Sistem Pemberian Keterangan DPR (SITERANG)

Kembali

102/PUU-XVlll/2020

Kerugian Konstitusional: Bahwa Pemohon menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya telah dirugikan oleh frasa Bank Umum dalam Pasal a quo UU Perbankan, akibat adanya penafsiran yang berbeda antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang mengakibatkan pengambilalihan agunan melalui lelang terhambat karena menurut DJKN hanya boleh dilakukan oleh Bank Umum sedangkan Bl dan OJK menafsirkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) boleh melakukan pengambilalihan agunan melalui lelang, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi bagi Pemohon tidak dapat menyelesaikan kredit macet (vide Perbaikan Permohonan him. 8) Legal Standing: Bahwa karena tidak ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional baik yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan tidak ada hubungan sebab akibat (causal verband) atas kerugian konstitusional dengan ketentuan Pasal a quo maka sudah dapat dipastikan bahwa pengujian ketentuan Pasal a quo tidak akan berdampak apa pun pada Pemohon. Dengan demikian menjadi tidak relevan lagi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan memutus Permohonan a quo, karena Pemohon tidak memenuhi 5 batas kerugian konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-111/2005 dan Putusan perkara Nomor 011/PUU-V/2007 mengenai parameter kerugian konstitusional yang harus dipenuhi secara kumulatif sehingga Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian Pasal a quo. Pokok Permohonan: Bahwa kredit/pembiayaan bermasalah atau non-performing loan/non­ performing financing merupakan risiko yang melekat pada setiap kredit/pembiayaan yang disalurkan bank kepada masyarakat. Dalam hal terjadinya kredit/pembiayaan bermasalah, bank perlu melakukan penyelamatan sesuai dengan tingkat kualitas kredit/pembiayaan tersebut agar tidak menimbulkan kerugian pada bank. Upaya penyelamatan tersebut dapat dilakukan dengan penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), dan/atau penataan kembali (restructuring) perjanjian kredit/pembiayaan. Apabila kualitas kredit/pembiayaan nasabah telah dinyatakan macet dan tidak dapat ditagih kembali setelah dilakukan upaya penyelamatan, maka bank dapat mengambil alih agunan yang dijadikan jaminan atas kredit/pembiayaan tersebut berdasarkan perjanjian jaminan hak kebendaan. Bahwa bank sebagai pemegang/penerima jaminan kebendaan memiliki hak untuk mengeksekusi benda jaminan untuk dijual guna pembayaran utang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian kredit/pembiayaan. Hal tersebut terlihat dari beberapa ketentuan sebagai berikut: a. Pasal 1155 KUH Perdata "Bila oleh pihak-pihak yang berjanji tidak disepakati lain, maka jika debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, setelah lampaunya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam ha/ tidak ada ketentuan tentang jangka waktu yang pasti, kreditur berhak untuk menjual barang gadainya di hadapan umum menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan dengan persyaratan yang lazim berlaku, dengan tujuan agar jumlah utang itu dengan bunga dan biaya dapat dilunasi dengan hasil penjualan itu. Bila gadai itu terdiri dan barang dagangan atau dan efek-efek yang dapat diperdagangkan dalam bursa, maka penjualannya dapat dilakukan di tempat itu juga, asalkan dengan perantaraan dua orang makelar yang ahli dalam bidang itu." b. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia "Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasannya sendiri." c. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. "Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut." 3. Sertifikat Jaminan Fidusia dan Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", oleh karenanya mengandung kekuatan titel eksekutorial (parate executie). Pengertian parate executie menurut Bachtiar Sibarani adalah melakukan sendiri eksekusi tanpa bantuan atau campuran tangan pengadilan atau hakim, kemudian menurut Subekti parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dan menurut Sudarsono parate executie adalah pelaksanaan langsung tanpa proses pengadilan. Sehingga dapat disimpulkan parate executie adalah kewenangan yang dimiliki oleh kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan secara langsung tanpa harus melalui dan tanpa campur tangan pengadilan. 4. Bahwa ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan pada pokoknya mengatur mengenai kegiatan bank umum yang dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan. Ketentuan tersebut merupakan norma pengganti dari salah satu usaha bank umum yang sebelumnya disebutkan dalam Pasal 6 huruf k UU Perbankan 1992, yaitu "membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya." Jika dilihat dari sistematika penulisan, Pasal 12A UU Perbankan terdapat dalam Bagian Kedua dengan judul Usaha Bank Umum sehingga ketentuan tersebut memang ditujukan untuk Bank Umum. Oleh karena itu permohonan Pemohon untuk menafsirkan frasa "Bank Umum" sebagai Bank Umum dan juga BPR, justru akan mengaburkan sistematika penulisan norma UU Perbankan. 5. Bahwa maksud dari ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan yang merupakan pengganti dari ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan 1992 dan ditujukan untuk bank umum terlihat dari risalah pembahasan RUU Perbankan dalam Rapat Panja IV pada hari Kamis tanggal 24 September 1998 sebagai berikut: • Anggota FABRI (Ors. Supriadi) halaman 104 "Kemudian kedua, pertanyaan kami pada waktu itu bagaimana dengan BPR, apakah BPR tidak boleh membeli barang /elangan dari agunan yang menggunakan kredit BPR" • Pemerintah (Dirjen Lem bag a Keuangan) halaman 106 "Sebetulnya kalau kita lihat Pasal 12A ini, sebetulnya pengganti dari Pasal 6 mengenai usaha-usaha yang ada di bank umum, jadi tidak termasuk yang BPR dengan sendirinya. Jadi itu, yang dimasukkan ke sini di dalam Pasal 12A yang kita ke/uarkan dari Pasal 6 karena ini bukan merupakan usaha dari bank, ini sebetulnya hanya ikutan dari pekerjaan bank itu sendiri, karena ada kredit macet atau apa, sehingga agunannya bisa dicairkan atau bisa dijual dan sebagainya." • Pemerintah (Direktur BI/Subarjo Joyosumarto) halaman 108 "Kemudian untuk FABRI, ketentuan ini memang hanya mengatur bank umum, yang BPR itu tidak diatur maksudnya dari dulu juga tidak pernah diatur untuk BPR karena sifat dari BPR yang kecil, sehingga kalau dia mengikuti hal-hal sangat besar dalam ha/ agunan karena bisa juga erjadi agunannya adalah jauh /ebih besar dari modal BPR itu sendiri, nantijustru akan merepotkan BPR-nya itu sendiri, karena itu untuk BPR tidak diatur mengenai ha/ itu." 6. Bahwa alasan tidak pernah diaturnya kegiatan BPR seperti layaknya bank umum dalam ketentuan Pasal a quo sebagaimana dinyatakan Pemerintah dalam Rapat Panja Pembahasan RUU Perbankan tersebut merupakan alasan historis dan filosofis pembentukan BPR. Seperti yang telah diuraikan DPR sebelumnya bahwa BPR merupakan peleburan dari lumbung desa, bank desa, bank pasar, bank tani, dan bank pegawai yang telah didirikan sejak tahun 1916 untuk melepas ketergantungan petani, pegawai, dan buruh yang terjerat bunga pinjaman tinggi dari rentenir. Oleh karena pelayanan yang diberikan oleh BPR ditujukan untuk usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan, maka pengaturan mengenai pembelian dan pencairan agunan adalah sesuatu yang besar dbandingkan dengan skala usaha BPR. Dengan demikian maka tidak ada uraian kegiatan tersebut dalam norma pengaturan mengenai usaha BPR di UU Perbankan 1992 seperti halnya terdapat uraian kegiatan tersebut untuk usaha bank umum dalam ketentuan Pasal 6 huruf k UU Perbankan 1992. 7. Bahwa dalam risalah Ra pat Dengar Pendapat Um urn 2 dengan acara pembahasan RUU Perbankan 1992 yang diselenggarakan pada tanggal 15 Januari 1992, Federasi Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Seluruh Indonesia (FERBARI) menyatakan sebagai berikut: • Dahli Panjaitan (Direktur Ferbari) halaman 7 (pdf 208) "Khususnya pemberian kridit dapat kami sampaikan, pemberian kridit diarahkan pada usaha-usaha kecil dan sektor-sektor non dipedesaan maupun diperkotaan, jumlah maksimal pemberian kridit kepada setiap nasabah pada dasarnya masih lebih kecil daripada jumlah minimal pemberian kridit sebuah Bank Umum. Pada dasarnya tidak memakai nilai agunan dan nilai agunan sangat keci/ dan berbentuk sangat sederhana pula." • Supadi (Ferbari) halaman 45 (pdf 246) " ... walaupun kenyataan kita Rp100.000 ke bawah tidak pakaijaminan, asal KTP-nya ada itu bisa diberikan. Sebab kalau Rp100.000 s/d Rp50.000 makai Jaminan dia akan leri, lebih baik pinjam ke rentenir. Jadi kita pasti yang kita laksanakan sekarang ini jaminan dalam arti kepercayaan jadi pada orang itu pasti akan bayar. Yang besar kita pasti harus hati-hati, jaminan dalam arti collateral." Berdasarkan kondisi pada saat pembahasan RU U Perbankan 1992 tersebut, maka pembentuk undang-undang tidak mengatur BPR untuk dapat membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada bulan Desember tahun 2020, terdapat 1.506 BPR dengan total aset sejumlah Rp155 triliun. Deng an me Ii hat perkembangan tersebut, maka BPR juga perlu melakukan penyelamatan atas kredit/pembiayaan bermasalah sehingga tidak merugikan BPR. Sebagaimana dinyatakan oleh Pemerintah (Dirjen Lembaga Keuangan) dalam Rapat Panja IV yang telah dikutip sebelumnya, bahwa kegiatan bank umum yang diatur dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan merupakan ikutan atau turunan dari salah satu usaha bank umum, yaitu memberikan kredit atau menyediakan pembiayaan (vide Pasal 6 huruf b dan huruf m UU Perbankan). Usaha yang sama, yaitu memberikan kredit atau menyediakan pembiayaan, juga merupakan salah satu usaha dari BPR sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 13 huruf b dan huruf c UU Perbankan, oleh karena itu BPR juga dapat melakukan kegiatan ikutan atau turunan dari usaha tersebut. Terlebih tidak ada larangan bagi BPR dalam ketentuan Pasal 14 UU Perbankan untuk dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. 10. Bahwa tidak adanya larangan bagi BPR untuk dapat melakukan kegiatan seperti bank umum dalam ketentuan Pasal a quo terlihat dari adanya ketentuan yang ditetapkan oleh pengawas lembaga perbankan, yaitu terakhir dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.03/2018 tentang Kualitas Aset Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Bank Perkreditan Rakyat (POJK 33/2018). Dalam ketentuan Pasal 27 POJK 33/2018, BPR dapat mengambil alih agunan untuk penyelesaian kredit yang memiliki kualitas macet dan tidak dapat ditagih kembali setelah dilakukan upaya penyelamatan. Agunan yang diambil alih tersebut disebut dengan AYDA yang diartikan sebagai berikut: "Agunan yang Diambil Alih yang selanjutnya disebut A YDA adalah aset yang diperoleh BPR untuk penyelesaian Kredit, baik melalui pelelangan, atau di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan surat kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan, dalam ha/ Debitur telah dinyatakan macet." (vide Pasal 1 angka 11 POJK 33/2018). Jadi, AYDA adalah suatu aktiva yang diperoleh dari bank, baik melalui pelelangan maupun di luar lelang dari pemilik agunan, karena pemilik agunan/debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya. 11. Dalam surat edaran DJKN Nomor S-407/KN.7/2012 sebagaimana dijelaskan Pemohon juga tidak terdapat larangan bagi BPR untuk mengambil alih agunan dalam hal nasabah yang kreditnya macet melalui leang agunan karena di dalam surat edaran tersebut menjelaskan terkait pemberian kepastian hukum dalam lelang yang akan ditunjuk kemudian (Acte de command) yang salah satunya disampaikan pengaturan dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan. Kementerian Keuangan justru mengatur bahwa lembaga jasa keuangan, yang termasuk di dalamnya yaitu bank umum dan BPR, dapat membeli agunannya dalam lelang sebagaimana terdapat dalam Pasal 79 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK 213/2020). Ketentuan Pasal 79 ayat (1) PMK 213/2020 menyatakan bahwa "Lembaga Jasa keuangan sebagai kreditor dapat membeli agunannya da!am pelaksanaan le!ang sepanjang diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan." Ketentuan tersebut dan juga ketentuan lainnya dalam PMK 213/2020 tidak memberikan batasan terhadap frasa "Lembaga Jasa Keuangan", oleh karena itu BPR sebagai kreditor dapat membeli agunannya dalam pelaksanaan lelang. Berdasarkan uraian-uraian tersebut disimpulkan bahwa baik bank umum dan BPR mempunyai kedudukan yang sama untuk melakukan pengambilalihan agunan dalam hal nasabah yang kreditnya macet melalui lelang agunan dan tidak ada pembedaan antara kedua jenis bank tersebut dalam pengambilalihan agunan. Namun, jika memang benar di dalam surat edaran tersebut terdapat larangan bagi BPR untuk mengambil alih agunan dalam hal nasabah yang kreditnya macet melalui lelang agunan maka bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian. 12. Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, meskipun frasa "Bank Umum" dalam ketentuan Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan tidak ditujukan untuk BPR, namun BPR tetap dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, dengan tetap mengacu kepada peraturan perundang-undangan terkait. Oleh karena itu dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal a quo menimbulkan kerugian ekonomi bagi Pemohon karena tidak dapat menyelesaikan kredit macet dan bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon berdasarkan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah dalil yang tidak berdasar. 13. Bahwa kerugian ekonomi yang didalilkan oleh Pemohon lebih disebabkan adanya 2 (dua) tafsir yang berbeda dan saling bertentangan antara Bank Indonesia (Bl) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Di satu sisi, Bl dan OJK memperbolehkan BPR mengambil alih agunan kredit macet nasabahnya melalui lelang agunan dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBl/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBl/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat (PSI No. 13/26/PBl/2011 ), yang selanjutnya diatur dalam POJK 33/2018. Namun di sisi lain Surat Penegasan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Lelang, Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor S- 407 /KN. 7/2012 tanggal 12 April 2012 yang pada pokoknya menyatakan bahwa hanya Bank Umum yang dapat membeli agunannya melalui pelelangan (vide Perbaikan Permohonan hal. 9 dan 12). Terhadap hal tersebut, DPR menegaskan bahwa Pemohon kurang cermat karena menjadikan PSI No. 13/26/PBl/2011 sebagai argumen dalam alasan permohonan karena peraturan tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan adanya POJK 33/2018. Adapun dengan berlakunya POJK 33/2018 maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBl/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat, PBI No. 13/26/PBl/2011, dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/26/DKBU/2012 perihal Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan bagi Bank Perkreditan Rakyat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

102/PUU-XVlll/2020

Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan

Pasal 280 ayat (1), Pasal 28H ayat (2) , Pasal 33 ayat (4)