Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

85/PUU-XVIII/2020

Kerugian Konstitusional: Para Pemohon beranggapan bahwa pemberlakuan ketentuan pasal a quo yang mengatur periodesasi jabatan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan, bertentangan dengan asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman (vide Perbaikan Permohonan Halaman 5, Angka 8). Menurut Para Pemohon ketentuan pasal a quo memberikan kerugian konstitusional bagi Para Pemohon berupa ketidakpastian karir dan diskriminatif bagi Para Pemohon selaku hakim Ad Hoc tindak pidana korupsi (vide Perbaikan Permohonan Halaman 8 angka 21 dan angka 22). Legal Standing: 1. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. • Bahwa Para Pemohon mendalilkan memiliki hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dijamin dalam Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Terhadap dalil tersebut DPR menerangkan bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tidak mengatur mengenai hak dan/atau kewenangan konstitusional, melainkan mengatur mengenai kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan sehingga tidak relevan dijadikan dasar pengujian UU a quo. • Pembatasan periodesasi Hakim ad hoc tidak menghambat hak konstitusional Para Pemohon untuk memperoleh pekerjaan apapun untuk mencapai penghidupan yang layak sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Jika periodesasi Hakim ad hoc tidak dibatasi justru menghambat warga negara lain yang memenuhi kualifikasi untuk memperoleh kesempatan yang sama menjadi hakim ad hoc dan berpartisipasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. • Selain itu, Para Pemohon selaku Hakim ad hoc bukan merupakan kelompok tertentu yang karena kondisinya membutuhkan kemudahan dan perlakuan khusus sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. • Oleh karena itu tidak ada hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Para Pemohon yang berkaitan dengan ketentuan Pasal a quo. 2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon tersebut dianggap oleh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji. • Para Pemohon yang berprofesi sebagai hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi mendalilkan ketentuan tentang periodesasi masa jabatan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi bertentangan dengan asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman, memberikan ketidakpastian karir dan menyebabkan perlakuan diskriminatif bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi (vide Perbaikan Permohonan Halaman 5 – 8, angka 8 – 22). • Terhadap dalil tersebut, DPR memberikan pandangan bahwa hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak terkurangi ataupun dilanggar dengan adanya ketentuan Pasal a quo karena Para Pemohon tetap memiliki profesi atau pekerjaan sebagai Hakim ad hoc dan mendapatkan penghasilan atas pekerjaannya tersebut. • Para Pemohon juga tidak tepat menggunakan batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena kepastian Hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, mengatur secara jelas dan logis. Dalam hal ini karena ketentuan Pasal a quo yang dimohonkan pengujian oleh Para Pemohon telah memenuhi ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 karena justru memberikan kepastian batas waktu yang jelas bagi periodesasi masa jabatan hakim ad hoc. Oleh karena itu, tidak tepat apabila ketentuan Pasal yang dijadikan batu uji oleh Para Pemohon tersebut dipertautkan dengan berlakunya pasal a quo. • Bahwa Para Pemohon mendalilkan berlakunya pasal a quo bersifat diskriminatif terhadap pekerjaan hakim ad hoc, namun justru Para Pemohon mencantumkan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebagai batu uji yang pada intinya mengatur mengenai perlakuan khusus untuk mencapai persamaan dan keadilan yang tidak ada relevansinya dengan permasalahan konstitusional yang dikemukakan Para Pemohon. 3. Adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. • Para Pemohon mendalilkan periodesasi masa jabatan bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi merupakan bentuk ancaman terhadap prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari sisi personal independence jabatan hakim sehingga tidak memberikan kepastian karir. • Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, DPR menerangkan bahwa ancaman terhadap personal independence yang didalilkan Para Pemohon tidak akan terjadi karena Para Pemohon sudah seharusnya tetap menjunjung tinggi prinsip independensi hakim tanpa terancam ketentuan mengenai masa jabatan dimaksud, sebab Para Pemohon sudah mengetahui dan menyetujui sedari awal adanya resiko jabatan yang tidak memiliki jenjang karir tersebut pada saat mengajukan dirinya selaku hakim ad hoc pada pengadilan tindak pidana korupsi. Para Pemohon seharusnya memahami bahwa dalam kode etik profesi hakim ad hoc tunduk pada Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang harus dijunjung tinggi. Independensi setiap pejabat negara merupakan suatu yang tidak dapat diganggu gugat dengan alasan apapun, termasuk pembatasan masa jabatan, oleh karena itu periodesasi masa jabatan hakim tidak akan mengganggu independensi seorang hakim ad hoc. Oleh karenanya dalil yang dikemukakan Para Pemohon hanya merupakan kekhawatiran dan asumsi Para Pemohon karena tidak terdapat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Para Pemohon yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. 4. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. DPR berpandangan bahwa dalam permohonannya Para Pemohon mendalilkan kerugian yang tidak ada relevansinya dengan pengaturan tentang masa jabatan hakim ad hoc sebagaimana diatur pasal a quo, selain itu hal tersebut merupakan asumsi pemohon dan belum pernah terjadi. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa permohonan a quo tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. 5. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi DPR berpandangan bahwa karena tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian a quo tidak akan berdampak apapun pada Para Pemohon, justru akan memberikan rasa ketidakadilan bagi warga negara yang lain yang memiliki kualifikasi sebagai hakim ad hoc. Oleh karena itu, menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah untuk memeriksa dan memutus permohonan a quo, karena Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga sudah sepatutnya Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Para Pemohon. Pokok Permohonan: Pandangan DPR terhadap dalil Para Pemohon mengenai jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi. a. Para Pemohon mendalilkan pada intinya bahwa kekuasaan kehakiman tidak memberikan tafsir tentang peradilan ad hoc, tetapi hanya memberikan makna peradilan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 8 jo. Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang tidak memberikan tafsir ataupun definisi bagi peradilan ad hoc atau peradilan sementara atau peradilan yang tidak tetap, tetapi hanya memberikan tafsir pengertian tentang peradilan khusus (vide Perbaikan Permohonan Halaman 11, angka 5, paragraf 5). Terhadap dalil tersebut DPR berpandangan sebagai berikut: 1) bahwa Para Pemohon sangat keliru karena seolah-olah menyamakan makna ad hoc yakni ketika pada suatu peradilan terdapat hakim ad hoc, maka peradilan tersebut dinyatakan sebagai peradilan ad hoc. Adapun pengaturan hakim ad hoc adalah hakim yang bertugas sementara telah tegas diatur pada Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang. Pembatasan masa jabatan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa hakim ad hoc adalah hakim yang sifatnya sementara. Bahwa jika tidak ada pengaturan mengenai batas waktu masa jabatan dimaksud justru akan menyebabkan ketidakpastian hukum, dikarenakan tidak ada penjelasan terkait berapa lama seseorang menjadi hakim ad hoc. Berdasarkan makna yang terkandung dalam Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas, maka perbedaan antara hakim ad hoc dengan hakim karir pada umumnya adalah berkaitan dengan sifatnya yang dibatasi oleh masa periode tertentu serta memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu sesuai Pasal 12 UU Pengadilan Tipikor. 2) Bahwa undang-undang kekuasaan kehakiman tidak memberikan tafsir tentang peradilan ad hoc tetapi hanya memberikan makna peradilan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 8 jo Pasal 27 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. DPR menerangkan bahwa UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU a quo memang sama sekali tidak mengatur perihal peradilan sementara atau peradilan yang tidak tetap. Bahwa yang dimaksud kata “Ad Hoc” dalam kedua undang-undang adalah kepada salah satu struktur hakim yang terdiri atas hakim karier (hakim tetap) dan hakim ad hoc (hakim sementara atau hakim dengan pembatasan masa jabatan) (vide Pasal 1 angka 1 UU Pengadilan Tipikor dan Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman), makna ad hoc dalam kedua undang-undang tersebut tidak ditujukan kepada makna peradilan tetap atau tidak tetap, serta bukan ditujukan kepada makna peradilan untuk tujuan tertentu atau untuk tujuan khusus. Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa dalil Para Pemohon ini adalah salah objek (error in objecto). b. Para Pemohon mendalilkan pada intinya menyatakan adanya periodesasi akan berakibat kepada terganggunya independensi hakim itu sendiri sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman (vide Perbaikan Permohonan halaman 13 angka 10). Terhadap dalil tersebut DPR memberikan pandangan sebagai berikut: 1) Bahwa yang dimaksud Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. • Pasal 1 angka (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. • Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” • Kemudian Pasal 3 ayat (3) UU Kekusaan Kehakiman menyebutkan “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 2) Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 3) Maka dengan demikian tidak ada kaitannya dengan dalil Para Pemohon dengan berlakunya Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor dengan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan justru pembatasan masa jabatan hakim ad hoc yang diatur dalam ketentuan pasal UU a quo telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa hakim ad hoc adalah hakim yang sifatnya sementara. 4) Adapun UU Kekuasaan Kehakiman juga tidak mengatur periodesasi (masa jabatan) bagi hakim, namun Para Pemohon tidak memahami adanya ketentuan Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman yakni pada frasa “hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara …”, maka ketentuan pasal a quo yang membatasi masa jabatan bagi hakim ad hoc justru sesuai atau sejalan dengan frasa tersebut. Periodesasi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi tidak melampaui peraturan dasarnya, ketentuan Pasal a quo justru melengkapi substansi Pasal 1 angka 9 UU Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu DPR berpendapat bahwa hal tersebut tidak tepat dijadikan alasan/dalil kerugian konstitusional Para Pemohon. 5) Definisi Hakim Ad Hoc terdapat pada Pasal 1 angka (9) UU Kekuasaan Kehakiman, “Hakim Ad Hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.” Bahwa yang dimaksud “dalam jangka waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan diangkatnya hakim ad hoc adalah untuk membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan keahlian khusus misalnya kejahatan perbankan, kejahatan pajak, korupsi, anak, perselisihan hubungan industrial, dan telematika (cyber crime). 6) Selain itu hakim ad hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, misalnya hakim ad hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hubungan Industrial, atau Pengadilan Niaga. 7) DPR berpandangan bahwa sudah seharusnya independensi kekuasaan kehakiman hakim ad hoc tidak akan terganggu dengan adanya pembatasan masa jabatan karena adanya salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada Pasal 12 huruf g UU a quo yang mengharuskan calon hakim ad hoc harus jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik. Oleh karena itu, sudah seharusnya hakim ad hoc yang dilantik tetap memiliki integritas profesional yang kuat untuk menjamin keberlangsungan independensi kekuasaan kehakiman. c. Para Pemohon menyatakan pada intinya seharusnya kedudukan yang setara (equal) kedudukan hakim ad hoc tindak pidana korupsi dapat dipersamakan seperti halnya hakim ad hoc pajak, hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan juga hakim Mahkamah Konstitusi (vide Perbaikan Permohonan halaman 13 angka 11). Terhadap dalil Para Pemohon tersebut DPR berpandangan sebagai berikut: 1) DPR berpandangan bahwa kedudukan hakim ad hoc pada pengadilan tindak pidana korupsi tidak dapat dipersamakan dengan hakim karir pada pengadilan tindak pidana korupsi. Oleh karena design UU Kekuasaan Kehakiman maupun UU Pengadilan Tipikor mengenal kedua terminologi tersebut adalah berbeda apabila dilihat dari segi strukturnya. Bahwa dalil Para Pemohon tersebut merujuk pada Putusan Mahkamah Nomor 6/PUU-XIV/2016 dan 49/PUU-XIV/2016. 2) DPR berpandangan bahwa Putusan MK Nomor 6/PUU-XIV/2016 yang kemudian memutus masa jabatan hakim pengadilan pajak harus disamakan dengan ketentuan masa jabatan bagi hakim tingkat banding pada pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara, dasar pertimbangan hukum yang digunakan Mahkamah adalah karena kewenangan yang dimiliki pengadilan pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak adalah sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir atas sengketa pajak dan juga sebagai pengadilan tingkat banding yang putusannya tidak dapat diajukan ke peradilan umum, peradilan tata usaha negara, atau badan peradilan lain (vide Putusan MK Nomor 6/PUU-XIV/2016 paragraf 3.13.1). Sedangkan dalam permohonan uji materi ini, kewenangan pengadilan tindak pidana korupsi adalah berbeda dengan kewenangan yang ada pada pengadilan pajak tersebut. Dalam pengadilan tindak pidana korupsi meskipun bersifat pengadilan khusus, namun kewenangannya hanya sebatas memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi pada tingkat pertama karena kewenangan memeriksa dan memutus perkara tingkat banding tindak pidana korupsi dilakukan oleh pengadilan tinggi (vide Pasal 30 UU Pengadilan Tipikor). 3) Kemudian mengenai keterkaitan dengan hakim ad hoc pada pengadilan hubungan industrial, DPR merujuk pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 49/PUU-XIV/2016 tanggal 13 Februari 2016, bahwa komposisi susunan majelis hakim pada pengadilan hubungan industrial berbeda dengan komposisi susunan pada pengadilan khusus lainnya yang memiliki hakim ad-hoc, hal tersebut dikarenakan terdapat sifat kekhususan terhadap pengadilan hubungan industrial yang tidak dapat dilepaskan adanya kebutuhan bahwa pengadilan hubungan industrial adalah merupakan implementasi dari pengembangan lembaga tripartit di dalam penyelesaian sengketa hubungan industrial (vide pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 49/PUU-XIV/2016 tanggal 13 Februari 2016 paragraf [3.9.5] ) 2. Pandangan DPR terhadap dalil Para Pemohon mengenai jaminan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi. a. Para Pemohon menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menunjukan pengangkatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi sama dengan mekanisme dan tata cara seperti hakim karir pada umumnya, Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan bahwa hakim Ad Hoc sama kedudukannya dengan hakim karir (vide Perbaikan Permohonan Halaman 15 angka 6). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa berdasarkan Pasal 11 dan Pasal 12 UU a quo telah membedakan persyaratan penetapan hakim karier dan pengangkatan hakim ad hoc. Kemudian, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (4) UU a quo hakim karier menggunakan mekanisme penetapan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan hakim ad hoc menggunakan mekanisme pengangkatan oleh Presiden. Oleh karena syarat maupun mekanisme penetapan atau pengangkatan keduanya berbeda, maka DPR berpandangan dalil Para Pemohon tidak tepat. b. Para Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan pasal a quo bertentangan dengan Pasal 1 Konvensi tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) tahun 1958 (vide Perbaikan Permohonan Halaman 16 angka 9 – 12). Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa: 1) Ketentuan Pasal 1 Konvensi tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) tahun 1958 dinyatakan: tidak diperbolehkan diskriminasi atas dasar apapun dalam hal memperoleh pekerjaan dan jabatan, dalam konvensi ini dinyatakan bahwa yang dimaksud diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan. Bahwa tidak ada diskriminasi dalam hal hakim ad hoc dan hakim karir, karena ketentuan UU a quo telah mengatur keduanya berbeda. 2) Pandangan MK tentang Diskriminasi bahwa dalam sejumlah putusan terdahulu Mahkamah telah memberikan pembatasan terhadap apa yang dimaksud dengan diskriminasi. Misalnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14-17/PUU-V/2007, bertanggal 11 Desember 2007, yang menyatakan bahwa diskriminasi sebagai sesuatu yang dilarang dalam rangka perlindungan hak asasi manusia adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”. [vide Pasal 1 angka 3 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Article 2 Paragraph (1) International Covenant on Civil and Political Rights]. Berdasarkan pengaturan tersebut, diskriminasi adalah berbeda dan harus dibedakan dengan tindakan atau kebijakan pembatasan hak asasi manusia yang diatur dengan undang-undang di mana pembatasan hak asasi dapat dibenarkan sesuai ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, yaitu pembatasan terhadap hak dan kebebasan yang diatur dengan undang-undang dapat dibenarkan sepanjang untuk maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. 3) Mengutip pendapat Prof. Sudiman Kartohadiprodjo bahwa, “Menyamakan sesuatu yang tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” (Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia: Bagir Manan: hlm. 8). Demikian juga yang dinyatakan oleh Laica Marzuki bahwa ketidakadilan (ungenrechtigkeit) bukan hanya membedakan dua hal yang sama, tetapi juga menyamakan dua hal yang berbeda (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.84). Bagir Manan juga menyatakan hal yang serupa dengan Prof. Sudiman Kartohadiprodjo dan Laica Marzuki, yaitu: Ada adagium lama yang diketahui oleh setiap ahli hukum yang mengatakan, “Menyamakan sesuatu yang berbeda atau tidak sama, sama tidak adilnya dengan membedakan yang sama.” Dengan bahasa yang lebih mudah, dalam keadaan tertentu membedakan atau unequal treatment itu, justru merupakan syarat dan cara mewujudkan keadilan, sebaliknya dalam keadaan tertentu membuat segala sesuatu serba sama sedangkan didapati berbagai perbedaan juga akan menimbulkan dan melukai rasa keadilan. Kalau demikian, apakah ada syarat objektif agar suatu perbedaan atau unequal itu menjadi syarat untuk mewujudkan keadilan. (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-X/2012: hlm.57) c. Para Pemohon menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor juga berpotensi bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan dan melanggar hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (vide Perbaikan Permohonan Halaman 16 – 17 angka 13). Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa kesejahteraan hakim ad hoc seperti halnya hakim karier yang berstatus pejabat negara yang mendapat hak dan fasilitas sesuai PP No. 94 Tahun 2012, hakim ad hoc juga memiliki hak dan fasilitas yang hampir serupa sesuai Perpres No. 5 Tahun 2013 tentang Pemberian Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad hoc yang ditetapkan Presiden pada 10 Januari 2013. Ketentuan ini mengatur bahwa hakim ad hoc memiliki hak keuangan dan fasilitas seperti tunjangan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, dan uang penghargaan. Dengan demikian ketentuan adanya diskriminatif atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sangat tidak berdasar. Oleh karena itu tidak ada pertentangan Pasal a quo dengan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. d. Para Pemohon menyatakan bahwa kemudian kedudukan status sebagai hakim, hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi juga merupakan anggota Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang menjadi bukti keabsahan hakim ad hoc merupakan hakim yang kedudukannya sama dengan hakim karir pada umumnya (vide Perbaikan Permohonan Halaman 17 angka 15). Terhadap dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa Organisasi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) merupakan wadah profesi hakim Indonesia yang menampung dan menyalurkan aspirasi, inovasi, kajian ilmiah, publikasi, hubungan dengan lembaga-lembaga negara, hubungan ke dalam maupun keluar, dan lain-lain kegiatan keorganisasian profesi hakim, sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) IKAHI, dalam keikutsertaannya berkontribusi pada pembangunan hukum di Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, IKAHI hanya merupakan wadah organisasi bagi profesi hakim, tidak ada kaitannya dengan status dan kedudukan hakim ad hoc Tipikor, sehingga dalil Para Pemohon tersebut adalah keliru. 3. Pandangan DPR terhadap dalil Para Pemohon mengenai jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi. a. Para Pemohon menyatakan bahwa pelanggaran prinsip kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) membuat hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi berada dalam wilayah kepastian dan ketidaksamaan (unequal) dalam menjalani masa jabatannya (vide Perbaikan Permohonan Halaman 19 angka 9). Terhadap dalil tersebut, DPR menerangkan bahwa dalil Para Pemohon mengenai adanya “perbedaan pendapatan dan penghasilan antara hakim ad hoc dan hakim karir” dan “perbedaan perlakuan dan fasilitas antara hakim ad hoc dan hakim karir pengadilan tindak pidana korupsi” adalah tidak benar karena berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU a quo menjamin bahwa hak keuangan dan administratif tersebut diberikan tanpa membedakan kedudukan hakim, yakni hakim karir maupun hakim ad hoc. Adapun ketentuan pelaksanaannya diatur pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2013 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Ad Hoc. b. Para Pemohon menyatakan bahwa periodesasi masa jabatan hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi setidak-tidaknya memiliki potensi menurut penalaran wajar akan menyebabkan demotivasi terkait dengan tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama dihadapan hukum (equality before the law) kepada hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi dalam menjalankan tugasnya (vide Perbaikan Permohonan Halaman 19 angka 10). Terhadap apa yang disampaikan Para Pemohon, DPR berpandangan bahwa persamaan dalam hukum (equality before the law) adalah salah satu dari 12 prinsip negara hukum sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dalam bukunya berjudul “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”. Prof.Jimly Asshidiqie menjelaskan yang dimaksud dengan Persamaan dalam Hukum (equality before the law) adalah adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adat tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar. Dan bahwa hakim ad hoc bukanlah kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus untuk mencapai persamaan dan keadilan yang tidak ada relevansinya dengan permasalahan konstitusional yang dikemukakan Para Pemohon.

85/PUU-XVIII/2020

Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor

Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945