Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

21/PUU-XIX/2021

Kerugian konstitusional: a. Bahwa Pasal 288 dan Pasal 293 KUHP merupakan pasal yang sangat multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas, Para Pemohon memiliki adik saudara sepupu perempuan, sehingga menjadi kekhawatiran Para Pemohon apabila adik saudara Para Pemohon menjadi korban pencabulan dibawah umur maupun korban kekerasan dalam perkawinan (vide Perbaikan Permohonan hal. 5). b. Bahwa Para Pemohon mendalilkan bahwa Para Pemohon juga merasa khawatir apabila ketika Para Pemohon sudah menjadi ayah dan sewaktu-waktu terdapat kejadian anak Para Pemohon mengalami korban pencabulan yang memenuhi Pasal 293 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dan tidak dapat melaporkan karena Pasal 293 merupakan delik aduan absolut. Selain itu, Para Pemohon juga khawatir dikarenakan dalam Pasal 288 KUHP tidak disebutkan batas umur berapa yang belum waktunya untuk dikawini sehingga Para Pemohon khawatir Pasal 288 KUHP menimbulkan berbagai penafsiran (vide Perbaikan Permohonan hal. 5). Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Bahwa Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang pada intinya mengatur tentang kepastian dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Bahwa batu uji Pasal 28D ayat (1) tersebut jika dikaitkan dengan Pasal-Pasal a quo KUHP justru telah memberikan kepastian hukum dengan mengatur mengenai ancaman pidana terhadap seseorang yang melakukan pencabulan dengan seorang wanita dibawah umur serta ancaman pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan cabul terhadap seseorang yang belum dewasa. Selanjutnya, terhadap batu uji Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pada intinya mengatur mengenai perlindungan keluarga, kehormatan, martabat, serta hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, DPR menerangkan bahwa Pasal-Pasal a quo KUHP tidak melanggar hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut karena Pasal-Pasal a quo KUHP justru memberikan perlindungan terhadap seseorang yang masih di bawah umur yang mengalami pencabulan. Dengan demikian Para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian Pasal-Pasal a quo KUHP. 2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa Para Pemohon mendalilkan secara konstitusional telah dirugikan pemenuhan hak konstitusionalnya karena Pasal a quo multitafsir dan tidak memberikan kepastian hukum yang jelas (vide perbaikan permohonan hal. 4-5). Bahwa terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR menerangkan bahwa Para Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas dan tegas kerugian konstitusional seperti apa yang dialami oleh Para Pemohon atas berlakunya Pasal-Pasal a quo KUHP. Sebaliknya dalil-dalil yang dikemukakan oleh Para Pemohon dalam permohonan a quo semata-mata hanya merupakan kekhawatiran Para Pemohon saja. Tentunya kejadian-kejadian yang dikhawatirkan oleh Para Pemohon tersebut adalah hal-hal yang bersifat potensial yang sudah pasti tidak diinginkan oleh siapapun. Kekhawatiran Para Pemohon tersebut telah diatur dalam beberapa peraturan perundnag-undnagan, diantaranya KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 (UU Perlindungan Anak). Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan tersebut di atas sebagai lex specialis telah menunjukkan bahwa Negara memberikan perlindungan terhadap anak-anak, yang dalam hal ini adalah perempuan dibawah umur, yang berpotensi menjadi korban tindak pidana kekerasan maupun kejahatan seksual dengan pengaturan yang memberikan perlindungan dan kepastian hukum sebagai pemenuhan hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Bahwa berdasarkan keterangan diatas, maka jelas bahwa tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dilanggar dan dirugikan atas berlakunya Pasal-Pasal a quo. 3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa karena tidak ada kerugian konstitusional yang dialami oleh Para Pemohon akibat berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo maka sudah jelas tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Para Pemohon sebagai mahasiswa sama sekali tidak dirugikan atupun terlanggar haknya. Para Pemohon tidak menegaskan secara rinci kerugian seperti apa yang dialami oleh Para Pemohon atas berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo KUHP, melainkan hal-hal yang didalilkan oleh Para Pemohon a quo semata-mata hanya merupakan kekhawatiran dan asumsi Para Pemohon. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa sebagaimana telah dikemukakan pada angka 1, 2, dan 3, kerugian yang dimaksud Para Pemohon tidak bersifat spesifik dan aktual ataupun potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, sehingga tidak ada hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa dengan tidak adanya hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan pengujian Pasal-Pasal a quo tidak akan berdampak apapun bagi Para Pemohon. Dikabulkannya –Pasal-Pasal a quo juga tidak memberikan dampak secara langsung terhadap Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. Pokok Permohonan: 1. Bahwa pada dasarnya terdapat dua jenis delik dalam pemrosesan perkara, yaitu delik aduan dan delik biasa. Dalam delik biasa, perkara dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). Jadi, walaupun korban telah mencabut laporan/pengaduannya kepada polisi, penyidik tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara. Sedangkan, mengenai delik aduan berarti delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. (Mr. Drs. E Utrecht, Hukum Pidana II) 2. Bahwa terkait dengan jenis delik aduan dapat diterangkan sebagai berikut: a. Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369 KUHP. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “…saya minta agar peristiwa ini dituntut”. Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut. b. Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367 KUHP, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu. (R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, hal. 87) 3. Bahwa meskipun Indonesia sudah memiliki instrumen hukum KUHP yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap anak, namun seiring dengan perkembangan waktu semakin marak kejahatan terhadap Anak di masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual. Bahwa negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak asasi Anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak dalam UUD NRI Tahun 1945, Jaminan ini dikuatkan melalui ratifikasi konvensi internasional tentang Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak). Oleh karena itu pembentuk undang-undang telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak). 4. Di dalam UU Perlindungan Anak telah diatur ketentuan sanksi pidana bagi kejahatan yang serupa diatur dalam pasal a quo KUHP sebagai berikut: • Pasal 76D UU Perlindungan Anak: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. • Pasal 76E UU Perlindungan Anak: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Sanksi pidana dari perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak sebagai berikut: • Pasal 81 UU Perlindungan Anak: 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. 2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D. 5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. 7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. 8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. 9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak. • Pasal 82 UU Perlindungan Anak: 1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. 2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E. 4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. 6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. 7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. 8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak. Dari rumusan Pasal 76D dan Pasal 76E jo. Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak tersebut, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik persetubuhan dengan anak dan pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan. Delik biasa dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban). 5. Bahwa dengan adanya UU Perlindungan Anak telah menjadi lex specialis terkait kejahatan yang dilakukan terhadap seorang anak, namun meskipun demikian tidak berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam KUHP ini inkonstitusional karena KUHP masih berlaku sebagai undang-undang hukum pidana sampai saat ini. Pengaturan mengenai pemidanaan terhadap orang bersetubuh dan/ atau berbuat cabul terhadap anak yang masih di bawah umur yang diatur dalam KUHP dan Peraturan Perundang-Undangan terkait tersebut tetap dapat digunakan oleh Penegak Hukum yang tentunya tergantung berdasarkan peristiwa hukum yang terjadi dan terpenuhinya unsur-unsur pemidanaannya. Sebagai contoh dapat diterangkan sebagai berikut dengan mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” (R. Soesilo hal. 212) bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, mencium atau meraba-raba anggota kemaluan, dan sejenisnya; maka dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Tetapi jika periwtiwa hukum yang terjadi Jika perbuatan yang dilakukan oleh anak laki-laki dan perempuan itu berupa perbuatan cabul yang diawali dengan rayuan terlebih dahulu maka perbuatan tersebut telah memenuhi unsur yang ada di dalam Pasal 76E UU Perlindungan Anak yang menyatakan: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.” 6. Bahwa politik hukum pembentuk undang-undang terkait dengan kebijakan aturan hukum mengenai tindak pidana asusila atau kekerasan terhadap anak telah diupayakan di dalam Rancangan KUHP (RUU KUHP) yang disiapkan untuk menggantikan KUHP yang masih berlaku saat ini. Di dalam RUU KUHP yang telah masuk dalam proses pembahasan pada periode keanggotaan DPR 2014-2019, pengaturan tersebut diatur di dalam ketentuan sebagai berikut: Pasal 420 RUU KUHP (1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III. b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. (2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Pasal 421 RUU KUHP Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, Setiap Orang yang: a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya; b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga Anak; atau c. dengan bujuk rayu atau tipu daya menyebabkan seorang Anak melakukan atau membiarkan dilakukan terhadap dirinya perbuatan cabul dengan orang lain. Pasal 422 RUU KUHP (1) Jika salah satu Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 420 dan Pasal 421 huruf a dan huruf b mengakibatkan Luka Berat dipidana dengan pidana penjara dan paling lama 12 (dua belas) tahun. (2) Jika salah satu Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 420 dan Pasal 421 huruf a dan huruf b mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Pasal 423 RUU KUHP Setiap Orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga Anak, untuk melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Dari ketentuan mengenai tindak pidana asusila terhadap anak tersebut menunjukkan bahwa delik tersebut masuk dalam kategori delik biasa dan bukan sebagai delik aduan. Di dalam Pasal 24 ayat (2) RUU KUHP telah mengatur bahwa “Tindak Pidana aduan harus ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang”, sedangkan dalam Pasal 420-423 RUU KUHP tidak mencantumkan penegasan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik aduan. Pengaturan tersebut menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang telah berupaya untuk memberikan pengaturan kebijakan hukum yang teraktualisasi dengan perkembangan terkini khususnya terhadap perlindungan anak. Bahwa pembahasan RUU KUHP pada periode keanggotaan DPR 2014-2019 belum selesai sehingga pembahasan RUU KUHP dimasukkan kembali ke dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024 berdasarkan kesepakatan pembentuk undang-undang. 7. Bahwa dalam petitumnya Para Pemohon mendalilkan bahwa frasa “belum dewasa” dalam Pasal 293 ayat (2) KUHP harus dimaknai menjadi usia di bawah 18 tahun dan frasa “belum waktunya untuk dikawin” dalam Pasal 288 KUHP dimaknai menjadi umur 19 tahun. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR berpandangan bahwa, dengan adanya asas lex posterior derogate lex priori yang berarti hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama, maka ketentuan mengenai batas usia anak dan batas minimal usia perkawinan mengikuti peraturan perundang-undangan terbaru yang berlaku pada saat ini, dimana pengaturan batas usia anak yang berlaku pada saat ini telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, yang menentukan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. Sedangkan pengaturan mengenai batas minimal usia perkawinan pada saat ini telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun. Dengan demikian batas usia anak dan batas minimal perkawinan pada saat ini mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat ini. 8. Bahwa terkait dengan petitum Para Pemohon, terdapat inkonsistensi petitum poin 2 Para Pemohon pada intinya memohon agar Majelis Hakim menyatakan Pasal-Pasal a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sedangkan dalam petitum poin 3 Para Pemohon memohon agar Majelis Hakim menyatakan frasa “Belum dewasa” dan “Belum waktunya untuk dikawini” pada Pasal 293 dan Pasal 288 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selain itu, pada petitum poin 4 Para Pemohon memohon agar Majelis Hakim menyatakan Pasal 293 ayat (2) KUHP telah sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang frasa “Penuntutan dilakukan hanya atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu”; diubah menjadi delik biasa dan pada ayat (1) frasa “Belum dewasa” diubah menjadi “usia yang di bawah 18 tahun, dan Pasal 288 KUHP sepanjang frasa “belum waktunya untuk dikawini” diubah menjadi “batas umur 19 tahun”. Inkonsistensi petitum Para Pemohon tersebut menunjukkan bahwa Para Pemohon menunjukkan ketidakjelasan atas apa yang sebenarnya diinginkan oleh Para Pemohon atas pengujian Pasal-Pasal a quo, apakah dalam Petitum Permohonan a quo, Para Pemohon menginginkan keseluruhan pasal bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau sebenarnya Para Pemohon hanya menginginkan pemaknaan pada frasa-frasa tertentu.

21/PUU-XIX/2021

Pasal 288 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1) dan ayat (2) KUHP

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945