Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

27/PUU-XIX/2021

Kerugian Konstitusional: 1. Bahwa Pasal 4 ayat (2) UU a quo yang mengatur jenis-jenis “Ancaman” yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU a quo disharmoni dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (UU Pertahanan Negara) yang mengidentifikasi ancaman yang terdiri atas ancaman militer dan non militer, sedangkan Pasal 4 ayat (2) UU a quo menambahkan ancaman hibrida yang tidak dikenal dalam identifikasi ancaman pertahanan negara dalam Pasal 7 UU Pertahanan Negara yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Kekaburan pengertian ini berdampak pula pada ketentuan Pasal 29 UU a quo, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 17-19). Selain itu, Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo memiliki rumusan yang akan sangat mudah terjadi penyalahgunaan (abuse of power) dalam pengerahan sumber daya alam dan sumber daya buatan untuk kepentingan ancaman non militer, misalnya terkait dengan peredaran dan penyalahgunaan narkoba, termasuk juga dalam pengambilan hak (vide Perbaikan Permohonan hlm. 21 poin 86); 2. Bahwa Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU a quo bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 UU a quo yang mengatur sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung yang ditentukan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang hanya bersifat limitatif menyebut TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung dan tidak menyebutkan unsur non manusia. Para Pemohon mendalilkan seharusnya yang dimaksud komponen cadangan dan komponen pendukung adalah hanya sebatas sumber daya manusia yang menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan tidak termasuk sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain yang sehingga dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945; 3. Bahwa Pasal 18, Pasal 66 ayat (1), Pasal 77, pasal 78, dan Pasal 79 UU a quo bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dalam kaitannya dengan prinsip Conscientious Objection (hak menolak warga atas dasar keyakinannya) yang merupakan implementasi dari pasal 18 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 18 Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), termasuk di dalamnya hak untuk menolak bergabung dalam dinas militer dengan alasan conscientious objection berdasarkan The International Convenant on Civil and Political Rights (vide Perbaikan Permohonan hlm. 22-25); 4. Bahwa Pasal 46 UU a quo yang memberlakukan hukum militer bagi komponen cadangan dalam masa aktif, yang mana pengaturan ini membedakan warga negara pada umumnya dan telah bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan di muka hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 28-29); 5. Bahwa Pasal 75 UU a quo yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 31); dan 6. Bahwa Para Pemohon mengajukan permohonan provisi agar Majelis Hakim Konstitusi dapat menerbitkan Putusan Sela yang menyatakan bahwa implementasi UU a quo, khususnya yang terkait dengan rekrutmen komponen cadangan, ditunda pelaksanaannya sepanjang UU a quo masih dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi untuk memastikan perlindungan hak-hak konstitusional para Pemohon, maupun warga negara pada umumnya, sebagaimana dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan hlm. 45). Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 a. Bahwa Para Pemohon mengajukan Permohonan a quo sebagai badan hukum dan perorangan warga negara Indonesia yang mendalilkan memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Terkait dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara melainkan penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum sehingga tidak relevan apabila ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dijadikan sebagai batu uji; b. Terkait dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji tidak mengatur mengenai hak konstitusional warga negara melainkan mengatur mengenai menjalankan prinsip otonomi seluas-luasnya oleh pemerintahan daerah, sehingga menjadi tidak relevan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 dijadikan sebagai dasar kerugian konstitusional Para Pemohon. Hal ini dikarenakan Para Pemohon bukan merupakan lembaga/institusi baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang menjalankan peran ataupun tugas yang sesuai dengan ketentuan pembagian tugas otonomi daerah. c. Terkait dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji, DPR menerangkan bahwa dalam Permohonan a quo, Para Pemohon hanya mencantumkan Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tetapi Para Pemohon sama sekali tidak menyatakan dan membuktikan dalam hal apa ketentuan Pasal a quo tidak memberikan persamaan kedudukan hukum dan pemerintahan. Oleh karena itu, Para Pemohon tidak dapat menggunakan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji dalam permohonan a quo. d. Terkait dengan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, DPR menerangkan bahwa dengan diberlakukannya norma dalam pasal-pasal a quo tidak mengurangi kepastian dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sebaliknya, berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara, maka dalam rangka memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil maka peran warga negara dalam upaya pembelaan negara tersebut, diatur salah satunya dalam UU a quo. e. Terkait dengan ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji, DPR menerangkan bahwa hak konstitusional Para Pemohon yang dijamin oleh ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak dilanggar maupun dikurangi dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo. Para Pemohon tetap dapat melaksanakan aktivitasnya dalam rangka pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia serta aktif melakukan advokasi maupun menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dalam proses pembentukan kebijakan melalui berbagai kajian dan kampanye media massa. Oleh karena itu, menjadi tidak relevan ketentuan Pasal 28E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 untuk dijadikan batu uji oleh Para Pemohon. f. Terkait dengan ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji, DPR menerangkan bahwa ketentuan pasal-pasal a quo justru perwujudan dari upaya negara untuk memenuhi hak setiap orang atas perlindungan diri dan rasa aman serta perlindungan dari ancaman ketakutan akibat adanya ancaman militer, non militer, dan ancaman hibrida. Selain itu, Para Pemohon tidak menjelaskan secara jelas dan tegas dalam hal apa para pemohon merasa terancam dan dirugikan dengan berlakunya pasal-pasal a quo. Oleh karena itu, menjadi tidak relevan ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dijadikan sebagai batu uji. g. Bahwa Para Pemohon juga mendalilkan memiliki hak konstitusional berdasarkan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur bahwa negara melindungi hak asasi manusia, salah satunya setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi, yaitu hak untuk mengambil manfaat dari benda yang dimilikinya, seperti makanan, harta, rumah, kendaraan dan benda manfaat lainnya dan orang lain tidak boleh mengambil benda milik seseorang secara paksa. DPR menerangkan bahwa Para Pemohon tidak dapat menjelaskan bahwa mereka sebagai pemilik dan pengelola Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Saran dan Prasaran Nasional yang terverifikasi sebagai komponen pendukung ataupun komponen cadangan. Sehingga hak konstitusional Para Pemohon seperti yang dijamin oleh Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal a quo. Meskipun Para Pemohon selaku pemilik dan pengelola dari Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, dan Saran dan Prasaran Nasional yang terverifikasi sebagai komponen pendukung ataupun komponen cadangan, hak kepemilikan (rights to property) tersebut telah dilindungi oleh Pasal 23 dan Pasal 55 UU a quo. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak tepat dijadikan sebagai batu uji dalam permohonan a quo. h. Terkait dengan ketentuan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang dijadikan batu uji, DPR menjelaskan bahwa Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak konstitusional, melainkan mengatur mengenai upaya pertahanan dan keamanan negara melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Maka, menjadi tidak tepat jika Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dijadikan sebagai dasar kerugian konstitusional Para Pemohon. i. Bahwa ketentuan pasal-pasal a quo sama sekali tidak membatasi hak dan/atau kewenangan konstitusional, Pemohon I s.d. IV tetap dapat menjalankan kegiatan organisasinya, yaitu berperan aktif dalam mendorong reformasi keamanan, termasuk di dalamnya militer, kepolisian, dan intelijen di Indonesia, dan Pemohon V s.d VII tetap dapat berperan aktif dalam menyuarakan berbagai pandangannya, mengenai pentingnya kelanjutan dan penuntasan reformasi sektor keamanan agar sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia. Oleh karenanya, Para Pemohon tidak memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang bertautan dengan ketentuan pasal a quo. 2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji a. Terhadap dalil Pemohon I s.d. IV yang menyatakan memiliki kepentingan berdasarkan organizational standing (legal standing) (vide perbaikan permohonan hlm. 6-7), DPR memberikan keterangan bahwa tidak semua organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan umum/publik, melainkan hanya organisasi yang memenuhi persyaratan tertentu, sebagaimana ditentukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan; dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya organisasi tersebut; dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. b. Bahwa Pemohon I tidak menguraikan adanya keterkaitan antara maksud dan tujuan didirikannya organisasi dan usaha-usaha organisasi dengan kerugian konstitusional akibat dari keberlakuan pasal-pasal a quo. Adanya ketentuan dalam pasal-pasal UU a quo dibentuk justru dalam rangka penyelenggaraan Pertahanan Negara untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta keselamatan segenap bangsa. Dengan maksud dan tujuan Pemohon I untuk membantu pemerintah dan negara dalam bidang hak asasi manusia sebagaimana tertera dalam Pasal 3 Anggaran Dasarnya (vide Perbaikan Permohonan hlm. 7), seharusnya Pemohon I memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai urgensi dan tujuan pembentukan UU a quo. c. Bahwa Pemohon II menguraikan berdasarkan Pasal 6 Anggaran Dasarnya, salah satu usaha yang dilakukan oleh Pemohon II adalah menumbuhkan demokrasi dan keadilan berdasarkan hak asasi manusia serta meningkatkan kesadaran hukum masyarakat agar sadar akan hak dan kewajibannya sebagai subjek hukum (vide Perbaikan Permohonan hlm. 7). Oleh karena itu, saat ini, Pemohon II seharusnya melakukan usaha tersebut agar menumbuhkan kesadaran masyarakat terkait dengan pentingnya peran aktif dalam usaha membela negara sebagai perwujudan ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. d. Bahwa Pemohon III menguraikan berdasarkan Pasal 2 Anggaran Dasarnya, bahwa yayasan tersebut mempunyai maksud dan tujuan di bidang sosial salah satunya dengan kegiatan pengembangan kehidupan sosial dalam rangka mendukung peningkatan mutu ranah publik, peningkatan keterlibatan kewargaan, serta pemajuan peran serta masyarakat dalam proses transformasi demokratis, baik melalui media online maupun offline (vide Perbaikan Permohonan hlm. 8). DPR berpandangan bahwa sampai saat ini Pemohon III tetap dapat melaksanakan kegiatannya tersebut yang dibarengi dengan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam upaya memajukan dan melindungi bangsa dan negara. Proses transformasi demokratis yang dimaksud oleh Pemohon III tentunya tidak terlepas dari pengaturan UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga Pemohon III juga memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (vide Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945). e. Bahwa Pemohon IV menguraikan berdasarkan Pasal 9 Anggaran Dasarnya, menyebutkan maksud dan tujuannya Pemohon IV adalah dalam bidang sosial dan kemanusiaan dengan kegiatan mempromosikan nilai hak asasi manusia, membela korban hak asasi manusia, mendidik calon anggota dan anggota pembela hak asasi manusia, dan memberikan bantuan hukum kepada korban pelanggaran hak asasi manusia. (vide Perbaikan Permohonan hlm. 8) DPR menerangkan bahwa pengaturan pasal-pasal a quo tidak melanggar ketentuan hak asasi manusia baik dalam UUD NRI Tahun 1945, maupun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM). Pemohon IV tetap dapat melakukan usaha-usaha tersebut dalam rangka memenuhi maksud dan tujuan dari Anggaran Dasar tersebut dan tetap dapat melakukan kegiatannya tanpa dibatasi dengan adanya ketentuan pasal-pasal a quo. Upaya pembelaan negara yang diatur dalam UU a quo merupakan salah satu perwujudan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 68 UU HAM. f. Berdasarkan uraian tersebut, DPR menegaskan bahwa Pemohon I s.d. Pemohon IV sebagai badan hukum tidak memenuhi syarat untuk memiliki organizational standing dalam mengajukan Permohonan a quo dan tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon sebagai organisasi masyarakat yang dirugikan dari keberlakuan pasal-pasal a quo. g. Bahwa Pemohon V-Pemohon VII sebagai perorangan WNI yang merasa dirugikan karena telah secara langsung atau setidak-tidaknya berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya atau terkena dampak atau dirugikan akibat keberadaan pasal-pasal a quo (vide perbaikan permohonan hlm. 9-11), DPR berpandangan bahwa dalam Permohonan a quo tidak menjelaskan adanya kerugian konstitusional yang dialami akibat dari pemberlakuan pasal-pasal a quo sehingga kerugian yang didalilkan Para Pemohon V-Pemohon VII merupakan dampak dari kekhawatiran dan keragu-raguan dalam menafsirkan dari pasal-pasal a quo. Sehingga dengan demikian, Para Pemohon V s.d. VII tetap dapat aktif menyuarakan melalui berbagai pandangannya di tempat para Pemohon beraktivitas. h. Bahwa Pemohon V dan Pemohon VI juga mendalilkan diri sebagai pembayar pajak (tax payer), oleh karenanya DPR mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 40/PUU-XVI/2018 pada paragraf [3.7] sebagai berikut: …menurut Mahkamah, para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) tidak serta merta memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan setiap permohonan pengujian undang-undang. Para Pemohon dapat memiliki kedudukan hukum (legal standing) apabila para Pemohon dapat menjelaskan adanya keterkaitan logis dan causal verband bahwa pelanggaran hak konstitusional atas berlakunya undang-undang yang diuji adalah dalam kaitannya dengan status para Pemohon sebagai pembayar pajak (tax payer) memang menunjukkan kerugian yang nyata. Dalam permohonan a quo, Para Pemohon V dan Pemohon VI dituntut bukan hanya sekedar menyatakan dirinya sebagai pembayar pajak (tax payer), tetapi statusnya sebagai pembayar pajak harus dijelaskan keterkaitannya secara logis dengan kerugian konstitusional Para Pemohon yang diakibatkan dengan berlakunya pasal-pasal a quo. 3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; Bahwa berkenaan dengan dalil kerugian yang disampaikan oleh Para Pemohon, DPR menerangkan bahwa kerugian yang didalilkan oleh Para Pemohon tersebut hanya berdasarkan asumsi Para Pemohon yang tidak berdasar dan belum tentu akan terjadi. Selain itu, uraian kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon juga tidak dibangun dengan konstruksi yang singkat, jelas, dan fokus, dimana Para Pemohon justru hanya menjelaskan kerugian hak-hak yang diberikan oleh negara tanpa mengkorelasikan dengan ketentuan pasal a quo. Para Pemohon hanya menafsirkan sendiri dengan pemaknaan yang didasarkan pada asumsi tanpa terlebih dahulu memahami apa yang menjadi maksud dari ketentuan pasal-pasal a quo. Dengan demikian hal tersebut bukanlah kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional. Oleh karena itu tidak ada kerugian yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas maka sudah dapat dipastikan Para Pemohon tidak menguraikan secara spesifik dan aktual mengenai kerugian konstitusionalnya sehingga Para Pemohon tidak dapat membuktikan adanya hubungan sebab akibat langsung (causal verband) antara kerugian konstitusional Para Pemohon dengan ketentuan pasal-pasal a quo. Bahwa dengan demikian, tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apa pun pada Para Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi MK untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya MK tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. Pokok Permohonan: 1. PANDANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN PASAL 4 AYAT (2) DAN AYAT (3) DAN PASAL 29 UU 23/2019 a. Bahwa Para Pemohon mendalilkan Pasal 4 ayat (2) UU a quo yang mengatur jenis-jenis “Ancaman” yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU a quo disharmoni dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (UU Pertahanan Negara) dimana ancaman hibrida tidak dikenal dalam identifikasi ancaman pertahanan negara yang diatur dalam Pasal 7 UU Pertahanan Negara. (vide Perbaikan Permohonan Halaman 17 angka 64). Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa: 1) Dalam bidang pertahanan, sebuah negara yang sedang berkonflik atau berkonfrontasi tidak hanya dapat melakukan perang konvensional. Pada dewasa ini ancaman perang konvensional kemungkinan sangat kecil karena semakin berkembangnya situasi dan kemajuan teknologi yang ada. Kondisi saat ini mendorong terjadinya penggunaan jenis perang yang baru seperti perang asimetris, perang hibrida dan perang Proxy. 2) Perang asimetris adalah perang antara belligerent atau pihak-pihak berperang yang kekuatan militernya sangat berbeda. Perang Proxy merupakan suatu konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan untuk mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko pada kehancuran fatal. Biasanya pihak ketiga yang bertindak sebagai pemain pengganti adalah negara kecil, namun kadang juga bisa dilakukan oleh kekuatan non-state actors seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat (Ormas), kelompok masyarakat atau perorangan. Indikasi adanya proxy war di antaranya adalah gerakan separatis, demonstrasi massa dan bentrok antar kelompok dan juga dapat dilihat melalui berbagai bentuk pemberitaan media yang provokatif, peredaran narkoba, penyebaran pornografi serta seks bebas. Perang Proxy atau proxy war merupakan ancaman yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Perang hibrida atau kombinasi merupakan perang yang menggabungkan teknik perang konvensional, perang asimetris, dan perang proxy untuk mendapat kemenangan atas pihak lawan. 3) Pasal 4 ayat (2) dan (3) serta Pasal 29 UU a quo merupakan ketentuan penyempurnaan terhadap UU 56/1999 yang sama sekali tidak memberikan definisi ancaman pertahanan negara. Dengan adanya definisi ancaman pertahanan negara, maka tujuan pembentukan komponen cadangan, penguatan komponen pendukung dan penyelenggaraan bela negara menjadi lebih jelas. Ketidakpastian hukum justru berpotensi terjadi pada UU 56/1999, dimana atas nama pelaksanaan undang-undang, pemerintah dapat melakukan kegiatan pembentukan Rakyat Terlatih hanya dengan berkonsultasi dengan DPR dan menetapkannya dalam peraturan pemerintah (Pasal 4 UU 56/1999). 4) Bahwa UU Pertahanan Negara tidak hanya membatasi ancaman hanya dalam bentuk ancaman militer dan ancaman non militer sebagaimana didalilkan Para Pemohon. Hal ini tercermin dalam Pasal 4 UU Pertahanan Negara yang berketentuan: “Pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman”. Frasa “segala bentuk ancaman” ini dijelaskan lebih lanjut dalam Paragraf ke-4 Penjelasan Umum UU Pertahanan Negara yang selengkapnya berketentuan sebagai berikut: “Era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi sangat mempengaruhi pola dan bentuk ancaman. Ancaman terhadap kedaulatan negara yang semula bersifat konvensional (fisik) dan saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan nonfisik), baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Ancaman yang bersifat multidimensional tersebut dapat bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.” 5) Bahwa UU Pertahanan Negara telah menjelaskan bahwa lingkup “Ancaman” lebih luas dibandingkan apa yang didalilkan oleh Para Pemohon karena UU Pertahanan Negara tidak hanya mengatur lingkup “Ancaman” sebatas ancaman militer dan ancaman non militer, melainkan juga “ancaman yang bersifat multidimensional” yang dapat bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan. Oleh karena itu DPR berpandangan bahwa dalil Para Pemohon yang menyatakan UU Pertahanan Negara hanya mengatur “ancaman militer” dan “ancaman non militer” adalah keliru. Kekeliruan tersebut diakibatkan karena Para Pemohon tidak memahami substansi UU Pertahanan Negara secara menyeluruh, sebab Para Pemohon langsung membandingkan makna “ancaman” yang dimaksud UU a quo dengan UU Pertahanan Negara secara tidak cermat. 6) Bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU Pertahanan Negara tidak serta merta dapat dimaknai hanya membatasi ancaman yang bentuknya terdiri atas ancaman militer dan ancaman non militer, karena Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) UU Pertahanan Negara tidak secara eksplisit membatasi identifikasi dan ruang lingkup frasa “ancaman” melainkan mengatur perihal sistem pertahanan negara untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman non militer. 7) Bahwa “ancaman hibrida” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf c UU a quo adalah ancaman yang bersifat campuran dan merupakan keterpaduan antara ancaman militer dan ancaman nonmiliter. DPR berpandangan bahwa ketentuan “ancaman hibrida” tersebut tidak menimbulkan ketidakpastian hukum melainkan melengkapi lingkup “ancaman” dari ketentuan UU Pertahanan Negara yang belum mengatur perihal ancaman yang sifatnya campuran dari ancaman militer dan ancaman non militer. 8) Berdasarkan penjelasan di atas dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 4 ayat (2) UU a quo disharmoni dengan UU Pertahanan Negara adalah keliru, karena UU a quo justru melengkapi pengaturan lingkup ancaman yang belum diatur dalam UU Pertahanan Negara. b. Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 4 ayat (3) UU a quo yang sekaligus menginventarisasi berbagai bentuk ancaman termasuk di ancaman militer, non-militer, ideologi, dan kejahatan transnasional yang menurut Para Pemohon tidak semua bentuk ancaman tersebut merupakan bagian dari ancaman yang harus direspons dalam sistem pertahanan negara yang menekankan pada kedaulatan dan keutuhan wilayah. (vide Perbaikan Permohonan Halaman 17 angka 66). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan: 1) Bahwa justru Para Pemohon keliru jika menganggap tidak semua bentuk “ancaman” tidak harus direspons dalam sistem pertahanan negara. Dengan merujuk Paragraf ke-4 Penjelasan Umum UU Pertahanan Negara, pembentuk undang-undang telah menyadari bahwa ada ancaman yang bersifat multidimensional yang bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan. 2) Bahwa sumber-sumber permasalahan yang bersifat multidimensional tersebut berpotensi membahayakan kedaulatan sebuah negara, karena berdasarkan fakta selama ini, telah banyak terjadi “ancaman” yang bersifat multidimensional yang dapat berdampak terhadap keamanan negara, misalnya isu pencurian ikan oleh kapal nelayan berbendera Tiongkok yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di perairan Natuna yang nelayan-nelayan asing tersebut dikawal kapal penjaga pantai Tiongkok (China Coast Guard) memasuki perairan ZEE Indonesia. Pencurian ikan yang awalnya adalah tindakan pidana meningkat eskalasinya menjadi siaga militer dari Indonesia karena pemerintah RI menempatkan sejumlah kapal perang dan pesawat tempur di Pulau Natuna karena insiden yang diawali pencurian ikan tersebut. Dari kejadian di perairan Natuna tersebut menjadi contoh bahwa suatu kejahatan transnasional (illegal fishing) dapat menjadi sumber ancaman yang sifatnya multidimensi yang berpotensi membahayakan kedaulatan negara. 3) Berdasarkan salah satu fakta tersebut jelas memperlihatkan bahwa perlu adanya pengaturan mengenai respons pertahanan negara dalam menghadapi setiap ancaman tersebut dengan memperhatikan eskalasi setiap ancaman. c. Para Pemohon menyatakan bahwa mobilisasi komponen cadangan dan komponen pendukung yang diatur pada Pasal 29 UU a quo hanya dapat dilakukan untuk menghadapi ancaman militer dengan adanya pernyataan keadaan bahaya. (vide Perbaikan Permohonan Halaman 18 angka 69 – 73). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan sebagai berikut: 1) Bahwa Para Pemohon seharusnya memahami terlebih dahulu definisi “Ancaman” yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UU a quo, yakni “setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa”. Dalam sejarah Indonesia, pernah terjadi pergolakan nasional yang memenuhi kriteria sebagai “Ancaman” sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 2 UU a quo yakni pemberontakan Partai Komunis Indonesia/PKI (peristiwa pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 dan pembunuhan terhadap perwira TNI Angkatan Darat oleh PKI tahun 1965) yang peristiwa tersebut merupakan ancaman hibrida (perpaduan ancaman militer dan ancaman nonmiliter) dan berdampak terhadap pertahanan dan keamanan negara. Adapun penumpasan terhadap pemberontakan PKI tersebut tidak hanya dilakukan oleh TNI dan Polri tetapi juga ada peran elemen nasional lain seperti organisasi-organisasi rakyat dan kepemudaan misalnya Pemuda Pancasila, dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). 2) Bahwa dari sejarah Indonesia membuktikan bahwa upaya pertahanan nasional tidak hanya dilakukan oleh TNI dan Polri sebagai komponen utama, tetapi dari berbagai elemen bangsa yang dalam UU a quo disebut dengan komponen pendukung dan komponen cadangan. Dalil Para Pemohon yang menyatakan mobilisasi komponen cadangan dan komponen pendukung hanya terhadap ancaman militer merupakan dalil yang keliru dan bertentangan dengan sejarah Indonesia. Oleh karena itu, pasal a quo tidak menyebabkan ketidakpastian hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 3) Bahwa selain itu, dengan kondisi globalisasi saat ini yang hampir di segala bidang menggunakan sistem Siber, kejahatan di dunia siber hingga saat ini masih menjadi salah satu ancaman serius bagi Indonesia yang membuktikan bahwa sifat dari “ancaman” dapat bersifat multidimensional. Setiap tahun, selalu terjadi peningkatan kasus serangan siber. Mulai dari peningkatan serangan phising (pengelabuan), serangan malware, spams hingga ransomware yang cukup signifikan. Pada tahun 2019, BSSN telah melaporkan adanya 290 juta kasus serangan siber. Jumlah tersebut 25% lebih banyak jika dibandingkan tahun sebelumnya ketika kejahatan siber yang menyebabkan kerugian sebesar US$ 34,2 miliar di Indonesia. Sama halnya dengan Bareskrim yang melihat adanya peningkatan laporan kejahatan siber. Pada 2019, ada sebanyak 4.586 laporan polisi diajukan melalui patroli siber. Jumlah itu bertambah dari yang sebelumnya sekitar 4.360 laporan pada 2018. Oleh karena itu penerapan pertahanan dan keamanan Siber juga merupakan suatu prioritas kewajiban bagi negara beserta dengan seluruh peran serta masyarakat sebagai komponen bangsa untuk saling bersinergi secara terpadu dalam menghadapi “ancaman” yang bersifat multidimensional. (https://www.beritasatu.com/nasional/763011/ancaman-kejahatan-siber-di-indonesia-terus-meningkat). 2. PANDANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN PASAL 17, PASAL 28, PASAL 66 AYAT (2), PASAL 79, PASAL 81 DAN PASAL 82A UU 29/2019 a. Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 17 dan Pasal 28 UU a quo yang mengatur sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung yang ditentukan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang hanya bersifat limitatif menyebut TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung dan tidak menyebutkan unsur non manusia. (vide Perbaikan Permohonan halaman 19 – 20 angka 75 – 81). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan bahwa: 1) Bahwa dalam suatu usaha membangun pertahanan negara tidak mungkin dilakukan tanpa adanya dukungan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional. Bagaimana mungkin mempertahankan atau menjaga wilayah perairan Indonesia yang begitu luas tanpa menggunakan bahan bakar (sumber daya alam), kapal, pesawat terbang, peralatan komunikasi, alat navigasi maritim (sarana prasarana)? Jika penggunaan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana prasarana nasional sebagai unsur komponen pendukung tidak diatur dalam UU a quo, justru hal tersebut dapat melemahkan pertahanan nasional Indonesia. 2) Bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 telah mengamanatkan hal-hal lain yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan Undang-Undang, yang kemudian diwujudkan melalui UU Pertahanan Negara dan UU a quo. Ketentuan Pasal 17 dan Pasal 28 UU a quo telah sejalan dengan ketentuan Pasal 1 UU Pertahanan Negara yang mengatur: “Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman”. 3) Pengelolaan sumber daya nasional dengan hanya mengandalkan sumber daya manusia saja akan mengakibatkan kemunduran pengelolaan pertahanan nasional. Hal ini karena kemajuan teknologi menyebabkan aspek pertahanan nasional tidak cukup dipenuhi dari sumber daya manusia saja melainkan perlu sumber daya lainnya seperti sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana dan prasarana nasional. Dengan demikian, permohonan Para Pemohon justru akan melemahkan sistem pertahanan nasional dan tidak sejalan cita-cita bangsa Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang terkandung dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. b. Para Pemohon mendalilkan bahwa pengaturan Pasal 17 dan Pasal 28 UU a quo bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 karena pemanfaatan komponen pendukung dan komponen cadangan tentang sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana prasarana lain bersifat multitafsir dan dapat membuka ruang terjadinya pengambilalihan sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain milik warga negara (right to property) secara sewenang-wenang oleh negara (vide Perbaikan Permohonan Halaman 20 angka 82 – 84). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan bahwa: 1) Dalil Para Pemohon merupakan asumsi Para Pemohon yang tidak pernah terjadi dan tidak akan terjadi. Bahwa mobilisasi sumber daya nasional tersebut ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang (vide Pasal 63 UU a quo), sehingga negara tidak mungkin mengambil alih kepemilikan properti warga negaranya sendiri secara sewenang-wenang dengan menggunakan dasar hukum UU a quo. 2) Bahwa penetapan sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional dilakukan melalui serangkaian prosedur, meliputi proses verifikasi dan klasifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 51 sampai dengan Pasal 55 UU a quo, sehingga penggunaan sumber daya tersebut terukur dan tidak serta merta melanggar hak kepemilikan pribadi atas sumber daya tersebut. 3) Bahwa dalam sejarah, berbagai negara pernah mengalami situasi yang sangat mendesak dapat memerintahkan mobilisasi sumber daya nasional atas dasar hak dan kewajiban warga negara untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Beberapa peristiwa sejarah yang dapat dijadikan acuan mobilisasi sumber daya nasional di antaranya: a) Peristiwa Bandung Lautan Api pada masa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Warga Kota Bandung diperintahkan untuk melakukan taktik bumi hangus di Kota Bandung agar pasukan sekutu yang memasuki Kota Bandung tidak dapat memanfaatkan properti milik warga Kota Bandung. Peristiwa ini menjadi contoh bahwa terdapat pengerahan sumber daya nasional dimana warga Kota Bandung melakukan pengorbanan yang luar biasa dengan membakar rumah serta harta bendanya (bentuk mobilisasi sumber daya nasional) demi usaha mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. (Sumber: Alhidayath Parinduri, “Sejarah Peristiwa Bandung Lautan Api: Penyebab, Kronologi, dan Tokoh”, dikutip dari https://tirto.id/sejarah-peristiwa-bandung-lautan-api-penyebab-kronologi-tokoh-gajf diakses pada tanggal 24 Agustus 2021) b) Victory Program (Amerika Serikat) Pasca diserangnya pangkalan AS di Pasifik (Pearl Harbour) dan AS terlibat perang dengan Jerman dan Jepang, Pemerintah federal AS pada saat itu meluncurkan Victory Program sebagai usaha membangun kekuatan pertahanan nasional untuk mengalahkan poros axis (Jerman, Jepang, dan Italia). Program ini dilakukan dengan cara mengumpulkan donasi dari warga negara, mengeluarkan surat hutang negara untuk membiayai perang (war bond), mengkonversi industri sipil menjadi industri peralatan militer. (sumber: U.S. Army Center of Military History, “The Victory Program”, dikutip dari https://history.army.mil/books/wwii/csppp/ch11.htm diakses pada tanggal 24 Agustus 2021) c) Manhattan Project (Amerika Serikat) Pada masa perang dunia II, AS membuat proyek pembangunan bom nuklir pertama di dunia dengan cara merekrut ilmuwan terbaik di AS, mengumpulkan seluruh persediaan uranium dari perusahaan tambang swasta, dan membeli lahan tanah milik warga negaranya untuk kepentingan pembuatan bom nuklir pertama di dunia ini. Terlihat dari Victory Program maupun Manhattan Project, AS pada saat itu tidak hanya memobilisasi sumber daya manusia tetapi juga sumber daya lainnya di antaranya sumber daya alam dan industrinya (sumber daya buatan) untuk kepentingan perang. (sumber: U.S. Army Center of Military History, “The Decision To Use The Atomic Bomb”, dikutip dari https://history.army.mil/books/70-7_23.htm diakses pada tanggal 24 Agustus 2021) d) Peristiwa Medan Area pada masa mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa itu, meskipun belum ada peraturan yang mengatur mengenai Komponen Cadangan, rakyat secara sukarela maju ke medan perang dan membantu pasukan utama bertempur menjadi paramiliter. Hal tersebut dapat terlihat dalam Pertempuran Medan Area pada tahun 1945-1957. Pertempuran tersebut merupakan perang gerilya dan perang frontal yang berlangsung selama dua tahun. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dibantu seluruh kemampuan sumber daya yang ada mampu mengalahkan NICA, satuan tentara terlatih dan profesional pada 9 Oktober 1945 yang ditugaskan untuk mengambil alih pemerintahan Jepang. Mobilitas dan perubahan berbagai satuan dilakukan dalam kondisi darurat dan ternyata mampu menjadi satuan-satuan tempur yang dapat diandalkan. Dalam Pertempuran Medan Area, perlawanan Barisan Pemuda merupakan bentuk nyata Komponen Cadangan pertahanan negara sedangkan bentuk Komponen Pendukungnya adalah logistik, kepalangmerahan dan dapur umum yang bahu membahu menjadi kekuatan perlawanan (sumber: Medan Area Mengisi Proklamasi, Jilid I. Medan: Percetakan Waspada dan Badan Musyawarah Pejuang R.I. Medan Area, 1976). 4) Perlindungan terhadap hak kepemilikan warga negara (right to property) telah diatur dalam Pasal 23 dan Pasal 55 UU a quo yang mana penetapan komponen pendukung dan komponen cadangan tidak menghilangkan: a) hak pemilik untuk mengalihkan hak kepemilikan, mengelola, dan/atau menggunakan; b) hak pengelola untuk mengelola dan/atau menggunakan; dan/atau c) hak kebendaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terhadap Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional. 5) Berdasarkan Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) UU a quo, Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional milik Pemerintah dan pemerintah daerah, milik swasta, dan milik perseorangan yang telah selesai dimobilisasi wajib dikembalikan ke fungsi dan status semula melalui Demobilisasi dengan disertai kompensasi sesuai kemampuan keuangan negara. 6) Oleh karena itu pandangan Para Pemohon yang menyatakan Pasal a quo membuka ruang terjadinya pengambilalihan sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain milik warga negara (right to property) secara sewenang-wenang oleh negara adalah tidak berdasar. Hal ini karena negara melindungi hak kepemilikan pribadi warga negaranya yang tercermin dalam Pasal 23, Pasal 55, Pasal 72 UU a quo sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. 3. PANDANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN PASAL 18, PASAL 66 AYAT (1), PASAL 77, PASAL 78, DAN PASAL 79 UU 23/2019 TERKAIT DENGAN PRINSIP CONSCIENTIOUS OBJECTION. a. Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 18 UU a quo bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk bebas berpikir, hati nurani, dan beragama, termasuk di dalamnya hak untuk menolak bergabung dalam dinas militer dengan alasan conscientious objection berdasarkan The International Convenant on Civil and Political Rights. (vide Perbaikan Permohonan Halaman 25 angka 109). Terhadap dalil tersebut, DPR memberikan pandangan sebagai berikut: 1) Berdasarkan General Comment Adopted by The Human Rights Committee Under Article 40, Paragraph 4, of The International Convenant on Civil and Political Rights (ratifikasi UU 12/2005), dinyatakan sebagai berikut: Many individuals have claimed the right to refuse to perform military service (conscientious objection) on the basis that such right derives from their freedoms under article 18. In response to such claims, a growing number of States have in their laws exempted from compulsory military service citizens who genuinely hold religious or other beliefs that forbid the performance of military service and replaced it with alternative national service. The Covenant does not explicitly refer to a right of conscientious objection, but the Committee believes that such a right can be derived from article 18, inasmuch as the obligation to use lethal force may seriously conflict with the freedom of conscience and the right to manifest one’s religion or belief. When this right is recognized by law or practice, there shall be no differentiation among conscientious objectors on the basis of the nature of their particular beliefs; likewise, there shall be no discrimination against conscientious objectors because they have failed to perform military service. The Committee invites States parties to report on the conditions under which persons can be exempted from military service on the basis of their rights under article 18 and on the nature and length of alternative national service. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, Article 18 ICCPR tidak memberikan pengaturan secara eksplisit tentang conscientious objection (hak untuk menolak bergabung dalam dinas militer), namun prinsip conscientious objection dimaknai dalam General Comment Adopted by The Human Rights Committee Under Article 40, Paragraph 4, of The International Convenant on Civil and Political Rights, yang dalam hal ini juga telah mengakui bahwa beberapa negara telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak mewajibkan bagi warga negaranya untuk ikut wajib militer. 2) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) ICCPR diatur bahwa: Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others. (Kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dikenakan pembatasan berdasarkan harus berdasarkan hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain). Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) ICCPR tersebut menunjukkan bahwa meskipun setiap orang bebas dan dilindungi haknya untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya, namun tetap dapat diberikan pembatasan oleh negara selama pembatasan itu terwujud dalam kerangka hukum (undang-undang). In casu, jika Para Pemohon ketentuan pasal-pasal undang-undang a quo melanggar kebebasan dalam memanifestasikan ajaran agama maka dalil tersebut tidak beralasan karena pembatasan tersebut dibentuk di dalam kerangka undang-undang/by law. Selain itu pengaturan di dalam pasal UU a quo juga tidak memaksa atau mewajibkan bagi setiap warga negara untuk ikut menjadi komponen cadangan dan atau sebagai komponen pendukung secara wajib, tetapi melainkan dengan cara sukarela (Pasal 28 ayat (2) UU a quo. 3) Bahwa pengaturan dalam UU a quo pada prinsipnya telah sesuai dengan prinsip conscientious objection tersebut, karena tidak mewajibkan bagi setiap warga negara untuk ikut menjadi komponen cadangan dan atau sebagai komponen pendukung secara wajib, melainkan dengan cara sukarela. Menurut Pasal 28 ayat (2) UU a quo, pengabdian warga negara dalam Komponen Cadangan merupakan pengabdian dalam usaha pertahanan negara yang bersifat sukarela. Adapun menurut Pasal 17 ayat (2), pengabdian warga negara dalam Komponen Pendukung merupakan salah satu wadah keikutsertaan Warga Negara secara sukarela dan pemanfaatan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional dalam usaha penyelenggaraan Pertahanan Negara. b. Para Pemohon mendalilkan Pasal 18 dan Pasal 66 ayat (1) UU a quo yang mengatur bahwa Warga Negara yang telah ditetapkan sebagai Komponen Pendukung dan Komponen Cadangan, serta digunakan secara langsung untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida, berarti telah menempatkan Warga Negara atau rakyat sebagai kekuatan utama, yang dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang telah secara limitatif menyebutkan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sedangkan rakyat sebagai kekuatan pendukung. (vide Perbaikan Permohonan Halaman 22 angka 92 dan angka 93). Terhadap dalil tersebut DPR memberikan pandangan sebagai berikut: 1) Bahwa ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU a quo tidak mengatur penggunaan warga negara sebagai komponen cadangan secara langsung, melainkan adanya kewajiban warga negara yang telah menjadi komponen cadangan berdasarkan UU a quo untuk memenuhi panggilan mobilisasi. 2) Terkait dengan ketentuan Pasal 18 UU a quo, Mobilisasi tersebut dilakukan guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida (vide Pasal 29 UU a quo). Penggunaan komponen pendukung yang merupakan warga negara secara langsung maupun tidak langsung untuk menghadapi ancaman non militer atau ancaman hibrida dijelaskan dalam penjelasan Pasal 18 UU a quo sebagai berikut: Yang dimaksud dengan penggunaan "secara langsung" adalah penggunaan Sumber Daya Nasional yang karena keberadaan dan fungsinya dapat langsung digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan Komponen Utama. Yang dimaksud dengan penggunaan "secara tidak langsung" adalah penggunaan Sumber Daya Nasional yang karena keberadaan dan fungsinya dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan Komponen Utama melalui proses menjadi Komponen Cadangan. 3) Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut, keberadaan dan penggunaan komponen cadangan adalah untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama, sehingga penggunaan komponen cadangan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Pengaturan tersebut memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap peran, serta hak dan kewajiban warga negara yang telah terdaftar sebagai komponen cadangan dalam perannya sebagai pembela negara ketika terjadi perang. 4) Oleh karena itu, mobilisasi komponen pendukung maupun komponen cadangan tidak diarahkan untuk menggantikan komponen utama pertahanan nasional yakni TNI, sehingga adanya ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menempatkan rakyat sebagai kekuatan pendukung dalam sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. c. Para Pemohon mendalilkan bahwa TNI dan POLRI merupakan kekuatan utama dalam usaha pertahanan dan keamanan negara telah dinegasikan UU a quo, khususnya pada ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU a quo yang mencampuradukkan antara kekuatan utama dan kekuatan pendukung, dengan menempatkan POLRI merupakan bagian dari komponen pendukung yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan Halaman 27 angka 120 dan angka 124). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan sebagai berikut: 1) Bahwa sesuai semangat reformasi yang diwujudkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), dari yang awalnya berwujud satu Lembaga yakni Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), menjadi masing-masing lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Pertahanan menjadi tugas pokok TNI dan keamanan menjadi tugas pokok POLRI. Bahwa POLRI sebagai kekuatan utama dalam “keamanan” berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 19445 dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Sedangkan TNI sebagai kekuatan utama dalam “pertahanan” berdasarkan Pasal 30 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). 2) Bahwa dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU a quo terdapat ketentuan yang menempatkan anggota POLRI sebagai komponen pendukung karena memang pelaksanaan fungsi pertahanan negara adalah fungsi TNI sebagai kekuatan utama, sedangkan fungsi POLRI adalah kekuatan utama dalam melaksanakan fungsi keamanan di dalam negara. Namun bukan berarti TNI dan POLRI tidak dapat bersinergi dalam melaksanakan fungsinya masing-masing. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU Polri dan Pasal 7 ayat (2) angka 10 UU TNI, telah diatur bahwa TNI dan POLRI dapat saling bersinergi melaksanakan fungsinya sebagai amanat Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Maka dari itu, ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU a quo merupakan bentuk sinergi antara TNI dan POLRI dalam melaksanakan amanat Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 dimana anggota POLRI dapat berperan serta dalam usaha pertahanan nasional sebagai komponen pendukung. Oleh karena itu, dalil Para Pemohon yang menyatakan Pasal 20 ayat (1) UU a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena perumusan normanya yang telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum, dengan mencampuradukkan kekuatan utama dan kekuatan pendukung dalam sistem pertahanan dan keamanan negara adalah keliru. d. Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 46 UU a quo yang menerapkan status subjek hukum militer bagi komponen cadangan dalam masa aktif, yang membedakan mereka warga negara pada umumnya, telah bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan di muka hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. (vide Perbaikan Permohonan halaman 29 angka 138) Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR berpandangan bahwa: 1) Masa aktif komponen cadangan berimplikasi terhadap warga sipil yang bergabung menjadi anggota komponen cadangan karena statusnya yang pada saat itu sebagai prajurit sukarela (vide Pasal 1 angka 15 UU TNI). Maka itu, subjek tersebut dapat dikategorikan termasuk dalam “anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan Undang-Undang (UU a quo)” berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf c UU Peradilan Militer. 2) Ketentuan Pasal 9 angka 1 huruf c UU Peradilan Militer juncto Pasal 1 angka 15 UU TNI, berimplikasi pada warga negara yang bergabung secara sukarela dalam komponen cadangan dalam masa aktif statusnya menjadi prajurit sukarela, sehingga harus tunduk pada ketentuan hukum militer karena pada saat warga negara telah menjadi prajurit sukarela maka dimungkinkan untuk memegang senjata untuk berperang, oleh karena itu sudah selayaknya diberlakukan sebagai anggota militer berdasarkan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Apabila terhadap yang bersangkutan tidak diberlakukan hukum militer (diterapkan hukum sipil), justru menyebabkan disharmoni pengaturan karena yang bersangkutan menyandang status masa aktif sebagai anggota komponen cadangan atau prajurit sukarela yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus tunduk pada ketentuan hukum militer. 3) Berdasarkan pandangan diatas, maka DPR menyimpulkan cukup beralasan secara hukum bahwa ketentuan Pasal 46 UU a quo tidak memiliki pertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan di muka hukum (equality before the law) sebagaimana diamanatkan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 4. PANDANGAN DPR TERHADAP PENGUJIAN PASAL 75 UU 23/2019 Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 75 UU a quo yang menentukan pendanaan untuk pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara salah satunya bersumber dari APBD bertentangan dengan prinsip pembagian urusan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sebagaimana diatur Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 dan telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. (vide Perbaikan Permohonan Halaman 32 angka 150). Terhadap dalil tersebut DPR memberikan pandangan berdasarkan Naskah Akademik RUU tentang Pengelolaan Sumberdaya Nasional Untuk Pertahanan Negara (UU PSDN), bahwa sumber daya manusia yang termasuk dalam Komponen Pendukung terdiri dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, garda bangsa, tenaga ahli, dan warga lainnya unsur Warga Negara. Sedangkan yang termasuk sebagai garda bangsa antara lain Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda), unsur Perlindungan Masyarakat (Linmas) yang dikoordinir oleh Pemda, Resimen Mahasiswa yang pembinaannya di bawah perguruan tinggi, Alumni Resimen Mahasiswa, serta organisasi kepemudaan (vide naskah akademik hlm. 34). Sumber daya alam dan sumber daya alam buatan ditransformasikan menjadi logistik wilayah dan cadangan material strategis untuk disiapkan menjadi Komponen Pendukung, yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Logistik wilayah adalah logistik yang disiapkan di daerah bertumpu pada kekayaan sumber daya alam wilayah dalam rangka mendukung operasi perlawanan wilayah, antara lain terdiri dari bekal makanan, bekal perlengkapan perorangan, bekal Bahan Bakar Minyak dan pelumas, bekal bahan bangunan dan konstruksi, bekal amunisi/bahan peledak, bekal kesehatan dan bekal suku cadang. 2. Cadangan materiil strategis adalah bahan dan/atau hasil pertambangan serta alat peralatan hasil industri untuk pertahanan yang dipersiapkan sebagai persediaan guna memenuhi kebutuhan pertahanan negara, cadangan materiil strategis terdiri dari mineral logam, batu bara, hasil pengilangan minyak bumi, hasil pengilangan gas alam, hasil petrokimia, dan alat peralatan Industri. Bentuk Komponen Pendukung lainnya adalah sarana prasarana nasional, contohnya jalan raya, pelabuhan, bandara, jaringan rel, bangunan gedung dan lain sebagainya. Sarana dan prasarana dikelompokkan dalam sarana prasarana matra darat, matra laut dan matra udara (Vide Naskah Akademik hlm. 35). Selain POLRI, warga negara lainnya yang memiliki kecakapan dan keterampilan khusus, jiwa juang, kedisiplinan serta berada dalam satu garis komando adalah Satpol PP dan Linmas yang dimiliki dan dikoordinir oleh Pemda. Satpol PP merupakan bagian perangkat daerah di bidang penegakan Perda, ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Menurut Pasal 255 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Satpol PP berwenang untuk: a. melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; c. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada; dan d. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada (vide Naskah Akademik hlm. 54). Pembinaan Komponen Pendukung merupakan kegiatan peningkatan kualitas dan/atau kuantitas Komponen Pendukung dalam usaha Pertahanan Negara. Kementerian/lembaga dan pemerintah daerah melaksanakan kebijakan pembinaan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing (vide naskah akademik hlm. 88) Bahwa di dalam Naskah akademik juga diuraikan hal-hal sebagai berikut: a. Pendanaan untuk penyelenggaraan pembinaan kesadaran bela negara yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga terkait. b. Pendanaan untuk penyelenggaraan pembinaan kesadaran bela negara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Pendanaan untuk penyelenggaraan pembentukan, pembinaan, pemberhentian dan pengembalian Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui bagian anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. d. Pendanaan untuk penggunaan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. e. Pendanaan untuk penyelenggaraan Mobilisasi dan Demobilisasi Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (vide naskah akademik hlm. 98). Bahwa berdasarkan risalah rapat panja pada 6-9 September 2019 (rapat bersifat tertutup) disampaikan bahwa diskusi atau perdebatan dalam dinamika pembahasan dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: a. Bahwa pendanaan untuk pelaksanaan bela negara oleh aparat sipil di daerah bersumber dari APBD karena dilaksanakan oleh pemerintah daerah. b. APBD juga digunakan dalam pembiayaan komponen pendukung. 5. PANDANGAN DPR TERHADAP PERMOHONAN PROVISI UNTUK MENUNDA SEMENTARA PEMBERLAKUAN UU 23/2019 YANG DIAJUKAN PARA PEMOHON Bahwa terhadap permohonan provisi yang diajukan Para Pemohon, DPR menerangkan bahwa pada awalnya MK tidak mengenal putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang, namun pada perkembangan selanjutnya MK mengenal putusan provisi yang menyangkut pemeriksaan prioritas agar perkara yang diajukan segera diputus. Perkara-perkara yang dikabulkan pemeriksaannya secara cepat adalah pengujian undang-undang terkait pemilu dan Pilkada sebagaimana ditemukan dalam 4 (empat) putusan, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-XVII/2019, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XVII/2019, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 75/PUU-XVII/2019. Bahwa dalam permohonan a quo, Para Pemohon dalam dalil-dalilnya sama sekali tidak menjelaskan adanya masalah hukum ataupun dugaan perbuatan pidana yang dialaminya berkaitan dengan uji materi ini. Selain itu Para Pemohon juga tidak memberikan argumentasi mengenai urgensi dari permohonan provisi mengenai penghentian sementara pemberlakuan UU a quo. In casu, DPR berpandangan bahwa sudah selayaknya Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Provisi Para Pemohon karena tidak ada alasan yang kuat bahwa ada hal yang mendesak untuk dikabulkannya permohonan provisi.

27/PUU-XIX/2021

Para Pemohon mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 UU 23/2019

Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), dan Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945