47/PUU-XIX/2021
Kerugian Konstitusional: Kerugian Faktual 1. Pemberlakuan norma dengan frasa “Partai Politik dapat meminta pertimbangan dan/atau konsultasi kepada MRP” dalam Pasal 28 ayat (4) UU 2/2021 telah mematikan, memandulkan, mengebiri kewenangan kelembagaan MRP dalam hal seleksi dan rekruitmen politik oleh partai politik yang mengakibatkan Orang Asli Papua terpinggirkan dalam pemenuhan hak-hak politiknya. 2. Pemberlakuan norma dengan frasa “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP” dalam Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021 telah mematikan, memandulkan, mengebiri kewenangan MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran provinsi-provinsi dan kabupaten/kota. Selain itu tanpa melibatkan peran MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran provinsi dan kabupaten/kota pasti akan memecah belah keutuhan kearifan lokal adat dan budaya tradisional masyarakat Papua yang menjadi roh kekhususan wilayah Papua dalam hal pemekaran wilayah. 3. Pemberlakuan norma dengan frasa “dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP” dalam Pasal 77 UU 21/2001 telah mematikan seluruh kewenangan MRP ketika MRP tidak dilibatkan dalam proses dan pembuatan usulan perubahan UU 21/2001 yang mengatur Orang Asli Papua. Kerugian Potensial 1. Pemberlakuan norma Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) dan Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021 telah merugikan Orang Asli Papua dalam bentuk adanya perlakuan yang tidak sama dalam kedudukan hukum pemerintahan dan hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dalam hal ini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) yang akan dipilih melalui pemilihan umum secara jujur, adil, langsung dan rahasia. Selain itu, adanya frasa “berdasarkan perundang-undangan” yang berlaku dapat menciptakan ketidakpastian hukum yang seharusnya dimaknai peraturan perundang-undangan adalah perdasus/perdasi. 2. Penghapusan norma dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 2/2021 dapat menghilangkan atau menghambat atau membatasi hak-hak politik Orang Asli Papua yang merupakan bagian dari hak asasi manusia untuk memiliki partai politik lokalnya sendiri sebagai sarana untuk mewujudkan partisipasi Orang Asli Papua dalam mengembangkan kehidupan demokrasi di Papua yang bertujuan menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan dan kejujuran. Selain itu, penghapusan norma partai politik telah mereduksi kepentingan Orang Asli Papua dalam menyuarakan isu-isu politik lokal Papua yang berkaitan hak-hak kekhususan Orang Asli Papua dalam bidang adat dan budaya, keagamaan dan perempuan. 3. Pemberlakuan norma dengan frasa “memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021 berpotensi memberikan diskriminasi tehadap perlindungan dan perlakuan antara rakyat dengan pemilik modal sebagai pengusaha guna mendapatkan kepastian hukum yang adil. Frasa “memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum kepada pengusaha” merugikan semua orang di Papua khususnya Orang Asli Papua. Semestinya perlindungan jaminan kepastian hukum harus didapatkan kepada setiap orang di Papua tanpa kecuali. 4. Pemberlakuan norma dengan frasa “dengan beban masyarakat serendah-rendahnya” dalam Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021 membuka ruang multitafsir karena tidak mencantumkan penjelasan terhadap makna frasa tersebut akan menimbulkan ketidakpastian dalam memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya atau setinggi-tingginya dalam memperoleh pelayanan kesehatan bagi masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi Orang Asli Papua. 5. Pemberlakuan norma dalam Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021, dalam hal pembentukan badan khusus yang hanya merepresentasikan unsur Pemerintah Pusat tanpa mengakomidasi kepentingan masyarakat adat, budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama dalam merumuskan kebijakan pembangunan di Papua dapat berpotensi merugikan Orang Asli Papua. Legal Standing: 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Pemohon mendalilkan sebagai lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU 2/2021 memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional dalam pengujian UU 2/2021. Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa lembaga negara adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya, namun terkait dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang harus dilihat kembali adanya pertautan dan pemenuhan batasan dalam pengajuan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Bahwa Pemohon mendalilkan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon dan bertentangan dengan Pasal 17 ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1), Pasal 22D, Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa ketentuan pasal-pasal a quo UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur hak dan/atau kewenangan konstitusional warga negara maupun lembaga negara melainkan mengatur mengenai Menteri yang membidangi urusan pemerintahan, pembagian daerah di NKRI, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, kewenangan DPD, partai politik peserta pemilu, dan kewajiban fakir miskin dan anak terlantar serta sistem jaminan sosial sosial tanggung jawab negara. Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin oleh Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur mengenai pengakuan dan penghormatan Negara atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dalam hal masyarakat adat Papua, Negara mengatur dan memberikan kewenangan secara khusus dalam UU 2/2021. Dalam pengaturan terkait MRP yang beranggotakan Orang-Orang Asli Papua telah diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UU 2/2021 sebagai berikut: a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah; b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur; c. memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama, baik yang dibuat oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah Provinsi Papua dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak Orang Asli Papua; d. memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak Orang Asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan e. memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRK, dan Bupati/Wali Kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua. Oleh karena itu hak dan/atau kewenangan konstitusional MRP terbatas pada hal-hal yang telah diatur dalam pasal tersebut. Pasal-pasal a quo yang diujikan oleh Pemohon sebagian besar bukan merupakan kewenangan dari Pemohon sebagai MRP. 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang Bahwa hak konstitusional Pemohon untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya juga tidak dibatasi maupun dilanggar dengan keberlakuan pasal-pasal a quo, hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 juga tidak dibatasi dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo. Pemohon tetap mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dengan diberikannya kewenangan oleh negara kepada Pemohon dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai representasi kultural orang asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Pemohon juga tetap mendapatkan hak konstitusionalnya atas hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan berdasarkan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang selama ini diupayakan terus oleh Pemerintah dalam program-program pembangunan yang ada yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Demikian pula dengan hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Tidak ada pengaturan dalam UU a quo yang mendiskriminasikan Pemohon karena telah terdapat pengakuan negara atas kekhususan dan keistimewaan satuan-satuan pemerintahan daerah dan masyarakat asli Papua dan pengaturan yang memberikan perlakuan yang sama dan memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dengan adanya kewenangan tertentu yang diberikan dalam UU a quo untuk merepresentasikan adat orang asli Papua dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah papua. Dengan demikian, dalil adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diuraikan oleh Pemohon dalam permohonannya tidaklah benar. 3. Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 28 UU 2/2021 telah mematikan, memandulkan, mengebiri kewenangan kelembagaan MRP terkait isu partai politik, DPR berpandangan bahwa pengaturan dalam Pasal 28 UU 2/2021 haruslah dibaca dengan menyeluruh dan bukan dibaca secara parsial agar diperoleh pemahaman yang utuh. Pasal 28 UU 2/2021 mengatur mengenai partai politik yang melakukan kegiatannya di tanah papua, bukan mengatur mengenai kewenangan MRP atas partai politik. Adapun kewenangan MRP telah diatur dalam Pasal 20 UU 2/2021 yang sama sekali tidak menyebutkan partai politik sebagai salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MRP. Selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 76 UU 2/2021 mengenai pemekaran daerah telah mematikan, memandulkan, mengebiri kewenangan kelembagaan MRP, DPR berpandangan bahwa kewenangan MRP untuk memberikan persetujuan atas pemekaran daerah bukan merupakan kewenangan mutlak, melainkan terlebih dahulu dengan memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang. Sehingga dengan demikian tidak ada kewenangan MRP yang dikurangi. Terkait dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 77 UU 21/2001 telah mematikan seluruh kewenangan MRP ketika MRP tidak dilibatkan dalam proses dan pembuatan usulan perubahan UU Otsus, DPR berpandangan bahwa pengaturan Pasal 77 UU 21/2001 tidak mengurangi kewenangan MRP berdasarkan Pasal 20 UU 2/2021. Sebaliknya Pasal 77 UU 21/2001 merupakan pelaksanaan kewenangan MRP pada Pasal 20 huruf e UU 2/2021 yang menyatakan “memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya”. MRP dapat menyampaikan usul perubahan atas undang-undang terkait dengan otonomi khusus papua kepada DPR atau Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mana usulan ini merupakan suatu bentuk penyampaian aspirasi dan partisipasi pembangunan kepada pembentuk undang-undang yang kemudian akan dilakukan pembahasan sesuai dengan ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Terlebih usulan perubahan UU 2/2021 adalah usulan dari Pemerintah, sehingga tidak ada hak dan/atau kewenangan Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Berdasarkan uraian tersebut maka kerugian faktual yang didalilkan Pemohon akibat keberlakuan Pasal 28 UU 2/2021, Pasal 76 UU 2/2021 dan Pasal 77 UU 21/2001 adalah dalil yang tidak berdasar. Selanjutnya, terkait kerugian potensial yang didalilkan Pemohon akibat keberlakuan Pasal 6, Pasal 6A, dan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 2/2021, DPR berpandangan bahwa pasal-pasal a quo tidak mengatur mengenai kewenangan MRP. Pasal 6 dan Pasal 6A UU 2/2021 mengatur mengenai mekanisme pengangkatan anggota DPRP dan DPRK dan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU 21/2001 yang telah dihapus oleh UU 2/2021 merupakan pengaturan mengenai pembentukan partai politik oleh penduduk Provinsi Papua dan tata cara pembentukannya. Selain itu, dihapusnya Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU UU 21/2001 melalui UU 2/2021 tidak berarti membatasi maupun menghalangi hak dan/atau kewenangan konstitusional warga papua. Kekhawatiran Pemohon tersebut tidak terbukti sejauh ini, namun apabila menurut Pemohon potensi tersebut terjadi di masa mendatang maka Pemohon dapat mengajukan pengujian melalui lembaga peradilan yang berwenang. Pemohon juga mendalilkan adanya kerugian potensial akibat dari frasa “memberikan jaminan kepastian hukum bagi Pengusaha” dalam Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021 yang mendiskriminasi perlindungan jaminan kepastian hukum tidak untuk setiap orang di Papua. Terkait hal tersebut, DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak cermat dalam memahami keseluruhan pasal a quo, Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021 tidak diubah dalam perubahan UU a quo, namun secara substansi diperkuat dengan keberadaan Pasal 38 ayat (3) UU 2/2021 yang mengutamakan Orang Asli Papua, sehingga kerugian tersebut hanya merupakan asumsi Pemohon dan tidak berdasarkan fakta yang ada. Terkait kerugian potensial akibat adanya frasa “dengan beban masyarakat serendah-rendahnya” dalam Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021 yang dapat merugikan Orang Asli Papua dalam mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal. DPR berpandangan bahwa adanya frasa tersebut ditujukan kepada masyarakat secara umum tanpa membedakan kondisi perekonomiannya, sehingga upaya penyejahteraan masyarakat khususnya di Papua dapat dicapai secara luas. Selain itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, jaminan kesehatan merupakan salah satu bentuk jaminan sosial untuk menjamin seluruh rakyat yang menjadi anggotanya dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak khususnya terkait dengan kesehatan. Sehingga kekhawatiran Pemohon dalam hal ini tidaklah berdasar. Terkait kerugian potensial akibat keberlakuan Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021 mengenai struktur organisasi badan khusus, DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak memiliki kepentingan karena Pasal 68A ayat (2) huruf c UU 2/2021 dinyatakan MRP tidak boleh menjadi perwakilan anggota badan khusus untuk menghindari konflik kepentingan dan KKN. Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa ketentuan pasal-pasal a quo tidak menimbulkan kerugian hak dan/kewenangan konstitusional bagi Pemohon. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak terganggu dengan keberlakuan pasal-pasal a quo. Sehingga tidak terdapat kerugian konstitusional secara spesifik dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. 4. Terkait adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3 di atas, Pemohon mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar oleh keberlakuan ketentuan pasal-pasal a quo secara tidak relevan, karenanya Pemohon tidak menguraikan secara spesifik dan aktual mengenai kerugian konstitusionalnya. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Pemohon dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo, maka sudah dapat dipastikan tidak ada kerugian hak dan/kewenangan konstitusional Pemohon. Sebaliknya, berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo telah memberikan kepastian hukum serta hak dan/atau kewenangan bagi Pemohon. 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian pasal-pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Pokok permohonan: 1. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pengangkatan anggota DPRP dan DPRK yang tidak melalui mekanisme pemilihan umum bertentangan dengan demokrasi, menimbulkan ketidakpastian hukum dan duplikasi pengaturan penyelenggaraan pemilu, serta merendahkan martabat Orang Asli Papua, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6); Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (6) UU 2/2021, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa pengaturan mengenai anggota DPRP yang diangkat bukanlah hal baru. Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 pada dasarnya juga sudah mengatur substansi yang sama, yang berketentuan sebagai berikut: Pasal 6 (1) … (2) DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan. Norma Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 tersebut, juga pernah diajukan pengujian materil di Mahkamah Konstitusi, yang telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009. Meskipun pokok permohonan Pemohon dalam perkara tersebut adalah sepanjang frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” (Vide Pokok Permohonan [3.12], hlm. 53), akan tetapi pertimbangan hukum yang diberikan oleh Mahkamah harus dibaca secara utuh agar persoalan konstitusionalitas norma mengenai pengisian keanggotaan DPRP yang diangkat dapat menjadi lebih terang. b. Bahwa norma pengisian anggota DPRP yang diangkat dalam pasal yang diuji tersebut, dimaksudkan sebagai kebijakan afirmatif (affirmative action policy) untuk memberikan peran yang memadai bagi masyarakat Papua ikut serta merumuskan kebijakan daerah dan menentukan strategi pembangunan, terutama dalam bidang sosial politik. Hal ini merupakan wujud dari pendelegasian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi Papua dan rakyat Papua untuk mengatur diri sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lebih jauh, Mahkamah juga berpendapat bahwa kebijakan afirmatif tersebut merupakan bentuk perlakuan khusus yang tidak bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan” (Vide Putusan MK No. 116/PUU-VII/2009 hlm 62-63). c. Bahwa pengaturan mengenai anggota DPRP yang diangkat merupakan pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dimana “negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Salah satu bentuknya adalah keberadaan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan provinsi lainnya, termasuk cara pengisian keanggotaanya yang mengakomodir pengisian dengan cara diangkat. (Vide Putusan MK No. 116/PUU-VII/2009 hlm 63). d. Bahwa norma yang mengatur pengisian keanggotaan DPRP dengan cara diangkat tersebut tidak dapat dilaksanakan sampai dengan diajukannya permohonan pengujian materil pasal a quo ke Mahkamah Konstitusi karena terkendala oleh frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam pasal a quo. Pada saat pengujian materil pasal a quo dimohonkan di Mahkamah Konstitusi, pengisian keanggotaan DPRP yang dipilih melalui pemilihan umum sudah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang merupakan pengejawantahan dari Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan pengisian keanggotaan DPRP dengan cara diangkat belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Itu sebabnya Mahkamah kemudian memberikan penafsiran bahwa frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” harus dinyatakan inkonstitusional kecuali frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam pasal a quo diartikan “berdasarkan Peraturan Daerah Khusus” (Vide Putusan MK No. 116/PUU-VII/2009, hlm 68). e. Bahwa putusan Mahkamah Konstitusi inilah yang selanjutnya dijadikan dasar oleh Gubernur Papua bersama DPRP untuk membentuk peraturan daerah khusus (Perdasus) yang mengatur mengenai pengisian keanggotaan DPRP dengan cara diangkat, misalnya Perdasus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2014 tentang Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang Ditetapkan Melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2014-2019 dan Perdasus Provinsi Papua Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengisian Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang Ditetapkan Melalui Mekanisme Pengangkatan Periode 2019-2024. f. Bahwa sesuai dengan Pasal 14 huruf h, Pasal 20 ayat (1) huruf c, dan Pasal 29 ayat (1) UU 21/2001, MRP memiliki wewenang untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan perdasus yang dibentuk bersama oleh Gubernur dan DPRP. Bahwa dalam batas penalaran yang wajar, Perdasus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2014 maupun Perdasus Provinsi Papua Nomor 9 Tahun 2019 tidak akan mungkin lahir tanpa adanya pertimbangan dan persetujuan dari MRP. g. Bahwa dengan demikian apa yang didalilkan oleh Pemohon dalam permohonan ini dan apa yang telah dilakukan oleh Pemohon selama ini adalah suatu kontradiksi, sebab di satu sisi Pemohon mendalilkan bahwa pengisian keanggotaan DPRP yang diangkat melanggar prinsip kesetaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, namun disisi lain MRP pernah memberikan pertimbangan dan persetujuan atas lahirnya Perdasus Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2014 dan Perdasus Provinsi Papua Nomor 9 Tahun 2019. Oleh karena itu, dalam batasan penalaran yang wajar sulit mengatakan terjadi kerugian konstitusional bagi Pemohon. h. Bahwa konstitusionalitas norma mengenai pengisian keanggotaan DPRP yang diangkat juga semakin diperkuat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-XVIII/2020, dalam perkara pengujian Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.11] … Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan, termasuk dalam penentuan wakil-wakil rakyat Papua dalam Pemilu yang diselenggarakan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kewenangan tersebut berarti pula kewenangan untuk memberdayakan masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua. Selain itu penjabaran dan pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan secara proporsional sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam niiai-nilai luhur masyarakat Papua, yang diatur dalam Peraturan Daerah Khusus dan Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah Khusus dan/atau Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Daerah yang tidak boleh mengesampingkan peraturan perundang-undangan lain yang ada, termasuk dalam hal pemilihan dan pengangkatan Anggota DPR Provinsi Papua; [3.12.1] … Mahkamah perlu menjelaskan bahwa kata “diangkat” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 yang menyatakan, “DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundangundangan”, apabila diletakkan dalam status otonomi khusus yang diberikan pada Papua (termasuk Papua Barat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 5 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi UndangUndang) adalah bagian dari pengakuan negara terhadap bentuk kekhususan daerah ini dalam bingkai NKRI. Pengakuan demikian sesuai dengan Penjelasan Umum UU 21/2001 yang menyatakan: Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besamya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat. Merujuk Penjelasan Umum dimaksud, pengisian Anggota DPRP melalui mekanisme “pengangkatan” sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 merupakan bagian dari upaya memberikan peran dan pengakuan yang lebih besar kepada orang asli Papua dalam penyelenggaraan pemerintahan termasuk dalam perumusan kebijakan di lembaga perwakilan, in casu, DPRP dan DPRPB; i. Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan pengaturan norma mengenai pengisian keanggotaan DPRP dan DPRK dengan cara diangkat menimbulkan ketidakpastian hukum dan duplikasi pengaturan penyelenggaran pemilu adalah tidak berdasar. Persoalan ketidakpastian hukum pada dasarnya muncul karena ketidakjelasan pendelegasian dari UU 21/2001 untuk mengatur lebih lanjut mengenai pengisian keanggotaan DPRP dan DPRK yang diangkat, kepastian hukum tersebut akhirnya dijawab oleh Mahkamah Konstitusi dengan memberikan penafsiran frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” adalah inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “berdasarkan peraturan daerah khusus”. Sedangkan dalam UU 2/2021, kepastian hukum tersebut sudah terjawab karena mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai pengisian keanggotaan DPRP dan DPRK dengan cara diangkat melalui peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (6) dan 6A ayat (6) UU 2/2021. Sedangkan dalil Pemohon terkait dapat menimbulkan duplikasi pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU 7/2017) juga tidak beralasan. Sebab, pengaturan mengenai pemilu tetap tunduk pada UU 7/2017, bukan kepada UU 2/2021. Dengan demikian, pengisian keanggotaan DPRP dan DPRK yang dipilih melalui pemilihan umum akan didasarkan pada UU 7/2017, sedangkan pengisian keanggotaan DPRP dan DPRK melalui pengangkatan telah didelegasikan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (6) dan Pasal 6A ayat (6) UU 2/2021 untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. j. Pembentuk UU mengharapkan pengisian anggota DPRP yang diangkat tidak lagi terpengaruh oleh konstelasi politik yang terjadi di lingkup internal DPRP. Sebagai contoh, pengangkatan anggota DPRP Periode tahun 2014-2019 yang baru terlaksana pada tahun 2017. Pelantikan anggota DPRD yang diangkat tersebut juga diwarnai dengan permintaan penundaan pelantikan oleh beberapa fraksi di DPRP (vide https://regional.kompas.com/read/2017/12/14/08215381/meski-tuai-polemik-14-anggota-dpr-papua-jalur-pengangkatan-tetap-dilantik? page=all). Oleh karena itu, bentuk yang tepat dalam pengisian anggota DPRP dengan pengangkatan diatur dalam peraturan pemerintah. k. Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan pengisian keanggotan DPRP dan DPRK yang diangkat merendahkan harkat dan martabat Orang Asli Papua adalah keliru. Keberadaan norma ini justru sebagai upaya negara untuk memastikan agar keterwakilan Orang Asli Papua dalam pemerintahan daerah Papua terus terjaga, sehingga secara sosial politik, kepentingan untuk memperjuangan harkat dan martabat Orang Asli Papua dapat terus disuarakan. Upaya tersebut kian tampak setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi Papua (selanjutnya disebut PP 106/2021, yang diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2021. Misalnya, Pasal 32 ayat (3) PP 106/2021 yang menyatakan “Anggota DPRP yang diangkat menduduki salah satu unsur wakil ketua DPRP”, dan Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (1) PP 106/2021 yang menyatakan bahwa anggota DPRP dan DPRK yang diangkat berhimpun dalam 1 (satu) kelompok khusus dan bersifat tetap. l. Bahwa terkait dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (4) dan ayat (5) serta Pasal 6A ayat (4) dan ayat (5) UU 2/2021, harus ditafsirkan “berdasarkan peraturan daerah khusus” dengan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 adalah keliru. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 116/PUU-VII/2009 memang memberikan penafsiran bahwa frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 6 ayat (2) UU 21/2001 adalah inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “berdasarkan peraturan daerah khusus”. Namun bukan berarti, hal yang sama secara serta merta juga diberlakukan bagi penafsiran frasa “berdasarkan peraturan perundang-undangan” pada ayat atau pasal lain dalam undang-undang yang mengatur mengenai otonomi khusus bagi Provinsi Papua, baik UU 21/2001 maupun UU 2/2021. Pasal 1 angka 10 UU 2/2021 menyatakan “Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal tertentu dalam ini.” Dengan demikian, perlu dilihat apakah pasal-pasal tertentu yang ingin dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan lain merupakan pasal-pasal tertentu yang merupakan bagian dari kekhususan atau tidak. Bahwa UU 21/2001 jo. UU 2/2021 sebagai pengejawantahan dari Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat. Bahwa keanggotaan DPRP yang diangkat dengan kuota adalah bentuk perlakuan khusus dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Pengisian keanggotaan DPRP melalui pengangkatan merupakan pengisian berdasarkan sistem komunal/kolegial, sedangkan keanggotaan DPRP yang dipilih merupakan pengisian keanggotaan DPRP berdasarkan hasil pemilihan umum. Tata cara pemilihan anggota DPRP yang akan dipilih melalui pemilihan umum dan masa jabatannya sudah jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada, yaitu UU 7/2017 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, yang merupakan pengejawantahan dari Pasal 22E ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu, Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6A ayat (1) huruf b dan ayat (2) telah memberikan kepastian hukum. 2. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa penghapusan partai politik lokal dapat memperlemah hak-hak politik Orang Asli Papua sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1), ayat (2); Pasal 28 ayat (4) UU 2/2021, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa sejak dari awal pengaturan mengenai partai politik yang ada dalam UU 21/2001 oleh pembentuk undang-undang tidak dimaksudkan sebagai dasar partai politik lokal. Pemaknaan tersebut dikuatkan oleh pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 41/PUU-XVII/2019 yang menyatakan sebagai berikut: [3.13.5]... pengaturan partai politik dalam UU 21/2001 tidak secara tegas dikatakan dan sekaligus dimaknai sebagai partai politik lokal. Bilamana hendak dibandingkan dengan UU 11/2006, keberadaan partai politik lokal disebut secara eksplisit dalam Ketentuan Pasal 1 angka 14 UU 11/2006. Tidak hanya penyebutan tersebut, UU 11/2006 pun menguraikan secara terperinci ihwal partai politik lokal dalam satu bab khusus, yaitu Bab XI Pasal 75 sampai dengan Pasal 95 UU 11/2006, yang mengatur mulai dari Pembentukan; Asas, Tujuan, dan Fungsi; Hak dan Kewajiban; Larangan; Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; Keuangan; Sanksi; Persyaratan Mengikuti Pemilu Anggota DPRA/DPRK, Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota; dan Pengawasan terhadap partai politik lokal. Artinya, jikalau pembentuk undang-undang bermaksud frasa “partai politik” dalam UU 21/2001 sebagai partai politik lokal, maka pengaturannya akan dilakukan secara terperinci berkenaan dengan segala sesuatu yang terkait dengan partai politik lokal. Selain itu, sebagaimana diuraikan pada Sub-paragraf [3.13.3] di atas, partai politik lokal memang tidak termasuk sebagai bentuk kekhususan yang diberikan UU 21/2001 dalam penyelenggaraan otonomi khusus di Papua. [3.14]...Mahkamah tidak menemukan bukti yang meyakinkan bahwa frasa “partai politik” dalam Pasal 28 UU 21/2001 adalah partai politik lokal. Namun, dalam posisi sebagai salah satu daerah yang diberi status otonomi khusus, dalam hal apabila terdapat kesempatan untuk melakukan perubahan terhadap undang-undang partai politik pada masa mendatang, Pembentuk undang-undang dapat saja memberikan pengaturan khusus pengelolaan partai politik di Papua yang memungkinkan warga negara yang merupakan penduduk Papua memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat mengelola partai politik nasional yang berada di Papua. Bahkan, sebagai bagian dari demokratisasi partai politik, pengaturan khusus dimaksud dapat menjadi model percontohan desentralisasi pengelolaan partai politik nasional di daerah. Dalam batas penalaran yang wajar, kesempatan lebih luas untuk terlibat mengelola partai politik akan memberikan ruang lebih luas kepada warga negara penduduk Papua untuk mengisi jabatan-jabatan politik yang merupakan hasil kontestasi politik yang melibatkan partai politik. Namun demikian, jika pembentukan partai politik lokal akan dijadikan sebagai bagian dari kekhususan Papua, pembentuk undang-undang dapat melakukan dengan cara merevisi UU 21/2001 sepanjang penentuannya diberikan sesuai dengan latar belakang dan kebutuhan nyata Papua serta tetap dimaksudkan sebagai bagian dari menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Di dalam UU a quo pembentuk Undang-Undang tetap memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Orang Asli Papua untuk ikut berpartisipasi sebagai anggota DPRP dan DPRK dan di dalam UU a quo terdapat ruang afirmasi rekruitmen politik Orang Asli Papua untuk dapat melaksanakan kegiatan dalam partai politik hingga tingkat nasional agar dapat menduduki jabatan politik di lembaga legislasi, sehingga tidak menghilangkan makna bahwa masyarakat Papua tidak dapat mengajukan partai politik. Aspirasi dan partisipasi Orang Asli Papua masih dapat disalurkan melalui jaminan keterwakilan di DPRK. c. Terkait dengan dalil Pemohon mengenai kata “dapat” diganti menjadi “wajib” dalam ketentuan Pasal 28 ayat (4) UU 2/2021, DPR berpandangan bahwa hal itu justru bertentangan dengan kemandirian partai politik untuk melakukan rekruitmen bagi warga Negara Indonesia secara demokratis dan terbuka serta mengurangi kemandirian atau independensi partai politik. d. Bahwa sesuai dengan lampiran 267 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang atau lembaga digunakan kata “dapat” dalam hal ini meskipun partai politik dalam meminta pertimbangan atau konsultasi kepada MRP bersifat kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan situasi, namun jika pertimbangan/konsultasi diminta maka disitulah letak kepastian hukum bagi MRP memberikan pertimbangan. e. Bahwa secara teknik perumusan suatu norma, setiap norma harus memuat predikat atau operator norma, yang terdiri dari larangan (verbod), perintah (gebod), izin/ kebolehan melakukan sesuatu (toestemming), dan pembebasan dari suatu perintah (vrijstelling). Larangan untuk melakukan sesuatu dirumuskan dengan menggunakan kata “dilarang”. Perintah untuk melakukan sesuatu digunakan kata “wajib” atau “harus”. Perumusan norma untuk menyatakan izin/kebolehan melakukan sesuatu dirumuskan dengan menggunakan kata “dapat”. Sedangkan perumusan norma untuk menyatakan pembebasan dari suatu perintah dirumuskan dengan kata “kecuali”. Keempat operator norma tersebut masing-masing mempunyai kepastian hukum sendiri. Bahwa dengan adanya perubahan operator norma dari kata “wajib” menjadi “dapat” sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (4) UU 2/2021 bukan berarti Pemohon kehilangan kepastian hukum dalam melaksanakan tugasnya memberikan pertimbangan terhadap hasil rekruitmen yang dilakukan oleh Partai Politik. Kepastian hukum bagi Pemohon ada ketika Partai Politik meminta pertimbangan terhadap hasil rekruitmen yang diselenggarakannya. f. Bahwa meskipun Partai Politik tidak wajib meminta pertimbangan dan/atau konsultasi kepada MRP dalam hal seleksi dan rekrutmen politik partainya, telah diatur didalam ketentuan penjelasan dalam Pasal 28 ayat (3) UU 2/2021 “Rekrutmen politik dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua tidak dimaksudkan untuk mengurangi sifat terbuka partai politik bagi setiap warga negara Republik Indonesia.” Pasal 28 ayat (4) UU 2/2021 “Permintaan pertimbangan kepada MRP tidak berarti mengurangi kemandirian Partai Politik dalam hal seleksi dan rekrutmen politik.” Oleh karena itu dalil Pemohon kurang tepat. g. Berdasarkan Rapat Paripurna pembahasan pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan terhadap RUU Otsus Papua tertanggal 15 Juli 2021, Ketua Pansus RUU Otsus Papua (Komarudin Watubun, S.H., M.H.) menyatakan: Terkait partai politik, Pasal 28 UU 21/2001 yang selama ini diartikan sebagai hadirnya partai politik lokal di Papua yang telah menimbulkan kesalahpahaman antara Pemerintah Daerah dan Pusat agar tidak terjadi perbedaan pandangan, RUU ini mengadopsi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVII/2019, dengan menghapus ketentuan pada ayat (1) dan (2) Pasal 28. Sebagai wujud kekhususan di Papua, maka keanggotaan DPRP dan DPRK, selain dipilih juga dilakukan pengangkatan dari unsur Orang Asli Papua. Dengan disediakannya ruang pengangkatan, hal ini diharapkan dapat memenuhi keinginan nyata Orang Asli Papua. (vide risalah rapat paripurna tanggal 15 Juli 2021 hal. 48) 3. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha” memberikan makna hanya pihak pengusaha yang mendapatkan jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa jaminan kepastian hukum bagi pengusaha terkait dengan perizinan berusaha yang harus dijamin oleh Negara. Pemerintah Indonesia saat ini sedang menggalakkan investasi dari investor baik dari luar maupun dari dalam negeri, maka jaminan kepastian hukum bagi pengusaha terkait perizinan berusaha adalah hal yang mutlak diperlukan dalam mendongrak perekonomian Indonesia. Namun, jaminan kepastian hukum bagi pengusaha tersebut tetap diberikan tanpa melupakan hak-hak masyarakat adat, prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan. Bahkan di dalam ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU 2/2021 diatur bahwa “Dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memperhatikan sumber daya manusia setempat dengan mengutamakan Orang Asli Papua”. Dengan demikian Pasal 38 UU 2/2021 telah mencerminkan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU 12/2011. b. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 070/PUU-II/2004, bertanggal 12 April 2005, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUU-III/2005, bertanggal 29 Maret 2006, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007, bertanggal 22 Februari 2008, telah menyatakan batasan diskriminasi, yaitu: 1) Bahwa diskriminasi dapat dikatakan terjadi jika terdapat setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya; 2) Bahwa diskriminasi baru dapat dikatakan ada jika terdapat perlakuan yang berbeda tanpa adanya alasan yang masuk akal (reasonable ground) guna membuat perbedaan itu. Justru jika terhadap hal-hal yang sebenarnya berbeda diperlakukan secara seragam akan menimbulkan ketidakadilan; 3) Bahwa diskriminasi adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda. Oleh karena itu, berdasarkan uraian diatas telah jelas tidak terdapat diskriminasi dalam pengaturan pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon. 4. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “beban masyarakat serendah-rendahnya” berpotensi merugikan masyarakat Papua untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021, DPR menerangkan sebagai berikut: a. DPR berpandangan bahwa Pasal 59 ayat (1) UU 2/2021 mengatur “Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua berkewajiban menetapkan standar mutu, memberikan pelayanan kesehatan bagi Penduduk, termasuk peningkatan gizi, kesehatan reproduksi, dan kesehatan ibu dan anak, serta melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit.” Dalam hal ini sudah terlihat jelas Pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi Penduduk. Pemohon seharusnya mencermati keseluruhan Pasal 59 UU 2/2021 bahkan anggaran kesehatan juga dialokasikan oleh Pemerintah untuk pelayanan kesehatan bagi Orang Asli Papua. b. Bahwa semangat pembentuk undang-undang yang ingin memberikan pelayanan kesehatan yang baik kepada masyarakat Papua sudah diterjemahkan dengan baik oleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Hal ini dapat dilihat dengan telah dibentuknya Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pelayanan Kesehatan yang teknisnya diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 7 Tahun 2010 dan Peraturan Gubernur Papua Barat 6 Tahun 2015 tentang Pembiayaan Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan Bagi Orang Asli Papua di Provinsi Papua Barat. c. Bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewajiban untuk menetapkan standar mutu dan memberikan pelayanan kesehatan bagi penduduk. Selain itu, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan akan kesehatan penduduk yang dilakukan dengan tidak membebani masyarakat yang kurang mampu secara sosial ekonomi namun memperoleh pelayanan kesehatan dengan biaya yang serendah-rendahnya yang ketentuan teknisnya telah ditetapkan secara jelas dalam peraturan-peraturan sebagaimana tersebut diatas. 5. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pembentukan Badan Khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden mengintervensi kewenangan desentralisasi asimetris otonomi khusus Papua sebagaimana diatur dalam Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon tidak dapat menyandingkan antara pembentukan badan khusus dengan Rehabilitasi dan Rekonstruksi di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Wilayah Nias Provinsi Sumatera Utara dengan yang ada dalam Pasal 68A UU 2/2021 karena sifat dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang ada di Aceh hanya sementara karena adanya bencana nasional yang berdampak di wilyah Provinsi yang bersangkutan bahkan meluas hingga Provinsi Sumatera Utara. Sedangkan untuk pembentukan badan khusus dalam UU 2/2021, pembentuk UU memiliki visi bahwa badan khusus ini diperuntukkan khusus agar pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua lebih terkoordinasi, berkesinambungan dan percepatan pembangunan lebih merata. b. Pembentukan badan khusus ini tidak hanya merepresentasikan unsur Pemerintah Pusat tanpa mengakomodasi kepentingan masyarakat Papua, karena berdasarkan Pasal 68A ayat (2) huruf c UU 2/2021 menyebutkan bahwa “1 (satu) orang perwakilan dari setiap provinsi di Provinsi Papua sebagai anggota.” Anggota perwakilan dari setiap provinsi di Provinsi Papua berasal dari Orang Asli Papua sebagaimana diatur dalam Pasal 87 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan Dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua. c. Kehadiran badan khusus ini dikarenakan Pansus dan Pemerintah menyadari adanya banyak program yang dilakukan di kementerian/ lembaga di Papua yang tidak sinkron dan harmonis. Berdasarkan penjelasan pemerintah dalam rapat kerja pansus tanggal 4 Agustus 2021 (vide risalah rapat kerja pansus tanggal 4 Agustus 2021 hal. 10), terdapat data-data di lapangan berbagai indikator yang masih memerlukan adanya percepatan pembangunan di Papua, antara lain: 1) Masih terdapat 22 (dua puluh dua) dari 28 (dua puluh delapan) kabupaten dan satu kota di Papua ditetapkan sebagai daerah tertinggal, dan sebanyak 8 (delapan) dari 12 (dua belas) kabupaten dan satu kota di Papua Barat sebagai daerah tertinggal. Ketertinggalan tersebut disebabkan salah satunya oleh faktor geografis, sehingga Papua dan Papua Barat memerlukan biaya pembangunan yang cukup tinggi dan proses pembangunan tidak dapat berjalan secara optimal. 2) Papua dan Papua Barat memiliki indeks pembangunan manusia yang relatif lebih rendah dibanding rata-rata nasional. Selain itu, ketimpangan kesejahteraan antar kabupaten/kota di Papua sangat nyata, sehingga harus mendapatkan perhatian dimana sisi geografis sangat kotras mempengaruhi tingkat kesejahteraan di Papua dan Papua Barat. 3) Secara angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat menurun, tetapi jumlah penduduk miskin di Papua dan Papua Barat relatif masih sangat tinggi. 4) Peningkatan kualitas pendidikan di Papua dan Papua Barat meningkat namun tidak signifikan. Rata-rata angka Harapan Lama Sekolah (HLS) dan angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) masih dibawah rata-rata nasional. Selain itu, angka buta huruf di Papua dan Papua Barat masih cukup tinggi. 5) Pelayanan kesehatan di Papua dan Papua Barat relatif masih rendah dan peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH) juga relatif rendah dibanding rata-rata nasional. 6) Pembangunan infrastruktur di Papua dan Papua Barat terjadi peningkatan namun kurang signifikan. Dibandingkan dengan provinsi lain Papua masih sangat tertinggal dan Papua Barat relatif dapat mengejar provinsi lain. d. Berdasarkan rapat kerja Pansus Otsus Papua dengan Menkumham, Mendagri dan Menkeu tertanggal 12 Juli 2021, fraksi PDI Perjuangan yang diwakili oleh MY Esti Wijayati menyatakan: “suatu badan khusus diketuai wakil presiden untuk melaksanakan pendampingan khususnya kepada daerah, agar dalam penyusunan peraturan pelaksanaan undang-undang dapat secepatnya diselesaikan serta program kegiatan percepatan pembangunan terutama bidang pendidikan kesehatan dan pemberdayaan ekonomi orang asli papua dapat direalisasikan” (vide risalah rapat kerja Pansus Otsus Papua tanggal 12 Juli 2021 hal. 19) e. Berdasarkan Rapat Paripurna pembahasan pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan terhadap RUU Otsus Papua tertanggal 15 Juli 2021, Ketua Pansus RUU Otsus Papua (Komarudin Watubun, S.H., M.H.) menyatakan: Telah Hadirnya sebuah Badan Khusus seperti badan khusus percepatan pembangunan papua (BK-P3). Pansus DPR bersama-sama Pemerintah menyepakati bahwa selama ini ada banyak program-program yang dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga di Papua yang tidak sinkron. Oleh karena itu, kehadiran badan khusus percepatan pembangunan papua yang diketuai langsung oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Menteri Dalam Negeri, Menteri Bappenas, dan Menteri Keuangan, serta masing-masing perwakilan dari setiap Provinsi Papua yang ada di Papua dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembangunan di Papua. (vide risalah rapat paripurna tanggal 15 Juli 2021 hal. 49) f. Bahwa badan khusus yang dimaksud dalam UU a quo adalah Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Pembentukan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden adalah untuk sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan Pembangunan di wilayah Papua. Bertujuan agar program pemerintah ataupun program pemerintah daerah dalam membangun Papua dapat berjalan selaras sehingga tujuan pembangunan nasional, yaitu untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dapat terwujud dan merata di seluruh Wilayah Papua khususnya dan wilayah Indonesia. Dengan demikian, keberadaan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus justru akan mewujudkan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik (good governance) berjalan dengan efektif dan efisien dalam rangka melayani kepentingan publik yang lebih adil, demokratis, dan akuntabel kepada masyarakat Papua di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran pembangunan. 6. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pemekaran daerah di Provinsi Papua tanpa persetujuan MRP dan DPRP dan dilakukan tanpa melalui tahapan daerah persiapan telah mengamputasi, mematikan, memandulkan, mengebiri kewenangan MRP dalam memberikan persetujuan pemekaran provinsi-provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU 2/2021, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Pasal 4 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Presiden Republik Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang memegang kekuasaan pemerintah.” Bahwa sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, baik pusat maupun daerah, Pemerintah Pusat dapat melakukan pembentukan daerah berdasarkan kepentingan strategis nasional dengan pertimbangan yang matang dan baik. Untuk memastikan percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di wilayah Papua, DPR dan Pemerintah dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom. Dengan demikian terdapat dua mekanisme pemekaran daerah di Papua, yaitu bottom up dan top down. b. Dalam Pasal 76 UU a quo dipilih kebijakan pemekaran daerah secara top down karena mempertimbangkan kemampuan daerah induk. Sebagai daerah induk Provinsi Papua dinilai belum mampu untuk mengadakan pemekaran daerah secara bottom up melalui tahapan daerah persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu, diperlukan terobosan hukum untuk merevisi Pasal 76 UU a quo yang memungkinkan Pemerintah dapat menggunakan pendekatan top down dalam rangka percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua. c. Dalam rapat kerja Pansus tanggal 8 April 2021, Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Jend. Po. I. (Purn) Prof Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. menyampaikan bahwa terkait pemekaran daerah terdapat 2 (dua) opsi yaitu pemekaran melalui MRP dan DPRP dan pemekaran dilakukan oleh pemerintah yaitu pemerintah pusat dengan tujuan untuk memenuhi misi pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan dan peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat namun memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesediaan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, aspirasi masyarakat papua. (vide risalah rapat kerja Pansus Otsus Papua tanggal 8 April 2021 hal.14) d. Penambahan norma baru tentang kewenangan Pemerintah Pusat untuk melakukan pemekaran daerah dengan mekanisme top down ini juga diikuti dengan perubahan Pasal 1 angka 1 UU 2/2021 jo. UU 35/2008 agar definisi Provinsi Papua tidak hanya mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang ada saat ini melainkan juga provinsi-provinsi lain yang akan di bentuk di wilayah Papua nantinya. Hal ini dimaksudkan untuk tidak menimbulkan salah penafsiran tentang hak otonomi khusus yang tidak hanya dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat. e. Untuk memastikan percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraaan di wilayah Papua melalui penataan daerah, pemerintah dapat melakukan penataan daerah provinsi dengan pertimbangan sebagai pelaksanaan amanat Pasal 4 UUD NRI Tahun 1945, maka perlu membedakan norma persyaratan pembentukan daerah antara bottom up dan top down, dengan menambah operator norma pengaturan di dalam rumusan Pasal 76 UU 21/2001 sehingga pemekaran provinsi dapat dilakukan atas prakarasa Pemerintah. (vide naskah akademik hal. 79) f. Lebih jauh ketentuan Pasal 76 UU 2/2021 juga dimaksudkan untuk memberikan peranan yang lebih luas kepada MRP dalam memberikan persetujuan terhadap pemekaran daerah di Papua. Perluasan peranan tersebut dapat dilihat dari perubahan norma Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021, sebelumnya MRP hanya dapat memberikan persetujuan terhadap pemekaran daerah provinsi. Melalui UU 2/2021 MRP dapat juga memberikan persetujuan terhadap pemekaran daerah kabupaten/kota. g. Bahwa meskipun tanpa ada frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021 sebagaimana diinginkan oleh Pemohon, DPR dan Pemerintah tetap memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang. Hal ini merupakan bentuk komitmen DPR dan Pemerintah untuk melakukan pembangunan di Papua dimana sistem pemerintahan formal harus dibangun agar kompatibel dengan sistem pemerintahan berbasis adat. Selain itu, perlu dilakukan terobosan agar pembagian kewilayahan disesuaikan dengan sistem adat yang berlaku di masyarakat. h. Bahwa keinginan Pemohon agar Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa “hanya dapat” dalam ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021 dapat merusak konstruksi pasal yang telah dibangun oleh pembentuk undang-undang. Penggunaan kata “dapat” pada Pasal 76 ayat (1) UU 2/2021 dimaksudkan untuk memberikan pilihan terhadap model pemekaran daerah yang akan dilakukan di Papua baik dengan cara bottom up maupun dengan cara top down sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2) UU 2/2021. Jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan keinginan Pemohon maka dapat berdampak terhadap pilihan model pemekaran yang tidak bersifat fleksibel karena hanya dengan cara bottom up. Hal inilah yang sesungguhnya menegasikan keberadaan Pemerintah untuk memenuhi tugas konstitusionalnya dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, mengefektifkan pelaksanaan pemerintahan, dan memperpendek rentang kendali pemerintahan. 7. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa frasa “dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP” merupakan rumusan yang tidak jelas, bias, dan multitafsir dan menimbulkan konflik dalam tataran implementasinya sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UU 21/2001, DPR menerangkan sebagai berikut: a. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945 DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang bersama-sama dengan pemerintah, dan berdasarkan ketentuan Pasal 96 UU 12/2011 masyarakat juga berhak untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu masyarakat orang-perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, tanpa ada penambahan frasa “hanya dapat”, masyarakat Papua tetap memiliki hak untuk mengajukan usul perubahan UU a quo selama dilaksanakan melalui DPR sebagai pembentuk undang-undang bersama-sama Pemerintah dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Pasal 77 UU 21/2001 merupakan pasal yang mengamanatkan rakyat Papua menyampaikan aspirasi dan partisipasi untuk mengevaluasi hasil dari Program Otsus. Usulan perubahan terhadap undang-undang diajukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP (bottom up) merupakan hal sangat penting agar setiap kebijakan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang memiliki legitimasi yang kuat serta dapat diterima oleh rakyat Papua secara keseluruhan. 8. Bahwa terkait dengan keterlibatan pemerintahan daerah MRP, DPRP dalam proses pembentukan UU a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut: a. Berdasarkan rapat Pansus tanggal 8 April 2021, Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Jend. Po. I. (Purn) Prof Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. menyampaikan bahwa rangkaian penyusunan RUU Otsus Papua telah dilakukan selain menyerap aspirasi yaitu dengan permintaan usulan perubahan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat (yaitu dengan mendengarkan aspirasi dari berbagai tokoh yaitu dari tokoh akademisi, tokoh masyarakat tokoh birokrat senior), perubahan tersebut juga disampaikan kepada DPRP, dan MRP. b. Berdasarkan laporan pansus tanggal 1- 5 Mei 2021 telah dilaksanakan kunjungan kerja pansus RUU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua ke Provinsi Papua dengan melibatkan MRP, DPRP, Pemerintah Daerah, Tokoh Adat, Akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya, sebagai berikut: 1) Pertemuan Kunjungan Kerja Pansus RUU Otsus Sesi I, II dan III di Jayapura, yang dihadiri oleh: a) Sekretaris Daerah Provinsi Papua (Dance Yulian Flassy, SE, MSi) b) Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib; c) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Jhony Banua Rouw, SE; d) Panglima Komandan Daerah Militer (Pangdam) XVII Cendrawasih (Mayjen TNI Ignatius Yogo Triyono, MA); e) Wakil Kepala Polisi Daerah (Wakapolda) (Irjen Pol Mathius D. Fakhiri); f) Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) X (Laksma TNI Yeheskiel Katiandagho, S.E., M.M.); g) Kepala Badan Intelijen Nasional Daerah (Kabinda) Papua (Mayjen Abdul Haris Napoleon); h) Komandan Pangkalan Utama TNI AU Papua (Silas Papare); i) Kepala Kantor Perwakilan Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Papua; j) Kepala Kantor Perwakilan BPK RI Provinsi Papua; k) Pengadilan Tinggi Jayapura; l) Bupati Merauke (Drs. Romanus Mbaraka, MT); m) Walikota Jayapura (Dr. Benhur Tomi Mano, MM); n) Bupati Kepulauan Yapen (Tony Tesar, S.Sos.); o) Bupati Lanny Jaya (Befa Yigibalom, S.E., M.M.); p) Forum Rektor Papua (Kepala Layanan Pendidikan Tinggi Provinsi Papua dan Papua Barat) (Suriel S. Mofu); q) Forum Kerukunan Umat Beragama (Pdt. James Taberauw); r) Ketua Forum Pemberdayaan Perempuan Papua (Yosuna); s) Tokoh Masyarakat (Alex Kasegam); t) Ketua Forum Kebangsaan Papua dan Tabi (Ramses Wari); u) Kelompok Cipayung; v) Ketua BEM UNCEN; w) Tim Kajian Mahasiswa; x) Ketua Umum Seiseri (Givly). 2) Pertemuan Kunjungan Kerja Pansus RUU Otsus di Kabupaten Mimika, Papua, yang dihadiri oleh: a) Tokoh Adat Timika (Marianus); b) Ketua Badan Musyawarah Lemasko (Tokoh Adat); c) Tokoh Gereja; d) Solidaritas Perempuan Papua (Magdalena); e) DPRD Kabupaten Deiyai (Petrus Badokapa, S.Th., M.Th.); f) DPRD Kabupaten Intan Jaya (Diwakili oleh Staf Khusus); g) PT. Freeport Indonesia (Diwakili oleh Arnold dari Committee Relation PT. Freeport Indonesia); h) Bupati Mimika (Eltinus Omaleng S.E., M.H.); i) Bupati Puncak Jaya (Yuni Wonda); j) Wakil Bupati Intan Jaya (Yan Kobogoyau); k) Bupati Paniai (Meki Nawipa); l) Wakapolres Mimika; m) DANDIM 1710 Mimika; n) Kajari Mimika. c. Berdasarkan laporan pansus tanggal 1- 5 Mei 2021 telah dilaksanakan kunjungan kerja pansus RUU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua ke Provinsi Papua Barat dengan melibatkan MRP, DPRP, Pemerintahan Daerah, Akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya, sebagai berikut: 1) Gubernur Provinsi Papua Barat (Dominggus Mandacan); 2) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (Ketua DPRPB); 3) Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (Ketua MRPB); 4) Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) di Papua Barat; 5) Forum Kepala Daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Papaua Barat; 6) Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); 7) Universitas Papua (Dr. Meky Sagrim, S.P., M. Si.); 8) Badan Intelijen Negara- Daerah Papua Barat (BINDA Papua Barat); 9) Pangdam XVIII/Kasuari; 10) Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua Barat; 11) Kepala Kejaksaan Tinggi (KAJATI) Papua Barat. 9. Pemohon dalam petitumnya memohon bahwa pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan Pemohon juga meminta pasal a quo diubah/diganti, sehingga keduanya tidak mungkin diajukan dalam satu kesatuan petitum yang bersifat kumulatif. Antara petitum yang satu dengan petitum lainnya adalah bertentangan/kontradiktif. Hal demikian akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda, dalam hal permohonan Pemohon dikabulkan. Dengan petitum yang meminta pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 maka menimbulkan konsekuensi hukum bahwa pasal a quo menjadi batal/dihapus, sedangkan dengan petitum yang meminta pasal a quo diubah/diganti menimbulkan konsekuensi hukum. Dengan adanya kontradiksi petitum permohonan dimaksud berakibat terjadinya inkonsistensi antara posita yang lebih banyak menguraikan persoalan implementasi norma a quo dengan petitum permohonan tersebut. Dalam batas penalaran yang wajar, permohonan demikian menjadi kabur (obscuur libel).
47/PUU-XIX/2021
Pasal 6 ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 6A ayat (1) huruf b, ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU 2/2021; Pasal 28 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) UU 2/2021; Pasal 38 ayat (2) UU 2/2021; Pasal 59 ayat (3) UU 2/2021; Pasal 68A ayat (2) UU 2/2021; Pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU 2/2021; dan Pasal 77 UU 21/2001
Pasal 17 ayat (3), Pasal 18, Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (1), Pasal 22D, Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945