23 DAN 24/PUU-XIX/2021
Kerugian konstitusional: • Dalam Perkara 23 Bahwa Pasal-Pasal a quo telah menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon Perkara 23 karena Pemohon Perkara 23 tidak dapat mengajukan upaya hukum apa pun terhadap Putusan Perkara Kepailitan yang berasal dari diajukannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) khususnya permohonan PKPU yang berasal dari Kreditor (vide Perbaikan Permohonan Perkara 23 hal. 7-8). • Dalam Perkara 24 Pemohon Perkara 24 mendalilkan kerugian konstitusionalnya bahwa Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 memberikan ruang sempit bahkan mematikan ruang kesempatan bagi Pemohon untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya. Oleh karena adanya proses pelaksanaan Putusan Kasasi Pailit No. 688K/Pdt.Sus.Pailit/2020 tanggal 17 Juli 2020 yang dilaksanakan oleh Kurator dan didampingi Hakim Pengawas Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya (PN Surabaya), maka Pemohon Perkara 24 merasa hak konstitusionalnya hilang seketika dan tidak diberlakukan adil, maupun tidak mendapatkan kepastian hukum dan adanya perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum terhadap upaya-upaya hukum di PN Surabaya yang sedang berproses di Mahkamah Agung (MA) (vide Perbaikan Permohonan Perkara 24 hal. 4 - 10). Legal standing: 1. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 • Dalam Perkara 23 Bahwa terhadap kedudukan Pemohon sebagai badan hukum privat yang mendalilkan mengalami kerugian terhadap hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR menerangkan bahwa UU 37/2004 dibentuk untuk memberikan landasan hukum bagi penyelesaian utang piutang yang lebih memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Ketentuan dalam UU 37/2004 memberikan pengaturan lebih komprehensif mengenai penyelesaian permasalahan utang piutang dengan mengatur tentang syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan PKPU termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau PKPU, sampai dengan pengaturan upaya hukum. Ketentuan Pasal-Pasal a quo justru memberikan kepastian hukum terhadap pengajuan permohonan PKPU dan prosedur yang harus dijalani hingga mencapai putusan tersebut serta memberikan kepastian hukum yang bersifat adil terutama dalam melindungi kreditor yang telah melaksanakan kewajibannya terhadap para debitor yang mangkir atau wanprestasi. Pemberian jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum kepada setiap orang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi dasar filosofis pengaturan seluruh materi muatan dalam UU 37/2004. • Dalam Perkara 24 Terhadap dalil Pemohon Perkara 23, DPR menerangkan bahwa sesuai dengan dalil Pemohon terhadap perkara konkret yang saat ini dihadapi telah ada putusan perkara kepailitan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, yang artinya telah ada kepastian hukum dalam perkara kepailitan a quo. Selanjutnya untuk pelaksanaan eksekusi berdasarkan putusan tersebut, maka setiap bagian dari kekayaan debitur harus diletakkan dalam keadaan demikian sebagaimana diatur dalam Pasal a quo, tujuannya adalah untuk memberikan keadilan, dimana sebagai itikad baik dari debitor dan juga sebagai jaminan bagi kreditor atas pemenuhan hak dan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit yang mereka sepakati. Selain itu, Pemohon juga telah melakukan upaya hukum terhadap perkara kepailitan yang dihadapinya sampai dengan adanya putusan kasasi pailit, artinya hal itu menunjukkan bahwa Pemohon telah melaksanakan dan mendapatkan haknya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, tidak ada lagi hak konstitusional Pemohon yang tidak terpenuhi. Adapun perkara konkret yang didalilkan Pemohon sehingga menyebabkan hak Pemohon menjadi terganggu, bukanlah merupakan masalah konstitusionalitas norma, melainkan permasalahan implementasi norma. Sehingga perkara konkret yang didalilkan Pemohon tidak dapat serta merta menyebabkan ketentuan Pasal a quo menjadi inkonstitusional. 2. Terkait adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang • Dalam Perkara 23 Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan pada intinya Pemohon tidak dapat mengajukan upaya hukum terhadap putusan perkara kepailitan yang berasal dari permohonan PKPU, DPR menerangkan bahwa pengaturan mekanisme mulai dari permohonan PKPU oleh debitor atau kreditor, penetapan PKPU Sementara, penetapan PKPU Tetap, sampai dengan penyampaian putusan Pailit di dalam UU 37/2004 telah memberikan mekanisme hukum yang jelas. Tujuan pemberian kewenangan kepada kreditor untuk dapat mengajukan permohonan PKPU adalah untuk memberikan waktu kepada debitor mereorganisasi usahanya, sehingga dapat melanjutkan usahanya untuk membayar lunas utang-utangnya kepada seluruh kreditornya. Bahwa PKPU merupakan keistimewaan yang diberikan oleh UU 37/2004 kepada debitor untuk bermusyawarah kembali dan terdapat proses perdamaian yang dilakukan sehingga diharapkan tidak sampai kepada tahap pailit. Oleh karena itu, PKPU dapat pula disebut sebagai upaya hukum yang berdiri sendiri, selain upaya hukum kepailitan. Namun apabila tidak tercapai perdamaian maka berakibat debitor PKPU dinyatakan pailit oleh pengadilan, dan atas putusan pailit yang berasal atau didahului dengan PKPU ini tidak dapat ditempuh upaya hukum. Bahwa dalil Pemohon yang menyatakan tidak terbukanya upaya hukum terhadap putusan perkara PKPU dalam pasal-pasal a quo yang menyebabkan kerugian konstitusional Pemohon merupakan suatu konstruksi hukum yang tidak berdasar oleh karena itu tidak ada kerugian konstitusional yang dialami Pemohon. • Dalam Perkara 24 Terhadap dalil permohonan Pemohon yang pada intinya ketentuan Pasal a quo memberikan ruang sempit bahkan mematikan ruang kesempatan bagi Pemohon untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya, DPR menerangkan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam perkara ini tidak ada hak konstitusional Pemohon yang tidak terpenuhi. Sebagaimana pula yang sudah Pemohon uraikan dalam Permohonan a quo bahwa Pemohon telah menjalani proses pengadilan untuk mempertahankan haknya sampai dengan putusan pailit yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Keberlakuan ketentuan Pasal a quo juga tidak menghalangi Pemohon untuk melakukan upaya hukum terhadap perkara kepailitan yang dihadapinya sehingga dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal a quo memberikan ruang sempit bahkan mematikan ruang kesempatan bagi Pemohon untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya tidak beralasan menurut hukum. Dengan demikian, tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan diberlakukannya ketentuan Pasal a quo. 3. Terkait adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi • Dalam Perkara 23 Bahwa terhadap dalil Pemohon yang pada intinya menyatakan permohonan PKPU merupakan jalan pintas untuk memailitkan Pemohon karena tidak adanya upaya hukum, DPR menerangkan prinsip PKPU sendiri merupakan upaya hukum yang dapat dijadikan pilihan oleh para pihak yang diberikan oleh UU 37/2004 melalui putusan hakim pengadilan niaga di mana para pihak (debitor dan kreditor) memperoleh kesempatan untuk bermusyawarah mengenai cara-cara pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu dapat melakukan restrukturisasi utangnya tersebut. Bahwa modus jalan pintas memailitkan badan hukum usaha privat melalui permohonan PKPU sebagaimana disampaikan oleh Pemohon sangat tidak beralasan mengingat bahwa pengaturan mengenai seluruh prosedur PKPU dalam Bab III UU Kepailitan telah memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi debitor maupun kreditor dalam penyelesaian permasalahan utang piutangnya. Debitor harus melaksanakan penyelesaian utangnya kepada kreditor tepat pada waktu yang telah disepakati bersama, dan pada saat debitor tidak mampu menyelesaikan utangnya sesuai jatuh tempo maka dapat diberikan PKPU untuk memberikan waktu bagi debitor meningkatkan ekonomi/usahanya guna mampu menyelesaikan utangnya kepada kreditor. Bahwa dalil Pemohon yang menjelaskan alasan diputuskan status pailit kepada Pemohon dikarenakan kekeliruan yang nyata dan kekhilafan Majelis Hakim yaitu mengabaikan fakta-fakta hukum 3 (tiga) perkara sebelumnya bukanlah merupakan tugas Mahkamah Konstitusi untuk mengawasi putusan Pengadilan Niaga. Kekeliruan dari Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga yang didalilkan oleh Pemohon tidak ada kaitannya dengan kerugian atas hak dan/atau kerugian konstitusional Pemohon, sehingga perlu dibuktikan lebih jelas lagi di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi kaitan antara pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim yang memutus dan mengadili perkara Pemohon di Pengadilan Niaga dengan kerugian konstitusional yang diderita oleh Pemohon. Selain itu, dalil Pemohon tersebut tidak dapat dinyatakan inkonstitusional atau merugikan hak konstitusional Pemohon karena yang diuraikan oleh Pemohon merupakan kasus konkret. • Dalam Perkara 24 Bahwa terkait Pasal a quo, pada dasarnya Pemohon tidak menguraikan secara jelas, spesifik dan aktual atau setidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal a quo. Pemohon hanya menguraikan kronologi upaya-upaya hukum yang telah dilakukannya dan perkara kepailitan yang dialaminya. Hal tersebut tidak menggambarkan sama sekali kerugian konstitusional bahkan yang bersifat spesifik yang dialaminya yang diakibatkan oleh keberlakuan Pasal a quo. Bahwa proses pemailitan seseorang atau badan hukum berdasarkan ketentuan UU 37/2004 tidak sesederhana sebagaimana didalilkan Pemohon, melainkan UU 37/2004 telah mengatur proses pembuktian dan pemeriksaan yang komprehensif. Bahwa proses hukum dalam perkara kepailitan tersebut semuanya telah dilalui oleh Pemohon dan Pemohon telah memperoleh kesempatan untuk mempertahankan haknya. Jika putusan atas kepailitan tersebut saat ini telah berkekuatan hukum tetap tidak sesuai dengan keinginan Pemohon, maka hal tersebut tidaklah relevan dengan anggapan Pemohon dalam permohonan a quo yang menganggap ketentuan Pasal a quo inkonstitusional. Oleh karenanya, permohonan Pemohon tidak memiliki kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. 4. Terkait adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3 di atas, Para Pemohon mendalilkan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar oleh keberlakuan ketentuan Pasal-Pasal a quo secara tidak relevan, karenanya Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik dan aktual mengenai kerugian konstitusionalnya. Oleh karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo, maka sudah dapat dipastikan tidak ada kerugian hak dan/kewenangan konstitusional Para Pemohon. Sebaliknya, berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo telah memberikan kepastian hukum serta hak dan/atau kewenangan bagi Para Pemohon. 5. Terkait adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok perkara. Pokok permohonan: • DALAM PERKARA 23 1. Bahwa permohonan pengujian Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 terhadap UUD NRI Tahun 1945 sudah pernah diajukan permohonan judicial review oleh PT Korea World Center Indonesia, dan permohonan tersebut telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 17/PUU-XVIII/2020 tanggal 18 Mei 2020 dan Mahkamah Konstitusi melalui putusan tersebut menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. 2. Bahwa Pemohon menyatakan permohonan yang dibuat tidak ne bis in idem berdasarkan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang karena terdapat alasan permohonan yang berbeda dan terdapat satu perbedaan pasal yang diuji yakni Pasal 295 ayat (1), sedangkan pasal yang diuji dalam Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 hanya Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) (vide Perbaikan Permohonan hal. 16). Bahwa berdasarkan pernyataan Pemohon tersebut, DPR berpandangan sebagai berikut: a. Permohonan a quo memiliki kesamaan pasal-pasal yang diujikan, yaitu Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 dan juga kesamaan pasal yang dijadikan batu uji, yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dalam Putusan Nomor 17/PUU-XVIII/2020, dengan demikian DPR berpandangan permohonan pengujian Undang-Undang a quo yang diajukan oleh Pemohon tidak dapat diajukan kembali (ne bis in idem) sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.” b. Bahwa dalam perbaikan permohonannya Pemohon menambahkan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 untuk dilakukan judicial review namun terhadap Pasal a quo tidak dijelaskan oleh Pemohon mengenai kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal a quo. Pemohon menambahkan Pasal a quo hanya untuk memberikan perbedaan terhadap Putusan 17/PUU-XVIII/2020. c. Pemohon mendalilkan terdapat argumen perbedaan alasan antara Perkara Nomor 17/PUU-XVIII/2020 dan Perkara Nomor 23/PUU-XIX/2021. Terhadap perbedaan perkara tersebut DPR berpandangan meskipun terdapat dua nomor registrasi perkara yang berbeda tetapi memiliki substansi pasal-pasal dengan muatan yang sama dan saling berkaitan. d. Bahwa dalam pemeriksaan pendahuluan, Majelis Hakim Konstitusi menanyakan kepada Pemohon apa permasalahan yang terjadi sehingga Majelis Hakim perlu mengubah pendiriannya (vide Risalah Sidang Pendahuluan hal 16). Namun di dalam perbaikan permohonan, Pemohon tidak memberikan dalil yang jelas atas permasalahan yang dapat dijadikan argumen bagi Mahkamah untuk mengubah pendirian sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004. Sesuai pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XVII/2019: “Menimbang bahwa secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar. .......Indonesia yang termasuk ke dalam negara penganut tradisi civil law, yang tidak terikat secara ketat pada prinsip precedent atau stare decisis, tentu tidak terdapat hambatan secara doktriner maupun praktik untuk mengubah pendiriannya. Hal yang terpenting, sebagaimana dalam putusan-putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, adalah menjelaskan mengapa perubahan pendirian tersebut harus dilakukan. Apalagi perubahan demikian dilakukan dalam rangka melindungi hak konstitusional warga Negara” 3. Bahwa dalil Pemohon terkait permasalahan pertimbangan Majelis Hakim yang mengabaikan 3 (tiga) putusan pengadilan niaga sebelumnya dalam Putusan PKPU Nomor: 42/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.NIAGA.Mdn tanggal 15 Desember 2020, DPR berpandangan bahwa pemeriksaan perkara tersebut berdasarkan bukti-bukti dari fakta kasus hukum kongkret yang merupakan kewenangan pengadilan untuk memutus permohonan para pihak sesuai prinsip keadilan yang dilandaskan atas hukum materiil dan hukum formil. Selain itu pemeriksaan terhadap pertimbangan majelis hakim pengadilan niaga bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan review, karena sudah jelas diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 mengenai kewenangan MK adalah melakukan judicial review suatu undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya, DPR berpandangan bahwa dalil Pemohon tersebut merupakan permasalahan implementasi bukan permasalahan konstitusionalitas norma. 4. Bahwa pengaturan di dalam UU 37/2004 telah memberikan mekanisme hukum yang jelas yaitu melalui PKPU dengan tujuan mengadakan rencana perdamaian antara para pihak mengenai restrukturisasi utang debitor kepada para kreditor yang diharapkan debitor dapat melakukan pembayaran utang dengan jalan perdamaian. Pengaturan pasal-pasal terkait PKPU dimaksudkan agar tujuan dari proses PKPU dapat tercapai, dengan adanya keringanan waktu diharapkan debitor dalam waktu yang relatif tidak lama akan memperoleh penghasilan yang akan cukup sehingga dapat melunasi semua utang-utangnya. Terlebih lagi bahwa PKPU diberikan dalam hal debitor belum mampu untuk melunasi utangnya yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. Tujuan pemberian kewenangan kepada Kreditor mengajukan permohonan PKPU adalah untuk memberikan waktu kepada Debitor mereorganisasi usahanya, sehingga dapat melanjutkan usahanya untuk membayar lunas utang-utangnya. PKPU juga dapat diartikan sebagai moratorium legal yakni penundaan pembayaran utang yang diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan guna mencegah terjadinya krisis keuangan yang semakin parah. 5. Bahwa Pasal 222 ayat (1) UU 37/2004 menjelaskan bahwa pengajuan permohonan PKPU dapat dilakukan oleh 1 (satu) orang Kreditor saja sepanjang Kreditor (pemohon) tersebut tetap mendalilkan adanya Kreditor-Kreditor lain (lebih dari 1 (satu) Kreditor yang memiliki piutang terhadap Debitor tersebut, dan Pasal 222 ayat (3) UU 37/2004 memberikan kedudukan hukum bagi Kreditor untuk mengajukan permohonan PKPU sepanjang Kreditor tersebut telah memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya. 6. Bahwa pemberian kedudukan hukum bagi Kreditor untuk melakukan pengajuan PKPU sebagaimana diuraikan dalam poin 5 tersebut di atas, telah sejalan dengan prinsip bahwa semua kreditor memiliki hak yang sama terhadap harta kekayaan debitor sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata. Harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian utang piutang di antara mereka tetapi juga untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor (Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Kepailitan. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009). Hal ini juga sejalan dengan prinsip-prinsip utama yang terkandung dalam hukum PKPU dan Kepailitan, yaitu Prinsip Paritas Creditorium yang artinya Kreditor mempunyai kedudukan dan hak yang sama terhadap semua harta Debitor, dan Prinsip Pari Pasu Prorata Parte yang berarti harta kekayaan Debitor merupakan jaminan bersama untuk para Kreditor secara proporsional, kecuali apabila ada hak didahulukan dalam menerima pembayaran tagihan. 7. Bahwa permohonan PKPU yang diajukan oleh Kreditor merupakan pelaksanaan daripada prinsip equality yang menjamin kesetaraan hak antara Debitor dengan Kreditor adalah sama dan setara. Kreditor berdasarkan UU 37/2004 diberikan hak untuk melakukan segala bentuk tindakan hukum sepanjang hal tersebut menguntungkan atau setidaknya tidak mengurangi dari jumlah boedel pailit. Kreditor sebagai pemberi piutang diberikan hak untuk menagih atau dengan cara lain berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan kembali bagian dari piutang yang diberikan kepada Debitor. 8. Bahwa apabila permohonan PKPU diajukan pada waktu yang bersamaan atau setelah adanya permohonan pailit, permohonan PKPU harus diputus terlebih dahulu. Pasal 229 ayat (3) dan ayat (4) UU 37/2004 mengatur: (3) Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, permohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu. (4) Permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap debitor, agar dapat diputus terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa permohonan PKPU harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Putusan atas permohonan PKPU apabila diajukan setelah permohonan pailit harus diterbitkan terlebih dahulu. Hal ini sejalan dengan maksud dari UU 37/2004 untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif serta mengedepankan perdamaian antara debitor dan kreditor melalui PKPU dibandingkan dengan kepailitan yang memiliki dampak hukum berupa sita umum terhadap seluruh kekayaan debitor dan hilangnya hak keperdataan debitor terhadap harta kekayaannya. 9. Bahwa PKPU adalah forum perdamaian kolektif antara Debitor dengan Kreditor yang melibatkan pengadilan. Hal ini ditegaskan dengan peran pengadilan dalam pengesahan perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (1) UU 37/2004. Pengadilan dapat menolak atau mengesahkan perdamaian. Apabila pengadilan menolak mengesahkan perdamaian maka dalam putusan yang sama Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (2) dan ayat (3) UU 37/2004. Terhadap penolakan perdamaian ini tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (4) UU 37/2004. Namun apabila pengadilan mengesahkan perdamaian, maka terhadap putusan pengesahan perdamaian tersebut dapat diajukan upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 285 ayat (4) UU 37/2004. 10. Bahwa pengaturan mengenai tidak adanya upaya hukum terhadap Putusan PKPU atau Putusan Pailit yang didahului permohonan PKPU dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 290 UU 37/2004 diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dalam Praktik Peradilan. SEMA tersebut pada bagian rumusan kamar hukum perdata menyatakan tidak ada upaya hukum terhadap Putusan PKPU Tetap tidak disetujui oleh kreditor, kemudian debitor dinyatakan pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 290 UU a quo. Dengan diberikannya pengaturan ini maka seluruh upaya hukum apapun tidak dapat dilakukan bagi putusan yang menyatakan pailit dengan didahului permohonan PKPU. 11. Bahwa ruang lingkup pemberlakuan upaya hukum dalam ketentuan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 hanya terhadap putusan pailit yang tidak melalui proses PKPU, sedangkan dalam hal putusan pailit yang melalui proses PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum termasuk upaya peninjauan kembali. Ketentuan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 UU 37/2004 merupakan norma yang terikat yang tidak dapat dipisahkan karena dilatarbelakangi oleh tujuan dan latar belakang dari lembaga PKPU itu sendiri sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon untuk mengubah ruang lingkup ketentuan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 termasuk juga untuk putusan pailit yang melalui proses PKPU, maka akan berdampak hukum terhadap keberlakuan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004 yang sebelumnya telah dinyatakan tidak mengalami permasalahan konstitusional berdasarkan Putusan Nomor 17/PUU-XIX/2020. 12. Bahwa berdasarkan Putusan Nomor 17/PUU-XVIII/2020 Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menimbang sebagai berikut: [3.14] Dalam putusan PKPU tidak diperkenankan adanya upaya hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) UU 37/2004, karena mengingat proses dari PKPU itu sendiri yang telah memberikan waktu yang cukup kepada kedua belah pihak yakni debitor dan para kreditor untuk melakukan musyawarah guna mencapai perdamaian dalam hal penyelesaian utang piutang mereka yang dimediasi oleh badan peradilan. Dengan demikian, jika hasil dari putusan PKPU tersebut dipersoalkan kembali oleh salah satu pihak dengan jalan melakukan upaya hukum, maka hal tersebut akan membuat musyawarah antara kedua belah pihak yang telah ditempuh melalui jalur pengadilan yakni PKPU dan sudah memakan waktu yang cukup lama justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi permohonan PKPU itu sendiri, karena persoalan utang piutang antara kreditor dan debitor tidak juga kunjung selesai sehingga tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Hal demikian menegaskan bahwa di samping perkara PKPU tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya karena akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap upaya perdamaian yang telah dicapai, hal tersebut juga jelas bertentangan dengan sifat dari perkara PKPU itu sendiri maupun asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan. 13. Bahwa berdasarkan seluruh penjelasan di atas maka seluruh dalil Pemohon Perkara 23 yang menyatakan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak berdasar. • DALAM PERKARA 24 1. Bahwa sesungguhnya perkara uji materiil yang diajukan oleh Pemohon ini adalah perkara yang dilatarbelakangi perkara-perkara konkret yang dialami Pemohon. Hal tersebut tidak dapat serta merta menjadikan ketentuan Pasal a quo menjadi inkonstitusional, sebab perkara konkret pada intinya merupakan perkara implementasi dari suatu norma dan bukan perkara inkonstitusional suatu norma. 2. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 37/2004, Kepailitan merupakan “sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini”. Sebagai lembaga sita umum dalam penyelesaian utang Debitor, kepailitan dipandang sebagai jalan keluar bagi permasalahan utang piutang antara Debitor dengan para Kreditornya. Ricardo Simanjuntak berpandangan bahwa lembaga kepailitan sebagai jalan keluar yang bersifat komersial dari persoalan utang piutang yang mengimpit Debitor apabila sudah tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya tersebut kepada para Kreditor . Sehingga keadaan jatuh tempo ini sudah disadari oleh Debitor dan dimungkinkan dilakukannya pengajuan permohonan pailit terhadap dirinya sendiri (voluntary petition for self bankruptcy) atau apabila Debitor dikemudian hari tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih (involuntary petition for self bankruptcy) permohonan pailit diajukan oleh Kreditornya. Sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. 3. Bahwa berdasarkan pandangan hukum, kedudukan sita umum (beslag) kepailitan lebih tinggi dari kedudukan sita lain atau pelaksanaan eksekutorial di bawah badan peradilan lainnya. Hukum melarang adanya sita rangkap pada satu objek sita, dan pelaksanaan sita dalam putusan pailit bertujuan untuk menambah nilai boedel pailit dan melindungi kreditor-kreditor lainnya, sehingga sangat beralasan bahwa penghentian penetapan melalui badan peradilan lain selama proses kepailitan dilaksanakan adalah berdasar dan konstitusional. Dengan demikian Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 mengandung unsur asas putusan pailit uitvoerbaar bij voorraad, yaitu putusan pailit dijalankan dahulu meskipun terdapat perlawanan atau banding. Pelaksanaan putusan uitvoerbaar bij voorraad sebagai pelaksanaan asas peradilan yang bersifat cepat dan biaya ringan serta secara hukum dalam rangka untuk melindungi kreditor dari sikap debitor yang tidak benar atau dapat merugikan kreditor. 4. Ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 telah sesuai dengan salah satu prinsip kepailitan, yaitu sebagai suatu collective preceedings, yang mengharuskan adanya perlindungan terhadap semua kepentingan kreditor sebagai satu kesatuan terhadap tindakan individual dari salah satu di antara mereka. Hal ini termasuk pencegahan kreditor untuk memulai tindakan penagihan selama sebagian atau seluruh periode pengurusan dan likuidasi dan juga menunda tindakan-tindakan yang telah berjalan terhadap debitor. Ketentuan Pasal a quo justru memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi kreditor secara kolektif dalam perspektif kepentingan publik pada proses kepailitan. 5. Bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 dimaknai sebagai pelaksanaan tiga unsur penegakan hukum yaitu, keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit). Hukum kepailitan mendahului pelaksanaan penetapan lainnya, dilihat dari keadilan maka hak kreditor terpenuhi dan tidak terdapat pelanggaran hak lagi antara keduanya, dilihat dari segi kepastian hukum keberadaan Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 yang bersifat lex specialis mendahulukan segala peraturan yang bersifat umum karena sifatnya yang spesifik sehingga memberikan kepastian hukum. Di samping itu, dengan diaturnya substansi Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 dari segi kemanfaatan, masalah utang piutang dapat terselesaikan secepatnya dan seadil-adilnya sehingga perekonomian baik dalam skala kecil maupun besar dan berdampak sistemik (sistematiccaly effect) tidak akan terganggu. 6. Bahwa norma Pasal a quo mengatur mengenai dampak dari suatu putusan pernyataan pailit. Sebagaimana diketahui bahwa suatu putusan pernyataan pailit merupakan putusan dari suatu pengadilan niaga, dimana untuk sampai pada suatu putusan tersebut, tentu telah dilakukan proses pemeriksaan sebagaimana hukum acara pemeriksaan kepailitan yang dilakukan dengan seksama yang kemudian menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Artinya, setiap orang yang memiliki perkara kepailitan ditempatkan pada kedudukan yang sama, melalui proses peradilan untuk kemudian mendapatkan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang mana dengan adanya putusan tersebut maka para pihak yang berperkara dalam perkara kepailitan mendapatkan kepastian hukum. Hal demikian ini tentunya juga sudah dilalui oleh Pemohon, terbukti dengan adanya Putusan Kasasi Pailit No. 688K/Pdt.Sus.Pailit/2020 tanggal 17 Juli 2020 sebagaimana didalilkan Pemohon. 7. Bahwa pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Bahwa dengan adanya putusan pailit, maka terbukti adanya fakta utang yang telah jatuh waktu/tempo dan tidak dibayar oleh debitor, yang dalam hal ini adalah Pemohon (debitor berada dalam keadaan berhenti membayar) dan dalam perkara kepailitan Pemohon disebabkan adanya permohonan pailit dari kreditor, salah satunya PT. Bank Bukopin, Tbk. 8. Putusan pailit tentu memiliki konsekuensi, yaitu mengakibatkan debitor kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan. Adapun hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan harta benda tersebut beralih ke tangan kurator. Hal demikian dikarenakan dengan dinyatakan pailit, maka debitor dipandang tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaannya (Pasal 24 ayat (1) jo Penjelasan UU 37/2004). 9. Bahwa akibat dari putusan pernyataan pailit juga membawa konsekuensi sebagaimana diatur dalam Pasal a quo. Tujuannya adalah untuk memberikan keadilan bagi para pihak, baik debitor maupun kreditor, dalam rangka pemenuhan hak dan kewajibannya sebagaimana yang mereka sepakati dan nyatakan dalam perjanjian hutang piutang, yaitu debitor membayar hutangnya kepada kreditor dan kreditor menerima piutangnya dari debitor. 10. Dengan adanya putusan pailit dan meletakkan keadaan sebagaimana dalam Pasal a quo, maka menghindari kecurangan-kecurangan atau kesewenangan atau perbuatan yang merugikan lainnya yang mungkin terjadi, baik dari sisi debitor maupun kreditor, dan berfokus pada penyelesaian perkara utang piutang yang melibatkan keduanya. Sebagaimana pula dikatakan oleh beberapa ahli, seperti Levinthal, bahwa tujuan kepailitan diantaranya untuk mencegah agar debitor yang insolven (tidak mampu membayar) tidak merugikan kepentingan kreditor, memberikan pelindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dan mencegah kecurangan yang dilakukan oleh para kreditornya (Louis E. Levinthal, “The Early History of Bankruptcy Law”, dalam Jordan et al., Bankruptcy, dikutip dari buku Sutan Remy Sjahdeini yang berjudul Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan: Mamahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta: PrenadamediaGroup, 2018, hal. 4). 11. Begitu pula Zainal Asikin yang mengatakan bahwa tujuan kepailitan dalam UU 37/2004 diantaranya mencegah agar debitor tidak melakukan tindakan yang merugikan para kreditor, melindungi kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka, memberikan kesempatan pada debitor dan para kreditornya untuk melakukan restrukturisasi utang debitor, dan memberikan perlindungan pada debitor yang beritikad baik dengan cara pembebasan utang (Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia, Pustaka Reca Cipta, Bandung, 2013, hal.13). 12. Selain itu, dengan diletakkannya kondisi yang demikian ini, justru membantu debitor yang dalam hal ini adalah Pemohon, untuk menyelesaikan permasalahan utang piutangnya dan juga perkara konkret lain Pemohon, yang berkaitan dengan harta benda yang menjadi jaminan dari utang piutang tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas, jelas tergambar bahwa tujuan diundangkannya UU 37/2004 adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi Kreditor secara umum dalam perspektif kepentingan publik pada proses kepailitan. 13. Alasan Pemohon yang memohon agar Mahkamah Konstitusi meniadakan makna putusan pernyataan pailit terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan apabila ada sengketa perdata dengan subjek atau objek yang sama dengan subjek atau objek kepailitan, baik yang masih berjalan maupun dalam tahap upaya hukum (belum berkekuatan hukum tetap) justru bertentangan dengan tujuan negara hukum. Sangat tidak beralasan apabila mengesampingkan norma yang mengatur kepentingan publik hanya demi kepentingan individu, karena hal tersebut justru melanggar rasa keadilan bagi masyarakat itu sendiri. Dalam rangka pelaksanaan sita perlu memperhatikan aspek-aspek kepentingan publik secara luas serta manfaat dari dilakukannya sita. 14. Berdasarkan persoalan atau perkara-perkara konkret Pemohon yang diuraikan dalam perbaikan permohonannya, DPR menilai bahwa Pemohon telah memperoleh haknya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa norma Pasal a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, justru sebaliknya norma tersebut sudah memberikan jaminan, kedudukan yang sama, keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak. 15. Bahwa hal tersebut terbukti dengan dapat dilakukannya berbagai upaya hukum untuk menyelesaikan perkara-perkara konkret tersebut dengan mengajukannya ke pengadilan bahkan hingga tingkat kasasi. Artinya pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum telah didapatkan melalui proses pemeriksaan di peradilan hingga putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tentunya, putusan pengadilan akan diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan serta pertimbangan-pertimbangan hakim atas dasar pemeriksaan tersebut. Hasilnya akan memberikan putusan yang membuat Pemohon merasa adil atau tidak, itu adalah sesuatu yang bersifat subyektif atau individual, sebagaimana dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa keadilan bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan, dimana adil menurut orang yang satu belum tentu adil menurut orang yang lain. Bahwa dalam menegakkan hukum tidak bisa hanya memperhatikan keadilan semata, namun juga harus memperhatikan kepastian hukum dan kemanfaatan. Ketiganya harus diperhatikan secara proporsional (Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1995, hal. 140-141). 16. Bahwa dalam hal masih terdapat gugatan terkait perjanjian timbal balik atau perjanjian penyerahan barang, pihak tersebut dapat menuntut ganti rugi dan diperlakukan sebagai kreditur konkuren sebagaimana diatur dalam pasal 36 dan Pasal 37 UU 37/2004. Jika terjadi perselisihan mengenai besaran ganti rugi maka dapat diajukan bantahan sebagaimana diatur dalam Pasal 127 UU 37/2004 (renvoi procedure). Dalam bantahan tersebut Hakim Pengawas dapat memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di pengadilan. Sedangkan jika ada hak pihak ketiga yang masuk ke dalam sita umum (sebagaimana didalilkan Pemohon), maka terdapat mekanisme untuk mengajukan gugatan lain-lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU 37 Tahun 2004. 17. Kemudian, terkait dengan permasalahan-permasalahan prosedur di dalam proses pengajuan, persidangan atau pembuktian yang dirasa oleh Pemohon melanggar ketentuan UU 37/2004, Pemohon dapat menggunakan mekanisme pengajuan laporan pada pengawasan internal dan eksternal pengadilan (Komisi Yudisial). Selain itu, jika Pemohon merasa ada dugaan perbuatan pidana dalam proses penjaminan aset Pemohon berupa tanah milik Pemohon, maka Pemohon dapat melaporkan kepada kepolisian untuk melakukan proses penyidikan dugaan perbuatan pidana tersebut. Oleh karena itu, kerugian yang dialami oleh Pemohon tidak beralasan menurut hukum diakibatkan oleh keberlakuan ketentuan Pasal a quo, karena sesungguhnya persoalan yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ini berdasarkan pada persoalan implementasi. 18. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terhadap persoalan yang dialami Pemohon yang sesungguhnya, yaitu adanya perkara pailit yang dihadapi Pemohon sampai dengan kasasi sehingga Pemohon sudah dinyatakan pailit namun Pemohon merasa ada ketidakadilan dan pelanggaran dalam proses peradilan, menurut DPR hal tersebut merupakan permasalahan implementasi dan bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma ketentuan Pasal a quo, sehingga bukan menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menilainya. Permasalahan-permasalahan tersebut juga dapat dilakukan upaya hukum oleh Pemohon sehingga permasalahan tersebut tidak beralasan menurut hukum dijadikan dasar pengujian ketentuan Pasal a quo. Permasalahan implementasi norma tersebut selaras dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 41/PUU-XVIII/2020, tertanggal 14 Januari 2021. 19. Kemudian, terhadap dalil Pemohon yang meminta ketentuan Pasal a quo inkonstitusional bersyarat kepada Mahkamah Konstitusi, DPR memberikan pandangan dengan merujuk pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 halaman 57 yang menyatakan bahwa: “Mahkamah bukanlah pembentuk undang-undang yang dapat menambah ketentuan undang-undang dengan cara menambahkan rumusan kata-kata pada undang-undang yang diuji. Namun demikian, Mahkamah dapat menghilangkan kata-kata yang terdapat dalam sebuah ketentuan undang-undang supaya norma yang materinya terdapat dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tidak bertentangan lagi dengan UUD 1945. Sedangkan terhadap materi yang sama sekali baru yang harus ditambahkan dalam undang-undang merupakan tugas pembentuk undang-undang untuk merumuskannya.” Demikian juga mengutip pendapat I Dewa Gede Palguna bahwa: “Mahkamah Konstitusi adalah sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus sebuah norma dalam undang-undang bertentangan dengan konstitusi, tanpa boleh memasukkan norma baru ke dalam undang-undang itu. Itu hakikat Mahkamah Konstitusi.” (Conditionally Constitutional Pintu Masuk Penambahan Norma: www.hukumonline.com). Dengan demikian MK sebagai negative legislator, pada dasarnya tidak dapat mengabulkan petitum inkonstitusional bersyarat yang diajukan oleh Pemohon.
23 DAN 24/PUU-XIX/2021
Pasal 31 ayat (1) UU 37/2004 dalam Perkara 24 dan Pasal 235 ayat (1), Pasal 293 ayat (1), dan Pasal 295 ayat (1) UU 37/2004
Pasal 28D ayat (1)