adalah Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud (vide perbaikan permohonan hlm 12). Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan: a. Bahwa berdasarkan pengaturan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU 20/2003), sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (vide Pasal 1 angka 3). Pendidikan dilaksanakan oleh satuan Pendidikan yang merupakan kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (vide Pasal 1 angka 10). Pada jalur Pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (vide Pasal 1 angka 11 jo Pasal 14). Terkait dengan Guru Besar, UU 20/2003 mengatur “pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi (vide Pasal 23). Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi (vide Pasal 38 ayat (3)). Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (vide Pasal 51). b. Bahwa berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU 12/2012), Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip: 1) pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika; 2) demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa; 3) pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca tulis bagi Sivitas Akademika; 4) pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang hayat; 5) keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa dalam pembelajaran; 6) pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan lingkungan secara selaras dan seimbang; 7) kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat, dan kemampuan Mahasiswa; 8) satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna; 9) keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara ekonomi; dan 10) pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan Tinggi (vide Pasal 6). Dalam pengelolaan Pendidikan tinggi, Menteri bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yang mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi serta pembinaan dan koordinasi. Tugas dan kewenangan Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan tinggi meliputi diantaranya penetapan kebijakan umum nasional dan penyusunan rencana pengembangan jangka panjang, menengah, dan tahunan Pendidikan Tinggi yang berkelanjutan dan pemantapan dan peningkatan kapasitas pengelolaan akademik dan pengelolaan sumber daya Perguruan Tinggi (vide Pasal 7). Perguruan tinggi terdiri atas PTN yang didirikan oleh Pemerintah dan PTS yang didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri yang dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 60). Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma, yang meliputi bidang akademik dan bidang non akademik sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi (vide Pasal 62-64). Bahwa penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi pada PTS diatur oleh badan penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perguruan Tinggi diatur dalam Peraturan Pemerintah (vide Pasal 67 dan 68). c. Bahwa pengaturan terkait dengan dosen pada UU 12/2012 menyatakan pengangkatan dan penempatan Dosen dan tenaga kependidikan oleh Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan penyelenggara tersebut wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada Dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PTN memberikan gaji pokok dan tunjangan kepada Dosen tetap, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah memberikan tunjangan jabatan akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan kehormatan kepada Dosen tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan Dosen tetap pada PTN diatur dalam Peraturan Menteri. d. Terkait dengan jenjang jabatan akademik, jenjang jabatan akademik Dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Bahkan secara jelas dalam ketentuan Pasal 72 ayat (2) UU 12/2012 dinyatakan jenjang jabatan akademik Dosen tidak tetap diatur dan ditetapkan oleh penyelenggara Perguruan Tinggi. UU 12/2012 dengan sangat jelas membedakan pengaturan mengenai jenjang jabatan akademik bagi dosen tetap dan dosen tidak tetap di Lembaga Pendidikan tinggi. e. Bahwa dalam hal pengangkatan seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan akademik professor atau guru besar, Menteri dapat melakukan pengangkatan tersebut atas usul Perguruan tinggi. Pengangkatan jenjang jabatan akademik sebagai professor ini, baik di PTN maupun PTS berimplikasi pada pengalokasian APBN atas tunjangan kehormatan professor tersebut (vide Pasal 89 ayat (1)). Oleh karenanya pemberian tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan seorang dosen yang diangkat menjadi professor atau guru besar, diamanatkan pengaturan lebih lanjutnya dalam Peraturan Menteri (vide Pasal 72 ayat (6)). f. Bahwa Pemohon dalam hal ini mempermasalahkan ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 tanpa terlebih dahulu memahami manajemen pengelolaan Pendidikan tinggi yang ada di Indonesia sebagai bagian dari system Pendidikan nasional yang pengaturannya terdapat dalam UU 20/2003, UU 14/2005, UU 12/2012, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014) dan peraturan perundang-undangan lainnya mengenai keuangan negara, hal ini dikarenakan setiap jenjang jabatan pendidik tertentu memiliki dampak terhadap hak-hak keuangan yang akan diberikan oleh negara. Konstruksi hukum yang demikian harus dibangun secara sistematis agar tercipta harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait pengaturan mengenai jenjang jabatan tertentu dalam Pendidikan tinggi. g. Makna frasa “sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” adalah open legal policy yang merupakan kebijakan hukum terbuka bagi pembentuk UU untuk mendelegasikan suatu pengaturan kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal tersebut memang memberikan keleluasaan namun dengan tetap menerapkan batas batas tertentu dan pemerintah tetap memiliki standar yang mengacu pada peraturan-peraturan lain yang lebih teknis. 2. Bahwa Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal a quo multi tafsir sehingga ditafsirkan oleh pemerintah dengan menerbitkan PO-PAK 2014 dan/atau PO-PAK 2019 (vide perbaikan permohonan hlm 12). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon dalam permohonannya mengutip ketentuan Pasal 48 ayat (4) UU 14/2005 secara tidak lengkap dan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat yang membaca permohonan tersebut. Ketentuan Pasal 48 ayat (4) UU 14/2005 selengkapnya menyatakan: Pengaturan kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga jelas bahwa kewenangan jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap ditetapkan oleh setiap satuan pendidikan tinggi berdasarkan Pasal 48 ayat (4) UU 14/2005 dan pengaturan mengenai kewenangan tersebut mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait pengaturan tentang jenjang jabatan akademik dan dosen tidak-tetap. b. Bahwa pengaturan seleksi dan pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu pada Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa dosen di Indonesia terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap. Dosen tetap di satuan Pendidikan tinggi pun dapat berstatus dosen tetap Yayasan maupun dosen dengan status ASN. Apabila dosen tersebut adalah dosen yang merupakan Pegawai Negeri Sipil atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja maka kepadanya berlaku ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut UU 5/2014). c. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU 5/2014, Menteri berwenang menetapkan kebijakan di bidang pendayagunaan Pegawai ASN, yaitu pada huruf b dan c: b. kebijakan umum pembinaan profesi ASN; c. kebijakan umum Manajemen ASN, klasifikasi jabatan ASN, standar kompetensi jabatan Pegawai ASN, kebutuhan Pegawai ASN secara nasional, skala penggajian, tunjangan Pegawai ASN, dan sistem pensiun PNS. Dalam hal ini, Pemohon adalah dosen FMIPA UI dengan status sebagai PNS maka kepada Pemohon juga diberlakukan pengaturan sebagaimana telah disebutkan diatas. d. Bahwa penetapan skala penggajian dan tunjangan pegawai ASN dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, yakni Menteri Keuangan selaku bendahara negara karena besaran gaji dan tunjangan ASN akan dibebankan kepada keuangan negara dalam mekanisme APBN. Oleh karenanya penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf c menyatakan bahwa skala pengajian dan tunjangan Pegawai ASN ditetapkan setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. e. Bahwa secara khusus, terkait dengan dosen universitas yang berstatus PNS, Pasal 56 UU 5/2014 mengatur penyusunan kebutuhan PNS melalui analisis kebutuhan beban kerja berupa jumlah, jenis, dan status PNS yang diperlukan untuk melaksanakan tugas utama secara efektif dan efisien dalam melaksanakan beban kerja Instansi Pemerintah, yang ditetapkan sesuai dengan siklus anggaran. Penetapan kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS oleh Menteri tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan pendapat menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan pertimbangan teknis dari kepala BKN. f. Bahwa berdasarkan pengaturan dalam UU 5/2014 tersebut, maka jelas bahwa terdapat kewenangan pengaturan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dalam kebijakan pengelolaan ASN secara nasional dan berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (selanjutnya disebut UU 20/2003) diatur bahwa yang dimaksud Menteri dalam UU 20/2003 tersebut adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan nasional. Hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya (untuk selanjutnya disebut sebagai Permenpan RB 17/2013) yang menyatakan bahwa pengangkatan jabatan akademik dosen ditetapkan berdasarkan jumlah angka kredit yang dimiliki (vide Pasal 6 ayat (5) Permenpan RB 17/2013) dan salah satu pejabat yang berwenang dalam melakukan penetapan angka kredit dan berhak untuk menilai adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan nasional (vide Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Permenpan RB 17/2013). Selain itu, dalam pembinaan jabatan fungsional dosen tersebut dilaksanakan oleh Instansi pembina jabatan Akademik Dosen yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam hal ini memiliki tugas diantaranya adalah menyusun ketentuan pelaksanaan, ketentuan teknis jabatan Akademik Dosen, menyusun pedoman formasi jabatan Akademik Dosen dan menetapkan standar kompetensi jabatan Akademik Dosen (vide Pasal 5 Permenpan RB 17/2013) g. Dengan uraian-uraian tersebut, maka dalil yang disampaikan oleh Pemohon yang menyatakan bahwa disusunnya PO-PAK 2014 maupun PO-PAK 2019 telah menyimpangi atau membatalkan norma atau kaidah di dalam UU 14/2005 dan merusak tata urutan atau hierarkhi peraturan perundang-undangan menjadi tidak berdasar hukum karena adalah hal tersebut jelas-jelas merupakan pemahaman yang keliru. Selain itu, putusan akhir pengangkatan jabatan akademik tertinggi berada di tangan Kemendikbud mengingat kewenangan Menteri berdasarkan UU 20/2003 dan Permenpan RB 17/2013 yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan berkoordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Keuangan. 3. Bahwa terkait dengan perbandingan jumlah professor di Britania Raya dengan di Indonesia dan permasalahan kurangnya guru besar di Indonesia yang disampaikan Pemohon pada halaman 17-18 perbaikan permohonannya, hal ini tentunya perlu dipertimbangkan bahwa tidak selayaknya Pemohon memperbandingkan jumlah guru besar yang ada di negara maju dengan yang ada di Indonesia karena bagaimanapun juga situasi dan kondisi yang dibentuk atau tercipta dari sistim Pendidikan nasional di kedua negara sangatlah berbeda dan tidak dapat diperbandingkan. Terkait dengan hal tersebut, dapat dilihat lagi dari pendapat para ahli bahwa menurut Prof. Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa, “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan MK Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) 4. Bahwa Pemohon mendalilkan dalam memaknai “peraturan perundang-undangan” terhadap ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005, Kemendikbud harusnya tidak memaknai selain dari PP Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia (selanjutnya disebut PP 68/2013) (vide Perbaikan Permohonan hlm 21). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran II UU 12/2011 no. 198 dan 199, dikatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah serta Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Dalam hal pembentuk UU mempunyai hak untuk menentukan peraturan yang lebih teknis agar tercipta fleksibilitas dan dapat berlaku secara nasional. Sehingga Pemohon tidak bisa memaknai PP 68/2013 adalah peraturan secara khusus yang harus dipakai dalam penentuan pengangkatan Guru Besar. Sehingga ketentuan pendelegasian tersebut telah sesuai dengan UU 12/2011. 5. Bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 72 ayat (5) dan ayat (6) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU 12/2012) merupakan pemaknaan menyimpang dari Pasal a quo UU 14/2005 karena Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan angka Kreditnya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 46 Tahun 2013 seharusnya tidak berlaku terhadap Universitas Indonesia karena selain pengaturannya lebih rendah daripada PP 68/2013, juga karena Universitas Indonesia memiliki pengaturan tersendiri sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum (vide perbaikan permohonan hlm 22). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa dalam Pasal 42 jo Pasal 43 ayat (2) PP 68/2013 dikatakan bahwa terkait Gaji pegawai negeri sipil yang dipekerjakan sebagai Pegawai UI yang merupakan dosen dan tenaga kependidikan serta pengangkatan dan pembinaan karir Dosen dan Tenaga Kependidikan yang berstatus pegawai negeri sipil dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku yang ditentukan. Sehingga, dalil Pemohon dapat dikatakan tidak benar dan tidak berdasar karena peraturan yang berlaku sudah dilaksanakan sebagaimana mestinya dan begitupun Pasal UU a quo yang diajukan pengujian. 6. Terhadap dalil-dalil Pemohon dalam poin-poin sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Pemohon lebih banyak mempermasalahkan mengenai penerapan norma yang terdapat dalam peraturan dibawah undang-undang sehingga tidaklah benar jika Pemohon melakukan pengujian UU a quo ke Mahkamah Konstitusi dengan dalil-dalil yang disebutkan dalam permohonan a quo. 7. Terkait dengan pendelegasian pengaturan dalam Pasal a quo UU 14/2005 hal ini telah sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam UU 12/2011. Dalam lampiran I UU 12/2011 dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, selain itu pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain, dari Peraturan Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang lain. Mengingat keberlakuan Peraturan Pemerintah yang luas dan pengaturan statuta Perguruan Tinggi dikeluarkan Pemerintah dalam bentuk PP, maka sudah pasti ada banyak PP mengenai statuta perguruan tinggi tertentu selain Statuta Universitas Indonesia. Keberlakuan PP mengenai statuta perguruan tinggi mengikat terhadap perguruan tinggi yang diatur dalam PP tersebut, mengingat bahwa statuta perguruan tinggi merupakan anggaran dasar bagi perguruan tinggi dalam melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yang dipakai sebagai acuan untuk merencanakan, mengembangkan program, dan menyelenggarakan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi yang berisi dasar yang dipakai sebagai rujukan pengembangan peraturan umum, peraturan akademik, dan prosedur operasional yang berlaku di perguruan tinggi. Oleh karenanya, frasa “peraturan perundang-undangan” dalam ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005 tidak dapat dimaknai sebagai PP Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia sebagaimana yang diharapkan Pemohon dalam uraian perbaikan permohonannya. 8. Bahwa terkait dengan petitum Pemohon yang memohon agar “Menyatakan bahwa Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5336) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “seleksi, penetapan dan pengangkatan jenjang jabatan akademik termasuk Guru Besar merupakan kewenangan sepenuhnya dari Rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi, tanpa ada campur tangan Menteri”, DPR menyatakan hal tersebut tidak dapat dilakukan mengingat bahwa pemaknaan yang demikian justru akan menciptakan permasalahan hukum baru dan menjadikan ketentuan Pasal a quo bertentangan dengan UU 20/2003, UU 5/2014 dan UU 12/2012. Selain itu, permasalahan yang didalilkan oleh Pemohon merupakan permasalahan konkrit yang telah selesai dengan adanya surat dari Kemendikbud beserta rekomendasinya.
20/PUU-XIX/2021
Pasal 50 ayat (4) UU 14/2005
Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945