Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

92/PUU-XVIII/2020

Kerugian Konstitusional: Pemohon menyatakan pada intinya bahwa Pemohon pernah mengikuti seleksi calon hakim ad hoc Tipikor di Mahkamah Agung pada Tahun 2016. Pemohon tidak mempersoalkan sistem seleksi hakim ad hoc, melainkan Pemohon mempermasalahkan mengenai keberlakuan pasal a quo yang dikaitkan dengan kewenangan KY untuk melakukan seleksi hakim ad hoc. Pemohon berpendapat bahwa hal tersebut menyebabkan secara expressis verbis telah melanggar hak Pemohon untuk mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dikarenakan menurut Pemohon, kewenangan KY dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hanyalah untuk mengusulkan hakim agung bukan hakim lain selain hakim agung (vide Perbaikan Permohonan hal. 5-6). Legal Standing: a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 Terkait dengan dalil Pemohon, DPR berpandangan bahwa Pemohon tidak menjelaskan perihal pertautan hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimilikinya dengan ketentuan pasal a quo. Ketentuan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 hanya mengatur mengenai kewenangan Komisi Yudisial, bukan mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional individu dari Pemohon dan ketentuan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 pun tidak ada kaitannya dengan ketentuan dari pasal a quo. b. Bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji Bahwa Pemohon tidak jelas dalam menguraikan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialaminya akibat keberlakuan pasal a quo. Pemohon hanya menyatakan bahwa pasal a quo melanggar haknya atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, tanpa menjelaskan kerugiannya. Hak konstitusional Pemohon sebagai Dosen untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam seleksi calon hakim ad hoc, tetap dijamin dan tidak terlanggar ketentuan pasal a quo. Dengan demikian, maka jelas bahwa tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dialami oleh Pemohon. c. Bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi Bahwa sebagaimana telah diuraikan di atas, Pemohon tidak memberikan argumentasi yang jelas terkait kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya atas keberlakuan pasal a quo, karena Pemohon hanya menyatakan mengalami kerugian yang dikaitkan secara tanpa dasar dengan kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial untuk mengusulkan calon hakim ad hoc sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal a quo. Oleh karenanya tidak ada kerugian yang spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial. d. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian Bahwa karena Pemohon tidak memberikan argumentasi mengenai kerugiannya yang bersifat spesifik, maka sudah dapat dipastikan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) karena tidak ada pertautannya sama sekali antara kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan hakim ad hoc dengan kerugian konstitusional yang juga tidak bisa digambarkan secara jelas oleh Pemohon. e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi Bahwa karena tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konsitusi untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah Konstitusi tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon. Pokok Permohonan: 1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 telah jelas menentukan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, baik ditafsirkan secara gramatikal telah jelas bahwa UUD NRI Tahun 1945 memang telah memberikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan atau merumuskan wewenang-wewenang apa saja yang dimiliki oleh Komisi Yudisial dalam kerangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai contoh wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial selain mengusulkan pengangkatan hakim karier maupun hakim non karier pada Mahkamah Agung, Komisi Yudisial juga memiliki fungsi pengawasan perilaku hakim yaitu fungsi Advokasi untuk hakim sebagaimana diamanatkan Pasal 13 huruf b UU KY. Berdasarkan penafsiran secara teleologis (sosiologis) dengan memperhatikan maksud dan tujuan dibentuknya undang-undang serta pemberian kewenangan oleh pembentuk undang-undang kepada Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc, maka kewenangan Komisi Yudisial tersebut juga dengan maksud dan tujuan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan tidak diaturnya secara eksplisit kewenangan Komisi Yudisial dalam mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di UUD NRI Tahun 1945, bukan berarti serta merta ketentuan dalam pasal a quo dapat dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Tidak terdapat satupun pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur larangan bagi Komisi Yudisial untuk terlibat dalam pengusulan Hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan tidak terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang menyatakan bahwa pengusulan pengangkatan hakim ad hoc hanya terbatas dilakukan oleh Mahkamah Agung saja. 2. Pemohon yang pada intinya mendalilkan bahwa ketentuan usulan pengangkatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) menyatakan bahwa usulan pengangkatan dilakukan atas usul Ketua Mahkamah Agung bukan oleh Komisi Yudisial. Terhadap dalil Pemohon tersebut DPR memberikan keterangan bahwa: a. Dengan diaturnya Pasal 10 ayat (4) UU Pengadilan Tipikor tersebut, tidak berarti bahwa Komisi Yudisial dilarang untuk menyampaikan usul pengangkatan hakim ad hoc. b. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal: 1) Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman “Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.” 2) Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung “Pengusulan calon hakim agung kepada Komisi Yudisial, dapat dilakukan oleh MA, Pemerintah, dan masyarakat” 3) Pasal 4 ayat (4) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung “Usulan calon hakim agung, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berasal dari: a. Hakim karier; dan b. Hakim non karier.” 4) Pasal 4 ayat (2) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 3 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Ad Hoc TIndak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung “Pengumuman Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Komisi Yudisial paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima surat pembeitahuan mengenai lowongan jabatan hakim ad hoc tipikor dari Mahkamah Agung”. Hal ini membuktikan bahwa Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi Hakim Ad Hoc tipikor berdasarkan permintaan dari Mahkamah Agung. Oleh karenanya, pada dasarnya ketentuan Pasal 10 ayat (4) UU Pengadilan Tipikor dan UU KY bersifat saling melengkapi sebagai jalur dalam pengusulan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung. 3. Oleh karena itu DPR menerangkan bahwa adanya kewenangan Komisi Yudisial untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan dalam rangka memperbaiki sistem peradilan dan tata negara Indonesia yang telah ada.

92/PUU-XVIII/2020

Pasal 13 huruf a UU KY

Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945