106/PUU-XVIII/2020
Kerugian Konstitusional: Para Pemohon dalam permohonannya mengemukakan bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar oleh berlakunya ketentuan Pasal-Pasal a quo sebagaimana dikemukakan dalam permohonannya yang pada intinya sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon I merupakan seorang ibu dari seorang anak yang telah berpulang pada tanggal 26 Desember 2020 karena menderita penyakit cerebral palsy, yakni lumpuh otak dan ingin memberikan upaya pengobatan dengan memberikan pengobatan berupa cannabis oil (minyak ganja) kepada anaknya saat masih mengidap penyakit tersebut. Selanjutnya, Pemohon II dan III merupakan ibu dari anak-anak yang mengidap penyakit kelainan otak dan saraf dan ingin memberikan upaya pengobatan dengan memberikan pengobatan berupa cannabis oil (minyak ganja) berdasarkan informasi yang didapatkan dari Pemohon I, namun Pemohon I – Pemohon III tidak dapat memberikan pengobatan dengan cannabis oil (minyak ganja) kepada anaknya karena adanya ketentuan larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika, sehingga Pemohon I-III merasa telah dirugikan hak dan/atau konstitusionalnya (vide Perbaikan Permohonan hal. 6-16). b. Bahwa Pemohon IV – Pemohon VI yang merupakan Badan Hukum Privat merasa memiliki kepentingan atas permohonan pengujian Pasal-Pasal a quo karena Pemohon IV – Pemohon VI melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam bidang sosial dan kemanusiaan untuk mendorong terwujudnya sistem peradilan pidana, melaksanakan kegiatan penanggulangan AIDS dan pengendalian NAPZA, serta memiliki kepentingan kontribusi untuk mewujudkan reformasi kebijakan narkotika agar lebih berkeadilan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) setiap orang, terutama orang yang menggunakan narkotika untuk kepentingan pengobatan terhadap dirinya (vide Perbaikan Permohonan hal. 16-19). Legal Standing: Bahwa terkait kedudukan hukum (legal standing) Para Pemohon dalam pengujian UU a quo secara materiil, terdapat batasan kerugian konstitusional sebagai berikut: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945; 2. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; 3. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Pokok Permohonan: Terhadap pengujian materiil yang diajukan oleh Para Pemohon, DPR memberikan keterangan terkait dengan ketentuan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika sebagai berikut: 1. Bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika, narkotika digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan: b. Narkotika Golongan II, adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan c. Narkotika Golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan 2. Bahwa selanjutnya berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika, contoh jenis narkotika berdasarkan golongannya, antara lain: a. Narkotika Golongan I: opium mentah, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, heroina, metamfetamina, dan tanaman ganja; b. Narkotika Golongan II: ekgonina, morfin metobromida, dan morfina; c. Narkotika Golongan III: etilmorfina, kodeina, polkodina, dan propiram. 3. Bahwa Para Pemohon mendalilkan di beberapa negara telah dilakukan legalisasi atas minyak ganja untuk pelayanan kesehatan (vide Perbaikan Permohonan hal. 31) sehingga terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR berpandangan bahwa setiap negara mempunyai karakteristik tersendiri dalam memutuskan suatu pelegalisasian terhadap ganja atau minyak ganja untuk pelayanan kesehatan yang termasuk dalam golongan narkotika. Dengan mengingat bahwa untuk melegalisasikan ganja dibutuhkan penelitian secara ilmiah yang jelas dengan ilmu pengetahuan yang pasti dan membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian tersebut, sehingga tidak dapat langsung serta merta dipersamakan karakteristik beberapa negara dengan negara Indonesia dalam melakukan pelegalisasian terhadap minyak ganja untuk pelayanan kesehatan, melainkan harus melalui beberapa tahapan terlebih dahulu, termasuk tahapan penelitian ilmiah. 4. Bahwa Pasal 7 UU Narkotika menyebutkan “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.” Dalam Penjelasan Pasal 7 UU a quo yang dimaksud dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah penggunaan narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. 5. Bahwa Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika melarang Narkotika Golongan I digunakan untuk kepentingan kesehatan; sementara pada ayat (2)-nya disebutkan dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan 6. Bahwa penggolongan narkotika dan pelarangan Narkotika Golongan I untuk kepentingan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan rumusan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika adalah kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Penggolongan narkotika penting dilakukan untuk dapat membuat pengaturan selanjutnya dalam hal penggunaannya, pengujiannya, dan penegakan hukumnya ketika terjadi penyalahgunaan, serta penelitiannya. Sementara itu, dalam hal menentukan jenis-jenis narkotika yang ditetapkan ke dalam suatu golongan narkotika tertentu adalah kebijakan yang harus didasarkan kepada metode ilmiah. Oleh sebab itu, untuk melakukan perubahan kebijakan atas suatu jenis narkotika untuk ditempatkan pada narkotika golongan tertentu terdapat tahapan penting yang harus dilakukan, yakni penelitian ilmiah. 7. Bahwa lembaga yang melakukan penelitian sebagaimana dimaksud di atas merupakan lembaga yang diselenggarakan oleh Pemerintah ataupun swasta setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UU Narkotika. Penelitian yang dilakukan terhadap Narkotika Golongan I dilakukan berdasarkan standar profesi penelitian kesehatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kemudian dari hasil penelitian tersebut akan ditemukan informasi ilmiah yang membuktikan kebenaran atau tidak kebenaran hipotesis, yaitu penggunaan/pemanfaatan Narkotika Golongan I dapat atau tidak untuk keperluan medis, dan dilanjutkan dengan menguji penerapannya untuk tujuan praktis. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dilakukan untuk menghasilkan, salah satunya mengenai informasi kesehatan untuk mendukung pembangunan kesehatan. Selain itu dilakukannya penelitian tersebut juga bertujuan untuk memberikan pelindungan kepada masyarakat dari bahaya Narkotika Golongan I yang berpotensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 8. Bahwa mengingat tingkat ketergantungan Narkotika Golongan I sangat tinggi dan berbahaya untuk kesehatan, maka sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga saat ini, Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu kepada masyarakat merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan. Oleh karena itu, Negara wajib mengontrol penggunaan Narkotika agar tidak disalahgunakan, di sisi lain Negara juga wajib menjamin pemenuhan hak untuk mendapat pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 9. Namun demikian, Negara berkewajiban memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia, sesuai Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan salah tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemerintah sebagai pelaksana pemerintahan negara berkewajiban memenuhi hak setiap warga negara untuk memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana diamanatkan Pasal 28C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Negara juga berkewajiban untuk menjamin setiap warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin serta memperoleh pelayanan Kesehatan yang layak sebagaimana diamanatkan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945. 10. Bahwa Pemerintah juga berkewajiban untuk mempelajari, mengumpulkan segala informasi terkait perkembangan penelitian dan kajian yang berkembang di berbagai belahan dunia, termasuk dalam hal penelitian terhadap jenis narkotika Golongan I, baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian yang kredibel maupun lembaga internasional seperti, UN Office on Drugs and Crime, The Commission on Narcotics Drugs dan World Health Organization serta tidak boleh menutup diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi. 11. Lebih jauh, dalam hal menentukan kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas, termasuk kebijakan narkotika yang akan dituangkan dalam revisi UU Narkotika, setelah mengumpulkan informasi dan mempelajari perkembangan penelitian yang ada, Pemerintah wajib melakukan riset, kajian atau penelitian ilmiah untuk menindaklanjuti hasil-hasil penelitian terkait narkotika tersebut dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. 12. Bahwa kewajiban Pemerintah untuk melakukan penelitian terhadap Narkotika Golongan I sejalan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika dalam hal Narkotika Golongan I dalam jumlah terbatas dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. 13. Berdasarkan Report on the Reconvened Sixty-Third Session (2-4 Desember 2020), Commission on Narcotics Drugs, yang dikeluarkan UN Economic and Social Council, E/2020/28add.1, E/CN.72020/15Add.1, pada tanggal 2 Desember 2020, the Commission on Narcotic Drugs mengadakan voting terkait penghapusan cannabis dan cannabis resin dari Schedule IV Konvensi Tunggal tentang Narkotika 1961, sebagaimana tertuang pada Decision 63/17, Deletion of cannabis and cannbis resin form Sechedule IV of the Single Convention on Narcotic Drugs of 1961 as amended by the 1972 Protocol yang disetujui oleh 27 negara, ditolak 25 negara, dan 1 negara abstain. Voting ini dilakukan sebagai penyikapan atas hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD), yaitu mekanisme expert di bawah World Health Organization (WHO). Terhadap hasil voting ini Pemerintah Indonesia telah menyampaikan sikapnya yang menyayangkan hasil voting ini. Begitu pula BNN telah menyampaikan sikapnya pada tanggal 9 Desember 2020, yang pada intinya menyatakan sebagai berikut: 1. Pertama-tama perlu diluruskan pemberitaan tentang keputusan PBB untuk melegalisasi ganja. Yang sebenarnya terjadi adalah keputusan Commission on Narcotics Drugs (CND), yaitu Komisi Fungsional di bawah ECOSOC PBB untuk menerima rekomendasi dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD), yaitu mekanisme expert di bawah World Health Organization (WHO). 2. ECDD WHO pada tahun 2019 memberikan rekomendasi kepada CND untuk menghapus cannabis dan cannabis resin dari Schedule IV Convention on Narcotics Drugs 1961 dan hanya berada pada Schedule I Convention dimaksud. 3. Rekomendasi ini mendapat pro dan kontra hingga pada Sidang Reconvened Sesi ke-63 CND di Wina, Austria, pada tanggal 2 Desember 2020, akhirnya dilakukan voting dengan hasil 27 negara menerima, 25 negara menolak, dan 1 negara abstain. Indonesia saat ini bukan negara anggota CND jadi tidak memiliki hak suara. 4. Schedule IV Konvensi 1961 dibuat untuk substansi yang sangat berbahaya, tidak memiliki manfaat medis, serta berisiko sangat tinggi terhadap kesehatan. Sedangkan Schedule I dibuat untuk substansi yang dapat memiliki manfaat medis namun ada risiko penyalahgunaan yang sangat besar. 5. Hasil voting tersebut hanya berarti CND setuju untuk menerima rekomendasi ECDD WHO untuk menghapuskan cannabis dan cannabis resin dari Schedule IV. Namun cannabis dan cannabis resin masih tetap berada di Schedule I Konvensi Narkotika 1961 yang artinya masih harus berada di bawah international control regime yang sangat ketat karena risiko penyalahgunaan yang besar. Penempatan cannabis dan cannabis resin pada Schedule I Konvensi 1961 bukan berarti cannabis menjadi substansi legal untuk digunakan bagi keperluan rekreasional. 6. Konvensi Narkotika 1961 mengakui kedaulatan negara dalam penerapan secara domestik. Sesuai pasal 39 Konvensi Narkotika 1961, negara anggota memiliki hak untuk menerapkan pengaturan dalam negeri sendiri yang lebih ketat, sesuai dengan pertimbangan masing-masing, apabila sebuah substansi dipandang berbahaya. Catatan: Article 39. Application of Stricter National Control Measures than those required by this convention. Not with standing anything contained in this Convention, a Party shall not be, or be deemed to be, precluded from adopting measures of control more strict or severe than those provided by this Convention, and in particular from requiring that preparations in Schedule III or drugs in Schedule II be subject to all or such of the measures of control applicable to drugs in Schedule I as in its opinion is necessary or desirable for the protection of the public health or welfare. 7. Dalam hal ini, Indonesia masih memiliki UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, di mana ganja dan turunannya masuk dalam golongan 1 (sangat berbahaya). Hasil kajian yang dilakukan oleh pakar-pakar kesehatan Indonesia pun menunjukkan hasil yang berbeda dengan rekomendasi WHO-ECDD, yang artinya perlu dilakukan kajian lagi lebih mendalam tentang karakter cannabis. 8. Harapan kami, masyarakat Indonesia yang mengikuti proses pembahasan ini juga dapat menyikapi dengan bijaksana dan dewasa bahwa Indonesia merupakan negara yang berdaulat dan mempunyai peraturan perundang-undangannya tersendiri. Dengan demikian, sikap Pemerintah adalah menolak hasil Keputusan CND 63/17 tanggal 2 Desember 2020 tersebut. 14. Bahwa DPR berpandangan bahwa sikap penolakan tersebut harus tetap diikuti dengan penelitian mendalam terhadap kajian-kajian WHO – Expert Committe on Drugs Dependence tersebut, jangan hanya berhenti pada sikap penolakan saja, sehingga sikap dan kebijakan Pemerintah tetap didasarkan pada metode ilmiah. Hasil tindak lanjut penelitian ini juga akan bermanfaat terhadap bahan masukan bagi revisi UU Narkotika yang telah masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2021. 15. Bahwa DPR berpandangan dalil-dalil Para Pemohon beserta data-data dan fakta-fakta yang diajukan dalam persidangan, meskipun bukan persoalan konstitusional, tetap merupakan informasi yang penting yang harus ditindaklanjuti secara obyektif oleh Pemerintah dengan melakukan proses penelitian ilmiah lanjutan sebagai bahan perumusan kebijakan-kebijakan narkotika ke depan termasuk dalam pembentukan hukum ke depan.
106/PUU-XVIII/2020
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika
Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945